Ilustrasi. (Foto: Imgrum) |
Oleh: Rudi Hendrik
2016
Bab Sebelumnya:
Asyhadu allaa ilaaha illallaah...!
Asyhadu allaa ilaaha illallaah...!
Asyhadu anna muhammadarrasuulullaah...!
Asyhadu anna muhammadarrasuulullaah...!
Dua kalimat azan itulah yang
pertama terdengar di telinga Rina Viona sehingga membangunkannya dari
ketidaksadaran.
Keningnya merengut, karena ada
sedikit rasa pusing yang dirasakannya. Namun, ia harus terkejut ketika
mendapati warna serba putih saat ia membuka sepasang matanya.
“Di mana ini?” ucap Rina lirih,
ada rasa takut di hatinya.
Sejenak ia fokuskan pandangannya.
Sementara suara merdu azan terus berkumandang menjadi musik yang menggetarkan
perasaannya dan membuatnya merinding. Seolah ia berada di alam lain.
Langit-langit berwarna serba
putih, demikian pula dinding ruangan. Di dinding yang ia tatap lurus, ada
sebuah jam dinding putih berlingkaran warna perak. Di kanan jam menempel sebuah
bingkai putih berkaligrafi tulisan Arab berlafaz “Allah” berwarna perak. Dan di
sisi kiri jam ada bingkai serupa, tapi kaligrafinya berbunyi “Muhammad”.
Rina sedikit naikkan kepalanya
dan melihat tubuhnya.
“Ak!” pekik Rina terkejut bukan
main, ketakutan kian menghinggapi perasaannya.
Soalnya, Rina mendapati dirinya
telah terbungkus oleh kain serba putih, termasuk kepalanya, sehingga hanya
wajahnya saja yang tampak. Meskipun pada akhirnya ia sadar bahwa kain putih itu
adalah mukena. Namun, seingatnya, sudah terlalu lama ia tidak mengenakan
pakaian semacam itu dalam hidupnya. Padahal keyakinan turunan yang disandangnya
adalah iman Islam.
Rina mulai mengedarkan
pandangannya di dalam kamar seluas 6x4 meter persegi itu.
Kini ia terbaring di atas sebuah
ranjang besi berkasur dengan seprai warna kuning. Di sisi kepala ranjang
tedapat meja belajar yang rendah tanpa kursi. Ada sebuah lemari pakaian yang
dilengkapi dengan rak untuk buku-buku. Lampu terang neon menyala di sudut atas
kamar, sebagai satu-satunya penerangan.
“Tasku,” batin Rina saat melihat
sebuah tas kulit mungil di atas meja belajar pendek yang juga bisa dipakai
sebagai meja makan dengan duduk lesehan.
Rina bergerak bangun dan duduk di
tepi ranjang. Di singkapnya mukena atasnya. Ternyata ia memakai baju kuning,
baju yang terakhir ia pakai. Kesepuluh kuku jari tangannya pun masih berwarna
kuning. Sementara itu azan telah selesai.
Tiba-tiba gadis cantik ini
menangis tertahan. Air matanya mengalir, wajahnya memerah, dan ia membekap
mulutnya sendiri untuk mencoba menahan suara tangisnya.
Perasaan sedih itu muncul setelah
Rina mengingat kembali apa yang terakhir dialaminya. Ia telah dibohongi
mentah-mentah lalu dicampakkan sedemikian buruknya dipinggir jalan raya. Bahkan
sebuah tamparan keras diperolehnya dari pemuda yang telah berulang kali
menyakitinya.
Setelah beberapa saat tenggelam
dalam kesedihan meratapi kemalangannya, Rina akhirnya berhenti menangis.
Rina kembali memperhatikan
seantero ruangan kamar tidur itu.
“Kamar siapa ini?” membatin Rina,
lalu ia beranjak melangkah di lantai berkeramik putih usang menuju pintu yang
tertutup.
Dibukanya pintu kamar sedikit. Ia
mengintip sejenak. Ternyata pintu kamar itu tembus ke ruangan dapur sederhana
dengan sebuah rak piring besi yang sarat muatan, peralatan memasak bergantungan
di dinding dapur, kompor gas di sudut dapur di sisi bawah, dan ada sebuah meja
kayu di sisi yang lain.
Melihat dapur kosong dari orang,
Rina kian melongokkan kepalanya untuk melihat lebih luas ke luar.
“Astaghfirullah!” jerit seorang lelaki terkejut yang tiba-tiba
muncul melintas di depan wajah Rina.
Orang yang melintas itu adalah
seorang pemuda yang cukup ganteng berusia 20 tahun. Dia melintas tanpa
mengenakan baju dan hanya bercelana pendek hitam. Wajahnya basah oleh air,
sepertinya baru berwudu. Wajah asing yang muncul di pintu kamar itu membuatnya
terkejut, terlebih-lebih itu wajah perempuan cantik, di saat ia hanya bercelana
pendek.
Buru-buru pemuda itu menyambar
penggorengan yang menempel di dinding lalu diletakkan di depan bawah perutnya
untuk menutupi celananya.
“Kamu siapa?!” tanya pemuda itu
agak keras, terbawa oleh keterkejutannya.
Belum lagi Rina menjawab, dari ruangan
depan masuk seorang wanita berusia 41 tahun berjilbab cokelat. Wajahnya putih
bersih dan sejuk dipandang. Mengenakan longdress
biru gelap.
“Astaghfirullah,” ucap wanita itu pelan kepada si pemuda. “Tingkah
macam apa itu di depan gadis, Gazza?”
“Bukan tingkah orang gila, Ummi.
Bagaimana mungkin rumah kita piara bidadari tanpa sepengetahuan saya?” kilah
pemuda bernama lengkap Fath Gazza itu kepada wanita yang disebutnya “Ummi” (ibuku).
“Ya sudah, buruan sana, sudah
qomat di masjid,” kata ibu yang bernama Latifah, lembut kepada putera
sulungnya.
Gazza segera berlari kecil
melewati ibunya dengan tetap mempertahankan penggorengan untuk menutupi bawah
perutnya.
Dalam hati Rina tertawa melihat
tingkah Gazza, terlebih ketika pemuda itu menyebutnya “bidadari”, tapi seribu
tanda tanya membuat wajahnya sulit tersenyum. Ia pun tidak kenal dengan ibu
berwajah sejuk itu.
“Maafkan anak ibu, Nak Rina.
Gazza tidak tahu jika rumahnya kedatangan tamu,” kata Latifah kepada Rina
seraya tersenyum penuh keramahan. “Beristirahatlah di kamar, Ibu akan ambilkan
sup.”
Dengan wajah yang masih datar,
Rina menurut masuk kembali ke dalam kamar. Sementara Latifah segera mengambil
mangkuk dan gelas.
Rina mengambil tas mungilnya,
tapi hanya dipangkunya duduk di tepi ranjang.
“Jika ini kamar seseorang, kenapa
gak ada foto?” membatin Rina.
Rina lalu bergerak ke meja
belajar. Ia duduk di atas bantal di atas selembar karpet kecil. Ia mengambil
sebuah buku tulis dari tumpukan. Ternyata tertulis sebuah nama di sampul
cokelatnya, yaitu nama Barada.
“Barada. Siapa dia? Tapi, anak
akuntansi YAKIN,” pikir Rina.
Selain nama pemilik buku, di
sampul juga tertulis nama kelas dan nama sekolah, yaitu kelas dua jurusan
akuntansi sekolah IP YAKIN, sebuah sekolah swasta di daerah Cengkareng, Jakarta
Barat. Namun sayang, Rina tidak pernah tahu bahwa di kelas dua akuntansi ada
murid yang bernama Barada.
Rina mencoba mengingat-ingat
wajah-wajah murid kelas dua jurusan akuntansi. Dilihat dari sebuah pakaian yang
digantung di luar lemari dan model kamar itu, jelas Barada bukanlah seorang
lelaki. Maka Rina lebih fokus untuk mengingat wajah-wajah murid perempuan kelas
itu. Namun, Rina tidak hapal nama sebagian wajah murid perempuan kelas itu.
Tok tok tok!
“Assalamu ‘alaikum!”
Ketokan dari luar pintu kamar
terdengar diikuti dengan ucapan salam.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab Rina lalu bergegas membuka pintu kamar.
Latifah muncul dengan senyum
ramahnya dan kedua tangannya membawa nampan yang menadahi semangkuk sup hangat,
sepiring nasi dan segelas air, lengkap dengan sendok garpu dan selipat kain
serbet. Nasi pun dilengkapi dengan sebulat telur dan sebalok tempe goreng.
“Alhamdulillah Ibu masak sup sore ini, jadi masih hangat. Semoga Nak
Rina berkenan,” kata Latifah seraya masuk dan meletakkan nampan di meja
belajar.
“Maaf, Bu, jadi merepotkan,” ucap
Rina dengan senyum yang sedikit. Seketika ia teringat di rumah mewahnya. Jika
ia ingin makan, maka ia akan berteriak kepada pembantunya.
“Justeru Ibu sekeluarga sangat
senang jika tamu kami merasa nyaman di rumah ini. Karenanya Ibu sekeluarga
berusaha memperbuat sesuatu yang mudah-mudahan membuatnya nyaman,” ujar
Latifah.
Rina tersenyum mendengar
kata-kata Latifah yang menurutnya sikap sebuah keluarga yang unik dan luar
biasa.
“Ba... Barada di mana, Bu?”
Rina agak canggung menyebut nama
Barada, karena memang nama itu asing dan baru ia tahu semenit yang lalu.
“Salat di masjid,” jawab Latifah
seraya tetap tersenyum ramah.
Senyuman itu sejuk bagi Rina,
sebab sudah cukup lama ia tidak menerima senyum dari ibunya.
“Perlu Ibu temani?” tanya
Latifah.
“Ah, eee tidak usah, Bu!” tolak
Rina cepat seraya tersenyum.
“Jika Nak Rina perlu sesuatu, Ibu
ada di dapur, panggil saja,” kata Latifah.
“Iya, Bu.”
Latifah lalu ke luar meninggalkan
Rina sendirian di kamar.
Sejenak Rina menepis kecamuk
pikirannya dan fokus kepada hidangan malam yang telah siap. Ketika
berjalan-jalan di mall bersama teman-teman satu gengnya hingga ia dicampakkan
dengan sangat buruk di jembatan, ia belum makan.
“Emm!” dengung Rina tanpa membuka
mulutnya ketika merasakan segar dan lezatnya suapan pertama sup campur bakso
yang dihidangkan. Selanjutnya, Rina benar-benar menikmati makan malamnya.
Tok tok tok!
“Assalamu ‘alaikum!”
Seiring bersihnya piring dan mangkuk
sup Rina, serta ditegukhabisnya air putih di gelas, ketukan dipintu yang
diiringi salam terdengar. Kali ini dari suara yang berbeda, bukan suara
Latifah. Suara ini agak serak.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab Rina lalu bergegas membuka pintu.
Setelah pintu dibuka, maka
tampaklah seorang gadis cantik bermukena putih lengkap. Meski kulitnya tidak
seputih kulit Rina, tapi wajah manis itu berseri. Senyumnya begitu manis,
karena ia memiliki dua lesung pipi yang langka ketika ia tersenyum. Melihat
wajah itu, barulah Rina ingat siapa siswi yang bernama Barada itu.
Rina hanya kenal wajah tapi tidak
kenal nama selama ini. Lagi pula, siswi di depannya ini tidak akan pernah
bergaul dengan dirinya atau teman-teman selevelnya di sekolah. Baginya, Barada
adalah siswi yang sedikit pun tidak menarik perhatiannya.
“Hai!” sapa Barada lalu
membungkuk seperti orang Jepang.
“Hai,” balas Rina canggung. Ia
pun ingat pernah melihat seorang siswi berjilbab di sekolah melakukan gerakan
membungkuk sambil mengucapkan terima kasih kepada seorang guru, tapi waktu itu
ia tidak kenal siapa nama siswi itu.
Barada lalu mengulurkan tangan
kanannya untuk bersalaman. Rina pun menyalaminya.
“Kamu sudah makan?” tanya Barada.
“Sudah,” jawab Rina masih agak
canggung. Dalam hati dia membatin, “Kamu? Dia menyebut ‘kamu’, bukan ‘elu’.
Memangnya cewek ini Duta Bahasa Indonesia?”
“Ummi menunggu kamu untuk salat
Isya berjamaah di ruang tengah,” kata Barada.
Sejenak Rina terdiam. Hatinya
terkejut karena ia diajak salat. Rina juga dapat mengerti siapa orang yang
disebut “Ummi” oleh Barada, karena tadi pemuda bernama Gazza juga menyebut
“Ummi” kepada Latifah.
“Iya,” jawab Rina.
“Kamu sudah wudu?” tanya Barada.
“Belum.”
“Kamu bisa wudu di kamar mandi,
Rin. Itu pintunya!” kata Barada sambil menunjuk pintu kamar mandi yang berwarna
merah gelap.
“Iya,” ucap Rina mengerti.
Dalam pakaian tetap bermukena,
Rina beranjak ke kamar mandi. Sementara Barada masuk ke kamar untuk membereskan
piring gelas yang usai dipakai Rina.
Meski sudah lama tidak pernah
kenal dengan salat, tapi Rina tidak lupa dengan praktek wudu.
“Jika Geng Bintang Tujuh tahu gua
diajak salat, anak-anak pasti heboh dan neriakin gua,” pikir Rina. “Tapi,
kenapa gua ada di sini, ya? Apa gua diculik sama misionaris Muslim?”
Usai berwudu, Rina mengenakan
kembali atasan mukenanya setelah ia sempat lepas. Setelah rapi seperti semula,
ia pun membuka pintu kamar mandi.
Pandangan Rina langsung tertumpu
pada wajah seorang pemuda yang tidak lain adalah Gazza. Kali ini pemuda itu
terlihat lebih tampan untuk mengejutkan Rina.
Gazza berdiri tepat di depan
pintu kamar mandi dengan pakaian lengkap untuk salat. Kopiah putihnya
benar-benar menunjukkan nilai religius yang tinggi.
Gazza yang sebenarnya terkejut
juga, terdiam untuk beberapa saat. Selain terkejut karena salah sangka, ia juga
terpukau dengan kecantikan yang keluar dari balik pintu kamar mandi.
“Subhanallah, dia lebih cantik dari sebelumnya,” membatin Gazza
tanpa berkedip.
“Abang, nanti zina mata, lho!”
seru Barada dari pintu kamar setelah menangkap basah keterdiaman keduanya.
Teguran Barada itu membuat Gazza
gelagapan salah tingkah. Sambil tertawa kuda ia berkata kepada Rina, “Maaf,
saya kira yang di dalam tadi Badar, hehehe!”
Rina hanya tersenyum malu juga.
“Permisi!” ucap Rina izin lewat,
karena Gazza menghalangi jalannya.
Gazza yang mengenakan sarung
kotak-kotak biru itu segera menepi, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi,
sepertinya dia sejak tadi menahan air seninya.
“Hahaha!” tertawalah Barada
melihat apa yang dialami oleh kakaknya.
Sementara itu, Rina baru teringat.
Memang di sekolah, selama ini ia beberapa kali pernah mendengar teman-temannya
menyebut nama “Badar”, sebagaimana sebutan Gazza untuk adiknya Barada.
“Oh, jadi nama aslinya Barada,
tapi panggilannya Badar,” pikir Rina.
“Yuk!” ajak Barada yang juga
masih bermukena putih lengkap.
Di ruang tengah, Latifah, ibu
Barada sudah menunggu dengan bermukena putih lengkap. Di depannya terhampar
beberapa sajadah. Kedatangan keduanya membuat Latifah segera berdiri, siap
melaksanakan salat.
Barada lalu mengambil posisi di
sisi kanan ibunya, kaki dan bahunya ditempelkan kepada kaki dan bahu kanan
ibunya. Rina ikut berdiri sejajar di sisi kanan Barada.
“Rin, kamu di sisi kiri Ummi.
Tempelkan kaki dan bahu kepada Ummi,” kata Barada menuntun.
Rina pun segera bergerak dan
berdiri menempel di sisi kiri Latifah.
“Allahuakbar Allahuakbar....”
Barada lalu membaca iqomah,
panggilan untuk mulai melaksanakan salat.
Latifah bertindak sebagai imam.
Saf mereka lurus satu garis.
Latifah mulai membaca Al-Quran
Surat Al-Fatihah. Bacaannya terdengar oleh Barada dan Rina selaku makmum, tapi
tidak keras.
Lantunan Al-Quran Latifah merdu
dan memberikan ketenangan bagi yang mendengarnya. Meski Rina tidak mengerti
akan arti dari ayat-ayat Al-Quran yang dibaca, tapi bacaan itu sangat mempengaruhi
pikiran dan perasaannya saat itu. Pikirannya terbang melayang berkecamuk hebat.
“Mengapa aku berdiri di sini?
Untuk apa? Bukankah selama ini aku tidak perlu melakukan ini? Hingga sekarang
aku baik-baik saja meski tidak pernah melakukan ini. Kenapa tidak aku tolak
saja ajakan salat ini?”
Berbagai pertanyaan datang di
kepala Rina. Meski tubuhnya bergerak mengikuti irama gerakan imam salat, tapi
pikirannya berlari jauh.
“Aku bersujud kepada siapa ini?
Kepada Tuhan?” pertanyaan itu yang muncul ketika sujud pertama ia lakukan. “Aku
tidak pernah memikirkan Tuhan, kenapa aku bersujud saat ini?”
Deg!
Namun, ketika ia bangun dari
sujud pertama, satu perasaan aneh tiba-tiba menghantam jantungnya, yang
berlanjut pada rasa kenyamanan, rasa ketenangan yang berangsur datang.
Di sujud kedua, Rina merasakan
ketenggelaman dalam kegelapan. Secara cepat memori pelajaran agama yang tidak
disukainya di sekolah tiba-tiba teringat jelas di benaknya. Tentang sifat-sifat
kebesaran Allah Yang Maha Pencipta, bahwa semua yang ada di alam semesta ini
adalah ciptaan-Nya dan Dia berkuasa atas segala apa yang Dia ciptakan.
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Entah kenapa, tiba-tiba kalimat
dari guru agama Pak Mukhtar Abdulghani teringat jelas di saat sujud itu.
Sehingga, meski Rina merasakan terjun ke dalam kegelapan, tapi ia juga
merasakan lebih dekat terhadap sesuatu, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
“Allaahuakbar!” takbir Latifah bangkit berdiri dari sujud.
Rakaat kedua pun berlangsung. Rina
dan Barada terus mengikuti.
“Mengapa serasa ringan perasaan
gua?” tanya batin Rina yang merasakan seperti bangun dengan meninggalkan jubah
beban permasalahan tetap di tanah. Ada rasa “plong” di dirinya, tapi tiba-tiba
gambaran berbagai macam dari perbuatan buruknya selama hidup berdatangan di
benaknya.
Bayangan ketika ia marah-marah
kepada kedua orang tuanya, bayangan ketika ia memaki-maki pembantunya dan
bahkan pernah melempar buku ke wajah pembantunya, bayangan ketika ia pernah
berani bertengkar dengan guru perempuannya, bayangan ketika ia memimpin keenam
anggota gengnya mengintimidasi siswi lain, bayangan ketika ia mabuk-mabukan di
beberapa kesempatan, bayangan ketika dengan kejamnya ia menabrak pacar mantan
kekasihnya, bayangan ketika ia bertengkar hebat di jembatan hingga ia ditampar
keras, dan bayangan-bayangan keburukan lainnya.
“Hik!”
Tiba-tiba terdengar suara tangis
tertahan dari diri Rina. Perasaannya tidak kuat lagi menahan kesedihan yang
muncul dari bayangan keburukan yang memenuhi hidupnya, sehingga sulit mencari
kapan ia berbuat baik. Tubuhnya berguncang hebat. Suara sesegukannya terdengar
jelas. Namun, Latifah terus memimpin salat itu. (RH)
Berlanjut: Jangan Cerita Kepada Siapa-siapa (6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar