Karakter Xu Huang, jendral militer yang menonjol di bawah kepemimpinan panglima perang Cao Cao pada masa Dinasti Han. (Gambar: DevianArt) |
Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Di sisi lain, para ustaz pengajar dan staf ponpes yang
berada di dalam kantor, dibuat terkejut oleh dua orang santri yang masuk dengan
cara berlari hingga menabrak meja dekat pintu masuk.
“Pak Ustaz!” sebut kedua santri itu bersamaan dengan napas
tersengal-sengal, keringat bercucuran dan wajah panik seperti usai melihat
setan.
“Ada apa kalian ini?! Masuk tidak pakai salam!” kata Ustaz
Gani agak keras dengan sepasang mata mendelik marah.
Santri yang hendak menjawab menelan ludah kering terlebih
dulu. Lalu lapornya dengan tergagap, “Pak Ustaz! Anu ... itu ... Ustaz ....”
“Anu-anu itu apa?!” bentak Ustaz Rusdi pula yang usianya
masih muda, 28 tahun.
“Afrizal, Pak Ustaz! Jadi siluman!” jawab santri yang
bertubuh agak jangkung.
“Jadi siluman?” Para ustaz mala bertanya heran.
“Ia, Pak Ustaz. Afrizal berubah jadi prajurit Cina,” santri
yang satunya menguatkan.
“Kesurupan?” tanya Ustaz Rusdi dengan nada suara merendah.
“Bu ... bukan, Ustaz. Berubah se ... seperti Power Rangers,
Ustaz!” kata santri yang jangkung dengan mimik yang begitu serius.
“Afrizal yang mana?” tanya Ustaz Rusdi kepada Ustaz Kholil
yang jenggotnya berwarna putih.
“Santri kelas alif tingkat tiga, yang Ahad lalu menjuarai
kompetisi Al-Baqarah,” jawab Ustaz Kholil.
“Tidak ada siluman-silmuman di area ini. Kalau ada, dibunuh
saja pemuda setan itu!” kata Ustaz Gani dengan wajah serius.
Ustaz Kholil yang memandang keluar, berubah terkejut
mendapati sejumlah santri menggotong tubuh seseorang agak jauh di luar sana.
“Siapa yang digotong itu?” tanya Ustaz Kholil sambil
bergerak keluar melewati kedua santri.
Ustaz Rusdi, Ustaz Gani dan Ustaz Suparno yang sejak tadi
diam menyimak, segera turut keluar. Mereka melihat sekelompok santri kelas alif
tingkat tiga menggotong sesosok tubuh.
Suasana berubah ramai dan riuh, sebab warga ponpes yang
sedang berada di kelas-kelas mulai memperhatikan situasi itu.
“Innalillahi! Masya
Allah, Ustaz Firman! Antum
kenapa?” tanya Ustaz Kholil yang sudah menghadang penggotongan.
Ustaz-ustaz yang sedang mengajar pun berkeluaran dan
mendekat ingin tahu apa yang terjadi. Para ustazah yang mengajar di kelas
santri muslimah, hanya berkumpul di teras gedung. Keriuhan semakin ramai di
kelas-kelas santri. Bahkan sebagian santri keluar berkerumun di pintu dan depan
kelas.
“Ustaz ...!” teriak seseorang sangat keras dari luar kompleks.
Teriakan itu mengejutkan sekaligus membuat orang yang
mendengarnya jadi merinding takut. Baru kali ini mereka mendengar teriakan
keras seperti itu, seolah-olah sedang bermain di film horor.
Semuanya langsung melihat ke arah gerbang utara. Tampak
sosok Dho Gho datang mendekat dan berteriak-teriak.
“Ustaz! Kenapa ana?
Kenapa ana berubah, Ustaz?!” teriak
Dho Gho.
“Cepat beri tahu Pak Kiai! Orang itu berbahaya!” teriak
Ustaz Firman.
Kemunculan sosok Dho Gho membuat sausana kian riuh dan
bising oleh nada-nada bertanya, tapi tidak ada yang bisa menjawab. Ustaz Firman
segera dibawa ke ruang klinik. Ustaz Rusdi segera pergi ke ruang kantor
Pimpinan Ponpes Ash-Shiroth.
Para santri yang ada di lapangan segera dihalau oleh
guru-guru mereka. Kini para santri sudah tidak di dalam kelas lagi, mereka
sudah luber di teras-teras. Suasana bising kini berubah hening, ketika tiga
ustaz terkemuka maju menghadang langkah Dho Gho.
Ustaz di tengah adalah Ustaz Kholil yang sepuh. Ustaz di
sebelah kanan adalah Ustaz Nurjaya yang berusia 50 tahun. Perawakannya tinggi
agak gemuk dan berjenggot putih pula. Ia bersorban putih. Ia menjabat Amir Ukhuwah (Kepala Keamanan) di ponpes
tersebut.
Ustaz yang di sebelah kiri adalah Ustaz Ridho Abdallah.
Usianya 36 tahun. Jenggotnya masih hitam. Tidak seperti ustaz-ustaz lain, ia
tidak biasa memakai peci atau sorban. Ia membidangi pelajaran olah fisik,
olahraga umum dan beladiri.
“Ustaz, tolong ana,
Ustaz!” seru Dho Gho memohon.
“Siapa kamu?” tanya Ustaz Kholil sebagai juru bicara.
“Ana Afrizal,
Ustaz. Ana tidak tahu kenapa ana berubah seperti ini,” kata Dho Gho.
“Suaranya memang suara Afrizal,” bisik Ustaz Ridho kepada
Ustaz Kholil.
“Bagaimana bisa kamu mengaku sebagai santri kami, sedangkan
wajah dan tubuh sangat kontras?” tanya Ustaz Kholil.
“Demi Allah! Ana Afrizal,
Ustaz! Tiba-tiba saja ana telah
berubah wujud menjadi tubuh ini!” Dho Gho bersumpah.
“Kamu bukan santri kami. Jika kamu santri kami yang berubah
wujud, kamu pasti telah mempelajari ilmu setan!” tuding Ustaz Kholil dengan
mata mendelik.
“Demi Allah! Demi Allah! Ana tidak belajar ilmu hitam. Na’udzubillah!” teriak Dho Gho membela
diri.
“Hentikan sumpahmu itu, Pemuja Iblis!” bentak Ustaz Kholil
menjadi semakin marah. “Tidak ada di dunia ini, manusia biasa bisa berubah
wujud ke bentuk lain, kecuali dia menguasai ilmu setan!”
Di saat perdebatan sedang berlangsung, dari arah kantor
pimpinan ponpes berjalan cepat seorang lelaki tua yang masih sehat dan gagah.
Ia dikawal oleh Ustaz Rusdi. Lelaki tua berpakaian putih-putih itu bersorban
putih. Sebuah kacamata melekat di wajahnya yang putih bersih dan kian berwibawa
dengan adanya jenggot putih berkharisma. Ia adalah Kiai Haji Jufri Siraji,
Wakil Pimpinan Ponpes Ash-Shiroth. Ia adalah orang yang menggantikan
tugas-tugas K.H. Abdul Waro saat tidak ada di ponpes, seperti saat ini.
Namun, sebelum K.H. Jufri Siraji dan Ustaz Rusdi bergabung
dengan Ustaz Kholil, seorang santri dari ruang klinik berlari menghentikan
keduanya.
“Pak Kiai, kata Ustaz Firman, Afrizal yang berubah bentuk
sangat berbahaya. Lebih baik ditangkap saja!” kata santri tersebut dengan
kalimat terburu-buru.
K.H. Jufri hanya mengangguk lalu berlalu bersama Ustaz
Rusdi.
“Kiai, orang ini mengaku Afrizal, seorang santri kita,” kata
Ustaz Ridho Abdallah ketika K.H. Jufri tiba.
“Kata Ustaz Firman yang melihat kejadiannya, dia memang
Afrizal,” kata Kiai Jufri datar. Ia berdiri memandang sosok gagah di depannya.
“Pak Kiai, ana
tidak bersalah, ana tidak berdosa, ana bertauhid, ana tidak menganut ilmu sesat. Tolong kembalikan ana ke wujud ana,” kata Dho Gho dengan suara pelan kepada Kiai Jufri. Wajahnya
begitu memelas.
“Ringkus dia!” perintah Kiai Jufri Siraji.
Maka, Ustaz Nurjaya dan Ustaz Ridho maju ke arah Dho Gho.
Keduanya yang merupakan guru beladiri itu, serentak memegang kedua tangan kekar
Dho Gho dan menguncinya di belakang tubuh si pemuda.
Peringkusan itu membuat suasana tegang. Kondisi lebih
menegangkan ketika mereka semua melihat wajah Ustaz Nurjaya dan Ustaz Ridho
terkejut. Rasa keterkejutan itu dipicu oleh rasa panas yang tinggi pada tangan
Dho Gho yang mereka ringkus. Panasnya bukan seperti panas tubuh yang demam
tinggi, tapi panas sepanas api membakar.
“Innalillahi!”
pekik Ustaz Nurjaya sambil cepat melepas tangannya.
Hal yang sama dialami dan dilakukan oleh Ustaz Ridho.
Buk! Buk!
Kedua tangan Dho Gho bergerak cepat meninju dada kedua ustaz
itu, membuat keduanya terjengkang keras ke lantai lapangan yang terbuat dari
semen. Dada pakaian keduanya hangus terbakar akibat tinjuan Dho Gho. Kulit dada
kedua guru itu juga mengalami luka bakar yang cukup serius. Tragisnya lagi,
keduanya tidak sanggup untuk bangun berdiri kembali, mereka hanya menggeliat
kesakitan dan merasa lemah.
Betapa semuanya terkejut menyaksikan hal itu. Sungguh di
luar dugaan. Dua guru beladiri ponpes itu tumbang sekali gebrak. Keterkejutan
juga terlihat di wajah dan sikap Dho Gho yang memandangi kedua tangannya yang
masih mengepal mengepulkan asap tipis. Kemudian, buru-buru Dho Gho menghampiri
tubuh Ustaz Nurjaya.
“Maafkan ana,
Ustaz!” ucap Dho Gho menyesal.
“Berhenti!” seru Kiai Jufri cepat, khawatir Dho Gho
melakukan tindakan buruk yang mencelakakan.
Dho Gho berhenti mendekati tubuh Ustaz Nurjaya. Melihat
tumbangnya kedua pendekar ponpes itu, Kiai Jufri dan ustaz lainnya jadi bingung
memikirkan cara untuk meringkus sosok asing itu.
“Menjauh dari mereka, Pemuja Setan!” teriak Kiai Jufri.
Dho Gho pun memilih mundur menjauh beberapa meter.
“Hei, kalian!” teriak Ustaz Rusdi kepada sekerumunan santri
lelaki yang terdekat menonton. “Bawa kedua ustaz ke klinik!”
Maka segera datang belasan santri untuk menolong Ustaz
Nurjaya dan Ustaz Ridho. Mereka mengangkat dan menggotong pergi kedua tubuh
ustaz mereka. Para santri pun jadi tahu bahwa dada dan kedua telapak tangan
kedua ustaz melepuh akibat panas yang sepanas api.
“Apa yang harus kita lakukan, Ustaz?” tanya Kiai Jufri
berbisik kepada Ustaz Kholil.
“Entahlah, Kiai. Ana pun bingung. Orang ini punya ilmu
setan,” jawab Ustaz Kholil.
“Lebih baik ajak dialog, Kiai,” kata Ustaz Rusdi memberi
saran dari belakang.
Kiai Jufri pun maju beberapa langkah.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Kiai Jufri kepada Dho Gho.
“Ana Afrizal, Pak
Kiai,” jawab Dho Gho.
“Lalu kenapa antum
jadi seperti ini dan punya ilmu setan?” tanya Kiai Jufri mendesak.
“Ana tidak tahu,
Pak Kiai. Ana mencangkul di lahan
praktik pertanian dan menemukan batu permata. Saat ana mengambilnya, ana
langsung berubah jadi seperti ini. Ana
tidak mengerti apa-apa. Ana bersumpah
demi Allah, ana tidak berniat
menyerang para ustaz!” tandas Dho Gho.
Sepengetahuan Kiai Jufri dan para ustaz lainnya, Afrizal
adalah santri yang cerdas dan berprestasi baik. Hafalan Al-Quran dan hadisnya
baik dan kuat. Hari Ahad lalu saja, ia menjuarai kompetisi hafal Al-Baqarah.
“Ana tidak pernah
belajar ilmu sesat apa pun, Pak Kiai!” tegas Dho Gho.
“Tapi apa yang antum
tunjukkan kepada kami dan seluruh santri pesantren ini adalah ilmu yang berasal
dari setan. Itu musyrik, menduakan Allah!” kata Kiai Jufri keras dan marah.
Zerzzz!
Tiba-tiba dari bawah telapak kaki Dho Gho menyembur ke atas
sinar biru hingga menutupi seluruh tubuh Dho Gho. Kejadian itu jelas
mengejutkan semuanya, termasuk Dho Gho sendiri.
Ketika sinar biru itu lenyap dengan sendirinya, lenyap pula
sosok Dho Gho. Kini yang berdiri di hadapan Kiai Jufri adalah sosok santrinya,
yaitu Afrizal. (RH)
Berlanjut: Martabak 1001 Rasa (5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar