"Gua Enggak Layak Berjilbab" (12)

Ilustrasi (Foto: Zetrum)
Oleh: Rudi Hendrik
2016

Bab Sebelumnya:



Teeet!

Bel listrik berbunyi sekali, sebagai tanda jam kedua mata pelajaran pagi itu berakhir dan akan beralih ke mata pelajaran lain, artinya pun akan berganti guru yang mengajar.


Sebelum guru yang baru datang ke kelas, Edo Gundala segera ambil kesempatan untuk segera keluar dari kelas. Siswa kelas tiga IPA itu berperawakan tinggi besar dengan lengan yang cukup kekar bagi seorang pelajar. Kepalanya berambut model botak tumbuh. Dua lengan bajunya sedikit di gulung agar terlihat lebih macho maksudnya. Ujung bajunya dibiarkan berada di luar celana. Ia membawa sebuah buku di tangannya.

Semua siswa yang bersekolah di gedung itu sangat mengenal Edo sebagai Ketua Geng Anak Monster (Amos). Tindakannya ternyata diikuti oleh beberapa siswa kelas tiga lainnya, sehingga ada lima orang yang meninggalkan kelas sebelum guru datang mengajar.

Ketika mereka melewati kelas tiga SMU lainnya, beberapa siswa yang tergabung sebagai anggota Amos, segera terpancing untuk keluar dan bergabung, hingga jumlah mereka sepuluh anak yang dipimpin oleh Edo. Dari lantai dua mereka naik ke lantai tiga.

Beruntung, kelompok ini tidak menemui hambatan dalam perjalanannya menuju ke kelas dua SMK jurusan sekretaris A. Aksi bergerombol mereka cukup jadi perhatian murid-murid SMK di kelas yang mereka lalui.

“Assalamu ‘alaikum!” salam Edo setengah berteriak saat masuk ke kelas dua sekretaris A. Namun, tidak ada yang menjawab salam itu.

Saat itu, guru pengganti belum tiba untuk mengajar pelajaran berikutnya. Para siswi cukup terkejut dengan kedatangan Geng Amos tersebut di saat jam pelajaran.

“Hahaha!” Edo dengan gaya jagoannya tertawa sambil menghampiri meja tempat Rina Viona dan Indah Pertiwi duduk. Tawa Edo juga didukung oleh tawa beberapa anggota Amos lainnya.

Kedatangan Geng Amos yang kemudian tertawa, jelas bagi Rina dan anggota Geng Bintang Tujuh lainnya dinilai sebagai ejekan. Jelas, tidak ada bahan ejekan yang bisa mereka tertawakan, kecuali karena jilbab yang Rina kenakan.

“Wow! Ada cewek baru nih!” kata Edo sambil melirik kepada Silva Monica yang sangat mencolok dengan rambut kuningnya. Tapi, Edo segera beralih kembali kepada Rina yang menatap tajam kepadanya, “Tapi jujur, Rin, kita-kita harus akui, elu kelihatan lebih cakep dengan jilbab gitu. Ya enggak, Bro?”

Edo berpaling kepada teman-temannya meminta dukungan atas penilaiannya.

“Yo i, Bang Edooo!” sahut siswa bertubuh mungil pendek berwajah tua sambil cengengesan di sisi Edo.

“Tapi kita juga harus akui, Rin, elu jadi enggak pantas nyandang status anak geng dengan jilbab itu,” ujar Edo.

Pak!

Indah yang terpancing emosinya sejak kedatangan Geng Amos ke kelas itu, tiba-tiba berdiri sambil gebrak meja. Lalu teriak, “Maksud lu apa, Do?!”

“Wow!” seru Edo berlagak terkejut oleh sentakan Indah.

Ketegangan itu membuat lima anggota Geng Bintang Tujuh bangkit dari duduknya dan bergerak berkumpul di sekitar Rina dan Indah, meski mereka baru saja bersitegang dengan Rina.

“Oooh!” desah para anggota Geng Amos melihat Geng Bintang Tujuh yang cantik-cantik berkumpul satu.

“Lantas, mau apa elu semua datang ke depan gua?” tanya Rina akhirnya, setelah tanpa henti menahan gejolak amarah di dalam dada dan kepalanya.

“Sangat jelas Amos dan Bintang Tujuh enggak ada masalah. Amos, Bintang Tujuh dan J-Ray masih sepakat saling menghormati. Tapi gua benar-benar merasa terusik, pas dengar berita duka bahwa Ketua Geng Bintang Tujuh pakai jilbab. Sebagai insan yang berpekerti, tentunya gua mau cek dan lihat langsung dong, apakah benar Rina hari ini sanggup pakai jilbab. Dan ternyata benar, beritanya kagak bohong. Jelas berita elu ini lebih heboh dibandingkan berita Michael Jackson hidup lagi,” ujar Edo yang kemudian diikuti oleh tawa mereka bersepuluh yang sudah mirip tawa kaum dedemit siang bolong.

“Kalau elu cuma mau ngomongin itu dan ngetawain gua, mendingan lu semua balik ke alam lu di lantai dua!” kata Rina bernada tinggi, wajah cantiknya begitu menegang.

Edo lalu berbalik menghadap kepada kesembilan temannya. Lalu tanyanya, “Anak Amos berani bertaruh?”

“Yap, berani!” jawab mereka serentak, seperti satu regu tentara.

Edo lalu beralih kembali kepada Rina dan katanya, “Anak Amos berani taruhan, kalau elu sanggup dalam lima hari bertahan pakai jilbab, seluruh anak Amos akan lari gak pakai baju keliling lapangan 20 kali. Tapi kalau enggak, elu harus pertimbangin lagi status elu sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh!”

“Hei! Ada apa ini, hah?!”

Tiba-tiba satu bentakan mengejutkan mereka. Seorang guru pria berkulit hitam masuk dengan ekspresi wajah tidak senang melihat kondisi yang tidak pantas terjadi di saat jam pelajaran, terlebih di jam pelajaran miliknya. Guru berkumis tipis berpotongan rambut cepak seperti ABRI itu adalah Pak Suryo Manutdilogo, guru matematika.

“Maaf, Pak, kita datang mau pinjam buku,” kata Edo mendadak sopan, sambil menunjukkan buku yang sejak tadi dipegangnya.

“Cepat keluar!” bentak Pak Suryo.

Kesepuluh anak geng itu pun segera berhamburan keluar dari kelas. Personil Geng Bintang Tujuh kembali pula ke kursinya masing-masing.

Pak Suryo adalah guru yang termasuk ditakuti dan terkenal sebagai bertipe “killer”. Meski kualitas pengajarannya bagus, tapi gaya penyampaiannya yang terkadang kasar ke siswa, membuat siswa pada umumnya ilfil terhadapnya. Maka tidak heran jika siswa yang ahli pelajaran matematika di bawah binaannya, hampir tidak ada.

Pak Suryo meletakkan buku bawaannya ke meja guru setengah dilempar. Ia memilih tetap berdiri.

“Hari ini, seluruh siswa dibuat heboh. Termasuk dewan guru pun jadi heboh. Bapak rasa kalian semua sudah tahu apa sumber kehebohan itu. Sumber kehebohan itu hanya dipicu oleh selembar jilbab yang dipakai Rina. Tapi Bapak tidak mengerti, apa istimewanya jilbab yang dipakai Rina sehingga begitu memberi efek kekacauan yang besar? Tadi, Bapak memang tidak lihat langsung kekacauan yang terjadi di jajaran kelas di SMK ini. Tapi Pak Haris cerita ke Bapak, dia dibuat marah besar kepada anak tiga akuntansi yang ribut seperti rumah sakit jiwa, hanya karena menonton Rina berjilbab,” kata Pak Suryo kepada para siswi yang diam mendengarkan.

“Berengsek! Gua disalahin karena gara-gara gua pakai jilbab!” maki Rina, tapi dalam hati. Golakan darah di dalam dadanya kian mendidih. Ia merasa muak jika melihat wajah guru yang kini ada di depannya itu, terlebih arah bicara Pak Suryo menyerang jilbabnya.

“Bapak tidak anti-jilbab atau anti-hijab. Bapak tidak pernah mempermasalahkan beberapa siswi yang eksis berjilbab di sekolah ini, seperti Badar, Maya, Dina dan Inur. Jilbab itu sesuatu yang mulia, hanya pantas untuk perempuan-perempuan yang hatinya sudah terbekali oleh ilmu agama yang baik. Tapi kalau dipakai hanya buat gaya-gayaan, biar dibilang cantik, salih, cewek alim, mendingan jangan deh, itu sama saja melecehkan makna dari jilbab itu sendiri. Jadi....”

“Jadi, gua enggak pantas pakai jilbab cuma karena gua belum salat? Begitu kan, Pak?!” teriak Rina tiba-tiba memotong kata-kata Pak Suryo. Rina berdiri dengan tatapan nanar, menahan sebuncah genangan air mata yang siap meluncur di pipi halusnya. Bibirnya bergetar menahan emosi yang sudah memuncak. Pikirannya tidak lagi mempertimbangkan kepada siapa ia sedang berkata keras.

“Rin!” sebut Indah sambil memegang tangan Rina, bermaksud menyuruhnya tidak bersikap kasar kepada guru.

“Gua enggak pantas pakai jilbab karena gua anak geng! Kalau gua yang pakai jilbab, gua melecehkan kemuliaan jilbab! Dan Rina enggak pantas jadi mulia! Begitu kan, Pak?” teriak Rina.

Tiba-tiba Rina merenggut kain jilbabnya dan menariknya hingga lepas. Maka terbukalah rambut Rina, jatuh ikal tergerai. Dengan penuh kemarahan, Rina melempar jilbab putihnya ke depan kaki Pak Suryo.

Tindakan Rina itu membuat Pak Suryo mendelik marah dan juga mengejutkan semua siswi yang ada. Rina ambil tasnya dan dengan cepat berjalan keluar tanpa memperdulikan keberadaan gurunya lagi. Rina tidak bisa menahan lagi luapan air matanya yang kemudian jatuh tanpa suara. Perasaannya begitu sakit. Sakit yang tercipta sejak pagi, terasa klimaksnya begitu pedih dan perih ketika kata-kata Pak Suryo begitu merendahkan dirinya. Ini lebih sakit dibandingkan ketika Rio mengkhianati cintanya.

“Kalian lihat, apakah pantas anak kurang ajar seperti itu memakai jilbab?!” tanya Pak Suryo dengan nada tinggi kepada anak-anak yang diam tidak menjawab.

Kalimat itu masih terdengar oleh Rina yang sudah ada di luar. Dan pertanyaan Pak Suryo terdengar berulang-ulang di telinga Rina. Kalimat itu benar-benar menjadi tamparan yang begitu mematikan baginya.

“Permisi, Pak!” ucap


Indah kepada gurunya, lalu bergerak memungut jilbab Rina yang tercampakkan.
Indah segera berlari keluar mengejar Rina.

Kondisi setiap kelas yang fokus pada pelajaran yang sedang berlangsung, membuat Rina tidak terperhatikan oleh siswa-siswa yang kelasnya dilalui oleh Rina. Namun demikian, tetap saja ada satu dua siswa yang menangkap kelebatan sosok Rina yang lewat tanpa berjilbab lagi. Sebar bisikan pun terjadi di antara para siswa, tapi tidak bisa menciptakan kehebohan seperti pagi tadi.

“Rin, elu mau ke mana?” tanya Indah yang berhasil menyusul Rina di tangga.

“Pulang,” jawab Rina sambil menyeka air matanya. “Gua bisa mati kalau seharian di sini.”

“Elu benar-benar serius sama jilbab elu?” tanya Indah, tangannya menyodorkan jilbab yang tadi Rina campakkan.

“Gua enggak tahu, Wi. Terserah kalian mau ambil keputusan apa tentang gua,” kata Rina.

“Pakailah!” kata Indah menyarankan. Hatinya begitu terenyuh melihat Rina menangis, sebab baru kali inilah ia melihat gadis garang itu menangis.

“Mungkin gua belum pantas pakai jilbab,” kata Rina, lalu terus menuruni tangga meninggalkan Indah yang terpaku di tempatnya.

Setibanya di lantai bawah, Rina langsung menuju ke pintu gerbang. Di sana ada seorang satpam yang tergolong sudah mulai tua. Satpam berperut gendut itu berseragam biru gelap. Namanya Rustam Efendi, tapi anak-anak suka memanggilnya Pak Pepen.

“Pak Pepen, bukain gerbang!” pinta Rina.

“Mau ke mana, Neng?” tanya Rustam.

“Pulang.”

“Surat izin pulangnya mana?” tanya Rustam.

“Buka, Paaak! Gua mau pulang sekarang!” kata Rina agak keras, karena kesal.

“Oh maaf, Neng. Kalau tidak ada surat izin pulang, Bapak tidak bisa buka. Itu aturannya!” tandas Rustam.

Rina pun naik pitam. Saking kesalnya, ia menendang tembok yang ada sambil berteriak pendek.

“Gua mau pulang!”

Akhirnya Rina membentak keras kepada Rustam, membuat orang tua itu jadi emosi juga.

“Anak kurang ajar!” geram Rustam dengan gigi atas bawah saling menekan.

Tiba-tiba seorang siswi berteriak memanggil Pak Rusam.

“Pak Pepen!”

Rustam dan Rina segera menengok. Mereka melihat seorang siswi berjilbab berlari ke arah mereka. Siswi itu tidak lain adalah Barada.

Barada tiba dengan senyuman, seolah menyiram padam api emosi Rustam dan Rina.

“Rina lagi sakit, Pak. Nih surat izinnya,” kata Barada lalu menyodorkan selembar kertas yang memang merupakan surat izin pulang.

Rina agak terkejut melihat Barada bisa punya surat izin.

Setelah menerima dan membaca surat izin tersebut, Pak Rustam pun lalu bergerak ke gerbang dan membuka gembok yang mengunci pintu gerbang.

“Saya cuma ngantar, Pak, nanti balik lagi!” kata Barada.

“Badar, nasehati Rina supaya sopan kepada orang tua!” kata Rustam yang masih menunjukkan wajah marah.

“Maklum, kalau sakit, cuaca susah dibaca, Pak,” kilah Barada. “Terima kasih, Pak. Assalamu ‘alaikum!”

“Wa ‘alaikum salam!” jawab Rustam.

Barada lalu membungkuk seperti orang Jepang menghormat kepada Rustam. Kemudian ia dan Rina keluar dari sekolah.

Tanpa mereka ketahui, dari pinggiran lantai dua, Indah Pertiwi menyaksikan kepergian Rina dan Barada.

“Pagi yang berat ya, Rin?” tanya Barada sambil keduanya berjalan.

“Terlalu berat. Semuanya nyakitin gua, terutama Pak Suryo berengsek!” maki Rina.

Rina tidak langsung pulang ke rumah, tapi dia mengajak Barada minum jus tidak jauh dari sekolah.
Setelah dua jus telah tersaji di meja mereka, Rina mendadak menepuk dahinya.

“Elu puasa, kan?” tanya Rina yang baru teringat bahwa kebiasaan Barada adalah puasa Senin dan Kamis.

“Enggak masalah. Bismillah,” kata Barada lalu lebih dulu menyedot jusnya, membatalkan puasanya demi menemani dan membuat nyaman Rina.

“Bagaimana elu bisa dapat surat izin, Badar?” tanya Rina.

“Saya sempat lihat kamu waktu lewat tanpa jilbab dan bawa tas. Saya tebak saja dan menyimpulkan bahwa Pak Pepen tidak akan buka pagar kalau tidak ada surat izin. Jadi saya mintakan atas nama kamu dengan alasan sakit.”

Pada kesempatan itu, Rina pun menumpahkan seluruh sakit hati yang ia rasakan, terutama perkataan-perkataan Pak Suryo yang begitu membunuh semangatnya untuk berjilbab. Barada menjadi pendengar yang baik.

“Saya sih tidak setuju pemikiran yang menyebutkan bahwa percuma pakai jilbab kalau tidak salat. Memang mungkin pahala tidak dapat, karena salat tidak dilaksanakan, tapi tetap ada efek positifnya kepada orang lain. Dengan berhijab, setidaknya kamu membantu mata kaum lelaki terhindar dari zina mata,” kata Barada.

“Menurut elu, omongan Pak Suryo itu enggak benar?” tanya Rina, ia benar-benar merasa sewot dengan guru matematika itu.

“Kebenaran hanya berdasarkan Al-Quran. Sebagaimana yang tadi malam saya sampaikan ke kamu, Rin. Kalau kata Al-Quran A, berarti ya A. Al-Quran bilang B, ya B. Al-Quran bilang yang benar itu Rina, ya Rina. Kebenaran bisa datang dari sahabat-sahabat kamu, dari seluruh siswa, bahkan dari Pak Suryo, jika apa yang mereka nyatakan cocok dengan kata Al-Quran. Tetapi demikian sebaliknya. Meskipun yang berpendapat saya atau Ustad Mukhtar, tapi tidak cocok dengan apa yang dikatakan Al-Quran, ya tetap salah,” ujar Barada.

“Bagaimana dong, gua kan enggak tahu sedikit pun apa yang Al-Quran omongin?” tanya Rina dengan mimik putus asa.

“Ya kamu harus mempelajari Al-Quran. Pastinya kamu tidak bisa langsung tahu semua, perlu waktu. Tapi itu bukan alasan kamu bisa menunda satu kebaikan yang sudah kamu ketahui, seperti betapa wajibnya perempuan Muslim berhijab dan betapa mulia dan agungnya Muslimah berjilbab. Kamu tinggal pilih, mau jadi kotoran di antara kotoran di comberan atau menjadi mutiara di antara kotoran di comberan. Eh, maaf ya, saya ngomong comberan,” jelas Barada lalu cengengesan. “Sementara ini kamu bisa percaya kepada orang-orang yang menurut kamu tahu Al-Quran bicara apa, seperti Ustad Mukhtar atau Pak Abdurrahman. Kalau kamu sungkan dengan keduanya, kamu bisa konsul ke Bu Nurhayati, beliau juga banyak hapal Al-Quran.”

“Tapi gua benar-benar enggak bisa menghadapi kondisi seperti tadi. Gua enggak pernah mengalami yang lebih buruk dari itu sebelumnya. Bahkan ini lebih sakit dibandingkan ketika gua dikhianati sama pacar gua, Badar. Gua benar-benar merasa konyol banget memilih pakai jilbab.”

“Saya mungkin melihat kondisi kamu dengan penilaian berbeda. Bagi saya kamu tampil begitu luar biasa, meskipun pada kahirnya kamu menyerah dengan melepas jilbab kamu hari ini. Tapi itulah ujian yang Allah berikan. Dengan ujian seberat itu, Allah mau melihat, apakah kamu memang layak atau tidak. Jika kamu berhasil melewati itu semua, itu menunjukkan kamu wanita yang memang pilihan. Atau gagal sehingga kamu akan menjadi pecundang....”

“Dan gua memang pecundang akhirnya, kan?” potong Rina.

“Bisa dibilang iya. Tapi status hari ini akan terus melekat di hari-hari esok, jika kamu tetap memilih tidak berhijab lagi dan menyerah hanya sampai hari ini. Namun, jika kamu mau mengubah label pecundang itu, kamu harus mencobanya lagi hingga semua anak YAKIN mengakui bahwa kamu memang layak menjadi seorang Muslimah. Sehingga Pak Suryo tidak pantas lagi untuk merendahkan kamu. Saya ingat satu ayat Allah yang mengatakan, Allah tidak akan membiarkan seorang hamba mengaku telah beriman tanpa diuji. Semakin berat ujian yang Allah berikan, maka semakin besar pahala yang ditawarkan dan semakin tinggi derajat yang diberikan.”

Barada kembali menyedot nikmatnya jus alpukat di gelasnya.

“Bola itu ada di tangan kamu. Semua tergantung kamu. Saya hanya menyampaikan ke kamu apa yang saya sudah ketahui. Apapun keputusan kamu nantinya, baik buruknya, kamulah yang menerima dan menanggungnya. Apapun keputusan kamu nantinya, Badar akan tetap menjadi dirinya. Saya rasa cukup untuk hari ini, saya harus kembali lagi ke sekolah.”


Rina terdiam tanpa senyum. Pikirannya bekerja dengan lebih encer. Masukan dari Barada memang meringankan beban hatinya, meski kejadian hari ini masih terlalu sakit. (RH)

Berlanjut: Jilbab yang Direnggut (13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar