Ilustrasi: Lulu Elhasbu, seorang disainer busana Muslim (Foto: ROL) |
Oleh: Rudi Hendrik
2016
Bab Sebelumnya:
Dengan sigap Pak Yudi memutar stir mobil Kijang biru miliknya, berbalik arah di atas jembatan. Sementara ketujuh orang yang diangkutnya tidak berhenti teriak-teriak kepadanya.
“Cepat, Pak! Jangan sampai kehilangan!” teriak Firman, pemuda 18 tahun yang masih berpakaian serba hitam. Ada logo di dada kanan yang berupa bordiran kuning bergambar dua batang tangan yang saling menyilang di atas tulisan putih berbunyi “Tapak Emas”. Firman adalah lelaki paling tegang di dalam mobil itu, menyikapi peristiwa penculikan terhadap seorang gadis di jembatan tadi.
“Kehilangan. Mirip Bang Haji Rhoma aja, kehilangan,” kata Tio, lelaki tertua di antara kedelapan orang itu. Dia lebih tenang. Dia dan Pak Yudi adalah guru silat Tapak Emas.
“Hahaha!”
Yang tertawa oleh kata-kata Guru Tio hanya Barada, gadis cantik berjilbab hitam yang duduk di pojok belakang. Usianya 17 tahun, kelas dua SMK. Ia orang pertama di antara mereka yang menyaksikan insiden penamparan seorang lelaki terhadap pacarnya yang kemudian berlanjut dengan penculikan di atas jembatan. Barada memang seorang gadis yang sangat gampang tertawa. Bahkan ketika yang lain tidak ingin tertawa sedikit pun, ia tidak segan untuk tertawa sendiri.
“Kalau lolos, bisa habis tuh cewek!” kata Firman, tetap bernada tinggi serius.
“Iya, Pak!” timpal Irwan pula, remaja lelaki yang berusia 14 tahun berkulit sawo matang. Orang termuda di antara mereka.
“Sebagai orang yang dibekali ilmu silat, kita harus menjadi yang terdepan dalam membela kebenaran dan menumpas kejahatan. Terlebih-lebih korbannya adalah seorang wanita,” ujar Sugiono, pemuda 21 tahun berbadan kekar dan lebar. Kulitnya putih. Bekas luka sobek di keningnya tidak mengurangi ketampanannya.
“Hahaha!”
Gadis berjilbab bernama Barada kembali tertawa, tapi lebih kencang. Hanya dirinya yang tertawa, sebab selainnya, tidak ada yang tahu apa yang lucu.
“Kenapa sih?” hardik Ria yang duduk di sisi Barada. Gadis berambut lurus sebahu itu kerutkan kening kepada Barada yang setahun lebih muda darinya. “Sedikit-sedikit tertawa, sedikit-sedikit tertawa, tertawa kok pas gak ada yang lucu?”
“Firman, Sugiono dan Irwan cenelnya sama, seleranya pun sama. Coba kalau yang diculik nenek-nenek, saya rasa tidak sesemangat ini. Apa lagi Mas Sugiono, atas nama pembela kebenaran dan keadilan, ayo selamatkan gadis-gadis. Hahaha!” ujar Barada.
“Wah, Badar sembarangan. Kita semua niat ikhlas mau menolong, kebetulan saja ya, kebetulan saja lho, korbannya perempuan!” kilah Firman menegaskan, meskipun ia tahu Barada yang biasa dipanggil Badar itu hanya bercanda.
“Hahaha!” kali ini yang tertawa adalah Pak Yudi, Guru Tio dan Ria.
“Mas Sugiono membidik gadis lain atas nama membela kebenaran dan keadilan,” ucap Ria kepada gadis cantik putih berjilbab yang sejak tadi hanya diam. Ria menggoda gadis itu.
“Ih, apaan, ah!” ucap gadis berjilbab pink merengut, tapi menunduk malu. Ia adalah Nursyamsiah, tunangannya Sugiono.
“Kalau gua, mana mungkin punya niat demikian, gua kan lelaki kecil dan imut,” kilah Irwan yang memang masih remaja.
“Tapi saya yakin, Irwan berharap gadis itu punya adik perempuan,” kata Guru Tio.
“Hahaha!” meledaklah tawa semuanya, termasuk Irwan.
“Pak Yudi, salip, Pak!” seru Firman, karena pengejaran mereka terhadap sebuah mobil Avanza hitam terhalang oleh tiga mobil lainnya di depan.
“Salip gigimu!” rutuk Pak Yudi, karena dari arah yang berlawanan ada truk. “Mau penyok dicium truk?”
“Tenang, Man, tenang. Percayakan semua kepada yang di atas,” kata Guru Tio. “Jangan kamu percayakan kepada Pak Yudi.”
Tiiit! Tit tit tit!
Suara klakson sebuah mobil di depan sana terdengar bising. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Sementara klakson itu terus berbunyi berulang-ulang.
Ternyata, mobil nomor tiga ke depan, terus membunyikan klakson terhadap mobil di depannya, sebuah mobil Avanza hitam yang juga sedang dikejar oleh Pak Yudi. Mobil Carry silver yang dikendarai oleh seorang lelaki itu bergerak maju dan memepet samping kanan mobil Avanza.
“Woi! Berhenti!” teriak pengendara Carry kepada pengendara mobil Avanza yang adalah seorang pemuda botak.
Yang terjadi adalah, pengemudi Carry ternyata melihat juga aksi penculikan yang dilakukan oleh keempat lelaki di dalam mobil Avanza hitam.
Pengemudi botak tidak tinggal diam. Dia banting stir melawan pepetan mobil Carry dan mendorongnya ke tengah jalan dua arah itu. Pengemudi Carry cepat mengerem, sebab dari arah depan ada metro mini yang juga melakukan rem mendadak, sehingga para penumpangnya sebagian terperosok jatuh dari duduknya.
Tiiit...!
Metro mini berklakson panjang.
Sementara Avanza hitam buang arah ke kiri, berbelok ke jalan yang lebih kecil. Adapun mobil Carry tidak bisa mengejar lagi, karena terjebak dan terhalang oleh kendaraan lain.
Kekacauan itu membuat arus kendaraan terhenti sejenak, termasuk mobil Pak Yudi.
“Penculik itu belok!” pekik Barada.
Pak Yudi segera keluar dari aspal dan lewat di pinggiran, tapi mobil itu harus terhenti di pertigaan, karena terhalang tiang rambu jalan.
Terilhami oleh film-film Hollywood, Firman segera buka pintu dan keluar. Dia berlari menghadang seorang wanita muda berjilbab yang mengendarai sepeda cewek yang keranjang depannya berisi beberapa botol jamu.
Penghadangan Firman membuat si gadis hitam manis pembawa jamu itu terkejut takut. Pikirannya langsung menduga Firman adalah orang jahat yang mengincar makhluk lemah.
“Maaf, Mbak. Saya orang baik. Saya sedang mengejar pencuri. Tolong pinjam sepedanya!” kata Firman terburu-buru.
“Tidak mau!” tolak si gadis ketakutan dan tidak percaya.
“Kalau Mbak tidak percaya, nih, pegang hp mahal saya!” kata Firman lalu cepat memberikan hp mahalnya. “Ini darurat!”
Sedikit agak kasar, Firman merampas sepeda itu dan langsung menaikinya.
Dengan semangat membara dan berapi-api, Firman menggoes penuh kebut untuk mengejar mobil Avanza yang sudah cukup jauh. Semangat kepahlawanan 10 November saat itu sedang memenuhi dada Firman. Sementara mobil Pak Yudi masih tertahan di pertigaan.
Demikian tingginya semangat Firman, kecepatan sepedanya bahkan menyalip sepeda motor di depannya yang mengalami masalah ban kempes.
Sebuah sepeda motor melesat lewat di samping Firman, membuat pemuda itu terkejut.
Motor itu dikendarai oleh seorang lelaki tak dikenal, tapi orang yang duduk di belakangnya adalah Sugiono. Pemuda berkulit putih berbadan kekar itu melambaikan tangan kepada Firman yang dilaluinya. Ia menggunakan jasa ojeg pangkalan untuk mengejar mobil Avanza tadi.
“Bodoh!” rutuk Firman, maksudnya memaki dirinya sendiri. “Kenapa gua gak pakai ojeg, malah pakai sepeda cantik? Senyumnya (Sugiono) mengejek banget.”
Meski kalah taktik oleh Sugiono, tapi Firman justeru mempercepat goesannya. Dan sepeda itu pun tetap melesat stabil, karena memang sejak tadi Firman sudah berada dalam performa puncaknya.
“Dada Firman!”
“Oh,” keluh Firman dengan mimik putus asa, saat melihat mobil Kijang Pak Yudi melesat melaluinya. Lebih memilukannya lagi nasib Firman, dari jendela mobil, Barada melambai sambil tertawa. Dan lebih menyakitkannya lagi, mereka yang berada di dalam mobil semua tertawa.
“Aduh, sakit perut saya,” kata Barada yang tertawanya terus berkepanjangan.
large;">
Sementara itu, nun jauh di depan sana.
Tiiit! Tiiit! Tiiit!
Pengemudi botak Avanza menekan klakson panjang-panjang dengan wajah panik dan marah. Masalahnya, sebuah truk sedang berusaha masuk ke sebuah bangunan dengan hati-hati. Sebab, jika buru-buru akan beresiko tersangkut tembok pagar.
Klakson itu membuat lelaki yang mengatur parkir truk jadi berbalik dan melotot ke arah mobil Avanza. Si botak pun terpaksa menghentikan mobilnya, tapi klakson tetap ia mainkan. Saking kesalnya, lelaki tukang parkir memungut batu besar lalu berlagak akan melempar mobil si botak. Ancaman itu membuat si botak terpaksa berhenti memencet klakson dan harus menunggu hingga truk masuk ke dalam.
“Tahan!”
Tiba-tiba seseorang berteriak kepada sopir truk. Orang itu tidak lain adalah Sugiono yang baru sampai dengan tukang ojegnya.
Buru-buru Sugiono turun dan berlari kepada sopir truk.
“Pak, tahan truknya. Orang di mobil itu culik perempuan, jangan dikasih jalan dulu!” kata Sugiono, lalu segera menghampiri si pengatur parkir dan merebut batu besar di tangan lelaki yang sudah emosi kepada pengemudi Avanza.
Sugiono lalu bergerak ke depan mobil Avanza, diperhatikannya ke dalam mobil. Dilihatnya seorang perempuan muda cantik berambut ikal duduk bersender diapit oleh dua pemuda, tapi gadis itu dalam kondisi terpejam matanya.
Tingkah Sugiono itu membuat keempat lelaki dalam mobil Avanza tampak gusar sekaligus panik.
“Keluar!” teriak Sugiono lantang kepada para lelaki di dalam mobil.
“Woi! Lu nyari ribut!” teriak lelaki gondrong yang duduk di samping pengemudi Avanza, tidak kalah galak.
Saat itu juga, mobil Pak Yudi sampai dan berhenti di belakang mobil para penculik. Secara serentak, orang-orang yang ada di dalam mobil Kijang tersebut keluar, termasuk ketiga wanitanya, lalu mendatangi mobil di depannya. Tapi Barada dan Nursyamsiah yang turut keluar, hanya berdiri bersender di mobilnya, menunggu apa yang akan terjadi.
Beg!
Pak Yudi bergerak cepat ke sisi mobil lalu langsung menonjok kaca pintu di sisi lelaki kepala botak. Hal itu sungguh mengejutkan si botak.
“Keluar!” perintah Pak Yudi sambil menggedor-gedor kaca pintu.
Guru Tio juga memukul-mukul kaca pintu belakang sisi kanan yang tertutup. Di sisi kiri mobil para penculik, Irwan dan Ria turut pula memukul-mukul pintu mobil.
“Kalau gak keluar, gua lempar!” teriak Sugiono mengancam.
Jiwa-jiwa muda selaku orang-orang yang berani ambil risiko di bidang kejahatan, keempat pemuda di dalam mobil akhirnya memutuskan keluar setelah ada komando dari si botak.
Bag bik buk!
Namun, baru saja mereka mengeluarkan kepalanya, bogem-bogem matang sudah menghajar mereka, membuat mereka kelabakan dan tersudut, sehingga keempatnya kembali memilih masuk duduk di dalam mobil dengan wajah-wajah marah mengerenyit kesakitan.
Meski keempatnya orang-orang keras yang menyukai keributan, tapi masalahnya orang-orang yang memukul mereka adalah orang-orang yang biasa memukul dalam latihan pencak silat.
“Keluar!” teriak Sugiono lagi sambil tetap mengancamkan batu di tangannya.
“Hajaar!” teriak si botak memberi komando kepada teman-temannya untuk keluar melawan.
Bag bik buk!
Namun sayang, baru saja kepala mereka bergerak keluar, untuk kedua kalinya mereka dihajar telak ramai-ramai, memaksa mereka berempat masuk lagi ke dalam mobil.
Orang-orang itu saling berpandangan sendiri lagi. Beberapa lebam kini menghiasi wajah mereka. Nyali mereka telah ciut setelah dua kali secara massal mereka dipukuli. Mereka tidak menyangka begitu mudahnya mereka dihajar.
Lebih parahnya lagi, sopir truk dan teman-temannya dari dalam bangunan muncul menenteng balok kayu, batangan besi, hingga ada yang membawa sikat closet. Jumlah mereka lebih sepuluh orang dan menunjukkan sikap perlawanan kepada orang-orang di dalam mobil Avanza. Situasi itu kian menguburkan nyali keempat penculik tersebut.
Teet tiit tuuut!
Sementara itu, truk yang ditinggal oleh sopirnya, tetap memalangi jalan, menimbulkan kemacetan di jalan yang tidak terlalu lebar itu.
“Kalian boleh pergi, asal perempuan itu dilepas!” kata Guru Tio kepada si botak, sedikit keras agar suaranya bisa menembus pintu mobil yang tertutup semua.
“Ampun, Bang, ampun!” seru si botak sambil angkat kedua tangannya tanda menyerah.
“Keluar!” teriak Sugiono lagi.
Akhirnya keempat penculik itu sepakat untuk menyerah. Mereka keluar dari mobil dengan tangan diangkat.
“Minggir!” tiba-tiba seorang jagoan muncul bersama sepeda cantiknya.
Dengan tajam ia mengerem, lalu matanya liar mencari musuh.
“Mana? Mana?!” teriaknya.
“Sudah selesai, Pahlawan,” kata Barada tertawa sambil lewat di samping Firman yang datang terlambat.
Barada dan Nursyamsiah mendekat ke mobil Avanza.
“Permisi, giliran Muslimat yang kerja!” teriak Barada kepada rekan-rekan lelakinya. Ia dan Nursyamsiah bermaksud mengevakuasi korban penculikan yang tidak sadarkan diri karena telah dibius.
Sementara keempat penculik disuruh berjongkok di depan mobilnya. Warga sekitar pun kian ramai berkumpul menonton apa yang terjadi. Kemacetan semakin parah di sore hari itu.
“Masya Allah!” pekik Barada terkejut saat melihat gadis yang pingsan di dalam mobil Avanza hitam itu.
“Kenapa, Badar?” tanya Guru Tio.
“Ini teman sekolah saya, Guru Tio,” jawab Barada. “Ayo bantu, Nur!”
Nursyamsiah segera membantu Barada mengeluarkan tubuh gadis yang tidak lain adalah Rina Viona, teman satu sekolah Barada, meski beda kelas. Ria pun turut membantu menggotong tubuh Rina, dibawa masuk ke dalam mobil Kijang Pak Yudi.
Di sisi lain, Guru Tio melakukan komunikasi dengan warga, tampaknya dia mencari seseorang. Dan muncullah seorang lelaki gemuk berpeci putih, dia adalah tokoh di lingkungan itu. Antara Guru Tio dan tokoh warga itu terjadi komunikasi. Setelah itu, Guru Tio pergi kembali ke mobil.
Penumpang Kijang Pak Yudi semuanya kembali ke mobil, tinggal Firman dan Sugiono.
“No, tunggu!” Firman cepan mencekal lengan Sugiono ketika hendak kembali ke mobil.
“Kenapa?” tanya Sugiono kerutkan kening kepada temannya itu.
“Bantu gua balikin sepeda ini. Gua pinjam hp lu, hp gua di cewek yang punya sepeda sebagai jaminan,” jawab Firman.
“Ah, lagian ada-ada aja, ngejar mobil pakai sepeda!” rutuk Sugiono sambil menyerahkan hp miliknya.
Sugiono pun lalu meninggalkan Firman yang punya kewajiban untuk memulangkan sepeda yang dipinjamnya.
Akhirnya, Rina dibawa pergi oleh Barada dan rombongan. Keempat penculik diamankan oleh warga, dipimpin oleh tokoh warga. Termasuk mobil Avanza juga diamankan. Truk yang menutup jalan mulai bergerak masuk ke halaman bangunan untuk parkir. Beberapa orang mengatur kembali lalu lintas.
Firman pun ditinggal sendiri. Meski demikian, ada senyum tercipta di bibirnya. Di atas ubun-ubunnya tercipta ilusi gambaran wajah perempuan hitam manis berjilbab pemilik sepeda.
Firman lalu menelepon nomornya sendiri, karena hp-nya ada di tangan si mbak pemilik sepeda.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Firman penuh kesyahduan saat telepon nun jauh di sana membuka sambungan.
“Wa ‘alaikum salam.”
Mendengar jawaban itu, mendelik Firman. Salamnya dijawab oleh suara anak kecil. (RH)
Berlanjut: Rina Terdampar di Malam Religius (5)
Berlanjut: Rina Terdampar di Malam Religius (5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar