CERPEN 2

Pacaran Tanpa Bersentuhan

 

Oleh: Rudi Hendrik

 

“Mau jadi pacarku?”

Jelas aku sangat terkejut mendengar pertanyaan siswi yang mengaku bernama Adela itu.

Ada dua rasa terkejut yang aku rasakan saat ini. Keterkejutan pertama mengandung rasa bahagia. Bagaimana tidak? Seorang siswi cantik yang menurutku jelita, mungkin sulit mencari duanya di seantero kota besar ini, menawarkanku untuk menjadi pacarnya. Semua lelaki 99 persen mungkin akan langsung mengangguk, apakah dengan ekspresi malu-malu macan, atau dengan ekspresi seperti pemangsa yang suka membasahi bibirnya dengan lidah yang berliur. Ada bunga-bunga yang mekar di dalam hatiku, meski hanya bunga sejambangan.

Keterkejutan kedua mengandung horor, membuatku seketika mengaktifkan my defense system. Secara logika adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Seperti modus klasik cerita cinta perfilman Bollywood, Drakor atau sinetron domestik yang terkadang lebay. Adela menabrakkan saparuh tubuhnya kepadaku sehingga tiga buku komiknya berjatuhan. Padahal lebar koridor di sekolah ini lapang dan tidak dalam kondisi berdesakan seperti keluar dari bioskop. Aku pun baru pertama kali memasuki sekolah ini dan itu juga baru sepuluh meter melewati pintu gerbang.

Setelah basa dan basi, sepatah dua kata sebagai intro komunikasi, tiba-tiba Adela memperkenalkan namanya dan bertanya, “Mau jadi pacarku?”

Jika tidak terlalu kasar untuk menyebutnya “cewek gila” karena dia terlalu cantik, mungkin sebutan itu sudah aku ucapkan untuknya.

Otak detektifku segera bekerja menganalisa yang berujung dengan seribu dugaan belaka. Namun, otak politikku segera mengajukan pertanyaan yang jawabannya akan menjadi penentu, apakah aku akan ikut bermain catur atau bermain aman.

“Jika menjadi pacarmu, apakah ada syarat-syaratnya?” tanyaku kepada Adela.

“Ya. Kita pacaran selama seminggu ke depan. Sebelum masuk kelas, jam istirahat, dan waktu pulang, kita wajib bertemu. Istirahat makan bersamaku. Kamu harus memperjuangkan aku jika ada cowok lain yang berusaha mendekatiku. Jika ada yang bertanya hubungan kita, jawablah bahwa kita pacaran. Yang terakhir, jika kamu punya pacar saat ini, harus kamu putuskan,” cerocos Adela menjawab pertanyaanku dengan cukup lengkap. “Oh ya satu lagi. Tapi selama pacaran, kita tidak boleh bersentuh tangan. Jika terjadi, otomatis kita akan putus sebelum waktunya.”

Syarat terakhirnya membuatku sedikit ternganga. Pacaran tapi tidak boleh pegang tangan sedikit pun. Hei, ini jenis pacaran model suku mana?

“Bagaimana, Rudi? Jika kamu mau, maka aku akan memberimu satu ciuman lewat mimpi,” kata Adela yang mengaktifkan kembali reaksiku yang sempat terjeda.

“Setuju!” jawabku cukup lantang, seolah menjadi pacar Adela adalah cita-cita yang terpendam. Padahal aku mengenalnya tidak lebih dari dua menit yang lalu.

“Mulai sekarang kamu adalah pacar primadona sekolah ini. Jangan lupa temui aku saat jam istirahat, kita makan bersama,” katanya kepadaku.

“Iya,” jawabku.

Adela tersenyum, seolah dia bahagia dengan ijab kabul kami. Ia lalu berbalik dan berjalan pergi. Aku bergeming, tetap berdiri di tempatku. Mataku seolah sungkan beranjak dari sosoknya yang indah. Di ujung koridor, ia bergabung dengan teman-temannya yang tertawa-tawa.

Jelas aku sudah masuk dalam sebuah permainan yang belum sepenuhnya aku tahu, permainan jenis apa ini. Siapa orang yang punya ide konyol, gila, atau tidak bermanfaat ini? Adela sudah tahu namaku, artinya dia memang membidikku. Entah, apakah aku dibidik untuk benar-benar dijadikan pacar atau dibidik untuk dijadikan korban dengan berstatus pacar?

Terlepas apa pun motif dari permainan ini, yang jelas jiwaku yang suka tantangan merasa sedang dirayu dan mau diuji ketangguhannya. Sudah lima kali aku pindah sekolah di masa SMA ini, karena harus mengikuti Ayah yang berpindah-pindah kota karena tugas dinas kemiliteran. Meski aku tidak bercita-cita menjadi prajurit seperti Ayah, tetapi separuh karakter Ayah bisa dikatakan menurun kepadaku.

Aku jadi penasaran. Aku ingin tahu, apakah aku bisa menjadi pemain atau sekedar bahan mainan dari sekelompok siswa sekolah ini.

Namun, seribu dari tanda tanya di dalam kepalaku akhirnya terurai sebagian. Gunawan, satu-satunya teman yang sebelumnya sudah direkomendasikan oleh ayahku di sekolah ini, membocorkan satu rahasia terkait permainan yang sedang aku ikuti.

Putra dari rekan seangkatan ayahku itu mendapat bocoran dari sahabatnya yang juga ikut dalam permainan itu.

“Adela itu primadonanya di sekolah ini. Dia punya semboyan, semua siswa adalah mantan. Salah satu temannya adalah putri Kepala Sekolah. Jadi, teman-teman sekelasnya memberi tantangan agar Adela menjadikanmu pacar selama seminggu. Impian dari teman-temannya selama ini adalah mematahkan semboyan itu dengan cara masa pacaran yang tidak sampai, atau masa pacaran berlanjut paling sedikit hingga satu bulan.”

Gunawan menjelaskan apa hal yang berada di belakang insiden tidak masuk akal yang aku alami pagi ini. Bermodalkan informasi itu, otak politikku terus bekerja guna mengatur dan menentukan siasat untuk satu pekan lamanya. Pada akhirnya nanti, apakah aku harus menjadi pacar yang baik atau pacar yang buruk? Apakah aku harus membantu Adela menyelesaikan misi dan tantangannya atau aku harus menjadi faktor penggagalnya?

Jelas, aku dan Adela akan menjadi sorotan dari seluruh murid yang tahu tentang pertaruhan ini. Namun, jelas mereka semua tidak tahu bahwa aku tidak suka menjadi bahan permainan atau medan permainan. Aku berjiwa penantang dan aku suka menjadi pemain, bukan arena permainan.

Salah satu karakter yang dimiliki ayahku sebagai seorang prajurit adalah kegiatan intelijen, salah satunya adalah mengumpulkan informasi tentang sesuatu atau seseorang. Lebih detailnya adalah melakukan riset. Itu salah satu karakter Ayah yang menurun kepadaku.

Maka, mulai hari pertama bersekolahku yang bertepatan dengan hari pertama menjadi pacar dari sang primadona sekolah, aku langsung aktif mengumpulkan informasi tentang Adela dan mengkonversinya menjadi sekumpulan data yang bersifat fakta. Tentunya aku sangat mengandalkan bantuan Gunawan dalam misi rahasia ini.

Di sela-sela kegiatan belajarku di kelas, dalam waktu singkat aku bisa memiliki data identitas diri Adela, dari tempat tanggal lahir hingga hobinya apa.

Namun, ketika kami bertemu kembali pada jam istirahat, aku berpura-pura buta tentang dirinya. Dia hanya sedikit terkejut ketika di kantin sekolah aku memesan bakso tanpa mie dan lain-lainnya, hanya dengan kuah. Komposisi bakso seperti itu adalah kesukaan Adela yang baru saja aku ketahui infonya, yang aku buat seolah-olah itu adalah kebetulan belaka.

Sementara di sisi lain, banyak mata yang diam-diam memperhatikan keakraban kami yang memang dipaksakan dan dibuat-buat.

Sepulang sekolah, aku tidak berhenti untuk mengumpulkan informasi tentang Adela. Semua akun media sosialnya aku lacak dan pelajari. Bahkan aku bisa mengetahui siapa saja anggota keluarganya dan data tentang mereka.

Ya, memang seperti inilah aku jika diberi atau dihadapkan dengan sebuah tantangan. Maka tidak perlu heran jika aku menjadi murid yang selalu peringkat tiga besar meski aku sering pindah sekolah. Pekerjaan intelijen seperti ini sudah beberapa kali pernah aku lakukan, bahkan dua kali di bawah bimbingan Ayah.

Menghadapi hari kedua, aku merencanakan sejumlah agenda yang nanti hasilnya menjadi dasar bagi agenda di hari berikutnya.

Di hari kedua, aku menjalani pacaran tanpa bersentuhan dengan Adela seperti biasa. Namun, sepulang sekolah aku bergerilya. Aku bertamu ke rumah Adela di saat pacarku itu belum pulang ke rumah. Salah satu kebiasaan Adela adalah mampir main ke rumah temannya.

Kepada ibu Adela aku berterus terang bahwa aku adalah pacar putrinya. Sikap santun dan jujur adalah kunci utama untuk memikat hati calon mertua di masa depan. Kunjungan setting-an pun aku lakukan di toko bunga ayah Adela. Aku membeli bunga dengan target bertemu dengan ayah Adela. Dan target itu terpenuhi walau hanya pertemuan singkat yang basa dan basi.

“Aku Rudi, Om. Yang aku dengar, ini toko bunga punya ayahnya Adela. Benar, Om?” tanyaku sembari memperkenalkan diri.

“Benar. Kamu temannya Adela?”

“Iya, Om. Senang bisa kenal Om. Tapi aku permisi, Om, maklum sudah telat pulang,” kataku.

Hanya sebatas itu untuk hari ini. Adapun apa reaksi Adela ketika ayah atau ibunya menceritakan tentang kedatanganku, biarkanlah berjalan apa adanya.

Ternyata, pada pagi di hari ketiga, Adela tidak menyinggung tentang kedatanganku ke rumahnya. Membuatku hanya bisa menduga-duga. Namun, untuk hari ini pun aku punya agenda.

“Kamu tahu di mana toko makanan kucing di dekat sini?” tanyaku kepada Adela saat makan bersama di kantin.

“Kamu punya kucing piaraan? Kucing jenis apa?” tanya Adela antusias, seperti melihat peluang di depan mata akan dapat bonus jutaan rupiah.

“Bengal,” jawabku tenang.

“Hah! Bengal? Ya ampuuun!” pekik Adela begitu terpukau, membuat semua siswa yang ada di kantin itu memandang kepada mereka. “Ajak aku main ke rumahmu, Rudi!”

“Adela! Kamu gugur!” teriak salah seorang teman wanita Adela tiba-tiba sambil menunjuk kepada kami berdua.

Terkejutlah Adela oleh seruan Yenny yang sedang bersama rekan-rekan sekelasnya yang lain. Adela saat itu langsung tersadar bahwa ia secara refleks telah memegang tanganku. Buru-buru dia menarik tangannya dari punggung tanganku.

Kecintaan Adela kepada kucing mahal sangat tinggi. Di rumahnya, dia memelihara tiga kucing Persia dan satu kucing Russian Blue. Aku tahu kegilaan Adela terhadap kucing dari ibunya. Sebelumnya aku sudah banyak melihat foto-foto Adela bersama kucing-kucingnya di sosial medianya.

Baru hari ketiga, ternyata Adela dinyatakan gagal. Permainan cinta primadona sekolah itupun berakhir. Namun, masih ada perkara yang menggantung setelah itu.

Adela sangat ingin main ke rumahku dan bertemu dengan kucing mahal peliharaanku.

“Maaf, karena kamu bukan pacarku lagi, jadi aku tidak bisa mengajak sembarang orang untuk bertemu dengan kucing kesayanganku,” tolakku. Padahal kucing itu aku beli tadi malam bersama Ibu, menghabiskan uang tabunganku ratusan juta rupiah.

“Aku mau menjadi pacar sungguhan kamu, Rudi,” ujar Adela di depan sahabat-sahabatnya.

“Maaf, aku tidak mau dijadikan bahan permainan lagi untuk kedua kali,” tolakku, karena aku memang tidak mau dipermainkan.

Aku sudah mengubah uang tabunganku menjadi makhluk hidup mahal demi memenangkan permainan ini, jadi aku tidak mau hanya karena Adela ingin bertemu kucingku, lalu aku membiarkannya menipuku. Biarlah permaianan ini berakhir dengan kekalahan Adela dan kemenangan bagi teman-temannya. Adela harus berhenti mempermainkan murid-murid lelaki di sekolah ini.

“Aku janji, aku serius, Rudi. Aku mau menjadi pacar sungguhan kamu. Aku janji akan berhenti bermain lagi!” tandas Adela.

Itulah akhirnya. Aku dan primadona sekolah ini menjalin status pacaran sungguhan tanpa ada batas waktu tertentu. Meskipun pada akhirnya kami harus berpisah karena aku harus pindah kota lagi setelah enam bulan kemudian.

Alasan Adela sederhana ketika memutuskan untuk menjadi kekasihku secara serius, yaitu karena kami berdua sama-sama mencintai binatang. Orang yang berhati lembut kepada binatang, pasti bisa bersikap lebih lembut kepada sesama manusia, itu menurutnya.

Aku memberikan kucing mahalku kepada Adela sebagai tanda cintaku di hari perpisahan kami. Meski berpisah jarak, tapi kami terus berkomunikasi. (RH)

TTM 3

 3

Di Belakang Bu Rita

 

 

DR. Budi Waseso, MPd mengantar Fatara Hendrik ke kelasnya, yakni Kelas 11 IPA. Fatara berjalan di belakang lelaki bertubuh gemuk pendek berperut buncit itu. Meski agak buntet, tetapi Kepala Sekolah adalah sosok yang ditakuti dan dihormati oleh seluruh warga sekolah swasta tersebut. Rambutnya yang sudah jarang-jarang karena faktor botak, tetap disisir rapi ke semping. Kumis tebalnya melintang asik seperti kumis jawara Tanah Abang.

Fatara berjalan di belakang Pak Budi. Sementara Jur berjalan lebih belakang lagi sambil menenteng tas sekolah Fatara.

Suasana di sekolah tampak sepi karena semua sudah masuk ke kelas masing-masing. Setiap kelas sudah diisi oleh seorang guru pengajar.

“Assalamu ‘alaikum, Bu Rita!” salam Pak Budi di pintu kelas.

“Wa ‘alaikumussalam, Pak. Silakan masuk, Pak,” kata Bu Rita Sudarto, guru bahasa Indonesia yang terkenal cantik dan lembut tanpa kekerasan, karenanya ia menjadi simbol perdamaian sekolah. Ia berdiri di depan kelas sambil memegang sebuah buku.

Pak Budi dan Fatara melangkah masuk. Ternyata Jur juga ikut masuk.

“Ada roti sobek isi susu kuda jantan!” sahut seorang murid dari pojokan kelas.

“Aaah!” tiba-tiba ramai siswi putri mendesah panjang seperti desahan malam Jumat kliwon.

“Hahaha ...!” tertawa ramailah di Kelas 11 IPA itu.

“Bu Rita, pegangan, Bu!” teriak Erwin bermaksud menggoda gurunya yang memang faktanya masih belum menikah.

“Siapa yang berkata lagi, Bapak hukum cuci toilet!” ancam Budi sambil menatap tajam ke seantero kelas.

Seketika senyaplah kelas. Tidak ada yang berani berurusan dengan Kepala Sekolah.

“Jur, tunggu di luar!” perintah Fatara kepada pengawalnya itu. Ia mengambil tas dari tangan Jur.

“Siap, Nona!” ucap Jur patuh, layaknya seorang prajurit. Ia lalu balik kiri. Namun, sebelum ia maju jalan menuju pintu kelas, ia masih sempat menurunkan sedikit kacamata hitamnya lalu memandangi para murid dengan gayanya.

“Hahaha!”

Melihat gaya Jur yang menurut mereka kocak, meledaklah tawa semua murid.

Jur sekilas memandang kembali majikannya. Ternyata Fatara memandangnya dengan tajam dan dingin. Ditatap menyeramkan seperti itu, Jur buru-buru berjalan ke luar. Di luar dekat pintu, Jur berdiri siap sempurna dengan dagu sedikit terangkat, seperti penjaga Istana Kremlin di Moskow, Rusia. Kacamata kokoh bertengger di batang hidungnya.

Budi Wasesa tidak bisa menghukum mereka yang tertawa, tidak mungkin satu kelas dihukum.

“Ini murid baru di kelas ini. Saya serahkan kepada Ibu,” kata Pak Budi kepada Bu Rita.

“Iya, Pak,” ucap Bu Rita seraya tersenyum hambar dengan sinar mata yang memancarkan kengerian saat memandangi Fatara. Dengan jelas ia melihat kulit wajah Fatara yang begitu putih, jenis kulit yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Meski demikian, di dalam hati ia harus mengakui bahwa Fatara jauh lebih cantik darinya.

“Anak-anakku yang tersayang!” seru Budi kepada seluruh murid Kelas 11 IPA.

“Iya, Bapakku Sayang!” sahut para siswa serentak seraya tersenyum-senyum.

“Bapak berharap kalian menjadikan teman baru kalian sebagai anggota keluarga besar 11 IPA, bukan sebaliknya!” pesan Budi.

“Iya, Bapakku Sayang!” sahut seluruh murid serempak kompak sehingga terdengar ramai.

“Baik, Bu Rita, semoga baik-baik saja. Saya pamit,” ucap Budi seraya tersenyum manis kepada Bu Rita.

“Terima kasih, Pak,” ucap Bu Rita.

Baru saja Budi Waseso melangkah, tiba-tiba ia berbalik lagi dan bertanya kepada Bu Rita, “Oh ya, Bu. Katanya sudah mau sebar undangan ya?”

Mendelik Bu Rita mendapat pertanyaan seperti itu.

“Ah, Bapak dapat bisikan dari siapa?” tanya Bu Rita seraya tersenyum malu.

“Alhamdulillah jika belum,” kata Budi tersenyum lega sambil mengelus dada berdasinya.

“Hahaha! Pak Kepsek modus!” teriak seorang murid perempuan yang akhirnya memancing sekelas tertawa.

Budi yang hanya bermaksud bercanda menggoda Bu Rita tertawa sambil berjalan ke luar kelas.

Bu Rita Sudarto lalu beralih kepada Fatara untuk menyuruhnya memperkenalkan diri. Namun, ia kerutkan kening karena melihat jelas Fatara memandang ke belakangnya. Bu Rita lalu menengok ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa selain meja guru dan tembok kelas. Hal itu membuat Bu Rita mendadak merinding.

“Fatara?” panggil Bu Rita.

Fatara yang saat itu sedang memandangi sosok hijau bermata merah di belakang Bu Rita, segera beralih fokus memandang kepada guru barunya itu.

“Lihat apa?” tanya Bu Rita dengan tatapan agak takut.

“Nanti saja saya jawab, kalau Ibu tidak sedang tugas,” kata Fatara datar tanpa sedikit pun senyum, seolah kulit wajahnya begitu keras untuk bergerak.

Jawaban yang menimbulkan misteri itu membuat Bu Rita mulai merasakan rasa takut yang ia ciptakan sendiri dengan imajinasi dugaannya.

Sejumlah murid yang duduk di deretan kursi depan mendengar dialog singkat itu. Mereka langsung saling berbisik-bisik, menimbulkan kegaduhan.

“Silakan, Fatara. Perkenalkan diri,” kata Bu Rita.

“Hai, semua. Nama saya Fatara Hendrik dari Keluarga Hendrik. Demikian,” kata Fatara singkat.

“Hah, hanya segitu!” pekik Erwin, murid terganteng di kelas itu, sebab ketiga teman gantengnya ada di kelas lain.

“Hahaha!” tertawalah sejumlah murid. Mereka sudah membayangkan perkenalan yang intronya panjang kali lebar kali tinggi.

Ketika sebagian murid menertawainya, Fatara tetap saja bergeming dalam ekspresinya.

“Boleh saya duduk, Bu?” tanya Fatara.

“Silakan,” kata Bu Rita seraya tersenyum canggung, terlebih Fatara tidak ada senyum sedikit pun.

Sejenak Fatara melirik kepada sosok gaib di belakang Bu Rita. Guru berambut sebahu itu jadi tergidik ngeri melihat gerak mata Fatara.

Fatara melangkah pergi menuju ke kursi kosong di belakang. Semua murid memandang tanpa kedip kepada Fatara yang berjalan, seperti melihat seorang diva dunia yang sangat cantik. Padahal yang mereka ingin lihat jelas adalah kulit putih dan warna biru pada tubuh Fatara. Namun, Fatara bersikap abai dengan tingkah warga kelas itu.

Akhirnya Fatara duduk di sisi seorang perempuan gemuk berkulit mulus, berpipi bakpao dan berhidung pesek. Meski demikian, gadis itu memiliki model mata yang indah, membuatnya terlihat cukup cantik meski tubuhnya berlipat-lipat karena lemak. Gadis ini bermodel seperti Ayu Nosatgia, tetapi yang ini lebih enak dipandang mata.

“Hai!” sapa siswi gemuk itu dengan ekspresi yang tidak jelas, antara tersenyum, takut dan merana. “Nama saya Erla Zaskia.”

“Masih ada hubungan keluarga dengan Zaskia Gotik?” tanya Fatara sambil duduk tanpa memandang kepada Erla Zaskia.

“Tidak ada, hehehe!” jawab Erla sambil cengengesan bingung tingkah.

“Baik, Anak-Anak, perhatikan!” seru Bu Rita dengan suara lembutnya.

Fatara masih melihat keberadaan makhluk hijau bermata merah yang suka melompat-lompat di tempat, tidak jauh di belakang Bu Rita. Makhluk berwajah seperti kakek-kakek itu memiliki ekor panjang seperti ekor biawak. Bentuk tubuhnya seperti perpaduan manusia dan hewan.

Sosok hijau itu hanya dilihat oleh Fatara. Tidak ada murid lain yang melihat keberadaan makhluk itu.

Tidak hanya itu, Fatara juga melihat seorang wanita bergaun serba hitam gelap berdiri tepat di sudut kiri belakang kelas. Wanita itu berdiri mematung di sana. Seluruh wajahnya ditutupi oleh rambut yang lurus terurai. (RH)

TTM 2

 2

Calon Primadona Baru

 

 

Arjuna, Micho Sapta, Erwin Yudono, dan Rendy Habib berkumpul di kursi bawah pohon taman sekolah. Tidak biasanya mereka kumpul pagi-pagi, biasanya mereka baru kumpul saat jam istirahat atau setelah pulang.

Keempat siswa ganteng yang dikenal dengan sebutan Empat Pangeran itu, sepakat untuk membuktikan kabar viral satu malam.

Tadi malam, semua guru dan murid SMA Gilang Bangsa yang memiliki ponsel, mendapat info berantai yang berbunyi “Besok ada primadona baru pindahan luar negeri”.

Berita viral se-SMA itu menjadi bahasan utama dan serius bagi Empat Pangeran. Bahkan mereka melakukan pertemuan darurat jam 12 malam. Tadi malam mereka kumpul di trotoar sambil ngopi eceran kopinya pedagang minuman keliling.

“Selama dua tahun, Primadona Gilang Bangsa adalah Lucy,” kata Micho, pemuda tampan beralis tebal dan berkumis tipis lagi halus. Ia adalah murid kelas 12. “Pertanyaannya adalah, apakah mahkota primadona itu akan jatuh?”

“Oke, tetapkan taruhan pertama. Kalau kalah, traktir yang menang selama lima hari,” kata Arjuna, siswa tampan berhidung mancung dengan warna ras blasteran yang kental. Kakeknya asli orang Spanyol. Ia sekarang kelas 12. “Murid baru bakal kudeta atau tidak? Kalau saya, masih pilih Lucy.”

“Murid baru. Saya pilih murid,” kata Erwin memilih. Ia siswa kelas 11 bertubuh tinggi berkulit sawo matang, tetapi ketampanannya boleh diadu sesama manusia, bukan dengan domba. Keluarganya masih memiliki ikatan darah yang kuat dengan salah satu keluarga kraton yang ada di Tanah Jawa.

“Lucy!” pilih Rendy Habib, pemuda tampan bermata lebar dan berhidung panjang dan mancung. Alis dan cambangnya tampak lebat. Ia masih keturunan darah etnis Arab. Ia sama seperti Erwin, kelas 11.

“Saya pilih Lucy!” kata Micho juga memilih.

“Oke, tiga lawan satu,” kata Arjuna. “Taruhan kedua. Siapa yang berhasil mendapat senyum pertamanya? Yang kalah lari mundur tiga putaran di lapangan basket.”

“Oke.”

“Setuju!”

“Siapa takut?”

Ketiga lainnya sepakat dengan taruhan kedua.

“Taruhan ketiga. Siapa yang berhasil minum satu gelas dengannya. Yang kalah, patungan buat pesta kecil,” kata Arjuna lagi.

“Setuju!” kata ketiga lainnya sepakat, tidak ada oposisi.

Setelah itu, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan motor besarnya masing-masing.

Keesokan paginya, Empat Pangeran bertemu di kursi bawah pohon di taman. Ternyata bukan hanya mereka berempat yang menunggu kedatangan si anak baru, tetapi Lima Dewi Merak juga berkumpul di kursi pinggir lapangan sekolah.

Lima Dewi Merak adalah nama kelompok bagi lima siswi cantik kelas 12. Meski di dalam kelompok itu ada Lucy Swiari yang menyandang gelar Primadona Gilang Bangsa saat ini, tetapi keempat siswi lainnya bukanlah yang tercantik di sekolah itu. Mereka lebih mahsyur di kalangan siswa lain sebagai kelompok geng wanita yang merasa paling cantik, meski bukan yang tercantik.

Mereka juga sama dengan murid-murid yang lain, ingin sekali melihat secantik apa siswi pindahan yang digadang-gadang akan menjadi primadona baru SMA Gilang Bangsa.

Akhirnya sebuah mobil mewah merah cerah merek Hummer H3 memasuki gerbang sekolah.

Melihat mobil itu, seketika para murid yang penasaran dengan si murid baru segera memusatkan pandangan mereka. Mereka yakin itu adalah mobil si murid baru, karena sebelumnya tidak ada murid yang diantar datang dengan mobil jenis itu.

“Wow! Berkelas habis!” ucap Erwin terpukau.

“Kamu tahu harga itu mobil?” tanya Arjuna.

“Satu miliar,” terka Rendy.

“Salah!” kata Arjuna.

“Setengah miliar,” kata Micho.

“Salah. Yang benar tiga miliar!” kata Arjuna.

Mobil merah besar itu berhenti di depan tangga.

“Teman-Teman, lihat sopirnya!” kata Micho.

“Settaaan!” sebut Erwin sebagai ungkapan kekagumannya saat berhasil melihat keberadaan sopir mobil itu.

Mereka melihat Cucun Maghfirah yang cantik berwajah putih bersih dan berhidung mancung. Bibirnya merah oleh lipstik. Kecantikannya menyimpan rasa penasaran karena matanya ditutupi oleh kaca mata hitam. Seorang gadis muda lagi cantik, tetapi menyopiri sebuah mobil besar nan mewah.

Akhirnya si anak baru turun dari mobil. Namun, sebagian dari warga sekolah SMA itu harus kecewa, meski tidak sedikit yang terpukau dan tertawa geli sendiri.

Orang yang turun dari mobil itu adalah seorang pemuda bertubuh tampan, karena wajahnya memang kurang tampan. Pemuda berambut cepak dan berkacamata hitam gelap itu tidak lain adalah Jur, yang nama aslinya Mahjur Supeno. Ia mengenakan kaos warna putih lengan pendek yang ketat, memperlihatkan tampilan ototnya yang membuat mata wanita tergiur dan nyali lelaki lain jadi ciut.

Jur segera membuka pintu bagi majikannya. Fatara Hendrik memberikan tas jinjing miliknya kepada Jur. Setelahnya, ia bergerak turun dan langsung berjalan menaiki tangga.

Empat Pangeran, Lima Dewi Merak dan para siswa lainnya, termasuk satpam sekolah, ternganga berjemaah melihat sosok anak baru yang mengenakan seragam sekolah sama seperti mereka, yaitu putih abu-abu. Namun, anak baru itu berambut biru terang, bermata biru, berbibir biru dan berkuku hijau. Yang paling aneh adalah kulitnya yang berwarna putih seputih kapas.

Arjuna, Micho, Erwin, dan Rendy tidak bisa berkata-kata selama hampir setengah menit lamanya. Hingga ketika Fatara yang dikawal oleh sang bodyguard lewat tepat di depan mata mereka, tidak ada satu pun yang berkomentar.

Kondisi yang sama juga dialami oleh Lima Dewi Merak dan para murid yang lainnya.

Hingga akhirnya Erwin berteriak.

“Saya menaaang!”

“Enggak enggak enggak!” tolak Arjuna langsung merespon.

“Benar, enggak bisa, Er!” dukung Rendy.

“Enggak bisa bagaimana?” tanya Erwin protes. “Sekarang saya tanya, jawab dengan jujur. Arjuna, cantikan mana, Lucy atau si anak baru?”

“Anak baru,” jawab Arjuna.

“Kamu, Ren. Cantikan Lucy atau anak baru?” tanya Erwin lagi.

“Ya, jujur sih, cantikan anak baru,” jawab Rendy lemah.

“Sekarang kamu, Cho. Lucy atau anak baru?” tanya Erwin lagi.

“Kalau saya sih cantikan Lucy, tapi bohong,” jawab Micho lemah. Tapi tiba-tiba dia teriak kepada Erwin, “Tetap enggak bisa. Meski dia cantik, tetapi cewek itu aneh, Er!”

“Oit! Kita enggak nyinggung masalah keanehan. Kalian bertiga sudah mengakui, cewek itu lebih cantik dari Lucy!” tandas Erwin.

“Tapi kita belum tahu, dia bakal kudeta Lucy atau enggak. Hasil belum kelihatan, Er!” kilah Arjuna.

“Benar, Er. Walaupun anak baru lebih cantik dari Lucy, tapi belum tentu ada yang mau karena dia aneh,” kata Micho sambil tertawa kecil.

“Aaah, kalian. Oke, kita tunggu beberapa hari ke depan. Kita lihat reaksi sebagian besar anak-anak!” kata Erwin melunak.

Sementara itu, Fatara Hendrik berjalan tenang di sepanjang koridor sekolah yang melewati teras kelas demi kelas. Wajahnya dingin sedingin es. Ia tidak peduli dengan tatapan setiap mata kepadanya.

Sangat berbeda dengan Jur yang berjalan dengan tangan kanan menenteng tas sekolah Fatara. Jur berjalan dengan percaya diri di belakang nona mudanya. Matanya melirik ke sana dan ke sini, tetapi itu tertutupi oleh kacamatanya yang seperti kacamata bintang film Terminator. Ketika mendapati ada sekelompok siswi cantik yang dilewati, Jur terkadang tersenyum sendiri, seolah sedang menebar pesona.

Fatara jelas dianggap aneh karena fisiknya yang belum pernah warga sekolah itu lihat. Semua tidak tahu, manusia jenis spies apa anak baru ini. Faktor kecantikan membuat Fatara hanya terkesan aneh tanpa kesan mengerikan.

Namun, tetap saja kehadiran Fatara di sekolah itu menghebohkan seisi sekolah.

Fatara tidak perlu bertanya untuk mencari letak ruang kepala sekolah. Ia cukup membaca papan nama yang ada di atas pintu setiap ruangan. Bahkan ada papan denah yang membuat orang baru mudah menemukan tempat yang dicari di sekolah itu tanpa harus bertanya. (RH)