Pacaran Tanpa Bersentuhan
Oleh: Rudi Hendrik
“Mau jadi pacarku?”
Jelas aku sangat
terkejut mendengar pertanyaan siswi yang mengaku bernama Adela itu.
Ada dua rasa terkejut
yang aku rasakan saat ini. Keterkejutan pertama mengandung rasa bahagia.
Bagaimana tidak? Seorang siswi cantik yang menurutku jelita, mungkin sulit mencari
duanya di seantero kota besar ini, menawarkanku untuk menjadi pacarnya. Semua
lelaki 99 persen mungkin akan langsung mengangguk, apakah dengan ekspresi
malu-malu macan, atau dengan ekspresi seperti pemangsa yang suka membasahi
bibirnya dengan lidah yang berliur. Ada bunga-bunga yang mekar di dalam hatiku,
meski hanya bunga sejambangan.
Keterkejutan kedua
mengandung horor, membuatku seketika mengaktifkan my defense system. Secara
logika adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Seperti modus klasik cerita cinta
perfilman Bollywood, Drakor atau sinetron domestik yang terkadang lebay. Adela
menabrakkan saparuh tubuhnya kepadaku sehingga tiga buku komiknya berjatuhan.
Padahal lebar koridor di sekolah ini lapang dan tidak dalam kondisi berdesakan
seperti keluar dari bioskop. Aku pun baru pertama kali memasuki sekolah ini dan
itu juga baru sepuluh meter melewati pintu gerbang.
Setelah basa dan basi,
sepatah dua kata sebagai intro komunikasi, tiba-tiba Adela memperkenalkan
namanya dan bertanya, “Mau jadi pacarku?”
Jika tidak terlalu
kasar untuk menyebutnya “cewek gila” karena dia terlalu cantik, mungkin sebutan
itu sudah aku ucapkan untuknya.
Otak detektifku
segera bekerja menganalisa yang berujung dengan seribu dugaan belaka. Namun,
otak politikku segera mengajukan pertanyaan yang jawabannya akan menjadi
penentu, apakah aku akan ikut bermain catur atau bermain aman.
“Jika menjadi
pacarmu, apakah ada syarat-syaratnya?” tanyaku kepada Adela.
“Ya. Kita pacaran selama
seminggu ke depan. Sebelum masuk kelas, jam istirahat, dan waktu pulang, kita
wajib bertemu. Istirahat makan bersamaku. Kamu harus memperjuangkan aku jika
ada cowok lain yang berusaha mendekatiku. Jika ada yang bertanya hubungan kita,
jawablah bahwa kita pacaran. Yang terakhir, jika kamu punya pacar saat ini,
harus kamu putuskan,” cerocos Adela menjawab pertanyaanku dengan cukup lengkap.
“Oh ya satu lagi. Tapi selama pacaran, kita tidak boleh bersentuh tangan. Jika
terjadi, otomatis kita akan putus sebelum waktunya.”
Syarat terakhirnya
membuatku sedikit ternganga. Pacaran tapi tidak boleh pegang tangan sedikit
pun. Hei, ini jenis pacaran model suku mana?
“Bagaimana, Rudi?
Jika kamu mau, maka aku akan memberimu satu ciuman lewat mimpi,” kata Adela
yang mengaktifkan kembali reaksiku yang sempat terjeda.
“Setuju!” jawabku
cukup lantang, seolah menjadi pacar Adela adalah cita-cita yang terpendam.
Padahal aku mengenalnya tidak lebih dari dua menit yang lalu.
“Mulai sekarang kamu
adalah pacar primadona sekolah ini. Jangan lupa temui aku saat jam istirahat,
kita makan bersama,” katanya kepadaku.
“Iya,” jawabku.
Adela tersenyum,
seolah dia bahagia dengan ijab kabul kami. Ia lalu berbalik dan berjalan pergi.
Aku bergeming, tetap berdiri di tempatku. Mataku seolah sungkan beranjak dari
sosoknya yang indah. Di ujung koridor, ia bergabung dengan teman-temannya yang
tertawa-tawa.
Jelas aku sudah masuk
dalam sebuah permainan yang belum sepenuhnya aku tahu, permainan jenis apa ini.
Siapa orang yang punya ide konyol, gila, atau tidak bermanfaat ini? Adela sudah
tahu namaku, artinya dia memang membidikku. Entah, apakah aku dibidik untuk benar-benar
dijadikan pacar atau dibidik untuk dijadikan korban dengan berstatus pacar?
Terlepas apa pun
motif dari permainan ini, yang jelas jiwaku yang suka tantangan merasa sedang
dirayu dan mau diuji ketangguhannya. Sudah lima kali aku pindah sekolah di masa
SMA ini, karena harus mengikuti Ayah yang berpindah-pindah kota karena tugas
dinas kemiliteran. Meski aku tidak bercita-cita menjadi prajurit seperti Ayah,
tetapi separuh karakter Ayah bisa dikatakan menurun kepadaku.
Aku jadi penasaran.
Aku ingin tahu, apakah aku bisa menjadi pemain atau sekedar bahan mainan dari
sekelompok siswa sekolah ini.
Namun, seribu dari
tanda tanya di dalam kepalaku akhirnya terurai sebagian. Gunawan, satu-satunya
teman yang sebelumnya sudah direkomendasikan oleh ayahku di sekolah ini,
membocorkan satu rahasia terkait permainan yang sedang aku ikuti.
Putra dari rekan seangkatan
ayahku itu mendapat bocoran dari sahabatnya yang juga ikut dalam permainan itu.
“Adela itu primadonanya
di sekolah ini. Dia punya semboyan, semua siswa adalah mantan. Salah satu
temannya adalah putri Kepala Sekolah. Jadi, teman-teman sekelasnya memberi
tantangan agar Adela menjadikanmu pacar selama seminggu. Impian dari
teman-temannya selama ini adalah mematahkan semboyan itu dengan cara masa pacaran
yang tidak sampai, atau masa pacaran berlanjut paling sedikit hingga satu bulan.”
Gunawan menjelaskan apa
hal yang berada di belakang insiden tidak masuk akal yang aku alami pagi ini.
Bermodalkan informasi itu, otak politikku terus bekerja guna mengatur dan
menentukan siasat untuk satu pekan lamanya. Pada akhirnya nanti, apakah aku
harus menjadi pacar yang baik atau pacar yang buruk? Apakah aku harus membantu
Adela menyelesaikan misi dan tantangannya atau aku harus menjadi faktor
penggagalnya?
Jelas, aku dan Adela
akan menjadi sorotan dari seluruh murid yang tahu tentang pertaruhan ini.
Namun, jelas mereka semua tidak tahu bahwa aku tidak suka menjadi bahan
permainan atau medan permainan. Aku berjiwa penantang dan aku suka menjadi
pemain, bukan arena permainan.
Salah satu karakter
yang dimiliki ayahku sebagai seorang prajurit adalah kegiatan intelijen, salah
satunya adalah mengumpulkan informasi tentang sesuatu atau seseorang. Lebih
detailnya adalah melakukan riset. Itu salah satu karakter Ayah yang menurun kepadaku.
Maka, mulai hari
pertama bersekolahku yang bertepatan dengan hari pertama menjadi pacar dari
sang primadona sekolah, aku langsung aktif mengumpulkan informasi tentang Adela
dan mengkonversinya menjadi sekumpulan data yang bersifat fakta. Tentunya aku
sangat mengandalkan bantuan Gunawan dalam misi rahasia ini.
Di sela-sela kegiatan
belajarku di kelas, dalam waktu singkat aku bisa memiliki data identitas diri
Adela, dari tempat tanggal lahir hingga hobinya apa.
Namun, ketika kami
bertemu kembali pada jam istirahat, aku berpura-pura buta tentang dirinya. Dia hanya
sedikit terkejut ketika di kantin sekolah aku memesan bakso tanpa mie dan
lain-lainnya, hanya dengan kuah. Komposisi bakso seperti itu adalah kesukaan
Adela yang baru saja aku ketahui infonya, yang aku buat seolah-olah itu adalah
kebetulan belaka.
Sementara di sisi
lain, banyak mata yang diam-diam memperhatikan keakraban kami yang memang dipaksakan
dan dibuat-buat.
Sepulang sekolah, aku
tidak berhenti untuk mengumpulkan informasi tentang Adela. Semua akun media
sosialnya aku lacak dan pelajari. Bahkan aku bisa mengetahui siapa saja anggota
keluarganya dan data tentang mereka.
Ya, memang seperti
inilah aku jika diberi atau dihadapkan dengan sebuah tantangan. Maka tidak
perlu heran jika aku menjadi murid yang selalu peringkat tiga besar meski aku
sering pindah sekolah. Pekerjaan intelijen seperti ini sudah beberapa kali
pernah aku lakukan, bahkan dua kali di bawah bimbingan Ayah.
Menghadapi hari kedua,
aku merencanakan sejumlah agenda yang nanti hasilnya menjadi dasar bagi agenda
di hari berikutnya.
Di hari kedua, aku
menjalani pacaran tanpa bersentuhan dengan Adela seperti biasa. Namun, sepulang
sekolah aku bergerilya. Aku bertamu ke rumah Adela di saat pacarku itu belum
pulang ke rumah. Salah satu kebiasaan Adela adalah mampir main ke rumah
temannya.
Kepada ibu Adela aku
berterus terang bahwa aku adalah pacar putrinya. Sikap santun dan jujur adalah
kunci utama untuk memikat hati calon mertua di masa depan. Kunjungan setting-an
pun aku lakukan di toko bunga ayah Adela. Aku membeli bunga dengan target
bertemu dengan ayah Adela. Dan target itu terpenuhi walau hanya pertemuan
singkat yang basa dan basi.
“Aku Rudi, Om. Yang
aku dengar, ini toko bunga punya ayahnya Adela. Benar, Om?” tanyaku sembari
memperkenalkan diri.
“Benar. Kamu temannya
Adela?”
“Iya, Om. Senang bisa
kenal Om. Tapi aku permisi, Om, maklum sudah telat pulang,” kataku.
Hanya sebatas itu
untuk hari ini. Adapun apa reaksi Adela ketika ayah atau ibunya menceritakan tentang
kedatanganku, biarkanlah berjalan apa adanya.
Ternyata, pada pagi di
hari ketiga, Adela tidak menyinggung tentang kedatanganku ke rumahnya.
Membuatku hanya bisa menduga-duga. Namun, untuk hari ini pun aku punya agenda.
“Kamu tahu di mana toko
makanan kucing di dekat sini?” tanyaku kepada Adela saat makan bersama di
kantin.
“Kamu punya kucing
piaraan? Kucing jenis apa?” tanya Adela antusias, seperti melihat peluang di
depan mata akan dapat bonus jutaan rupiah.
“Bengal,” jawabku
tenang.
“Hah! Bengal? Ya
ampuuun!” pekik Adela begitu terpukau, membuat semua siswa yang ada di kantin
itu memandang kepada mereka. “Ajak aku main ke rumahmu, Rudi!”
“Adela! Kamu gugur!”
teriak salah seorang teman wanita Adela tiba-tiba sambil menunjuk kepada kami
berdua.
Terkejutlah Adela oleh
seruan Yenny yang sedang bersama rekan-rekan sekelasnya yang lain. Adela saat
itu langsung tersadar bahwa ia secara refleks telah memegang tanganku.
Buru-buru dia menarik tangannya dari punggung tanganku.
Kecintaan Adela
kepada kucing mahal sangat tinggi. Di rumahnya, dia memelihara tiga kucing Persia
dan satu kucing Russian Blue. Aku tahu kegilaan Adela terhadap kucing dari
ibunya. Sebelumnya aku sudah banyak melihat foto-foto Adela bersama
kucing-kucingnya di sosial medianya.
Baru hari ketiga,
ternyata Adela dinyatakan gagal. Permainan cinta primadona sekolah itupun
berakhir. Namun, masih ada perkara yang menggantung setelah itu.
Adela sangat ingin
main ke rumahku dan bertemu dengan kucing mahal peliharaanku.
“Maaf, karena kamu bukan
pacarku lagi, jadi aku tidak bisa mengajak sembarang orang untuk bertemu dengan
kucing kesayanganku,” tolakku. Padahal kucing itu aku beli tadi malam bersama
Ibu, menghabiskan uang tabunganku ratusan juta rupiah.
“Aku mau menjadi pacar
sungguhan kamu, Rudi,” ujar Adela di depan sahabat-sahabatnya.
“Maaf, aku tidak mau
dijadikan bahan permainan lagi untuk kedua kali,” tolakku, karena aku memang
tidak mau dipermainkan.
Aku sudah mengubah
uang tabunganku menjadi makhluk hidup mahal demi memenangkan permainan ini,
jadi aku tidak mau hanya karena Adela ingin bertemu kucingku, lalu aku
membiarkannya menipuku. Biarlah permaianan ini berakhir dengan kekalahan Adela
dan kemenangan bagi teman-temannya. Adela harus berhenti mempermainkan
murid-murid lelaki di sekolah ini.
“Aku janji, aku
serius, Rudi. Aku mau menjadi pacar sungguhan kamu. Aku janji akan berhenti
bermain lagi!” tandas Adela.
Itulah akhirnya. Aku
dan primadona sekolah ini menjalin status pacaran sungguhan tanpa ada batas
waktu tertentu. Meskipun pada akhirnya kami harus berpisah karena aku harus
pindah kota lagi setelah enam bulan kemudian.
Alasan Adela sederhana
ketika memutuskan untuk menjadi kekasihku secara serius, yaitu karena kami
berdua sama-sama mencintai binatang. Orang yang berhati lembut kepada binatang,
pasti bisa bersikap lebih lembut kepada sesama manusia, itu menurutnya.
Aku memberikan kucing
mahalku kepada Adela sebagai tanda cintaku di hari perpisahan kami. Meski
berpisah jarak, tapi kami terus berkomunikasi. (RH)