2016
Bab Sebelumnya:
Untuk kedua kalinya, Barada berada di depan rumah besar dan mewah itu. Cahaya lampu-lampu yang memukai masih menjadi modal dasar dalam memberikan unsur utama dalam keindahan malam di rumah tersebut.
Untuk kali ini, gadis cantik berjilbab kuning besar itu ada bersama Muttaqin, ayahnya yang mengantarkan sampai depan pagar saja. Dalam hati pria berusia 50 tahun itu diterpa rasa kagum melihat kemewahan rumah tersebut, tapi tidak ditampakkannya dalam ekspresi atau ucapan.
Tiit tiiit!
Muttaqin menekan klakson dua kali setelah diminta oleh puterinya.
Barada yang mengenakan rok panjang merah berkaos kaki hitam belang-belang putih, turun dari belakang ayahnya.
“Puang bisa pulang,” kata Barada sambil menyalim tangan Muttaqin.
“Hati-hati,” pesan Muttaqin sambil melihat sekali lagi kemewahan rumah orang kaya itu. “Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Barada lalu membungkuk seperti orang Jepang kepada kepergian ayahnya yang mengendarai motor bebek biru yang sudah mulai usang.
Dari dalam rumah muncul seorang wanita berusia 30-an. Wanita yang beberapa malam lalu juga membukakan pintu pagar, ketika Barada mengantar pulang Rina Viona. Dengan setengah berlari, wanita yang rambutnya agak tidak rapih itu datang ke pintu gerbang dan membuka kunci.
“Assalamu ‘alaikum, Bu!” ucap Barada seraya tersenyum ramah kepada wanita yang adalah salah satu pembantu di rumah itu.
“Wa ‘alaikum salam, Neng. Neng Rina sudah dari tadi nunggu,” kata wanita itu dengan senang, karena sapaan ramah Barada.
“Panggil saya Badar saja, Bu,” pesan Barada sambil bergerak masuk.
“Saya Lina,” kata wanita itu senang memperkenalkan diri juga. Sebab, jarang-jarang ada teman Rina yang semodel malam ini.
Dari dalam rumah muncul Rina yang dengan gembira melambai memanggil Barada, “Sini masuk, Badar!”
Rina muncul dengan hanya mengenakan t-shirt putih dan bercelana pendek seatas lutut, membuat Barada dalam hati berucap “wow”.
Barada segera mendatangi Rina di teras utama rumah. Ekspresi Rina terlihat begitu gembira dengan kedatangan Barada. Sementara Barada hanya tersenyum dan menyambut kegembiraan teman yang sebenarnya tidak akrab dengannya. Pandangannya sesekali menjelajah melihat kemewahan yang ada di rumah itu.
Rina meraih tangan Barada dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. Nyes! Hawa dingin ruangan ber-AC seketika dirasakan oleh Barada. Dan ia kini berada di ruang tamu yang cukup luas. Ada dua set kursi sofa mahal untuk tamu dengan jenis yang berbeda. Lain lagi dengan setingan kursi yang menghadap ke lemari kayu besar dan bagus. Di tengah-tengah lemari ada televisi besar seperti bioskop mini. Lemari itu tidak satu pun menampung adanya buku, melainkan berbagai keramik dan pajangan dari bahan kristal.
Beberapa ukuran lukisan terpajang di dinding ruangan. Termasuk foto besar keluarga dipajang di dinding dekat tangga yang menuju ke lantai dua. Lampu kristal mewah dan besar menggantung di langit-langit pusat ruang tamu.
“Siapa, Rin?” tanya seorang lelaki yang muncul dari ruang dalam.
Lelaki berusia 50-an itu berkepala agak botak bagian depannya, seiring rambutnya yang memang menipis kelebatannya. Ia mengenakan kaos oblong kuning, membuat perut gendutnya jelas menonjol. Memakai celana pendek gombrong hitam yang punya dua kantong belakang dan dua kantong kanan-kiri. Kulitnya putih bersih. Sebuah jam tangan emas melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dua buah hp tergenggam di tangan kanannya. Ia adalah Dedy Sirana, ayah Rina. Tak ada senyum di wajahnya.
“Teman gua, Pa,” jawab Rina yang terhenti di tangga bersama Barada karena pertanyaan Dedy itu.
“Assalamu ‘alaikum, Pak!” salam Barada lalu membungkuk seperti orang Jepang kepada Dedy.
Lelaki kaya itu hanya mendelikkan mata menarik alis melihat gaya yang dilakukan oleh Barada.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Dedy akhirnya, meski agak terlambat menjawabnya.
“Ayo!” ajak Rina lalu kembali menaiki tangga ke lantai dua.
“Mari, Pak!” pamit Barada seraya berikan senyum ramah kepada orang tua yang sedikit pun tidak senyum kepadanya.
Dedy terdiam sejenak, seolah menunjukkan bahwa ia berpikir.
“Aneh,” pikir Dedy. Sebab, baru kali ini Rina bawa teman yang aneh, karena berhijab. Terlebih malam hari.
Sementara itu, Rina dan Barada sudah ada di dalam kamar.
“Nih kamar gua, Badar!” kata Rina kepada Barada yang tak henti-hentinya melihat ke sana, melihat ke sini.
Sementara di kasur, sudah berserak beberapa setel pakaian Muslimah, termasuk pakaian Muslimah untuk seragam sekolah.
“Oke, saya sudah terkagum-kagum melihat rumah kamu, Rin. Jadi, sekarang apa? Kenapa kamu sampai memaksa saya datang malam ini juga?” ujar Barada.
“Lu tahu gua kan, Badar?” tanya Rina, menatap serius dekat ke wajah Barada.
“Hahaha!”
Tiba-tiba Barada tertawa melihat sikap Rina. Baginya Rina bertingkah lucu, meski Rina sendiri tidak bermaksud “mendadak lawak”.
“Lihatnya jangan begitu, ah!” kata Barada lalu memilih duduk di kursi belajar Rina yang bisa berputar-putar seperti kursi direktur.
Sementara Rina memilih duduk di pinggir kasur.
“Badar, lu lihat gua sekarang. Inilah gua sehari-hari. Lu lihat gua di sekolah, itulah gua. Dan gua rasa lu tahu, kalau gua Ketua Geng Bintang Tujuh,” ujar Rina.
“Lalu?” tanya Barada.
“Sebenarnya gua enggak yakin, tapi gua mau pakai jilbab,” kata Rina.
Barada terkejut. Punggungnya yang bersandar segera ia tegakkan. Wajahnya berubah serius memandang Rina.
“Hahaha! Cup cup!”
Barada tertawa keras lalu tiba-tiba menyergap Rina dan mencium pipi kanan dan kiri gadis berambut ikal itu.
“Ih, apaan sih!” pekik Rina yang kelabakan, seolah sedang diperkosa.
Barada terus tertawa, malah tambah tertawa melihat Rina kelabakan dengan sikapnya.
“Alhamdulillaaah!” ucap tahmid Barada bernada panjang sambil angkat tangannya ke depan wajah dan pandangan menerawang langit-langit kamar seperti orang berdoa mohon hujan turun sekarang juga.
Hingga akhirnya tawa Barada berhenti. Lalu dengan wajah serius ia bertanya lebih serius kepada Rina, “Kamu serius?”
“Iya, gua serius. Gua mau jadi gila kayak elu!” kata Rina agak sewot karena disangka bercanda.
“Hahaha!” Barada lagi-lagi tertawa, membuat Rina hanya merengut masam.
Di sini Barada bebas tertawa lepas, karena memang tidak akan ada yang menegurnya jika tertawa kencang.
“Tadi sore saya benar-benar kaget, ditelepon dokter Rumah Sakit Sumber Waras dan menyebut saya gila beberapa kali,” kata Barada menyindir Rina.
“Bagaimana lu enggak gila, di jaman serba mobile begini, serba digital begini, serba aplikasi begini, serba teknologi begini, elu enggak megang hp?!” debat Rina sewot.
Sambil tertawa datar Barada berkata, “Itu besok aja dibahasnya. Sekarang, bagaimana dengan niatan kamu itu?”
“Gua serius, tapi gak yakin. Masalahnya, kalau orang tanya ke gua, kenapa gua tiba-tiba pakai jilbab, terus gua kagak bisa jawab, bunuh diri gua jadinya!”
“Baik. Saya tanya ke kamu, kenapa kamu mau pakai jilbab?” kata Barada yang kembali duduk ke kursi yang bisa berputar.
“Pengen aja. Gara-gara kenal elu, ketemu nyokap elu, dan lihat para hijabers. Ah, gua enggak bisa jawab!” kata Rina yang justeru bingung sendiri. “Tapi gua merasa, kalau pakai jilbab itu repotnya ampun, menentang perkembangan zaman, mengekang kebebasan, dijauhin cowok, panas, boros dan bla bla bla. Atau begini, kenapa elu mau repot-repot pakai jilbab? Atau, apa keuntungan buat gua kalau berhijab?”
“Baik, kamu dengarkan baik-baik omongan saya. Pertama, kamu adalah manusia. Pencipta manusia adalah Allah. Allah buat aturan agar manusia yang diciptakan-Nya memenuhi fungsinya yang sebenarnya. Salah satu aturan yang Allah khususkan untuk perempuan, kamu, saya, dan perempuan seluruhnya, adalah menutup aurat. Yang artinya, jika tidak menutup aurat,
maka perempuan itu tidak berfungsi dengan benar, maka akan rusak. Jadi, selama kamu tidak menutup aurat di waktu yang telah ditetapkan, yaitu baligh, maka pada hakekatnya kamu dalam kondisi rusak,” jelas Barada. “Baik, sampai di sini apakah kamu bisa terima?”
“Penjelasan elu pedas, Badar. Jadi menurut elu, selama ini gua cewek yang rusak?” kata Rina dengan wajah mengerenyit.
“Menurut kamu?” Barada balik bertanya.
Rina terdiam menatap Barada. Penjelasan Barada memang menusuk perasaannya. Ketegangan tercipta di antara kedua gadis itu. Penjelasan Barada seketika menyiram padam semangat positif Rina.
Rina benar-benar terdiam. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Apakah ia salah berkonsultasi kepada Barada?
“Kalau kamu enggak mau tersinggung, kemungkinan kamu tidak bisa berjilbab, karena perasaanmu akan banyak diuji ketika kamu memakai pakaian kemuliaan itu,” kata Barada.
Rina masih terdiam. Barada menunggu.
Hingga akhirnya, Rina menarik napas dalam-dalam, lalu katanya kepada Barada, “Lanjutkan!”
“Yang ketiga....”
“Kedua!” sela Rina meralat hitungan Barada.
“Ya, kedua,” kata Barada sambil menahan tawa.
Melihat Barada menahan tawa, akhirnya Rina tertawa geli sendiri. Akhirnya Barada pun tidak bisa menahan tawanya.
“Yang kedua, karena berhijab adalah aturan, maka jika kamu melaksanakannya, berarti kamu menjadi hamba yang taat kepada Tuhan. Jika sebaliknya, kamu adalah hamba yang tidak taat. Pilih mana, hamba yang taat atau yang tidak taat?”
“Gak perlu gua jawab,” jawab Rina.
“Yang ketiga,” kata Barada sambil senyum. “Berhijab adalah kewajiban wanita. Jika perempuan Muslim tidak berhijab, berarti dia tidak melaksanakan kewajibannya. Yang namanya wajib, dilaksanakan dapat penghargaan dari Allah berupa kupon pahala, dan jika tidak dilaksanakan akan mendapat stempel dosa. Kupon pahala akan ditukar dengan nikmat kubur ketika mati dan surga ketika di akhirat. Stempel dosa otomatis siksa kubur dan neraka. Kamu pilih kupon atau stempel?”
“Elu udah tahu jawabannya,” tandas Rina.
“Keempat. Sebagai KTP rohani. Waktu pertama lihat kamu, lihat Ala, lihat Bu Cindy, saya tidak akan tahu apa agama kamu dan mereka. Sebab, penampilan kamu sama dengan wanita agama lain. Dengan berhijab, orang yang pertama melihat kamu akan langsung tahu bahwa kamu orang Islam. Kelima, menjadi mulia. Apa perlu dijelaskan juga yang kelima ini?”
“Iya, dong. Itu kan poin bagus!” seru Rina.
“Pilih mana, kue yang dijual pakai baki keliling kampung, atau kue yang dijual di toko kue?”
“Elu udah tahu jawabannya,” tandas Rina.
“Enggak, kamu harus jawab!” tegas Barada.
“Kue di toko, lebih bersih,” jawab Rina.
“Pilih ngemut permen yang sudah bertahun-tahun terbuka atau yang baru dibuka dari bungkusnya?” tanya Barada lagi.
“Yang baru dibuka.”
“Pilih pakai gelas yang dipakai minum banyak orang atau gelas baru?”
“Gelas baru,” jawab Rina.
“Jadi, dengan berhijab, kamu menjadi wanita bersih, wanita terjaga, wanita suci. Dan itulah kemuliaan. Kira-kira, laki-laki memilih wanita yang sudah banyak dipegang berbagai tangan lelaki lain atau wanita yang belum pernah dipegang lelaki lain selain dirinya?”
“Yang belum pernah,” jawab Rina cepat.
“Yang kedelapan,” hitung Barada.
“Ngawur!” rutuk Rina sembari tertawa kecil.
“Yaa, pokoknya yang selanjutnya. Dengan berhijab kita terlindungi. Banyak kekerasan terhadap wanita, pelecehan dan pemerkosaan, disebabkan karena si korban sebelumnya memancing lelaki yang mudah terpancing dengan memperlihatkan kulit mulusnya dan tonjolan tubuhnya. Pilih mana, diperkosa atau dihormati?”
“Pertanyaan enggak bermamfaat!” rutuk Rina lagi yang justeru membuat Barada tertawa. Namun, dari serangkaian penjelasan Barada, hati Rina merasa bahagia, karena ada pembenaran dan dukungan positif terhadap niatnya untuk berjilbab.
“Selanjutnya, menjadi cantik,” kata Barada.
“Lu kira gua sekarang enggak cantik?” tanya Rina memotong.
“Bagi saya tidak,” jawab Barada mantap.
“Buktikan kalau gua enggak cantik. Sebab, seluruh anak YAKIN mengakui kecantikan gua!” tantang Rina.
“Anggaplah saya punya dua pisang kuning emas dengan kualitas yang sama. Baru lihat saja langsung tergiur untuk memakannya. Kedua pisang ini kita anggap cantik dan sangat legit. Tapi ketika disajikan, pisang yang satu sudah tanpa kulit dan yang satu masih terbungkus kulit. Dua-duanya cantik. Saya lalu ambil yang sudah tanpa kulit dan saya melihat kecantikan pisang itu hanya sekali. Kemudian saya ambil pisang yang masih berkulit. Ketika saya ambil, dia cantik. Setelah saya buka kulitnya, kecantikannya kian menggugah selera saya untuk menikmatinya. Kesimpulannya, pisang pertama cantiknya hanya sekali, pisang kedua cantiknya dua kali. Paham?”
“Maksud lu, kalau gua enggak pakai hijab, cantik gua cuma sekali? Kalau pakai hijab, cantik gua dua kali lipat?” tanya Rina memperjelas.
“Dan kalau pisang pertama dipegang oleh tangan berkuman, langsung tercemar. Tapi kalau pisang kedua, ketika dipegang oleh tangan berkuman, isinya masih terlindungi. Artinya kesucian terjaga. Yah, yang selanjutnya, kesucian terjaga.”
Rina manggut-manggut sambil tersenyum. Dalam hati muncul rasa kagum terhadap Barada.
“Selanjutnya, ehm ehm!” kata Barada lalu berdehem-dehem.
Sambil tetap tersenyum memandang Barada, Rina raih hp-nya lalu menelepon.
“Mbak Lina, semuanya sudah pada makan?” tanya Rina kepada pembantunya melalui telepon.
“Sudah, Neng,” jawab pembantu di ruang makan di lantai bawah.
“Hidangan baru sudah disiapkan?” tanya Rina lagi.
“Sudah, Neng.”
Rina lalu menutup teleponnya dan bangkit berdiri.
“Yuk, ke bawah!” ajak Rina.
Barada menurut. Mereka keluar kamar dan kembali menuruni tangga menuju ke bawah.
“Lu masih ngakui kalau gua masih cantik. Lu belum ngebuktiin kalau gua enggak cantik, Badar,” kata Rina sambil turun.
“Wah, berat nih,” kata Barada.
Untuk masuk ke ruang makan, mereka harus melewati ruang tamu dan ruang santai. Di sofa depan televisi besar di lemari besar, duduk santai ayah Rina, Dedy Sirana. Tampaknya ia sudah kenyang setelah usai makan malam. Di sisi kirinya duduk wanita bertubuh langsing berambut pendek. Riasannya membuat wajah usia 40-annya tampak lebih mudah. Wanita berkulit putih bersih itu mengenakan pakaian tidur longdress lengan pendek warna merah muda. Ia adalah Irma Lulubana, ibu dari Rina. Ia sibuk dengan iPad besarnya.
Kemunculan Rina dan Barada membuat Irma beralih memandang keduanya. Mimik wajah Irma agak berubah heran ketika melihat penampilan Barada.
“Ini nyokap gua, Badar,” kata Rina memperkenalkan ibunya.
“Bu,” sapa Barada lalu membungkuk seperti orang Jepang. Selanjutnya ia menghampiri Irma dan mengulurkan tangannya untuk salaman. “Badar, Bu.”
Barada memperkenalkan namanya setelah menempelkan tangan Irma ke dahinya.
“Oh ya. Badar baru kali ini main ke sini, ya?” tanya Irma berubah ramah.
“Iya, Bu. Kalau sampai depan gerbang dua kali, Bu,” kata Barada lalu tertawa ringan.
“Kok Rina enggak pernah cerita kalau punya guru spiritual?” kata Irma.
“Itu teman sekolah gua, Ma,” sahut Rina.
“Oh!” desah Irma dengan wajah ditarik sedikit mundur. “Ya udah, sana makan dulu!”
“Iya, Bu. Mari, Pak!” jawab Barada lalu menyapa Dedy juga.
“Hm,” Dedy hanya bergumam seraya mengangguk kecil. Dingin sikapnya.
Rina dan Barada berlalu ke ruang makan. Seperginya keduanya, Irma segera berbisik kepada suaminya.
“Pa, kenapa temannya yang ini lain sendiri?”
“Semoga bagus buat Rina,” kata Dedy singkat lalu diam dan kembali fokus ke TV besar di depannya.
Di ruang makan, telah tersaji
hidangan enak di atas meja. Seperti makanan restoran saja. Lengkap dengan
sekeranjang buah.
Tidak jauh dari meja makan,
seorang wanita berusia 40-an bertubuh gemuk sedang menyetrika pakaian. Ia bukan
pembantu yang bernama Lina tadi, tapi pembantu yang lain.
Rina langsung membantu Barada
dengan menyendokkan nasi.
“Sambil makan lanjutin kuliah elu
ke gua,” kata Rina sambil duduk di kursi yang berseberangan dengan Barada.
“Terkait kecantikan,” kata Barada
sambil celupkan jari-jari tangan kanannya ke kobokan yang tersedia. Ia tidak
menggunakan sendok dan garpu. Lalu menyendok sayur daun singkong yang disantan
dan mengambil gulai ayam.
“Terus?” tanya Rina yang
menunggu, karena Barada terdiam sibuk ambil lauk.
“Ada dua definisi tentang
kecantikan. Pertama kecantikan yang semu, dan yang kedua kecantikan hakiki.
Kecantikan yang semu adalah kecantikan yang hanya terlihat cantik, tapi pada
hakekatnya kecantikan itu membawa musibah. Contoh, kamu punya postur badan yang
ideal, wajah cantik, kulit yang putih bersih. Secara mata memandang itu cantik.
Tapi justeru kecantikan itu mengundang niat jahat nafsu lelaki. Di alam kubur
dapat siksa dan di akhirat pun akan dihajar. Itulah kecantikan semu yang ketika
termakan waktu, kecantikan itu hilang. Kecantikan yang semu adalah tidak
cantik. Dan bagi saya, itu ada di kamu. Bagi saya, kecantikan yang kamu
tonjolkan selama ini di sekolah, hanya kesemuan semata. Apakah terjawab, Rin?”
Barada lalu memasukkan suapan
pertamanya ke mulut setelah secara samar ia mengucapkan “bismillah”.
“Gua pertimbangin dulu,” kata
Rina sambil mengunyah. Lalu kata hatinya, “Gila jadi selama ini Badar
menganggap semua cewek yang enggak berjilbab jelek? Pemikirannya ekstrim
banget. Tapi kalau gua pikir-pikir, ya benar juga sih, meski ekstrim begitu.”
“Orang tua kamu gak makan, Rin?”
tanya Barada.
“Udah. Gua sengaja milih setelah
mereka sudah makan semua, biar kita diskusinya enak,” jawab Rina. Lalu ia
kembali ke topik diskusi, “Pemikiran elu terlalu ekstrim, Badar. Masa elu
anggap semua perempuan enggak berjilbab jelek? Itu namanya elu merasa paling
benar doang, merasa paling cantik sendiri!”
“Oh, jadi saya cantik, ya?” tanya
Barada bercanda sambil nyengir kuda, lalu tertawa sendiri, tapi tidak kencang.
Lalu katanya sambil menunjukkan gelagat berpikir, “Bagaimana ya menjelaskannya?
Hmm... begini, Rin, menurut saya....”
Kalimat Barada terputus, ia
terdiam sambil mengunyah. Sebenarnya jawabannya sudah ada di kepala, tapi ia
sulit menjabarkannya.
“Kebenaran hanya datang dari
Allah. Terus...,” sambung Barada sekalimat, tapi terputus lagi berpikir.
Setelah rel kalimatnya ketemu lagi, ia berkata, “Tandanya kita benar, buktinya
adalah sesuai dengan buku panduan, yaitu Al-Quran. Kalau kata Al-Quran, kamu
itu beriman, berarti ya beriman. Kalau kata Al-Quran, kamu itu kafir, ya
berarti kamu kafir. Al-Quran bilang munafik, ya munafik.”
“Lalu?” tanya Rina yang mengerti
dengan apa yang dikatakan Barada, tapi ia belum menemukan sambungannya dengan
Barada yang merasa cantik sendiri.
“Kalau kata Al-Quran semua yang
enggak pakai jilbab berdosa dan jelek, ya berdosa dan jelek. Kalau kata
Al-Quran yang pakai jilbab berpahala dan cantik, ya berpahala dan cantik
sendiri. Hahaha!”
Pada ujungnya Barada tertawa
sendiri.
“Tapi,” kata Barada menyambung
sebelum Rina berkomentar. “Meskipun kamu merasa cantik sendiri sekebun Ragunan,
tetapi sepatutnya kamu bertindak tidak sebagai orang yang paling cantik. Sebab,
tidak mungkin saya memanggil kamu, ‘hai jelek’, hanya karena kamu tidak
berjilbab. Tidak mungkin saya memanggil ‘Tangan Buntung’ kepada orang yang
tangannya buntung. Atau memanggil ‘Pelacur’ kepada wanita yang saya ketahui dia
seorang wanita tuna susila.”
Barada melanjutkan makannya yang
tinggal separuh. Sementara Rina jadi terdiam, mulutnya berhenti mengunyah,
padahal ada nasi dan daging cumi di mulutnya.
“Gua enggak nyangka, di YAKIN ada
anak yang pintar ngomong kayak dia,” membatin Rina. Lalu muncul satu pertanyaan
lagi di kepalanya, “Badar, tapi cowok-cowok sukanya yang terbuka?”
“Ehm... enggak juga!” bantah
Barada dengan wajah mengerenyit dan ia segera meraih gelas berisi air putih di
dekatnya. Ia minum beberapa teguk guna mendorong kenikmatan yang tersangkut di
tenggorokan. Setelah tertelan dan plong, ia melanjutkan bantahannya, “Karena
kamu open body, maka yang datang pun
para cowok penikmat body dan itu yang
kamu lihat. Cowok-cowok yang datang kebanyakan yang cuma mau menikmati selagi
ada. Ketika kamu sedikit aja berubah gendut atau kena panu, ditambah ada open body di sisi lain dengan tawaran
rasa baru vanila campur selai nanas, cowok itu akan beralih. Dan you, akan gigit kuku.”
“Memangnya cowok-cowok yang lu
sebutin itu enggak doyan yang pakai hijab, yang kata elu cantiknya dua kali
lepitan?” tanya Rina lagi.
“Sangat doyan, bahkan lebih
doyan. Maaf, guguk mana yang menolak daging segar bersih yang baru keluar dari
pendingin swalayan, dibandingkan daging yang sudah dikerubuni banyak guguk lain
dan berkalang debu truk tanah merah? Maksud saya, pria sejelek apapun
kelakuannya, apakah dia bajingan, apakah dia penipu, pembunuh, playboy atau yang jahat lainnya, dia
akan lebih menyukai wanita yang taat, lembut, anggun, terjaga, terhormat, suci,
cantik, dan bisa menyelamatkannya dari keburukannya sendiri. Karena kamu
menebar beras di tanah, maka yang datang adalah ayam-ayam atau burung. Kalau
memasang ikan asin, yang datang kucing. Pasang keju, yang datang tikus. Jawab
ya, kamu pilih cowok yang hanya ingin menikmati atau cowok yang mencintai kamu
atas dasar kebaikan?”
“Ya pasti lah, cowok yang
mencintai gua atas dasar kebaikan gua!” jawab Rina tegas.
“Kali saja, kamu cewek gila yang
pilih cowok penikmat,” kata Barada.
“Hahaha!” tawa Rina tiba-tiba,
hampir saja makanan di mulutnya tersembur jika tidak dibekap dengan tangannya.
“Balas dendam, ya, nyebut gua gila?”
“Enggaaak,” elak Barada tersenyum
tanggung dengan melirik kepada Rina. “Sebab, Bang Gazza pernah cerita ke saya.”
Deg!
Wajah cantik Rina sedikit berubah
ketika Barada menyebut nama Gazza, seiring ada hentakan di jantungnya, hentakan
mengejutkan tapi memberi rasa syur membahagiakan. Namun sayang, Barada tidak
menangkap gejala di wajah Rina.
“Abang elu cerita apa?” tanya
Rina, ingin cepat tahu.
“Tanggung ah, saya habisin dulu
ya,” kata Barada sambil fokus untuk menghabiskan nasinya yang tinggal beberapa
suap lagi.
Barada tidak melihat bahwa ada
ekspresi kecewa di wajah Rina.
“Kalau mau cerita, cerita. Kalau
enggak, jangan bilang mau cerita!” rutuk Rina lalu dengan kesal yang samar ia
gigit belahan timun segar di tangannya berkali-kali.
“Bentar, sesuap lagi, biar enak
ceritanya. Kamu kan enak, bisa makan sambil dengar,” kata Barada pula, tanpa
menangkap sinyal dari sikap gelisah Rina yang sangat ingin segera mendengar
serangkai cerita atas nama Gazza.
Rina akhirnya hanya menunggu
dengan kecemberutan. Hingga akhirnya Barada menutup makan pokoknya dengan
tegukan air terakhir di gelasnya.
“Lho, kok asem begitu muka kamu,
Rin?” tanya Barada setelah kembali fokus kepada Rina.
“Gua nungguin elu cerita, tahu!”
sentak Rina sedikit kesal, tak terasa sudah enam batang belahan timun yang ia
kunyah tanpa henti sambil kesal menunggu.
Barada hanya tertawa, seolah
kesal dan kemarahan yang Rina perlihatkan kepadanya tidak bisa mengganggu
hatinya.
“Bang Gazza pernah cerita waktu
dia berangkat tugas ke Semarang. Hahaha!” kata Barada lalu tertawa sendiri.
“Iiih! Belum cerita elu udah lucu
duluan!” gerutuh Rina merengut lagi.
Memang, Barada lebih dulu tertawa
jika ingat cerita kakaknya. Baginya cerita itu lucu.
“Waktu Bang Gazza pergi meliput
ke Semarang, dia naik bis. Abang pilih duduk di deretan kursi untuk dua orang,
mepet ke jendela. Karena berangkat sendiri, jadi kursi di sebelahnya kosong.
Tak lama, tiba-tiba seorang perempuan memilih duduk di kursi kosong itu. Bang
Gazza kaget. Sebab, itu perempuan pakai rok pendek banget, kulitnya putih....”
“Terus?” tanya Rina memotong
sambil tersenyum penasaran. Padahal, walaupun tidak dipotong, Barada tetap akan
terus cerita.
“Abang bukannya senang, justeru
malah panik. Perasaannya enggak tenang, enggak nyaman. Mau bagaimana pun, mau
tidak mau, mata Abang pasti bakal melihat paha itu, sebab pahanya nempel di
paha Abang. Hahaha!”
Rina yang senyum-senyum sejak
awal cerita, jadi ikut ledakkan tawa mengikuti tawa Barada yang heboh lebih
dulu sebelum cerita selesai.
“Lalu?” tanya Rina lagi minta
segera dilanjutkan ceritanya.
“Abang akhirnya pilih mau pindah,
tapi pas dilihat, kursi lain sudah penuh semua. Kalau pindah berdiri,
perjalanan jauh dari Jakarta ke Semarang. Abang kan enggak berkutik tuh. Abang
istighfar aja non-stop dalam hati
sambil nengok terus ke jendela, pura-pura lihat pemandangan alam. Tapi
lama-lama lehernya pegel juga. Terus, Abang akhirnya milih tidur, lebih aman.
Pas Abang bangun, dilihatnya paha itu masih ada, ya tidur lagi.”
Kali ini Rina tidak berhenti
tertawa kecil mendengar cerita itu. Ia terus tertawa karena membayangkan
ilustrasi gambaran cerita itu dalam imajinasinya.
“Setelah bangun untuk kesekian
kalinya, Abang benar-benar syok. Tahu-tahu, paha yang tadi kinclong berubah
warna dan bentuk. Cewek seksi tadi sudah hilang, yang ada itu cewek gemuk, pakai
you can see, kulitnya putih enggak,
hitam enggak, terus, pakai celana hotpant.”
“Hahaha!”
Tawa Rina meledak kencang, sampai
terdengar oleh ayah dan ibunya yang hanya bisa saling pandang.
“Abang sih ngomongnya ke saya
begini, bukannya menghina atau merendahkan cewek gemuk itu, tapi pas lihat
wajahnya, mau tidak mau Abang harus istighfar yang kesekian ribu. Jadi,
kecantikan yang sudah sempurna Allah berikan sesuai takarannya. Kamu paham kan
maksud dari sesuai takarannya, Rin?”
“Ya,” angguk Rina sambil menurunkan
kadar tawanya.
“Maksudnya pas-pasan tapi itu
yang terbaik baginya. Si mbak itu mempercantik wajahnya lagi dengan tebalnya
bedak, panjangnya bulu mata palsu dan ngejrengnya merah bibir yang rada
belepotan, yang menurut Abang justeru mirip badut. Abang benar-benar merasa
kena musibah tiga kali.”
“Musibah apa?” tanya Rina jadi
berhenti tertawa.
“Musibah pertama adalah cewek
cantik seksi yang pertama duduk di sebelah Abang, yang buat Abang
klepek-klepek. Yang kedua, cewek seksi yang astaghfirullah
bikin geli itu. Dan musibah ketiga, bis sudah keluar dari Semarang, yang
artinya tempat Abang harus turun sudah kelewat jauh.”
“Hahaha!”
Lagi-lagi tawa kedua gadis cantik
itu meledak kencang. Sampai-sampai dua pembantu perempuan yang sedang sibuk di
sisi lain di ruangan itu, jadi senyum-senyum berdua juga.
“Aduh, pipi gua pegel!” keluh
Rina sambil terus tertawa hingga air matanya keluar.
Setelah tawa mereka berdua reda,
barulah Barada kembali ke topik utama mereka.
“Saya ingin contohkan bahwa cowok
seperti Abang tidak suka dengan perempuan cantik yang terbuka. Abang itu hanya
satu contoh lho. Masih banyak cowok-cowok seperti Abang. Kenapa kamu melihat,
kesannya semua cowok sukanya yang cantik terbuka dan yang obral murah? Karena
ikan air laut akan berenang bersama ikan air laut lainnya dan ikan air tawar
bersama ikan air tawar. Di Al-Quran ada ayat yang menjelaskan bahwa perempuan
yang buruk untuk laki-laki yang buruk, perempuan baik untuk laki-laki baik.
Saya enggak hapal surat dan ayatnya. Komunitas laki-laki salih tidak akan mau
mengambil wanita-wanita yang tidak salihah. Kalau kamu mau dapat cowok yang
bagus dunia akhirat, tidak ada jalan lain, kamu harus jadi wanita yang baik
menurut versi cowok salih itu, kecuali takdir bicara lain,” tutur Barada.
“Sepertinya busa di lambung saya sudah penuh kebanyakan bicara.”
“Elu malam ini benar-benar jadi
guru spiritual gua, Badar!” puji Rina dengan senyum bahagianya, karena memang
hatinya berubah bahagia setelah pikirannya terbuka dan tercerahkan oleh
“kuliah” dari Barada. Lalu katanya lagi kepada Barada, “Tekad gua sekarang
benar-benar jadi bulat sempurna.”
Rina lalu berdiri, demikian juga
Barada, karena memang mereka sudah selesai makan.
“Badar, keranjang buahnya bawa
aja ke kamar. Gua mau nyobain baju yang gua beli,” kata Rina.
“Hik hik hik!”
Tiba-tiba Rina dan Barada
mendengar suara seperti orang menangis, suara perempuan. Asal suara itu dari
balik sebuah pintu yang tertutup, hanya 4 meter dari meja makan. Itu adalah
pintu kamar kakak Rina.
Rina segera ke pintu tersebut,
sementara Barada berdiri diam di tempatnya sambil menenteng keranjang buah.
Setibanya di pintu yang tertutup,
Rina diam menyimak dengan pendengarannya. Ia mendengar suara tangis yang samar,
tangis yang sepertinya ditahan agar tidak terdengar kencang.
“Ran?!” panggil Rina agak kencang
lalu mengetuk pintu kamar yang memang dikunci.
Namun, tidak ada jawaban dari
dalam kamar, kecuali suara isak tangis yang masih terdengar oleh Rina.
“Rani, elu kenapa?!” tanya Rina
agak berteriak. “Rani!”
Tetap tidak dijawab oleh orang
yang ada di dalam.
Rina akhirnya memutuskan
meninggalkan pintu itu lalu mengajak Barada kembali ke kamarnya.
“Rani nangis tuh di kamarnya!”
kata Rina kepada ayah dan ibunya saat melewati keberadaan mereka di sofa depan
TV.
“Hah!” kejut Irma kerutkan
kening. Ibunya Rina itu lalu bangkit dan segera pergi ke kamar anak tertuanya
yang bernama Rani. Sementara sang ayah tetap teguh di duduknya.
“Kamu berapa bersaudara?” tanya
Barada sambil menaiki tangga.
“Tiga. Rani, gua dan Roni. Kalau
Roni kelas 2 SMP, kamarnya paling atas. Anak laki pingitan. Kalau dia enggak
main ke luar, dari pulang sekolah sampai sekolah lagi, kerjaannya di kamar
doang. Kalau Rani kuliah, gaulnya sama selebritis,” jawab Rina. “Eh, elu belum
jelasin tentang kecantikan yang hakiki, Badar. Dan gua masih punya banyak
pertanyaan tentang ini.” (RH)
Berlanjut: Geger Jilbab Rina (10)
Boleh bukunya kaka :D
BalasHapusTidak boleh, Dede. Sebab itu untuk disumbangkan
BalasHapus