Kesumat Cinta di Atas Jembatan (3)

Ilustrasi

BINTANG TURUN KE LANGIT

2016

Bab Sebelumnya:



Sebelumnya di hari Minggu.

Sedan hijau muda dan Avanza merah maroon bergerak keluar meninggalkan area perbelanjaan mall Daan Mogot. Sedan hijau dikemudikan oleh Indah Pertiwi (Iwi). Di sebelahnya adalah gadis cantik berambut ikal indah berbaju kuning. Rok hitam selututnya memiliki belahan yang cukup panjang ke atas di sisi kiri saja. Kuku-kuku jari tangan cantiknya dicat kuning. Di pangkuannya ada tas kulit mungil berwarna kuning. Gadis cantik bergincu merah itu adalah Rina Viona (Rina).

Sementara mobil Avanza disetiri oleh Novi Andria (Ofi). Disampingnya duduk si tomboy Ristana (Iis). Di kursi belakang, duduk Duo K, yaitu Windi Anggita (Windi) dan Ade Irma (Adel).

Keenam gadis yang masih berusia di bawah 20 tahun itu adalah kelompok geng perempuan sekolah SMK IP YAKIN Cengkareng, Jakarta Barat, yaitu Geng Bintang Tujuh. Mereka diketuai oleh Rina Viona. Seorang anggotanya yang bernama Iyut Nirmala (Ala), tidak bisa ikut di sore itu karena satu alasan yang darurat.

Biasanya Rina membawa mobil sendiri, tetapi kali ini ia ada janji dengan pacarnya.

Suasana di dalam mobil merah maroon begitu ramai oleh “obrasan” Duo K yang selalu riuh dan heboh di mana pun dan kapan pun keduanya bersama. Berbeda dengan suasana antara Indah dan Rina.

“Lu yakin, Rin?” tanya Indah tanpa menoleh kepada Rina.

“Sebenarnya gua juga masih cinta,” jawab Rina. “Ngapain coba? Gua capek-capek turun tangan sampai pelacur itu masuk rumah sakit, kalau bukan buat ngedapatin Roy lagi.”

“Tapi hati kecil gua ngerasa ada yang ganjel sama permintaan Roy buat balikan sama lu,” ujar Indah.
Tiba-tiba terdengar irama musik tunggal harmonika. Rina segera meraih hp-nya yang berbunyi panggilan masuk dan menempelkannnya ke telinga kanan.

“Ya, Roy?” tanya Rina.

Indah sementara hanya mendengarkan sambil tetap fokus mengemudi.

Rina segera memandang ke kaca spion samping kiri. Selain ia melihat mobil milik Novi di belakang, terlihat pula sebuah motor mengikuti.

“Oke,” ucap Rina lalu menutup hubungan teleponnya. Lalu katanya kepada Indah, “Roy ada di belakang. Gua turun di sini.”

Maka Indah pun menepikan mobilnya dan berhenti. Avanza merah ikut berhenti di belakang.
“Kalau ada apa-apa telepon gua, Rin,” pesan Indah.

“Iya, sayang,” ucap Rina sambil mencubit pipi Indah yang hanya memberi senyum kecut.
Rina lalu keluar dari mobil.

“Daaa!” ucap Rina mendadakan tangan kepada Indah lalu beralih kepada mobil satunya, pamit kepada yang lain. “Gua duluan, ya!”

“Hati-hati!” pesan Novi.

“Rin, jangan lupa sisain buat gua, ya. Hahaha!” sahut Windi lalu tertawa ngakak bersama Ade Irma.

“Lu kira apaan!” kata Rina tersenyum lalu berjalan pergi meninggalkan mereka dan mendatangi sebuah motor gede merah yang menunggu di belakang.

Motor 250 cc itu ditunggangi oleh seorang pemuda berjaket merah bercelana jeans hitam. Ia membuka helm merahnya ketika Rina datang. Maka tampaklah wajah ganteng putih berhidung mancung beralis tebal. Rambutnya model botum. Usianya lebih tua tiga tahun dari Rina yang 17 tahun. Dia adalah Rio Anggoro, biasa dipanggil Roy.

“Hai!” sapa Rio dengan senyum lebar yang menyejukkan hati Rina.

“Hai!” balas Rina sedikit kikuk. Maklum, sudah tiga bulan lamanya keduanya tidak pernah bertemu. Komunikasi lewat telepon pun baru sejak dua hari yang lalu.

Sementara itu, dua mobil di depan sudah bergerak pergi meninggalkan mereka berdua.

“Pengen rasanya langsung gua peluk, gua cium. Tapi gua harus jaga image di mata Roy,” membatin Rina di balik senyum manisnya.

Rio mengulurkan tangan kanannya kepada Rina. Rina pun dengan senang memegang tangan itu. Setelah itu, tangan kiri Rio turut menggenggam tangan lembut Rina.

Dengan tatapan teduh dan ekspresi sedih menatap mata Rina, Rio berkata, “Maafin gua, Rin. Gua terlalu egois sampai nyakitin perasaan lu. Gua nyesel, gua serius nyesel.”

“Gak perlu dibahas lagi,” kata Rina tetap tersenyum.

“Ayo!” ajak Rio.

Rina lalu naik ke motor, menempel di belakang Rio. Rina langsung merangkulkan kedua tangannya di pinggang pemuda itu.

Rio lebih dulu memberikan helm kepada Rina sebelum ia memakai helmnya sendiri. Setelah itu, Rio pun tarik gas.

Dalam perjalanan, Rina memeluk erat tubuh kekasihnya. Kepalanya pun diletakkan di bahu kanan Rio, seolah ingin melepas rindu yang terpendam selama mereka putus. Untuk berapa lamanya, mereka tidak berbicara dalam perjalanan. Sementara matahari kian menukik ke barat.

“Langsung dari rumah?” tanya Rina akhirnya, memecah keheningan di antara dua hati itu, meski kebisingan jalan raya membuat suara bisikan pun nyaris tidak terdengar.

Mungkin karena pintu hati keduanya sedang terbuka lebar, sehingga kata-kata di antara mereka terdengar begitu jernih.

“Dari rumah sakit,” jawab Rio.

“Orang tua lu ada yang sakit, Roy?” tanya Rina cepat.

“Riska sudah seminggu di rumah sakit,” jawab Rio.

Deg!

Seketika detak jantung Rina seakan menabrak tembok berduri. Sepasang matanya mendelik dengan kening mengerut marah. Kecantikannya seketika berubah menjadi kecantikan berdarah dingin. Ia menarik dagunya dari bahu Rio dan tubuhnya dari punggung pemuda itu.

Sementara di wajah Rio, ada senyuman kecil tercipta. Senyuman yang kejam.

“Cowok brengsek!” teriak Rina tiba-tiba sambil memukul bahu Rio. “Turunin gua!”

Namun, Rio tidak memperdulikan kemarahan Rina yang tiba-tiba. Ia justeru lebih mengencangkan tarikan gas motornya. Hal itu pun membuat kemarahan Rina semakin


memuncak.

“Berhenti, Brengsek! Gua bilang berhenti!” teriak Rina lebih keras lagi sambil memukul-mukul kepala Rio yang terlindungi dengan helm. Beberapa cubitan keras juga Rina berikan ke tubuh Rio.

Serangan Rina itu membuat emosi Rio juga mengalir naik, emosi itu tergambar dari ekspresi raut wajahnya yang mengeras. Namun, Rio masih menahan. Motornya tidak melambat apalagi berhenti.

Dak dak!

Rina melepas helmnya lalu memukulkannya dengan keras ke helm di kepala Rio. Hantaman keras itu membuat Rio tergoyang sehingga motor pun ikut tergeser lajunya, tapi Rio cepat menguasai kendali.

Teeet!

Sebuah mobil box yang berada di belakang laju motor Rio membunyikan klakson panjang, si sopir merasa terganggu jalannya.

Dak!

“Berhenti, Setan!” teriak Rina lagi setelah memukulkan helm untuk ketiga kalinya.

“Cewek keparat!” Rio akhirnya memaki juga, ia tidak bisa lagi menahan emosinya.

Ciiit!

Dengan kasar Rio melakukan pengereman mendadak ke pinggir jalan, membuat Rina nyaris terjatuh dari duduknya. Dan hal itu membuat Rina tidak lagi memiliki ruang kesabaran di perasaannya. Kemarahannya memuncak total.

“Cowok busuk lu, Roy!” maki Rina menjerit keras sambil buru-buru turun dari motor. Gumpalan tangisan berkumpul di balik pintu perasaannya, mencoba mencongkel gembok yang mengunci bendungan air matanya. Tapi Rina adalah wanita keras yang pantang baginya untuk menangis.

Ternyata mereka berhenti di atas sebuah jembatan. Aktivitas jalan raya di jembatan itu bergerak normal, tidak memperdulikan sepasang muda-mudi itu yang sedang bertengkar hebat.  Sementara di bawah adalah jalan tol, jalan yang dipakai mobil-mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Jauh di atas sana, langit kian teduh, seiring kian menguningnya matahari senja. Angin kencang membuat rambut ikal Rina berkibar berantakan.

“Kenapa lu nipu gua? Lu masih sama cewek sialan itu, kan?!” tanya Rina dengan penuh kemarahan.

“Ya,” jawab Rio dengan tatapan tajam dan gigi atas bawah saling menekan, membuat sepasang pipinya mengeras, menunjukkan terpendamnya satu kemarahan yang belum terlampiaskan.

Jawaban Rio menjadi satu anak panah beracun yang menancap tepat di jantung Rina. Ketua Geng Bintang Tujuh itu benar-benar merasakan sakit di hatinya, sangat sakit. Ia merasa ditipu habis. Ia merasa menjadi gadis yang sangat bodoh sehingga begitu gampangnya percaya oleh kata-kata “penyesalan” Rio di telepon.

“Kenapa lu begitu akrab dengan nama Riska, padahal gua gak pernah ngasih tahu lu, gak pernah ngenalin ke elu, kalau pacar baru gua namanya Riska?” tanya Rio yang cukup membuat Rina tersudut. “Cuma gara-gara gua putusin elu, Rin, lu nyari tahu siapa cewek gua yang baru, lu intai, lalu terakhir lu tabrak dia. Benar, kan?”

Tudingan Rio itu membuat Rina terbelalak untuk kesekian kalinya, tapi kali ini dia sulit menemukan kata-kata untuk membalas omongan pemuda gagah di depannya itu. Bibir indahnya hanya bisa bergetar menahan hancurnya perasaan dan kusutnya pikiran di kepalanya.

“Ayo jawab!” teriak Rio membentak marah.

Emosi yang tertahan bukan sejak tadi, tapi sejak beberapa hari yang lalu, terlepas laksana terkaman wajah seekor naga. Bentakan itu sampai membuat kaki Rina tersurut mundur setindak.

“Aaa!” jerit Rina keras sambil melempat helm yang masih di tangannya ke arah wajah Rio.

Namun, dengan sigap Rio menepis helm itu. Helm tersebut jatuh menggelinding ke tepi jalan dalam kondisi kaca yang pecah.

“Ya!” Rina akhirnya menjawab dengan tatapan penuh kebencian. Lalu ia luapkan sebagian perasaannya yang lama terpendam. “Lu pikir gua cewek apaan, hah?! Kulit kacang? Kulit pisang? Kulit kerang? Sampah? Cuma karena lu mau puasin mata maksiat lu, gua dicampakin. Gua masih ingat banget, lu mutusin gua cuma lewat sms. Dengan tutup mata lu hancurin perasaan gua. Sakit, sakit banget. Lalu gua pikir, gua kenal elu. Gak mungkin lu mutusin gua kalau bukan karena godaan perempuan lain. Lalu gua cari tahu dan ternyata, perempuan sial yang namanya Riska itu cuma anak tukang ojeg. Dan lu harus akui bahwa gua lebih cantik dari cewek itu. Dan dia adalah orang yang menghancurkan hubungan kita berdua, yang menusuk jantung gua. Maka pantaslah kalau dia gua tabrak!”

Isi hati kebencian Rina yang ditumpahkan membuat tembok yang membendung amarah di hati Rio terkikis habis. Sehingga, pemuda itu memutuskan, sudah waktunya ia melampiaskan emosinya yang tersimpan setelah ia tahu bahwa kekasih barunya dengan sengaja ditabrak mobil oleh Rina.

Rio dengan langkah cepat bergerak maju.

Plak!

Rio tidak menimbang lagi gendernya sebagai seorang lelaki. Tanpa sungkan ia menampar keras wajah Rina. Sedemikian kerasnya, hingga Rina jatuh terduduk ke samping.

Di waktu yang bersamaan, di antara mobil yang melintas di jembatan itu adalah sebuah mobil Toyota Kijang biru yang masih kinclong bodinya. Mobil itu penuh dengan muatan orang dan melintas di jalur seberang.

“Innalillahi! Laki-laki itu nampar pacarnya!” seru gadis berjilbab hitam yang duduk di belakang dekat jendela. Ia terkejut melihat pemandangan tidak pantas itu. Tidak pantas karena pertengkaran terjadi di jalan umum dan tidak pantas karena lelaki menampar wanita. Gadis itu lalu mengatakan kepada sopir, “Pak Yudi, pelan-pelan, Pak!”

Respon si gadis berjilbab membuat dua teman wanita dan empat teman prianya jadi turut memandang ke seberang jalan sana. Pak Yudi yang menyetir segera memperlambat mobilnya dan menepi ke pinggir, membiarkan kendaraan yang lain melewatinya.

Kembali kepada Rina di seberang jalan.

Rina masih terduduk. Air matanya telah tumpah, benar-benar tercurah deras. Tamparan diwajahnya, baginya adalah simbol bahwa lelaki yang pernah ia cintai selama enam bulan itu sudah tidak memiliki rasa kasih dan cinta lagi. Mungkin yang tersisa hanyalah rasa ingin membunuh, demi gadis lain yang bernama Riska, yang kini terbaring di rumah sakit.

Ciit!

Tiba-tiba empat ban mobil berhenti di dekat tubuh Rina, begitu cepat dan dalam rem diinjak, sehingga suara gesekan ban dan aspal terdengar nyaring.

Belum juga Rina tersadar dari rasa terkejutnya, tiga lelaki bergerak cepat turun dari mobil Avanza hitam tersebut. Kepanikan Rina dalam kebingungan akhirnya lenyap ketika sebuah kain basah membekap hidung dan mulutnya. Kain bius telah membuat Rina tidak sadarkan diri.

“Cepat! Cepat!”

Suara terakhir yang Rina dengar adalah teriakan seorang lelaki yang bukan suara Rio.

Ketiga lelaki dewasa yang menyergap Rina bekerja cepat membius lalu mengangkat tubuh Rina masuk mobil. Setelah semuanya masuk, mobil itu langsung tancap gas.

Sementara Rio, hanya diam menyaksikan penyergapan di depan matanya itu. Ia lalu buru-buru menaiki motornya dan pergi, bukan pergi untuk mengejar, tapi melesat ke arah yang berlawanan. Motor Rio bahkan melewati mobil Kijang biru yang berhenti memperhatikan kejadian cepat itu.


“Pak Yudi, putar balik, putar balik. Kejar!” teriak para lelaki di dalam Kijang berubah geram dan geregetan. “Itu penculikan!” (RH)

Berlanjut: Pahlawan Sepeda Cantik (4)

1 komentar: