Ilustrasi jilbab syar'i. (Foto: Aeda Khimar Jilbab) |
2016
Bab Sebelumnya:
Meski Barada menjabarkan tentang
kebaikan hijab hanya berdasarkan logika, tapi pelajaran itu menjadi pembuka
hati dan pikiran Rina untuk memulai hidayah yang diberikan Allah kepadanya.
Ketika mengantar Barada pulang
sampai depan gang dengan mobil, Rina mendapat pesan kunci dari Barada.
“Salat adalah dasar. Jangan
sampai kamu melakukan berbagai amal ibadah dan kebaikan, tetapi tidak
mendapatkan pahala sedikit pun, hanya karena kamu tidak salat, Rin.
Perumpamaannya adalah seperti sebuah gelas yang kamu tuangkan air ke dalamnya.
Air itu adalah pahala amal ibadah kamu dan dasar gelas adalah salat kamu. Jika
kamu tidak salat, berarti gelasnya bolong dan airnya akan terus terbuang tidak
tertampung. Intinya, kalau kamu tidak salat lima waktu, amal ibadah yang lain
akan menjadi sia-sia nilainya,” tutur Barada.
Memang, Rina tidak pernah salat,
kecuali sekali, yaitu saat salat Isya di rumah Barada malam Senin yang lalu.
Dari Senin Subuh hingga malam Kamis ini, ia belum salat lagi.
Sepulangnya di rumah, Rina ingin
langsung tidur. Kebahagiaan meliputi hati dan perasaannya, meski ada rasa
berdebar juga untuk memulai besok pagi. Kamis pagi akan menjadi waktu bagi
lahirnya Rina yang baru. Ia merasa sudah siap menghadapi segala tantangan yang
tadi telah diperingatkan oleh Barada, jika Rina mulai berjilbab.
Namun, pikirannya selalu teringat
akan apa yang tadi diuraikan oleh Barada. Sehingga gadis cantik berambut ikal
itu sulit untuk tidur. Bahkan, meski ia coba untuk terus katupkan kelopak
matanya, pikirannya berlari kencang ke sana ke mari.
Karena sulit tidur,
ujung-ujungnya Rina lebih memilih memikirkan Fath Gazza, kakak laki-lakinya
Barada. Membuatnya sesekali senyum tidak jelas statusnya. Ia berharap bermimpi
bertemu dengan Gazza.
Tok tok tok!
“Neng Rina!”
Rina terkejut sambil berpaling
memandangi tembok yang bergetar. Tiga suara ketukan keras dari balik tembok
membuatnya panik, sebab makhluk jahat lainnya mencoba masuk menculiknya dengan
cara menjebol tembok.
Namun, lamat-lamat Rina mengenal
suara yang memanggilnya.
Tok tok tok!
“Neng Rina!”
Itu bukan suara tembok digedor
makhluk jahat, tapi suara pintu kamarnya diketok. Dan suara yang memanggilnya
adalah milik Lina, pembantunya.
“Neng Rina, sudah mau jam enam!”
Sepasang mata Rina akhirnya
terbuka. Lina telah membangunkannya dari mimpi buruk. Dengan mengerenyit kusut,
Rina memeriksa jam weker mungil di lemari.
“Hah!” pekik Rina terkejut
setelah melihat tunjukan jarum jam. Pukul 05.55 WIB.
Rina langsung bergerak bangun
dengan panik. Sambil sempoyongan ia ke pintu kamar dan membukanya. Maka
tampaklah Lina yang berdiri membawa nampan berisi sarapan.
“Mbak, bantuin gua sampai gua
siap berangkat. Siapin buku-buku gua, lihat jadwal pelajarannya di lemari.
Sepatu dan kaos kaki, gelang gua. Sarapan Mbak aja yang makan!” perintah Rina
dengan panik lalu buru-buru ke kamar mandi.
Rina sudah kesiangan. Kemungkinan
besar ia akan terlambat sampai ke sekolah.
“Padahal hari ini gua tampil
perdana,” rutuk Rina kesal sendiri. “Ini pasti gara-gara gua kegenitan pakai
mikirin cowok yang belum jelas. Untung seragam sudah disiapin semalam. Aduh,
enggak salat Subuh lagi.”
Dalam waktu dua puluh menit, Rina
selesai dan rapi. Mandi sesingkat mungkin asal sikat gigi dan pakai sabun.
Pakai seragam secepat mungkin. Masalah bedak, Rina tidak perlu diragukan lagi.
“Kenapa Mbak ngelihatin gua
begitu?” tanya Rina agak membentak. “Enggak pernah lihat cewek pakai jilbab?”
“Hehehe!” Lina hanya tertawa cengengesan.
“Menurut Mbak, gua tambah cantik
gak?” tanya Rina sambil buru-buru memakai sepatunya.
“Tambah cantik dan tambah adem
ngelihatnya, Neng,” jawab Lina.
Rina segera sambar tas sekolahnya
dan dua buah pisang, lalu berlari kecil ke luar. Rina juga menelepon ojeg
pangkalan kompleks perumahan.
Sementara di ruang tamu, ibunya
sudah tampil cantik dengan perhiasan yang cukup glamor.
Suara sepatu berlari menuruni
tangga membuat Irma menengok sambil berkata, “Rina, nanti....”
Kata-kata Irma mendadak terputus setelah
pandangannya dengan jelas melihat anaknya yang sudah berjilbab dan berok
panjang hingga mata kaki. Irma terdiam dengan mata mendelik dan mulut
ternganga.
“Duluan, Ma!” kata Rina terus
berlari ke luar.
Kemunculan Rina di teras membuat
seorang pemuda berbaju lusuh bernama Iwan yang sedang menyiram bunga menengok
memandangi Rina, sementara air yang keluar dari selang di tangannya terus
mengucur di satu titik. Ia adalah pembantu lelaki di rumah itu.
“Pa, gua duluan!” teriak Rina
kepada ayahnya yang baru hendak membuka pintu mobilnya.
Dedy hanya beralih memandang
kepada Rina yang terus berlari kecil. Sepasang mata tua itu pun mendelik
terkejut.
“Siapa itu?” tanya Dedy pelan
kepada dirinya sendiri.
Di mobil yang lain, Burhan yang
berdiri terdiam terpukau ketika melihat kemunculan Rina, buru-buru sadar
setelah Rina mendekat. Sopir keluarga itu segera membuka pintu mobil untuk
Rina.
“Gua pakai ojeg, Pak. Sudah
telat!” kata Rina sambil terus menuju ke gerbang, melewati mobil yang sudah
menunggu.
Setibanya Rina di gerbang yang
sudah terbuka lebar, seorang ojeg yang sudah dipesan tiba bersama motornya.
Dari dalam garasi rumah muncul
sebuah motor Suzuki biru yang tampak masih baru. Seorang remaja lelaki
berpakaian seragam SMP mengendarainya. Motor itu kemudian berhenti tidak jauh
di depan ojeg.
“Woi! Duduknya salah!” teriak
remaja berwajah putih bersih tersebut kepada Rina. Ia adalah Roni, adik Rina.
“Kalau cewek pakai jilbab, duduknya nyamping, bukan ngangkang!”
Rina saat itu memang naik ke ojeg
dengan duduk mengangkang. Meski ujung roknya tertarik hingga lutut, Rina masih
memakai celana kain dan kaos kaki.
“Masa bodo!” maki Rina lalu
melempar pisang di tangannya kepada adiknya.
“Eit! Hahaha!” kelit Roni
mengelak, lalu tertawa kencang dan pergi bersama motornya.
“Gua jitak kalau pulang!” desis
Rina.
Keputusan Rina yang memilih jasa
ojeg ternyata cukup tepat. Bertepatan dengan bel listrik berbunyi tanda masuk,
ia sudah sampai di gerbang sekolah.
“Bismillahirrahmanirrahim!” ucap Rina dalam hati sambil mantapkan
tekadnya.
Sambil melangkah dengan percaya
diri, Rina langsung melemparkan pandangan ke bawah tiang keranjang basket di
seberang lapangan sekolah. Sebab, di sanalah setiap pagi dia dan teman-teman
gengnya berkumpul.
Di tiang keranjang lapangan
basket itu memang ada enam siswi cantik-cantik yang sangat akrab dengan Rina.
Mereka adalah Iyut Nirmala, Novi Andria, Indah Pertiwi, Ristana, Windi Anggita,
dan Ade Irma.
“Inna lillahi!” pekik Indah terkejut bukan main, ia orang pertama
dari keenam gadis itu yang pertama melihat kedatangan Rina.
Kelima lainnya segera memandang
setujuan dengan pandangan Indah. Ketika mereka melihat sosok ketua geng mereka,
semuanya pun merasa terguncang.
“Akk!” pekik tertahan Windi dan
Ade Irma bersamaan. Saking syoknya, keduanya nyaris jatuh terduduk di lantai
semen.
“Oh!” keluh Novi serasa
kehilangan pijakan, bahkan tubuhnya jadi lunglai, tangannya segera berpegangan
di tiang keranjang basket.
Iyut terperangah dengan mulut
terbuka dan mata mendelik, hampir tidak bisa dibedakan dengan wajah ikan asin
yang terjemur.
Sementara Ristana tetap terdiam, cool, meski di dalam hatinya bergolak
tidak karuan.
“Ri... Rina?” ucap Indah gagap
bernada bertanya, mencoba benar-benar mengenali gadis berjilbab itu, tapi tidak
ada yang menjawab.
Sebab, Rina Viona yang adalah
Ketua Geng Bintang Tujuh, kemarin masih tampil penuh pesona tidak jauh beda
dengan mereka berenam. Bahkan roknya yang terpendek di antara mereka. Sekarang,
roknya panjang mencapai mata kaki. Kemarin, rambut ikal indahnya masih tergerai
mempercantik wajah bersihnya. Kini, rambut itu telah tertutup oleh jilbab
putih.
Seorang ketua geng yang hidup
penuh gengsi dan gaya glamor, yang tidak sedikit pun peduli dengan gaya hidup
religius atau pendidikan agama, tiba-tiba dalam sepintas malam berubah wujud
seperti ganti judul film. Tidak hanya itu, Rina adalah sosok terkejam dan
terjahat di Geng Bintang Tujuh.
“Assalamu ‘alaikum!”
Bukan Rina yang mengucapkan
salam. Bukan juga salah satu dari keenam lainnya dengan maksud menggoda.
Salam yang terdengar teriakan itu
berasal dari seorang siswi berjilbab lainnya yang berlari bersama tas ransel di
punggungnya di belakang Rina. Salam itu membuat Rina berhenti dan berpaling.
Didapatinya siswi berjilbab berlari melewati keberadaannya dan mendapati keenam
anggota Geng Bintang Tujuh yang masih menunjukkan wajah bingung dan
ketidakpercayaan.
“Ala, cepat pinjam hp-mu!” pinta
gadis cantik berwajah sedikit lebih hitam itu sambil menadahkan tangan kanannya
kepada Iyut Nirmala. Suaranya sedikit serak, tapi itu alami sebagai warna
suaranya. Ia tidak lain adalah Barada yang baru selesai memarkirkan sepedanya.
Meski keenam gadis itu tidak
akrab dengan Barada, tapi gadis berlesung pipi jika tersenyum itu bersikap
begitu akrab. Tanpa mau bertanya “untuk apa”, Iyut menyerahkkan hp-nya kepada
siswi itu.
Setelah menyentuh layar hp
beberapa kali, siswi itu segera bergerak ke depan Rina sambil tertawa-tawa
kecil, membuat lesung pipinya terlihat manis.
“Senyum!” seru siswi itu kepada
Rina sambil mengarahkan kamera hp di tangannya untuk memfoto Rina.
Crek!
Siswi itu mendapat gambar bagus.
Ia pun tertawa sendiri sambil berbalik memulangkan hp itu kepada Iyut.
“Jazakillah, Ala!” ucap siswi itu penuh senyum lalu membungkuk
layaknya orang Jepang menghormat.
Ia lalu berlari pergi sambil tertawa
dan melambaikan tangan kepada Rina yang hanya tersenyum, senyum pertamanya
dalam balutan hijab.
“Ayo ke kelas!” ajak Rina kepada
teman-temannya yang belum berhenti mematung.
Belum habis rasa syok yang mereka
rasakan, malah muncul Barada yang seenaknya saja meminjam hp lalu memotret Rina
dan pergi begitu saja. Padahal mereka tidak akrab dengan Barada, tapi memang
siswi kelas dua jurusan akuntansi itu punya kelebihan bisa mengakrabkan diri
dengan siapa pun.
Rina berjalan lebih dulu memimpin
untuk masuk ke kelas mereka yang ada di lantai tiga. Sementara di belakang
punggung Rina, tampak keenam anggota geng itu berwajah masam sambil sesekali
saling sikut, menyimpan suatu maksud yang tidak ada di antara mereka berani
melakukannya.
Sebelum mereka menaiki tangga,
Ristana tiba-tiba mendorong punggung Ade Irma, sehingga gadis berambut panjang
itu terdorong maju dan hampir menabrak punggung Rina. Ade mengerti maksud
dorongan itu, karenanya ia bertindak sigap. Ade langsung mencekal pergelangan
tangan kanan Rina dan menariknya setengah berlari ke kanan, meninggalkan area
tangga yang sudah sepi oleh para siswa. Yang lainnya segera mengikuti.
Windi justeru ikut membantu Ade
menarik tangan kiri Rina, membuat gadis berjilbab itu terpaksa setengah berlari
tidak teratur.
“Apa-apaan sih!” teriak Rina
marah sambil menghentak keras kedua tangannya hingga lepas dari cekalan Ade dan
Windi.
Keenam anggota geng itu segera
mengerumuni Rina. Kini mereka berada di luar gudang sekolah yang menyimpan
berbagai meja dan kursi rusak, serta peralatan rusak lainnya. Tidak ada orang
lain selain mereka di tempat itu.
“Elu yang apa-apaan?!” bentak
Novi Andria kepada Rina.
“Iya, Rin. Elu apa-apaan pakai
beginian?” kata Iyut Nirmala sambil tangannya mencolek sedikit kain jilbab Rina.
“Benar!” sahut Duo K (Windi dan
Ade) bersamaan, membenarkan Novi dan Iyut.
“Pikiran elu udah enggak waras
kali, ya?” tanya Novi lagi.
“Jaga omongan elu, Ofi!” teriak
Rina kepada Novi.
“Oke, tenang, tenang semua!” kata
Indah mencoba meredakan ketegangan yang gelagatnya sudah terlihat tidak bagus.
“Rina masih ketua geng kita.”
“Elu jelas melanggar aturan geng
kita, Rin. Elu enggak bisa begini!” kata Novi, lebih menurunkan nada suaranya.
“Tingkah elu hari ini bukan hal yang kecil, ini jelas mencoreng eksistensi geng
kita di sekolah ini. Terlebih, elu enggak pernah ngomong dan cerita ke kita
kalau elu bakal pakai pakaian jaman primitif ini!”
“Benar. Kalau elu memang punya
niat pakai jilbab begitu, terlebih dulu lu harus cerita ke kita semua. Untung
jantung gua kuat,” kata Windi.
“Benar,” sahut Ade juga. “Lu
sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh, elu enggak bisa begini.”
“Udah, cukup!” kata Indah kepada
teman-temannya. Lalu katanya kepada Rina, “Rin, jelasin ke kita!”
Rina terdiam sejenak. Ia
memandang tajam sahabatnya satu per satu. Tatapan itu bahkan membuat Duo K
tidak kuat adu tatap dengan Rina.
“Gua ngaku salah,” kata Rina.
Lalu amarahnya terlontar, “Tapi gua enggak suka cara lu semua ke gua sekarang
ini. Hari ini, inilah gua!”
Dengan wajah menegang dan sorot mata
tajam kepada teman-temannya, Rina bergerak pergi. Bahu Iyut pun ditabraknya
untuk lewat meninggalkan tempat itu.
“Rin!” sebut Indah mencoba
menahan.
Ristana, gadis berambut pendek
yang sejak tadi hanya diam, segera mencekal lengan Rina dan menahannya.
“Lu enggak bisa semaunya, Rin!”
kata Ristana.
Namun, Rina yang kemarahannya
sedang memuncak, dengan kasar ia mendorong dada Ristana. Ristana pun terdorong
jatuh terduduk bersandarkan dinding gudang. Gadis tomboy itu menatap tajam
kepada kepergian Rina yang tidak memperdulikannya lagi. Tampak Ristana bernapas
cepat yang menunjukkan kemarahannya pula.
Rina terus melangkah pergi tanpa
pedulikan Ristana dan lainnya. Selaku ketua geng, memang Rina adalah gadis yang
paling garang di antara mereka.
Indah mengulurkan tangannya
kepada Ristana untuk membantunya berdiri. Namun, gadis yang biasa dipanggil Iis
itu justeru menepis tangan Indah, menunjukkan tingginya kemarahan yang
dipendamnya terhadap Rina. Ristana segera bangun sendiri.
Keenam gadis itu berdiri kecewa
dan saling pandang akhirnya.
“Bagaimana dong ini?” tanya Windi
merengut dalam, perasaannya lemas kecewa.
“Kalau Rina enggak cerita, kita
anggak bakalan tahu, kenapa dia bisa bodoh begitu,” kata Novi.
“Bagaimana mungkin, kita yang
suka ngetawain Dina dan Inur karena berjilbab, justeru ketua kita sendiri
memilih pakai jilbab? Kalau mereka tahu, dua cewek SMU itu pasti ketawa habis
di belakang kita,” kata Iyut.
“Masa Duo K harus beralih ngefans
sama artis-artis religi?” ucap Ade, sama cemberutnya dengan Windi.
“Kena santet di mana itu anak,”
keluh Novi tidak habis pikir.
“Biar gua yang nanti bicara sama
Rina. Ayo ke kelas!” kata Indah.
Bagi mereka, Rina dengan jelas
melakukan pelanggaran berat dalam aturan Geng Bintang Tujuh. Terlebih Rina
adalah ketua geng. Pelanggarannya adalah Rina tidak pernah curhat sedikit pun
kepada mereka, bahkan satu pun dari mereka, tentang niatnya untuk merubah
penampilan.
Sedikit pun mereka tidak pernah
berpikir atau membayangkan, atau memimpikan, Rina akan menjadi siswi keenam yang
berhijab di sekolah itu.
Sebelumnya, pikiran mereka
bertujuh di dalam geng telah sepakat, jilbab adalah pakaian klasik yang
mengekang kebebasan jiwa dan raga para gadis yang dituntut tampil dengan
keindahan perkembangan zaman yang semakin maju dan modern. Bagi mereka,
sekarang adalah era terbuka yang bukan masanya lagi lelaki harus berpikiran
jorok hanya karena melihat putihnya betis dan bergelombangnya lekuk tubuh
perempuan.
Namun, bagaimana mungkin di hari
itu, Rina sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh justeru memperlihatkan penampilan
yang jelas-jelas menentang kesepakatan pemikiran mereka?
“Ini bencana,” ucap Windi pelan.
“Musibah buat Geng Bintang
Tujuh,” ucap Ade pula.
Mereka pun bergerak pergi menuju
ke tangga untuk naik ke lantai tiga. Mereka sudah melewatkan cukup banyak menit
dari jam pertama pelajaran. (RH)
Berlanjut: Heboh Pirang VS Heboh Jilbab (11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar