Ilustrasi |
2016
Bab Sebelumnya:
Drs. Didi Sudrajat, MM adalah sosok kepala sekolah yang berperawakan sedang. Kepala Sekolah SMK IP YAKIN ini tidak jangkung, tidak pendek. Tidak kurus, tidak juga gemuk dan gendut. Rambutnya tersisir rapi jatuh ke samping, seolah mengikuti arah tiupan angin hari ini. Wajah 45 tahunnya yang berkulit putih meski ada sedikit bopeng bekas lahan jerawat, tampak ganteng dengan kaca mata berbingkai emas sepuhan. Gagah dengan kemeja putih mulus dan bersih lengkap dasi bercorak bulatan-bulatan planet di antariksa malam. Sebuah pena bagus cantik terselip di bibir kantong kemejanya. Celana hitamnya mulus rapih berujung pada sepatu hitam yang mengkilap oleh semiran Kamis pagi. Gesper putih berkepala cetakan harimau tampak gagah seperti sabuk sakti warisan leluhur.
Untuk sampai ke kelas dua jurusan sekretaris A, Didi harus melalui lima kelas dari sembilan kelas yang dimiliki SMK.
Seiring berlalunya Didi di depan kelas-kelas itu, terjadi kehebohan yang tidak biasa. Bagi kelas yang sedang diajar oleh gurunya, murid-murid hanya bisa memandang keluar melalui jendela atau pintu yang terbuka dari tempat duduknya masing-masing. Sejenak beralih dari penjabaran guru di depan kelas. Untuk melihat jelas, mereka sampai berdiri dari duduknya, terutama mereka yang duduk di dekat jendela. Mau tidak mau, guru-guru yang mengajar hanya bisa tarik napas dan geleng-geleng dengan heboh dadakan para murid seiring melintasnya kepala sekolah.
Berbeda dengan kelas tiga akuntansi yang gurunya tidak hadir. Kelas ini lebih banyak murid lelakinya dibanding murid wanitanya. Sontak semuanya berhamburan ke pintu dan jendela-jendela kelas, sehingga mereka menumpuk seperti penumpang kereta api di waktu mudik. Tawa mereka tercipta riuh, tidak peduli bahwa yang berlalu adalah kepala sekolah mereka.
“Rambutmu membuatku klepek-klepek!” terdengar teriakan dari seorang murid lelaki, entah dari sebelah mana.
“Huuu...!” sorak para murid perempuan.
“Target terkunci, target terkunci!” celetuk murid lelaki yang lainnya meniru laporan pilot jet tempur yang siap membidik pesawat penyusup musuh.
“Hahaha...!” meledaklah tawa di kelas paling senior di SMK itu.
“Torpedo Agus siap ditembakkan!” sahut lelaki yang lain menyambut candaan temannya.
“Hahaha...!” tawa satu kelas kian kencang, karena pikiran mereka langsung mengasumsikan sesuatu yang kotor.
“Semuanya kembali ke bangku masing-masing!” seru Didi agak marah dengan candaan para siswa.
Siswa kelas tiga itu pun seketika berhamburan kembali ke kursi masing-masing. Tawa riuh mereka seketika hilang berganti sisa-sisa cekikikan.
“Cowok tiga akuntansi yang merasa ganteng, kumpuuul!” seru seorang murid lelaki di depan kelas. “Kompetisi Jerat Kalkun membuka pendaftaran.”
Akhirnya Didi Sudrajat tiba di pintu kelas dua sekretaris A.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Didi.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab murid-murid dan seorang guru perempuan yang sedang mengajar di depan kelas.
“Wah!” desah murid-murid kelas dua sekretaris itu, tapi tidak begitu kencang. Mata mereka semua tertuju kepada tamu yang datang.
Perhatian mereka bukan pada sosok kepala sekolah mereka, tetapi kepada sosok siswi yang datang bersama Pak Didi.
Siswi yang bersama kepala sekolah adalah seorang gadis berkulit putih bersih dengan wajah cantik layaknya wajah-wajah orang kaya yang selalu hidup di bawah hembusan angin AC. Berseragam putih lengan panjang dengan dasi panjang berwarna hitam berlogo sesuatu. Rok abu-abunya juga panjang, berbeda dengan siswi lainnya yang hampir semua memakai rok selutut. Ia mengenakan sepatu hitam bergaris putih bermerek punya luar negeri. Tangan kanannya menjinjing tas berwarna merah dengan hiasan gantungan kunci berbandul miniatur gitar listrik.
Selain wajah cantiknya yang laksana bintang kejora di langit malam tanpa awan, wajahnya sangat mirip dengan seorang aktris Korea Selatan ternama. Namun, yang lebih membuat gadis ini menjadi pusat magnet di pagi itu karena rambut sebahunya yang berwarna kuning emas seperti orang bule.
Gadis inilah yang membuat lima kelas yang dilalui kepala sekolah tadi menjadi heboh. Terlebih-lebih kelas tiga akuntansi.
“Han Ga-in banget,” ucap seorang siswi pemuja bintang-bintang Korea Selatan dengan menyebut nama artis yang dimiripi oleh wajah gadis berambut kuning itu.
Kelas dua sekretaris A memiliki 30 murid, hanya satu di antaranya murid lelaki.
“Silahkan masuk, Pak,” kata Ibu Salihah Ayutrisri, guru Bahasa Indonesia yang berusia 41 tahun dengan perawakan agak jangkung. Rambutnya lurus pendek seleher, mengenakan longdress merah lengan panjang, karena perutnya sedang mengandung bayi keempatnya yang berusia lima bulan. Kondisi hamilnya seakan membuat dandanan make-up di wajahnya terlihat cantik.
Pak Didi pun berdiri di depan kelas menghadap kepada para siswi. Sementara siswi berambut pirang berdiri dengan senyuman kecil yang ditahan stabil di sisi kanan kepala sekolah. Namun, ada sejumlah kursi murid yang kosong dari penghuninya.
“Ini kenapa pada kosong?” tanya Didi seraya telunjuknya menunjuk salah dua kursi yang kosong di satu meja.
“Geng Bintang Tujuh belum pada masuk, Pak!” jawab salah satu siswi, membuat sebagian siswi tertawa rendah.
“Memang tidak masuk semuanya?” tanya Didi lagi.
“Kata anak-anak, mereka tadi ada di lapangan, hanya belum masuk ke kelas,” jawab Bu Salihah.
“Baik, anak-anakku tercinta,” kata Didi memulai maksudnya. “Hari ini, kalian mendapat teman baru, pindahan dari jauh. Sebagai awal keakraban, Bapak persilahkan kepadanya untuk memperkenalkan dirinya sendiri kepada kalian.”
Didi pun lalu menepi untuk memberi ruang bebas kepada siswi berambut pirang cantik yang dibawanya ke kelas itu.
Namun, sebelum siswi baru tersebut mulai bicara, tiba-tiba kebisingan terdengar begitu heboh dari kelas-kelas tetangga. Terutama dari kelas tiga akuntansi yang masih belum kedatangan guru. Suara kegaduhannya lebih dahsyat dari sebelumnya, ketika kepala sekolah dan siswi baru melintas di depan kelas mereka.
Dua menit sebelumnya. Ketika Rina yang memendam kemarahan terhadap sahabat-sahabatnya sedang menaiki tangga, dari arah bawah terdengar suara sepatu berlari menaiki tangga. Hingga akhirnya, pemilik sepatu yang adalah murid laki-laki itu melewati Rina.
Sebelum berbelok naik ke lantai tiga, siswa itu sempat menengok kepada Rina, hingga keduanya bertemu pandang. Rina mengenal siswa itu sebagai murid kelas tiga akuntansi, namanya Teguh.
Teguh yang tangan kanannya membawa beberapa spidol besar, sejenak berusaha mengenali siswi berjilbab yang sepertinya baru kali ini ia lihat.
“Lu Rina, ya?” tanya Teguh agak ragu.
Rina tidak menjawab. Pertanyaan itu justeru menambah keruh dan kusut gejolak perasaan dan batinnya saat itu.
“Lu pakai jilbab, Rin?” tanya Teguh lagi, setengah ingin tertawa.
Rina hanya menatap tajam pemuda yang berdiri beberapa anak tangga di atasnya.
Setelah yakin bahwa itu memang Rina yang terkenal sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh, Teguh kemudian berlari naik sambil tertawa.
Setibanya di lantai tiga, Teguh bukannya langsung ke kelasnya, tapi ia justeru berhenti di pintu kelas tiga sekretaris A.
“Assalamu ‘alaikum, Pak Widodo!” salam Teguh kepada pak guru yang sedang mengajar.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab Pak Widodo, guru mata pelajaran sejarah.
“Pak, Ketua Geng Bintang Tujuh sekarang pakai jilbab!” kata Teguh memberi tahu tanpa masuk ke kelas.
Selanjutnya, Teguh berlari ke kelas tiga sekretari B. Hal yang sama ia lakukan seperti di kelas pertama. Berbeda ketika ia berada di pintu kelasnya yang tanpa guru.
“Woi! Ketua Geng Bintang Tujuh sudah taubat, sekarang dia pakai jilbab. Noh, lagi jalan!” teriak Teguh kepada teman-teman sekelasnya dari pintu kelas. Pengumuman Teguh itu menghentikan kehebohan mereka yang masih tersisa tentang siswi baru berambut pirang barusan.
Setelah itu, Teguh tidak berhenti. Ia terus ke kelas dua akuntansi tempat Barada berada dan kelas dua sekretaris B. Ia memberikan pengumuman yang sama. Namun, ia tidak ke kelas dua sekretaris A.
Berita tentang “Ketua Geng Bintang Tujuh pakai jilbab”, ditambah embel-embel
“sudah taubat”, bukanlah berita biasa. Bagi sekolah IP YAKIN yang menaungi SMU dan SMK, itu adalah berita besar dan sangat mengejutkan. Selama ini mereka sangat tahu tentang Geng Bintang Tujuh yang tersohor dengan kecantikan para anggotanya. Meski geng itu nyaris tidak pernah bermasalah dengan jajaran dewan guru, tapi mereka diketahui ditakuti oleh adik kelas dan seangkatan, serta disegani oleh kakak kelas. Geng Anak Monster (Amos) di SMU dan Geng J-Ray di SMK turut hormat sebagai sesama kelompok geng. Tiga geng yang ada di lingkungan sekolah itu telah sepakat tidak saling ganggu dan ribut.
Di kelas yang ada gurunya, para murid tidak berani meniggalkan kursinya ketika siswi cantik berambut pirang melintas di depan kelas bersama kepala sekolah tadi, cukup berdiri melihat dari tempatnya masing-masing. Akan tetapi, tidak bagi mereka yang ingin melihat Ketua Geng Bintang Tujuh mengenakan jilbab. Hampir semua murid beranjak dari kursinya dan berebut tempat di pintu dan jendela-jendela kelasnya. Mereka sangat ingin melihat Rina.
Mau tidak mau, para guru harus mengelus dada dan geleng-geleng, karena merasa terabaikan oleh sebab kepopuleran Rina.
Seiring itu pula, Rina telah sampai di lantai tiga dan sedang berjalan menuju kelasnya yang posisinya paling ujung.
Rina sempat berhenti ketika melihat situasi kacau di setiap pintu dan jendela kelas yang akan dilaluinya. Semuanya terlihat begitu antusias untuk melihat wujud barunya. Kondisi itu menjadi pukulan dahsyat bagi jantung dan nyali Rina. Ia benar-benar tidak menyangka akan seheboh ini respon penghuni sekolah.
Tekadnya seketika ambruk ke dasar. Ia tidak berani memandang wajah-wajah massa yang seolah menatap setajam pedang. Pandangan mereka benar-benar menusuk batin Rina.
“Gak mungkin gua lari pulang. Badar, apa elu pernah ngalamin yang kayak gini?” membatin Rina yang seketika teringat Barada, sahabat barunya yang tadi malam telah memberi dorongan moril dan pencerahan kepadanya.
Tidak mungkin bagi Rina untuk berbalik dan berlari pulang, terlebih ia adalah ketua geng. Ia tidak mau jadi pecundang.
Akhirnya Rina memutuskan maju untuk melalui jalan yang baginya penuh dengan bara yang membakar perasaannya dan penuh dengan pedang yang menyayati jiwanya. Rina terus melangkah dengan wajah menunduk. Baru kali ini ia berjalan dengan wajah tertunduk, padahal sebelumnya adalah pantang baginya.
“Assalamu ‘alaikum!” tiba-tiba terdengar beberapa siswi dari dalam kelas tiga sekretaris B mengucapkan salam, tapi dalam nada nyanyian.
“Wa ‘alaikum salam!” sambut siswi-siswi yang lain dengan bernyanyi pula.
“Hahaha...!”
Lagu sindiran dari dalam kelas itu langsung disusul oleh tawa satu kelas.
“Nanti siang lu semua harus salat, sebab besok mau kiamat!” teriak satu suara siswi lagi dari dalam kelas, entah suara siapa.
“Hahaha...!”
Suara tawa kian menjadi mengiringi langkah Rina. Meski pada hakekatnya itu adalah candaan mereka, tapi bagi Rina itu adalah olok-olok terhadapnya. Itu sungguh menyakiti hatinya, sangat menyakitkan.
“Elu udah berbuat konyol dengan jilbab elu, Rin!” kata batin Rina menyalahkan keputusannya.
Godaan tidak berhenti hanya di kelas tiga sekretaris yang semua muridnya perempuan. Serangan psikis yang terhebat datang dari murid-murid kelas tiga akuntansi yang masih tanpa guru.
“Subhanallah! Cantiknya!” ucap para kaum lelaki bersamaan yang berjubel di pintu kelas tiga akuntansi.
Meski itu terdengar pujian, tapi Rina yakin itu adalah ejekan untuknya.
“Oh Rina, jilbabmu membunuhku!” teriak siswa yang lain di jendela kelas, jelas disusul dengan tawa menggelegar.
Tiba-tiba satu suara menggelegar laksana pidato Bung Tomo di Surabaya pada 10 November.
“Ini aroma surga, saudara-saudara! Sudah waktunya kita memilih masa depan yang cerah, kekasih dunia akhirat! Allahuakbar!”
Tawa pun terdengar memekakkan telinga Rina. Serasa telah terbakar kedua telinganya yang apinya menjalar melalui seluruh saraf tubuh yang kemudian ramai-ramai menyerang jantung.
“Ini mah bukan Geng Bintang Tujuh, tapi Muslimah Bintang Tujuh!” teriak yang lain.
“Gua ikhlas putus sekolah, Rin. Asal pengantinnya elu!”
“Ya Allah! Kumpulkan hamba-Mu bersamanya!”
Tiba-tiba dari dalam kelas dua akuntansi keluar seorang guru bertampang sangar berperut gendut. Matanya mendelik marah. Guru akuntansi bernama Haris Nasution itu sejenak berdiri memandang kepada Rina. Setelah itu ia beralih kepada murid-murid kelas tiga akuntansi yang tidak terkendali ributnya.
“Hei!” bentak Haris keras, melotot kepada murid-murid kelas tiga. Pria Batak itu segera menuju ke pintu kelas tiga akuntansi.
Tak ayal lagi, murid-murid di kelas tiga kocar-kacir, buru-buru kembali ke kursinya masing-masing. Pak Haris terkenal sebagai guru terkemuka yang ditakuti di sekolah itu.
Ketika melalui depan pintu kelas dua akuntansi, Rina sedikit menengok. Dilihatnya sosok siswi berjilbab lainnya yang tidak lain adalah Barada. Gadis manis itu melemparkan senyum damai kepada Rina, membuat lesung pipinya tampil cantik. Kemudian Barada menggerakkan wajahnya dari agak menunduk lalu naik agak mendongak, sebagai isyarat agar Rina mengangkat wajahnya dan percaya diri.
Isyarat kecil itu ternyata kena di hati Rina. Ia pun memberanikan diri mengangkat wajahnya, meski sakit yang begitu memilukan masih dirasakan oleh perasaannya.
Karena yang sedang mengajar mereka adalah Pak Haris, jadi anak-anak dua akuntansi tidak ada yang berani berseloroh terhadap penampilan mengejutkan Rina.
Di depan pintu kelas dua sekretaris A telah berdiri Kepala Sekolah Didi Sudrajat. Ia memandang kepada kedatangan Rina. Keributan di kelas tiga yang tidak terkendali mendorong Didi keluar untuk melihat apa yang terjadi.
“Selamat pagi, Pak!” sapa Rina kepada Didi.
“Pagi,” jawab Didi.
Rina yang ingin masuk ke kelasnya, terhenti di pintu. Dilihatnya semua mata hanya tertuju kepadanya. Tampak sebagian teman-teman sekelasnya saling berbisik dan senyum-senyum seraya memandanginya. Suasana yang tadinya hening berubah bak sarang lebah.
“Anak-anak!” tegur Bu Salihah datar, tapi seketika melenyapkan suara berisik di dalam kelas itu.
Rina juga sejenak diam memandang sosok siswi baru yang masih berdiri di muka kelas tapi belum sempat perkenalkan diri, karena kehebohan parah lebih dulu tercipta di luar sana.
Rina lalu melangkah dan duduk dikursinya. Kursi di sampingnya masih kosong bersama tujuh kursi lainnya.
Setelah kondisi di setiap kelas terkendali dengan baik, keenam anggota Geng Bintang Tujuh lainnya, yang tadi sempat menyaksikan Rina ditertawakan secara massal dari dekat tangga, berjalan menuju kelasnya. Pak Didi pun menunggu hingga Novi Andria dan lainnya tiba lalu masuk ke kelasnya.
Rina memandangi keenam sahabatnya yang pergi menduduki kursinya masing-masing. Tatapan Rina begitu dingin. Sorot mata tajam juga diperlihatkan oleh Ristana kepada Rina ketika berlalu ke kursinya yang ada di paling belakang. Indah Pertiwi duduk di sebelah Rina.
Indah meletakkan tangannya di atas punggung tangan Rina yang ada di atas meja, lalu jari-jarinya menepuk-nepuk tangan sahabatnya itu. Rina membiarkan Indah memberikan sedikit dukungan moril kepadanya.
Kini di kelas itu tinggal ada satu kursi yang kosong, yang nantinya jelas diperuntukkan siswi baru.
“Silahkan, Nak!” kata Didi kepada siswi baru berambut kuning.
“Teman-teman baru sekalian!” sapa siswi baru seraya kembali tersenyum setelah senyum itu sempat menghilang oleh suasana kacau di luar tadi. “Namaku Silva Monica. Aku lahir dan besar di London. Aku sebelumnya sekolah di London. Karena orang tuaku ditugaskan di Jakarta, jadi aku dan keluarga ikut ke sini. Aku harap, teman-teman bersedia membantuku dalam proses belajar dan beradaptasi. Aku rasa sekian dan thank’s.”
“Wow! UK, boo!” desis seorang siswi berbisik kepada temannya.
“Pak, tanya!” seru seorang siswi sambil acung pulpen di jarinya, ia bernama Rahmah Alaina, ketua kelas.
“Silahkan,” kata Didi.
“Memang boleh rambut dicat gitu, Pak? Sebab saya yakin itu bukan warna rambut asli,” kata Rahmah.
“Tidak boleh, tapi Silva akan merubahnya lagi menjadi hitam,” jawab Didi. “Baik, anak-anakku tercinta, agar tidak terlalu memakan jam pelajaran, Bapak rasa cukup!”
“Silva bisa duduk di samping Saskia,” kata Bu Salihah seraya menunjuk kursi yang kosong yang di sebelahnya duduk wanita gemuk berambut kepang.
Setelah izin kepada Bu Salihah, Pak Didi pun melangkah keluar untuk kembali ke kantornya. (RH)
Berlanjut: "Gua Enggak Layak Berjilbab"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar