Rina Terdampar di Malam Religius (5)

Ilustrasi. (Foto: Imgrum)
BINTANG TURUN KE LANGIT

2016

Bab Sebelumnya:



Asyhadu allaa ilaaha illallaah...!
Asyhadu allaa ilaaha illallaah...!
Asyhadu anna muhammadarrasuulullaah...!
Asyhadu anna muhammadarrasuulullaah...!

Dua kalimat azan itulah yang pertama terdengar di telinga Rina Viona sehingga membangunkannya dari ketidaksadaran.

Keningnya merengut, karena ada sedikit rasa pusing yang dirasakannya. Namun, ia harus terkejut ketika mendapati warna serba putih saat ia membuka sepasang matanya.

“Di mana ini?” ucap Rina lirih, ada rasa takut di hatinya.

Sejenak ia fokuskan pandangannya. Sementara suara merdu azan terus berkumandang menjadi musik yang menggetarkan perasaannya dan membuatnya merinding. Seolah ia berada di alam lain.

Langit-langit berwarna serba putih, demikian pula dinding ruangan. Di dinding yang ia tatap lurus, ada sebuah jam dinding putih berlingkaran warna perak. Di kanan jam menempel sebuah bingkai putih berkaligrafi tulisan Arab berlafaz “Allah” berwarna perak. Dan di sisi kiri jam ada bingkai serupa, tapi kaligrafinya berbunyi “Muhammad”.

Rina sedikit naikkan kepalanya dan melihat tubuhnya.

“Ak!” pekik Rina terkejut bukan main, ketakutan kian menghinggapi perasaannya.

Soalnya, Rina mendapati dirinya telah terbungkus oleh kain serba putih, termasuk kepalanya, sehingga hanya wajahnya saja yang tampak. Meskipun pada akhirnya ia sadar bahwa kain putih itu adalah mukena. Namun, seingatnya, sudah terlalu lama ia tidak mengenakan pakaian semacam itu dalam hidupnya. Padahal keyakinan turunan yang disandangnya adalah iman Islam.

Rina mulai mengedarkan pandangannya di dalam kamar seluas 6x4 meter persegi itu.

Kini ia terbaring di atas sebuah ranjang besi berkasur dengan seprai warna kuning. Di sisi kepala ranjang tedapat meja belajar yang rendah tanpa kursi. Ada sebuah lemari pakaian yang dilengkapi dengan rak untuk buku-buku. Lampu terang neon menyala di sudut atas kamar, sebagai satu-satunya penerangan.

“Tasku,” batin Rina saat melihat sebuah tas kulit mungil di atas meja belajar pendek yang juga bisa dipakai sebagai meja makan dengan duduk lesehan.

Rina bergerak bangun dan duduk di tepi ranjang. Di singkapnya mukena atasnya. Ternyata ia memakai baju kuning, baju yang terakhir ia pakai. Kesepuluh kuku jari tangannya pun masih berwarna kuning. Sementara itu azan telah selesai.

Tiba-tiba gadis cantik ini menangis tertahan. Air matanya mengalir, wajahnya memerah, dan ia membekap mulutnya sendiri untuk mencoba menahan suara tangisnya.

Perasaan sedih itu muncul setelah Rina mengingat kembali apa yang terakhir dialaminya. Ia telah dibohongi mentah-mentah lalu dicampakkan sedemikian buruknya dipinggir jalan raya. Bahkan sebuah tamparan keras diperolehnya dari pemuda yang telah berulang kali menyakitinya.

Setelah beberapa saat tenggelam dalam kesedihan meratapi kemalangannya, Rina akhirnya berhenti menangis.

Rina kembali memperhatikan seantero ruangan kamar tidur itu.

“Kamar siapa ini?” membatin Rina, lalu ia beranjak melangkah di lantai berkeramik putih usang menuju pintu yang tertutup.

Dibukanya pintu kamar sedikit. Ia mengintip sejenak. Ternyata pintu kamar itu tembus ke ruangan dapur sederhana dengan sebuah rak piring besi yang sarat muatan, peralatan memasak bergantungan di dinding dapur, kompor gas di sudut dapur di sisi bawah, dan ada sebuah meja kayu di sisi yang lain.

Melihat dapur kosong dari orang, Rina kian melongokkan kepalanya untuk melihat lebih luas ke luar.
Astaghfirullah!” jerit seorang lelaki terkejut yang tiba-tiba muncul melintas di depan wajah Rina.

Orang yang melintas itu adalah seorang pemuda yang cukup ganteng berusia 20 tahun. Dia melintas tanpa mengenakan baju dan hanya bercelana pendek hitam. Wajahnya basah oleh air, sepertinya baru berwudu. Wajah asing yang muncul di pintu kamar itu membuatnya terkejut, terlebih-lebih itu wajah perempuan cantik, di saat ia hanya bercelana pendek.

Buru-buru pemuda itu menyambar penggorengan yang menempel di dinding lalu diletakkan di depan bawah perutnya untuk menutupi celananya.

“Kamu siapa?!” tanya pemuda itu agak keras, terbawa oleh keterkejutannya.

Belum lagi Rina menjawab, dari ruangan depan masuk seorang wanita berusia 41 tahun berjilbab cokelat. Wajahnya putih bersih dan sejuk dipandang. Mengenakan longdress biru gelap.

Astaghfirullah,” ucap wanita itu pelan kepada si pemuda. “Tingkah macam apa itu di depan gadis, Gazza?”

“Bukan tingkah orang gila, Ummi. Bagaimana mungkin rumah kita piara bidadari tanpa sepengetahuan saya?” kilah pemuda bernama lengkap Fath Gazza itu kepada wanita yang disebutnya “Ummi” (ibuku).

“Ya sudah, buruan sana, sudah qomat di masjid,” kata ibu yang bernama Latifah, lembut kepada putera sulungnya.

Gazza segera berlari kecil melewati ibunya dengan tetap mempertahankan penggorengan untuk menutupi bawah perutnya.

Dalam hati Rina tertawa melihat tingkah Gazza, terlebih ketika pemuda itu menyebutnya “bidadari”, tapi seribu tanda tanya membuat wajahnya sulit tersenyum. Ia pun tidak kenal dengan ibu berwajah sejuk itu.

“Maafkan anak ibu, Nak Rina. Gazza tidak tahu jika rumahnya kedatangan tamu,” kata Latifah kepada Rina seraya tersenyum penuh keramahan. “Beristirahatlah di kamar, Ibu akan ambilkan sup.”

Dengan wajah yang masih datar, Rina menurut masuk kembali ke dalam kamar. Sementara Latifah segera mengambil mangkuk dan gelas.

Rina mengambil tas mungilnya, tapi hanya dipangkunya duduk di tepi ranjang.

“Jika ini kamar seseorang, kenapa gak ada foto?” membatin Rina.

Rina lalu bergerak ke meja belajar. Ia duduk di atas bantal di atas selembar karpet kecil. Ia mengambil sebuah buku tulis dari tumpukan. Ternyata tertulis sebuah nama di sampul cokelatnya, yaitu nama Barada.

“Barada. Siapa dia? Tapi, anak akuntansi YAKIN,” pikir Rina.

Selain nama pemilik buku, di sampul juga tertulis nama kelas dan nama sekolah, yaitu kelas dua jurusan akuntansi sekolah IP YAKIN, sebuah sekolah swasta di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Namun sayang, Rina tidak pernah tahu bahwa di kelas dua akuntansi ada murid yang bernama Barada.

Rina mencoba mengingat-ingat wajah-wajah murid kelas dua jurusan akuntansi. Dilihat dari sebuah pakaian yang digantung di luar lemari dan model kamar itu, jelas Barada bukanlah seorang lelaki. Maka Rina lebih fokus untuk mengingat wajah-wajah murid perempuan kelas itu. Namun, Rina tidak hapal nama sebagian wajah murid perempuan kelas itu.

Tok tok tok!

Assalamu ‘alaikum!”

Ketokan dari luar pintu kamar terdengar diikuti dengan ucapan salam.

Wa ‘alaikum salam!” jawab Rina lalu bergegas membuka pintu kamar.

Latifah muncul dengan senyum ramahnya dan kedua tangannya membawa nampan yang menadahi semangkuk sup hangat, sepiring nasi dan segelas air, lengkap dengan sendok garpu dan selipat kain serbet. Nasi pun dilengkapi dengan sebulat telur dan sebalok tempe goreng.

Alhamdulillah Ibu masak sup sore ini, jadi masih hangat. Semoga Nak Rina berkenan,” kata Latifah seraya masuk dan meletakkan nampan di meja belajar.

“Maaf, Bu, jadi merepotkan,” ucap Rina dengan senyum yang sedikit. Seketika ia teringat di rumah mewahnya. Jika ia ingin makan, maka ia akan berteriak kepada pembantunya.

“Justeru Ibu sekeluarga sangat senang jika tamu kami merasa nyaman di rumah ini. Karenanya Ibu sekeluarga berusaha memperbuat sesuatu yang mudah-mudahan membuatnya nyaman,” ujar Latifah.

Rina tersenyum mendengar kata-kata Latifah yang menurutnya sikap sebuah keluarga yang unik dan luar biasa.

“Ba... Barada di mana, Bu?”

Rina agak canggung menyebut nama Barada, karena memang nama itu asing dan baru ia tahu semenit yang lalu.

“Salat di masjid,” jawab Latifah seraya tetap tersenyum ramah.

Senyuman itu sejuk bagi Rina, sebab sudah cukup lama ia tidak menerima senyum dari ibunya.

“Perlu Ibu temani?” tanya Latifah.

“Ah, eee tidak usah, Bu!” tolak Rina cepat seraya tersenyum.

“Jika Nak Rina perlu sesuatu, Ibu ada di dapur, panggil saja,” kata Latifah.

“Iya, Bu.”

Latifah lalu ke luar meninggalkan Rina sendirian di kamar.

Sejenak Rina menepis kecamuk pikirannya dan fokus kepada hidangan malam yang telah siap. Ketika berjalan-jalan di mall bersama teman-teman satu gengnya hingga ia dicampakkan dengan sangat buruk di jembatan, ia belum makan.

“Emm!” dengung Rina tanpa membuka mulutnya ketika merasakan segar dan lezatnya suapan pertama sup campur bakso yang dihidangkan. Selanjutnya, Rina benar-benar menikmati makan malamnya.

Tok tok tok!

Assalamu ‘alaikum!”

Seiring bersihnya piring dan mangkuk sup Rina, serta ditegukhabisnya air putih di gelas, ketukan dipintu yang diiringi salam terdengar. Kali ini dari suara yang berbeda, bukan suara Latifah. Suara ini agak serak.

Wa ‘alaikum salam!” jawab Rina lalu bergegas membuka pintu.

Setelah pintu dibuka, maka tampaklah seorang gadis cantik bermukena putih lengkap. Meski kulitnya tidak seputih kulit Rina, tapi wajah manis itu berseri. Senyumnya begitu manis, karena ia memiliki dua lesung pipi yang langka ketika ia tersenyum. Melihat wajah itu, barulah Rina ingat siapa siswi yang bernama Barada itu.

Rina hanya kenal wajah tapi tidak kenal nama selama ini. Lagi pula, siswi di depannya ini tidak akan pernah bergaul dengan dirinya atau teman-teman selevelnya di sekolah. Baginya, Barada adalah siswi yang sedikit pun tidak menarik perhatiannya.

“Hai!” sapa Barada lalu membungkuk seperti orang Jepang.

“Hai,” balas Rina canggung. Ia pun ingat pernah melihat seorang siswi berjilbab di sekolah melakukan gerakan membungkuk sambil mengucapkan terima kasih kepada seorang guru, tapi waktu itu ia tidak kenal siapa nama siswi itu.

Barada lalu mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. Rina pun menyalaminya.

“Kamu sudah makan?” tanya Barada.

“Sudah,” jawab Rina masih agak canggung. Dalam hati dia membatin, “Kamu? Dia menyebut ‘kamu’, bukan ‘elu’. Memangnya cewek ini Duta Bahasa Indonesia?”

“Ummi menunggu kamu untuk salat Isya berjamaah di ruang tengah,” kata Barada.

Sejenak Rina terdiam. Hatinya terkejut karena ia diajak salat. Rina juga dapat mengerti siapa orang yang disebut “Ummi” oleh Barada, karena tadi pemuda bernama Gazza juga menyebut “Ummi” kepada Latifah.

“Iya,” jawab Rina.

“Kamu sudah wudu?” tanya  Barada.

“Belum.”

“Kamu bisa wudu di kamar mandi, Rin. Itu pintunya!” kata Barada sambil menunjuk pintu kamar mandi yang berwarna merah gelap.

“Iya,” ucap Rina mengerti.

Dalam pakaian tetap bermukena, Rina beranjak ke kamar mandi. Sementara Barada masuk ke kamar untuk membereskan piring gelas yang usai dipakai Rina.

Meski sudah lama tidak pernah kenal dengan salat, tapi Rina tidak lupa dengan praktek wudu.

“Jika Geng Bintang Tujuh tahu gua diajak salat, anak-anak pasti heboh dan neriakin gua,” pikir Rina. “Tapi, kenapa gua ada di sini, ya? Apa gua diculik sama misionaris Muslim?”

Usai berwudu, Rina mengenakan kembali atasan mukenanya setelah ia sempat lepas. Setelah rapi seperti semula, ia pun membuka pintu kamar mandi.

Pandangan Rina langsung tertumpu pada wajah seorang pemuda yang tidak lain adalah Gazza. Kali ini pemuda itu terlihat lebih tampan untuk mengejutkan Rina.

Gazza berdiri tepat di depan pintu kamar mandi dengan pakaian lengkap untuk salat. Kopiah putihnya benar-benar menunjukkan nilai religius yang tinggi.

Gazza yang sebenarnya terkejut juga, terdiam untuk beberapa saat. Selain terkejut karena salah sangka, ia juga terpukau dengan kecantikan yang keluar dari balik pintu kamar mandi.

Subhanallah, dia lebih cantik dari sebelumnya,” membatin Gazza tanpa berkedip.

“Abang, nanti zina mata, lho!” seru Barada dari pintu kamar setelah menangkap basah keterdiaman keduanya.

Teguran Barada itu membuat Gazza gelagapan salah tingkah. Sambil tertawa kuda ia berkata kepada Rina, “Maaf, saya kira yang di dalam tadi Badar, hehehe!”

Rina hanya tersenyum malu juga.

“Permisi!” ucap Rina izin lewat, karena Gazza menghalangi jalannya.

Gazza yang mengenakan sarung kotak-kotak biru itu segera menepi, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi, sepertinya dia sejak tadi menahan air seninya.

“Hahaha!” tertawalah Barada melihat apa yang dialami oleh kakaknya.

Sementara itu, Rina baru teringat. Memang di sekolah, selama ini ia beberapa kali pernah mendengar teman-temannya menyebut nama “Badar”, sebagaimana sebutan Gazza untuk adiknya Barada.

“Oh, jadi nama aslinya Barada, tapi panggilannya Badar,” pikir Rina.

“Yuk!” ajak Barada yang juga masih bermukena putih lengkap.

Di ruang tengah, Latifah, ibu Barada sudah menunggu dengan bermukena putih lengkap. Di depannya terhampar beberapa sajadah. Kedatangan keduanya membuat Latifah segera berdiri, siap melaksanakan salat.

Barada lalu mengambil posisi di sisi kanan ibunya, kaki dan bahunya ditempelkan kepada kaki dan bahu kanan ibunya. Rina ikut berdiri sejajar di sisi kanan Barada.

“Rin, kamu di sisi kiri Ummi. Tempelkan kaki dan bahu kepada Ummi,” kata Barada menuntun.

Rina pun segera bergerak dan berdiri menempel di sisi kiri Latifah.

Allahuakbar Allahuakbar....”

Barada lalu membaca iqomah, panggilan untuk mulai melaksanakan salat.

Latifah bertindak sebagai imam. Saf mereka lurus satu garis.

Latifah mulai membaca Al-Quran Surat Al-Fatihah. Bacaannya terdengar oleh Barada dan Rina selaku makmum, tapi tidak keras.

Lantunan Al-Quran Latifah merdu dan memberikan ketenangan bagi yang mendengarnya. Meski Rina tidak mengerti akan arti dari ayat-ayat Al-Quran yang dibaca, tapi bacaan itu sangat mempengaruhi pikiran dan perasaannya saat itu. Pikirannya terbang melayang berkecamuk hebat.

“Mengapa aku berdiri di sini? Untuk apa? Bukankah selama ini aku tidak perlu melakukan ini? Hingga sekarang aku baik-baik saja meski tidak pernah melakukan ini. Kenapa tidak aku tolak saja ajakan salat ini?”

Berbagai pertanyaan datang di kepala Rina. Meski tubuhnya bergerak mengikuti irama gerakan imam salat, tapi pikirannya berlari jauh.

“Aku bersujud kepada siapa ini? Kepada Tuhan?” pertanyaan itu yang muncul ketika sujud pertama ia lakukan. “Aku tidak pernah memikirkan Tuhan, kenapa aku bersujud saat ini?”

Deg!

Namun, ketika ia bangun dari sujud pertama, satu perasaan aneh tiba-tiba menghantam jantungnya, yang berlanjut pada rasa kenyamanan, rasa ketenangan yang berangsur datang.

Di sujud kedua, Rina merasakan ketenggelaman dalam kegelapan. Secara cepat memori pelajaran agama yang tidak disukainya di sekolah tiba-tiba teringat jelas di benaknya. Tentang sifat-sifat kebesaran Allah Yang Maha Pencipta, bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya dan Dia berkuasa atas segala apa yang Dia ciptakan.

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Entah kenapa, tiba-tiba kalimat dari guru agama Pak Mukhtar Abdulghani teringat jelas di saat sujud itu. Sehingga, meski Rina merasakan terjun ke dalam kegelapan, tapi ia juga merasakan lebih dekat terhadap sesuatu, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

Allaahuakbar!” takbir Latifah bangkit berdiri dari sujud.

Rakaat kedua pun berlangsung. Rina dan Barada terus mengikuti.

“Mengapa serasa ringan perasaan gua?” tanya batin Rina yang merasakan seperti bangun dengan meninggalkan jubah beban permasalahan tetap di tanah. Ada rasa “plong” di dirinya, tapi tiba-tiba gambaran berbagai macam dari perbuatan buruknya selama hidup berdatangan di benaknya.

Bayangan ketika ia marah-marah kepada kedua orang tuanya, bayangan ketika ia memaki-maki pembantunya dan bahkan pernah melempar buku ke wajah pembantunya, bayangan ketika ia pernah berani bertengkar dengan guru perempuannya, bayangan ketika ia memimpin keenam anggota gengnya mengintimidasi siswi lain, bayangan ketika ia mabuk-mabukan di beberapa kesempatan, bayangan ketika dengan kejamnya ia menabrak pacar mantan kekasihnya, bayangan ketika ia bertengkar hebat di jembatan hingga ia ditampar keras, dan bayangan-bayangan keburukan lainnya.

“Hik!”


Tiba-tiba terdengar suara tangis tertahan dari diri Rina. Perasaannya tidak kuat lagi menahan kesedihan yang muncul dari bayangan keburukan yang memenuhi hidupnya, sehingga sulit mencari kapan ia berbuat baik. Tubuhnya berguncang hebat. Suara sesegukannya terdengar jelas. Namun, Latifah terus memimpin salat itu. (RH) 

Berlanjut: Jangan Cerita Kepada Siapa-siapa (6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar