Geger Jilbab Rina (10)

Ilustrasi jilbab syar'i. (Foto: Aeda Khimar Jilbab)
Oleh: Rudi Hendrik
2016

Bab Sebelumnya:


Meski Barada menjabarkan tentang kebaikan hijab hanya berdasarkan logika, tapi pelajaran itu menjadi pembuka hati dan pikiran Rina untuk memulai hidayah yang diberikan Allah kepadanya.

Ketika mengantar Barada pulang sampai depan gang dengan mobil, Rina mendapat pesan kunci dari Barada.

“Salat adalah dasar. Jangan sampai kamu melakukan berbagai amal ibadah dan kebaikan, tetapi tidak mendapatkan pahala sedikit pun, hanya karena kamu tidak salat, Rin. Perumpamaannya adalah seperti sebuah gelas yang kamu tuangkan air ke dalamnya. Air itu adalah pahala amal ibadah kamu dan dasar gelas adalah salat kamu. Jika kamu tidak salat, berarti gelasnya bolong dan airnya akan terus terbuang tidak tertampung. Intinya, kalau kamu tidak salat lima waktu, amal ibadah yang lain akan menjadi sia-sia nilainya,” tutur Barada.

Memang, Rina tidak pernah salat, kecuali sekali, yaitu saat salat Isya di rumah Barada malam Senin yang lalu. Dari Senin Subuh hingga malam Kamis ini, ia belum salat lagi.

Sepulangnya di rumah, Rina ingin langsung tidur. Kebahagiaan meliputi hati dan perasaannya, meski ada rasa berdebar juga untuk memulai besok pagi. Kamis pagi akan menjadi waktu bagi lahirnya Rina yang baru. Ia merasa sudah siap menghadapi segala tantangan yang tadi telah diperingatkan oleh Barada, jika Rina mulai berjilbab.

Namun, pikirannya selalu teringat akan apa yang tadi diuraikan oleh Barada. Sehingga gadis cantik berambut ikal itu sulit untuk tidur. Bahkan, meski ia coba untuk terus katupkan kelopak matanya, pikirannya berlari kencang ke sana ke mari.

Karena sulit tidur, ujung-ujungnya Rina lebih memilih memikirkan Fath Gazza, kakak laki-lakinya Barada. Membuatnya sesekali senyum tidak jelas statusnya. Ia berharap bermimpi bertemu dengan Gazza.

Tok tok tok!

“Neng Rina!”

Rina terkejut sambil berpaling memandangi tembok yang bergetar. Tiga suara ketukan keras dari balik tembok membuatnya panik, sebab makhluk jahat lainnya mencoba masuk menculiknya dengan cara menjebol tembok.

Namun, lamat-lamat Rina mengenal suara yang memanggilnya.

Tok tok tok!

“Neng Rina!”

Itu bukan suara tembok digedor makhluk jahat, tapi suara pintu kamarnya diketok. Dan suara yang memanggilnya adalah milik Lina, pembantunya.

“Neng Rina, sudah mau jam enam!”

Sepasang mata Rina akhirnya terbuka. Lina telah membangunkannya dari mimpi buruk. Dengan mengerenyit kusut, Rina memeriksa jam weker mungil di lemari.

“Hah!” pekik Rina terkejut setelah melihat tunjukan jarum jam. Pukul 05.55 WIB.

Rina langsung bergerak bangun dengan panik. Sambil sempoyongan ia ke pintu kamar dan membukanya. Maka tampaklah Lina yang berdiri membawa nampan berisi sarapan.

“Mbak, bantuin gua sampai gua siap berangkat. Siapin buku-buku gua, lihat jadwal pelajarannya di lemari. Sepatu dan kaos kaki, gelang gua. Sarapan Mbak aja yang makan!” perintah Rina dengan panik lalu buru-buru ke kamar mandi.

Rina sudah kesiangan. Kemungkinan besar ia akan terlambat sampai ke sekolah.

“Padahal hari ini gua tampil perdana,” rutuk Rina kesal sendiri. “Ini pasti gara-gara gua kegenitan pakai mikirin cowok yang belum jelas. Untung seragam sudah disiapin semalam. Aduh, enggak salat Subuh lagi.”

Dalam waktu dua puluh menit, Rina selesai dan rapi. Mandi sesingkat mungkin asal sikat gigi dan pakai sabun. Pakai seragam secepat mungkin. Masalah bedak, Rina tidak perlu diragukan lagi.

“Kenapa Mbak ngelihatin gua begitu?” tanya Rina agak membentak. “Enggak pernah lihat cewek pakai jilbab?”

“Hehehe!” Lina hanya tertawa cengengesan.

“Menurut Mbak, gua tambah cantik gak?” tanya Rina sambil buru-buru memakai sepatunya.

“Tambah cantik dan tambah adem ngelihatnya, Neng,” jawab Lina.

Rina segera sambar tas sekolahnya dan dua buah pisang, lalu berlari kecil ke luar. Rina juga menelepon ojeg pangkalan kompleks perumahan.

Sementara di ruang tamu, ibunya sudah tampil cantik dengan perhiasan yang cukup glamor.

Suara sepatu berlari menuruni tangga membuat Irma menengok sambil berkata, “Rina, nanti....”

Kata-kata Irma mendadak terputus setelah pandangannya dengan jelas melihat anaknya yang sudah berjilbab dan berok panjang hingga mata kaki. Irma terdiam dengan mata mendelik dan mulut ternganga.

“Duluan, Ma!” kata Rina terus berlari ke luar.

Kemunculan Rina di teras membuat seorang pemuda berbaju lusuh bernama Iwan yang sedang menyiram bunga menengok memandangi Rina, sementara air yang keluar dari selang di tangannya terus mengucur di satu titik. Ia adalah pembantu lelaki di rumah itu.

“Pa, gua duluan!” teriak Rina kepada ayahnya yang baru hendak membuka pintu mobilnya.

Dedy hanya beralih memandang kepada Rina yang terus berlari kecil. Sepasang mata tua itu pun mendelik terkejut.

“Siapa itu?” tanya Dedy pelan kepada dirinya sendiri.

Di mobil yang lain, Burhan yang berdiri terdiam terpukau ketika melihat kemunculan Rina, buru-buru sadar setelah Rina mendekat. Sopir keluarga itu segera membuka pintu mobil untuk Rina.

“Gua pakai ojeg, Pak. Sudah telat!” kata Rina sambil terus menuju ke gerbang, melewati mobil yang sudah menunggu.

Setibanya Rina di gerbang yang sudah terbuka lebar, seorang ojeg yang sudah dipesan tiba bersama motornya.

Dari dalam garasi rumah muncul sebuah motor Suzuki biru yang tampak masih baru. Seorang remaja lelaki berpakaian seragam SMP mengendarainya. Motor itu kemudian berhenti tidak jauh di depan ojeg.

“Woi! Duduknya salah!” teriak remaja berwajah putih bersih tersebut kepada Rina. Ia adalah Roni, adik Rina. “Kalau cewek pakai jilbab, duduknya nyamping, bukan ngangkang!”

Rina saat itu memang naik ke ojeg dengan duduk mengangkang. Meski ujung roknya tertarik hingga lutut, Rina masih memakai celana kain dan kaos kaki.

“Masa bodo!” maki Rina lalu melempar pisang di tangannya kepada adiknya.

“Eit! Hahaha!” kelit Roni mengelak, lalu tertawa kencang dan pergi bersama motornya.

“Gua jitak kalau pulang!” desis Rina.

Keputusan Rina yang memilih jasa ojeg ternyata cukup tepat. Bertepatan dengan bel listrik berbunyi tanda masuk, ia sudah sampai di gerbang sekolah.

Bismillahirrahmanirrahim!” ucap Rina dalam hati sambil mantapkan tekadnya.

Sambil melangkah dengan percaya diri, Rina langsung melemparkan pandangan ke bawah tiang keranjang basket di seberang lapangan sekolah. Sebab, di sanalah setiap pagi dia dan teman-teman gengnya berkumpul.

Di tiang keranjang lapangan basket itu memang ada enam siswi cantik-cantik yang sangat akrab dengan Rina. Mereka adalah Iyut Nirmala, Novi Andria, Indah Pertiwi, Ristana, Windi Anggita, dan Ade Irma.

Inna lillahi!” pekik Indah terkejut bukan main, ia orang pertama dari keenam gadis itu yang pertama melihat kedatangan Rina.

Kelima lainnya segera memandang setujuan dengan pandangan Indah. Ketika mereka melihat sosok ketua geng mereka, semuanya pun merasa terguncang.

“Akk!” pekik tertahan Windi dan Ade Irma bersamaan. Saking syoknya, keduanya nyaris jatuh terduduk di lantai semen.

“Oh!” keluh Novi serasa kehilangan pijakan, bahkan tubuhnya jadi lunglai, tangannya segera berpegangan di tiang keranjang basket.

Iyut terperangah dengan mulut terbuka dan mata mendelik, hampir tidak bisa dibedakan dengan wajah ikan asin yang terjemur.

Sementara Ristana tetap terdiam, cool, meski di dalam hatinya bergolak tidak karuan.

“Ri... Rina?” ucap Indah gagap bernada bertanya, mencoba benar-benar mengenali gadis berjilbab itu, tapi tidak ada yang menjawab.

Sebab, Rina Viona yang adalah Ketua Geng Bintang Tujuh, kemarin masih tampil penuh pesona tidak jauh beda dengan mereka berenam. Bahkan roknya yang terpendek di antara mereka. Sekarang, roknya panjang mencapai mata kaki. Kemarin, rambut ikal indahnya masih tergerai mempercantik wajah bersihnya. Kini, rambut itu telah tertutup oleh jilbab putih.

Seorang ketua geng yang hidup penuh gengsi dan gaya glamor, yang tidak sedikit pun peduli dengan gaya hidup religius atau pendidikan agama, tiba-tiba dalam sepintas malam berubah wujud seperti ganti judul film. Tidak hanya itu, Rina adalah sosok terkejam dan terjahat di Geng Bintang Tujuh.

Assalamu ‘alaikum!”

Bukan Rina yang mengucapkan salam. Bukan juga salah satu dari keenam lainnya dengan maksud menggoda.

Salam yang terdengar teriakan itu berasal dari seorang siswi berjilbab lainnya yang berlari bersama tas ransel di punggungnya di belakang Rina. Salam itu membuat Rina berhenti dan berpaling. Didapatinya siswi berjilbab berlari melewati keberadaannya dan mendapati keenam anggota Geng Bintang Tujuh yang masih menunjukkan wajah bingung dan ketidakpercayaan.

“Ala, cepat pinjam hp-mu!” pinta gadis cantik berwajah sedikit lebih hitam itu sambil menadahkan tangan kanannya kepada Iyut Nirmala. Suaranya sedikit serak, tapi itu alami sebagai warna suaranya. Ia tidak lain adalah Barada yang baru selesai memarkirkan sepedanya.

Meski keenam gadis itu tidak akrab dengan Barada, tapi gadis berlesung pipi jika tersenyum itu bersikap begitu akrab. Tanpa mau bertanya “untuk apa”, Iyut menyerahkkan hp-nya kepada siswi itu.

Setelah menyentuh layar hp beberapa kali, siswi itu segera bergerak ke depan Rina sambil tertawa-tawa kecil, membuat lesung pipinya terlihat manis.

“Senyum!” seru siswi itu kepada Rina sambil mengarahkan kamera hp di tangannya untuk memfoto Rina.

Crek!

Siswi itu mendapat gambar bagus. Ia pun tertawa sendiri sambil berbalik memulangkan hp itu kepada Iyut.

Jazakillah, Ala!” ucap siswi itu penuh senyum lalu membungkuk layaknya orang Jepang menghormat.

Ia lalu berlari pergi sambil tertawa dan melambaikan tangan kepada Rina yang hanya tersenyum, senyum pertamanya dalam balutan hijab.

“Ayo ke kelas!” ajak Rina kepada teman-temannya yang belum berhenti mematung.

Belum habis rasa syok yang mereka rasakan, malah muncul Barada yang seenaknya saja meminjam hp lalu memotret Rina dan pergi begitu saja. Padahal mereka tidak akrab dengan Barada, tapi memang siswi kelas dua jurusan akuntansi itu punya kelebihan bisa mengakrabkan diri dengan siapa pun.

Rina berjalan lebih dulu memimpin untuk masuk ke kelas mereka yang ada di lantai tiga. Sementara di belakang punggung Rina, tampak keenam anggota geng itu berwajah masam sambil sesekali saling sikut, menyimpan suatu maksud yang tidak ada di antara mereka berani melakukannya.

Sebelum mereka menaiki tangga, Ristana tiba-tiba mendorong punggung Ade Irma, sehingga gadis berambut panjang itu terdorong maju dan hampir menabrak punggung Rina. Ade mengerti maksud dorongan itu, karenanya ia bertindak sigap. Ade langsung mencekal pergelangan tangan kanan Rina dan menariknya setengah berlari ke kanan, meninggalkan area tangga yang sudah sepi oleh para siswa. Yang lainnya segera mengikuti.

Windi justeru ikut membantu Ade menarik tangan kiri Rina, membuat gadis berjilbab itu terpaksa setengah berlari tidak teratur.

“Apa-apaan sih!” teriak Rina marah sambil menghentak keras kedua tangannya hingga lepas dari cekalan Ade dan Windi.

Keenam anggota geng itu segera mengerumuni Rina. Kini mereka berada di luar gudang sekolah yang menyimpan berbagai meja dan kursi rusak, serta peralatan rusak lainnya. Tidak ada orang lain selain mereka di tempat itu.

“Elu yang apa-apaan?!” bentak Novi Andria kepada Rina.

“Iya, Rin. Elu apa-apaan pakai beginian?” kata Iyut Nirmala sambil tangannya mencolek sedikit kain jilbab Rina.

“Benar!” sahut Duo K (Windi dan Ade) bersamaan, membenarkan Novi dan Iyut.

“Pikiran elu udah enggak waras kali, ya?” tanya Novi lagi.

“Jaga omongan elu, Ofi!” teriak Rina kepada Novi.

“Oke, tenang, tenang semua!” kata Indah mencoba meredakan ketegangan yang gelagatnya sudah terlihat tidak bagus. “Rina masih ketua geng kita.”

“Elu jelas melanggar aturan geng kita, Rin. Elu enggak bisa begini!” kata Novi, lebih menurunkan nada suaranya. “Tingkah elu hari ini bukan hal yang kecil, ini jelas mencoreng eksistensi geng kita di sekolah ini. Terlebih, elu enggak pernah ngomong dan cerita ke kita kalau elu bakal pakai pakaian jaman primitif ini!”

“Benar. Kalau elu memang punya niat pakai jilbab begitu, terlebih dulu lu harus cerita ke kita semua. Untung jantung gua kuat,” kata Windi.

“Benar,” sahut Ade juga. “Lu sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh, elu enggak bisa begini.”

“Udah, cukup!” kata Indah kepada teman-temannya. Lalu katanya kepada Rina, “Rin, jelasin ke kita!”

Rina terdiam sejenak. Ia memandang tajam sahabatnya satu per satu. Tatapan itu bahkan membuat Duo K tidak kuat adu tatap dengan Rina.

“Gua ngaku salah,” kata Rina. Lalu amarahnya terlontar, “Tapi gua enggak suka cara lu semua ke gua sekarang ini. Hari ini, inilah gua!”

Dengan wajah menegang dan sorot mata tajam kepada teman-temannya, Rina bergerak pergi. Bahu Iyut pun ditabraknya untuk lewat meninggalkan tempat itu.

“Rin!” sebut Indah mencoba menahan.

Ristana, gadis berambut pendek yang sejak tadi hanya diam, segera mencekal lengan Rina dan menahannya.

“Lu enggak bisa semaunya, Rin!” kata Ristana.

Namun, Rina yang kemarahannya sedang memuncak, dengan kasar ia mendorong dada Ristana. Ristana pun terdorong jatuh terduduk bersandarkan dinding gudang. Gadis tomboy itu menatap tajam kepada kepergian Rina yang tidak memperdulikannya lagi. Tampak Ristana bernapas cepat yang menunjukkan kemarahannya pula.

Rina terus melangkah pergi tanpa pedulikan Ristana dan lainnya. Selaku ketua geng, memang Rina adalah gadis yang paling garang di antara mereka.

Indah mengulurkan tangannya kepada Ristana untuk membantunya berdiri. Namun, gadis yang biasa dipanggil Iis itu justeru menepis tangan Indah, menunjukkan tingginya kemarahan yang dipendamnya terhadap Rina. Ristana segera bangun sendiri.

Keenam gadis itu berdiri kecewa dan saling pandang akhirnya.

“Bagaimana dong ini?” tanya Windi merengut dalam, perasaannya lemas kecewa.

“Kalau Rina enggak cerita, kita anggak bakalan tahu, kenapa dia bisa bodoh begitu,” kata Novi.

“Bagaimana mungkin, kita yang suka ngetawain Dina dan Inur karena berjilbab, justeru ketua kita sendiri memilih pakai jilbab? Kalau mereka tahu, dua cewek SMU itu pasti ketawa habis di belakang kita,” kata Iyut.

“Masa Duo K harus beralih ngefans sama artis-artis religi?” ucap Ade, sama cemberutnya dengan Windi.

“Kena santet di mana itu anak,” keluh Novi tidak habis pikir.

“Biar gua yang nanti bicara sama Rina. Ayo ke kelas!” kata Indah.

Bagi mereka, Rina dengan jelas melakukan pelanggaran berat dalam aturan Geng Bintang Tujuh. Terlebih Rina adalah ketua geng. Pelanggarannya adalah Rina tidak pernah curhat sedikit pun kepada mereka, bahkan satu pun dari mereka, tentang niatnya untuk merubah penampilan.

Sedikit pun mereka tidak pernah berpikir atau membayangkan, atau memimpikan, Rina akan menjadi siswi keenam yang berhijab di sekolah itu.

Sebelumnya, pikiran mereka bertujuh di dalam geng telah sepakat, jilbab adalah pakaian klasik yang mengekang kebebasan jiwa dan raga para gadis yang dituntut tampil dengan keindahan perkembangan zaman yang semakin maju dan modern. Bagi mereka, sekarang adalah era terbuka yang bukan masanya lagi lelaki harus berpikiran jorok hanya karena melihat putihnya betis dan bergelombangnya lekuk tubuh perempuan.

Namun, bagaimana mungkin di hari itu, Rina sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh justeru memperlihatkan penampilan yang jelas-jelas menentang kesepakatan pemikiran mereka?

“Ini bencana,” ucap Windi pelan.

“Musibah buat Geng Bintang Tujuh,” ucap Ade pula.


Mereka pun bergerak pergi menuju ke tangga untuk naik ke lantai tiga. Mereka sudah melewatkan cukup banyak menit dari jam pertama pelajaran. (RH)

Berlanjut: Heboh Pirang VS Heboh Jilbab (11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar