KDP 157

“Apa yang kau lakukan tadi malam, Niao Ping?” tanya Ling Ting lagi mendesak. “Aku mendengar perbuatanmu tadi malam.”

“Bukan hanya mendengar, tapi juga bertarung bersama dan Nona memelukku saat aku tidak berdaya,” kata Niao Ping berpura-pura tidak paham.

“Bukan di malam itu, tapi tadi malam menjelang subuh,” tegas Ling Ting bernada kesal.

“Oh, menjelang subuh. Iya, aku ada di sini. Memangnya … apa yang Nona dengar dari dalam kamarku?” tanya Niao Ping bermain drama.

“Suara desahan wanita. Kau pasti sedang melakukan hubungan intim dengan seorang wanita,” tukas Ling Ting.

“Tapi … bagaimana Nona bisa menyimpulkan bahwa desahan itu suara wanita yang sedang melakukan hubungan intim?” tanya Niao Ping.

Terbeliak Ling Ting ditanya seperti itu. Dia terdiam sejenak karena bingung harus menjawab apa. Dia harus memikirkan dulu jawabannya karena pertanyaan Niao Ping setengah menjebak.

“Maksud Nona, hubungan intim itu hubungan seperti suami istri di malam pertama?” Niao Ping lebih dulu bertanya lagi.

“Iya,” jawab Ling Ting lantang.

“Berarti Nona Ling Ting pernah melakukannya?” terka Niao Ping seraya tersenyum setan.

“Niao Ping!” hardik Ling Ting mendelik.

“Hahaha!” tawa Niao Ping.

Semakin kesal Ling Ting diperlakukan seperti itu oleh Niao Ping.

“Nona Ling Ting, untuk melakukan itu, setahuku memerlukan pasangan. Contohnya, aku berpasangan dengan Nona,” kata Niao Ping.

Terkesiap Ling Ting yang membuat pipinya jadi merah merona karena malu.

“Nona lihat sendiri, aku hanya seorang diri di sini. Jikapun seandainya aku melakukannya dengan seorang wanita, lalu kenapa Nona Ling Ting marah? Apakah aku telah menyinggung Nona? Jika demikian, aku mengucapkan permohonan maafku, Nona,” kata Niao Ping yang berujung dengan penghormatannya kepada gadis cantik itu.

Ling Ting jadi tidak bisa berkata-kata. Jika benar Niao Ping melakukan hubungan intim dengan seorang wanita di kamarnya, kenapa dirinya yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan Niao Ping harus mengurusi atau mengomentarinya.

“Aku sangat cemburu, Niao Piiing!” teriak Ling Ting kesal, tetapi hanya di dalam hati. Aslinya dia hanya menghempaskan napas kekesalan.

Dengan wajah cantik yang marah dan gestur yang menunjukkan kekesalan, Ling Ting akhirnya berjalan pergi menuju ke luar. Dia meninggalkan Niao Ping yang merasa lega.

Namun, sebelum Ling Ting sampai ke pintu, mendadak dia berhenti karena di depan pintu muncul wanita bercadar bermata hijau terang. Wanita berpakaian putih itu membawa pedang di tangan kanannya. Dia tidak lain adalah Suk Maa.

Terkejut Suk Maa melihat keberadaan Ling Ting di dalam kamar pemuda yang dicintainya. Ling Ting sendiri memasang sikap dingin. Dia tidak gentar jika harus ribut dengan Suk Maa.

Sementara Niao Ping, dia agak terkejut pula melihat kemunculan Suk Maa.

“Apa yang kau lakukan di kamar Niao Ping, Nona Ting?” tanya Suk Maa dengan nada ketus.

“Aku tidur bersama Niao Ping tadi malam,” jawab Ling Ting berdusta. Dia sengaja ingin membuat hati Suk Maa panas.

Terbeliak sepasang mata hijau Suk Maa mendengar pengakuan Ling Ting.

Di saat Suk Maa terkejut dan seperti syok mendapat kabar buruk, Ling Ting berjalan melewatinya.

Ketika Ling Ting sudah melewatinya, Suk Maa tiba-tiba berbalik dan tangan kirinya menangkap bahu kiri Ling Ting, membuat gadis bangsawan itu berhenti melangkah dan keningnya mengerut tanda bahwa dia tidak suka dengan tindakan Suk Maa.

“Kau berutang penjelasan kepadaku, Nona Ting!” kata Suk Maa.

Ling Ting lalu menangkap tangan kiri Suk Maa yang ada di bahunya dan menariknya, membuat tubuh Suk Maa tertarik kepadanya. Suk Maa sigap menahan tarikan itu dan menyerangkan sarung pedangnya kepada kepala Ling Ting.

Tak! Buk!

“Hekh!”

Dengan cekatan Ling Ting menangkis serangan Suk Maa dan seiring itu kaki kanannya sangat cepat menendang perut.

Kerasnya tendangan itu membuat tubuh Suk Maa terlempar ke dalam kamar. Ia sampai mengeluh.

Beruntungnya Suk Maa, tubuhnya ditangkap oleh Niao Ping sehingga terhindar menghantam dinding kamar.

Tahu bahwa Niao Ping sudi melindungi, alangkah bahagianya Suk Maa. Namun risikonya, Niao Ping seketika jatuh terkulai lemah dengan tubuh tertindih oleh tubuh Suk Maa.

“Niao Ping!” sebut Ling Ting terkejut.

Dia jadi berbalik lagi dan masuk menghampiri Niao Ping dan Suk Maa. Namun, Suk Maa cepat mengancamnya dengan pengulurkan pedang yang masih bersarung. Suk Maa sendiri sudah tidak kaget melihat Niao Ping mendadak lemas.

“Jangan mendekat! Kau hanya membuat Niao Ping sakit!” hardik Suk Maa.

Ling Ting berhenti hanya sebatas pintu kamar.

“Nona Ling Ting, Tuan sudah menunggu di bawah,” kata Komandan He Her yang muncul di tempat itu pula.

Keributan yang terjadi di depan kamar Niao Ping membuat Komandan He Her cepat naik ke lantai dua.

Memang, Mae Ha dan para prajuritnya sudah turun dan berada di depan penginapan. Mereka akan pulang ke Ibu Kota.

Karena terlalu cemburu melihat kebersamaan Niao Ping dengan Suk Maa, Ling Ting memilih berbalik pergi dengan langkah yang cepat.

Komandan He Her hanya memandang sepasang pemuda itu sebentar. Suk Maa menatap tajam dengan mata indahnya. Setelahnya, prajurit itu segera berbalik pergi menyusul junjungannya.

Suk Maa lalu beralih kepada Niao Ping yang tergeletak di lantai kamar.

“Mau aku gendong ke ranjang?” tanya Suk Maa menawarkan seraya tersenyum di balik cadarnya.

Niao Ping hanya tersenyum getir.

Suk Maa lalu bangkit dan pergi menutup pintu kamar. Setelahnya, Suk Maa pergi ke ranjang dan duduk di pinggirnya. Sementara Niao Ping mulai kembali kuat dengan cepat. Suk Maa dalam jarak aman.

“Mana Zi Wan?” tanya Niao Ping yang sudah bertenaga lagi sambil bangun berdiri.

“Dia menunggu di bawah. Dia tidak mau pulang ke rumahnya,” jawab Suk Maa.

Niao Ping diam sejenak memandangi Suk Maa yang duduk anggun di tepian ranjang. Ditatapi tanpa kata-kata, membuat jantung Suk Maa tersentak tanpa disentuh. Hatinya terasa bahagia, tetapi jantungnya jadi berdebar-debar.

Selama empat tarikan napas keduanya saling pandang.

“Kenapa kau memandangiku seperti itu, Niao Ping?” tanya Suk Maa.

Ditanya seperti itu, Niao Ping hanya tersenyum lebar.

“Apakah kau sedang berpikir mesum denganku karena aku duduk di ranjang?” terka Suk Maa.

“Hahaha…!” tawa Niao Ping agak panjang. Dia memang membayangkan melakukan pergulatan asmara bersama Suk Maa. Lalu tanyanya, “Menurutmu, apa yang terjadi jika aku dan kau tidur bersama di ranjang itu?”

Seketika Suk Maa tersenyum di balik cadarnya. Tidak berapa lama, gadis itu tertawa nyaring.

“Hihihi…!” tawa Suk Maa nyaring sampai-sampai tubuhnya terguncang-guncang.

Dia membayangkan ketika Niao Ping menjadi suaminya, lalu hendak melakukan hubungan suami istri. Niao Ping dalam kondisi tidak berdaya dengan kelelakian yang terkulai tanpa daya tegang.

“Hahaha!” Niao Ping justru mendukung kelucuan di dalam pikiran Suk Maa yang masih seorang gadis perawan.

“Sepertinya kau punya cita-cita kepadaku,” terka Suk Maa dengan tatapan tajam kepada Niao Ping.

“Hanya sekedar membayangkan. Itu hanya mimpi. Aku tidak mau menjadi jahat kepada setiap gadis yang mencintaiku,” kata Niao Ping jujur. Dia sadar bahwa pikiran semacam itu adalah hal buruk baginya.

“Apakah memang sudah banyak gadis yang mencintaimu atau baru sekedar hayalanmu?” tanya Suk Maa.

“Tidak, masih sedikit. Masih bisa dihitung dengan jari tangan,” kata Niao Ping seraya tersenyum lebar. “Ayo kita berangkat!”

Apakah sensasi berkuda di atas ranjang dengan Ti Xue telah meracuni pikiran Niao Ping? Siapakah calon pasangan ranjangnya berikutnya? Ikuti terus kelanjutannya! (by Rudi Hendrik)