Perpisahan Penuh Tangis (14)


Oleh: Rudi Hendrik
2016

Bab Sebelumnya:



Setelah memarkir mobil Avanza merah maroon miliknya, Novi Andria segera mendatangi teman-temannya yang sudah berkumpul di meja kayu panjang bawah pohon. Di atas meja telah berderet tujuh kelapa muda yang tinggal sedot air segarnya.


“Hai!” sapa Novi dengan senyum lalu menyalami kelima sahabatnya dengan cara saling membenturkan kepal tangan dengan pelan. “Rina belum datang?”

“Bentar lagi,” jawab Indah yang tampil dengan celana jeans hitam, berkaos putih dilapisi kemeja lengan panjang kuning yang tidak dikancingkan. Rambutnya diikat sederhana dengan ikat rambut warna merah belang putih. Di atas kepalanya bertengger kacamata hitam.

“Itu dia!” tunjuk Windi Anggita yang tampil seperti penyanyi dangdut. Ia mengenakan baju pink lengan pendek. Celana legging juga pink, tapi dilengkapi rok hitam pendek mengembang. Rambutnya dikepang tunggal tapi menyamping di kanan. Hampir sama dengan penampilan Ade Irma yang juga kepang tunggal di sisi kiri. Model pakaiannya hampir sama tapi beda warna. Keduanya memang suka kompak, seperti anak kembar lain bapak lain ibu. Keduanya bukan mengikuti model penyanyi dangdut, tapi mencontoh gaya pakaian salah satu penyanyi wanita K-Pop, tapi entah siapa.

Sedan Honda City warna merah menyala masuk ke area parkir warung tenda minuman pinggir pantai pasir putih itu. Setelah parkir, pintu depan dibuka. Awalnya, turunlan dua kaki bersepatu model sneakers cokelat dari bahan kulit mahal yang berkaos kaki putih. Kedua kaki itu dibalut oleh celana gombrong warna biru laut, sama dengan warna baju longgarnya yang berlengan panjang. Ia mengenakan jilbab longgar warna putih, tapi kuat terpasang di kepala, sehingga tiupan angin Teluk Jakarta tidak merusak keindahan jilbab itu. Warna putih pada jilbab terlihat selaras dengan putihnya kulit wajah si gadis yang tidak lain adalah Rina. Pagi menjelang siang itu, Rina tampil tidak hanya cantik, tapi juga anggun dan sejuk di mata, sesejuk rasa yang diberikan angin laut di pantai itu.

“Wow, anggun banget!” ucap Ade Irma terpana.

Awalnya, Rina tidak mau hadir di tempat itu. Meski pada Jumat yang lalu ia telah menyatakan permohonan maaf kepada keenam sahabatnya itu, tapi ia masih menyimpan kemarahan kepada mereka. Namun, desakan Indah Pertiwi di telepon yang begitu memaksa, akhirnya membuat Rina terpaksa mengatakan akan hadir.

“Elu wajib datang, Rin. Ada hal yang penting banget yang elu harus tahu dan harus kita buka sama-sama, agar enggak ada rahasia di antara kita. Setelah ini, terserah elu mau bersikap apa. Kita enggak akan mempermasalahkan keputusan elu untuk tetap berjilbab. Please, elu harus datang, Rin, demi persahabatan Bintang Tujuh.”

Itulah kata-kata Indah kepada Rina di telepon.

Setelah menyalami sahabat-sahabatnya dengan tos tinju, Rina pun bergabung dengan mereka dalam satu meja panjang.

“Oke, semua sudah kumpul!” seru Ristana, gadis cantik rambut pendek yang tampil dengan celana levis selutut dan berjaket lengan pendek hitam yang melapisi kaos hijaunya. Di telinga kirinya tampak berderet beberapa anting tindik.

“Sebelum elu semua menumpahkan semuanya ke gua, gua mau lebih dulu untuk sekali lagi, gua ucapin maaf yang sebesar-besarnya ke elu semua, karena gua sudah enggak terbuka belakangan ini. Kemudian gua udah menomorduakan elu semua dan lebih mengutamakan Badar yang bagi kalian bukanlah siapa-siapa, tapi gua punya alasan kuat. Dan sekali lagi gua minta maaf khusus kepada Ofi (Novi Andria), Ala (Iyut Nirmala), dan lu Iis (Ristana). Gua nyesel sudah sampai main tangan sama kalian. Tapi untuk hijab gua, gua enggak akan mundur atau jadi pecundang. Gua memang akui, gua masih kasar, baru mulai belajar salat, gua masih kayak yang dulu, gua belum jadi cewek alim. Tapi, gua enggak salah kalau gua memilih jilbab sebagai baju gua, walaupun gua sampai detik ini masih Ketua Geng Bintang Tujuh,” ujar Rina.

“Rin, kalau elu masih menganggap kita adalah sahabat, dan elu masih pegang janji geng kita, elu harus jelasin, kenapa sekarang elu lebih memilih Badar dari pada kita,” kata Ade Irma.

“Benar!” timpal Windi cepat.

“Awalnya gua enggak ada hubungan sama Badar. Gua enggak menghendaki dia masuk ke kehidupan gua. Dia pun, gua yakin sedikit pun dia enggak akan mau peduli sama cewek-cewek macam kita. Dia bukan level kita. Tapi gua yakin memang takdir. Gua memang belum cerita ke elu semua. Minggu lalu, gua dibohongin sama Roy. Dia jebak gua. Gua ditampar di pinggir jalan raya di atas jembatan, karena dia tahu gua yang nabrak pacarnya sampai masuk rumah sakit. Dia bayar orang buat culik dan bius gua. Tapi sebelum gua celaka, Badar dan teman-temannya nyelamatin gua. Sadar-sadar, gua sudah di rumah Badar. Akhirnya gua kenal Badar, kenal keluarganya. Badar memang bukan cewek selevelan kita, tapi dia cewek yang lebih tinggi levelnya dari pada kita. Coba elu semua perhatiin aja. Gua kira waktu Jumat pagi elu semua menang karena bisa ngeroyok dia, tapi ternyata gua salah. Waktu itu dia cuma pilih mengalah, karena dia enggak mau ribut sama teman. Karena, untuk kedua kalinya, dia nyelamatin gua dari Roy di depan Ramayana. Badar ternyata jago silat, sampai-sampai Roy dihajar Badar sampai muntah darah. Gila!” tutur Rina, lalu ia menyedot air kelapa di depannya.

“Sebenarnya gua dari awal sudah curiga sama Roy. Tapi gua enggak habis pikir, kenapa dia bisa tahu kalau elu yang nabrak pacar dia, Rin. Padahal elu cerita sendiri, kalau waktu itu pacarnya naik motor sendiri dan jalanan sepi. Enggak mungkin Roy ada dilokasi jam enaman pagi begitu,” kata Indah. “Di antara kita, enggak ada yang megang nomor Roy untuk cerita kalau elu yang nabrak pacarnya dia.”

Tampak Ristana mengeluarkan hp dari sakunya lalu menelepon seseorang. Di saat yang bersamaan, tiba-tiba terdengar suara nada dering sebuah hp. Semua sama-sama hapal bahwa itu adalah nada dering hp milik Novi.

Novi segera merogoh saku baju merahnya, tempat hp-nya berada. Setelah dilihat nama orang yang menelepon, Novi secara samar agak terkejut. Nama yang tertera adalah Rio, nama lelaki yang akrab mereka panggil “Roy”.

“Siapa, Fi?” tanya Iyut Nirmala yang hari itu memakai rok pendek selutut tapi berbaju gombrong warna putih berhias sablonan gambar pohon kelapa tanpa pantai.

“Oh ini, ini nyokap gua,” jawab Novi sedikit tergagap, lalu buru-buru menolak menjawab telepon yang masuk itu.

“Gua kira Roy telepon elu,” celetuk Windi.

Perkataan Windi itu membuat Novi agak mendelik terkejut. Reaksi itu tertangkap oleh yang lain.

“Gua mana punya nomor Roy!” bantah Novi cepat, tapi bahasa tubuhnya terlihat tidak nyaman di mata teman-temannya.

“Padahal gua barusan telepon elu pakai hp Roy, Ofi,” kata Ristana, lalu menunjukkan hp di tangannya kepada Novi.

Kian terkejutlah Novi, meski dalam hati ia membantah, “Enggak mungkin hp Roy ada di tangan Iis.”

Percakapan itu membuat Rina merasa aneh. Secara lekat ia memandang tajam kepada Novi yang duduk tepat di hadapannya. Tatapan tajam Rina membuat Novi yang sebenarnya dikenal paling garang juga di antara mereka, jadi salah tingkah. Ia seolah menduduki kerikil-kerikil batu yang membuatnya bergerak tidak nyaman.

“Jumat kemarin, elu kan yang nelepon Roy dan ngasih tahu keberadaan Rina? Sehingga Roy menyerang Rina di depan Ramayana,” tanya Iyut.

Deg!

Godam besi seolah menghantam jantung Novi mendengar pertanyaan yang menyudutkannya.

“Jangan sembarangan lu, Ala!” teriak Novi marah kepada Iyut, berusaha menyangkal tudingan tersebut.

“Hp yang di tangan Iis itu adalah hp Roy yang jatuh pas dia digebukin oleh Badar dan orang pasar. Lu ada di sana, kan? Lu enggak bisa nyangkal, karena gua lihat elu ada di sana nyaksiin langsung Rina dipukul sama Roy. Jilbab Rina ditarik lepas sama Roy, sehingga Badar sangat marah. Gua lihat elu nyaksiin itu semua. Pas Roy diselamatin sama satpam, Roy buru-buru pergi. Hp-nya ketinggalan dan gua minta hp itu dari satpam. Elu enggak bisa nyangkal lagi kalau bukan elu yang telepon Roy!” ujar Iyut.

Plak!

Novi yang tidak bisa berkata apa-apa mendengar paparan dari Iyut Nirmala, tidak bisa menghindari gerakan cepat Rina yang berdiri dan mencondongkan badannya untuk menampar wajah Novi.

“Jadi elu yang nusuk gua dari belakang, Fi?!” teriak Rina marah.

“Tahan, Rin!” seru Indah seraya merangkul bahu Rina dan menuntunnya untuk duduk kembali.

“Kalian enggak bisa fitnah gua begitu aja!” teriak Novi seraya bangkit berdiri dengan wajah merah dan mata berkaca-kaca. Tamparan Rina terasa panas di kulit wajahnya.

“Itu bukan fitnah, Ofi!” tandas Indah. “Hp punya Roy itu adalah bukti jelas. Elu nelepon Roy beberapa saat sebelum kejadian di depan Ramayana. Sebelum-sebelumnya juga elu ditelepon sama Roy. Pesan WA elu sama dia, masih tersimpan di hp dia. Sangat jelas, elu yang ngasih tahu ke Roy bahwa Rina yang tabrak pacar dia.”

Novi tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia tidak bisa menyangkal lagi, karena apa yang ungkapkan oleh Indah semuanya benar. Ia kembali terduduk dengan lemas dan menangis.

“Benar elu yang cerita ke Roy, Ofi?” tanya Rina pelan, tapi tatapan dan wajahnya mengandung kemarahan.

“Terserah elu, Rin. Lu bisa tampar gua berulang-ulang, elu bisa pukul dan tendang gua, karena gua memang sudah mengkhianati elu, sudah tusuk elu dari belakang,” kata Novi kepada Rina.

Brak!

Mendengar jawaban Novi, Rina melampiaskan amarahnya dengan menggebrak meja.

Keributan itu membuat pelanggan di meja lain memperhatikan mereka. Termasuk pengelolah warung tenda minuman itu.

Rina meninggalkan duduknya dan pergi berdiri menghadap laut. Ia sama sekali tidak menyangka Novi akan berbuat jahat kepadanya. Karena perbuatan Novi, Rina hampir dicelakai dua kali dan dipermalukan di depan umum.

Rina menarik napas panjang untuk meredam api yang membakar isi dadanya. Ingin rasanya dia menangis, tapi ia berusaha menahannya dan menghilangkan rasa itu.

“Gua memang jahat. Hanya karena cemburu, gua sampai menabrak pacar Roy. Roy memang pantas kalau balas dendam ke gua. Tapi perbuatan Ofi benar-benar menyakiti gua,” membatin Rina.

Sejenak pikiran Rina melesat jauh menerobos angin pantai. Khayalan Rina mencoba melihat kondisi seorang gadis yang pada waktu setelah Subuh sengaja ia tabrak. Entah, apakah gadis itu masih di rumah sakit atau sudah pulang ke rumahnya? Ada segumpal sesal di sudut hatinya.

“Keburukan akan berbalas keburukan,” ucap Rina kepada dirinya sendiri, ia mengutip ucapan Barada kepada dirinya, setelah ia cerita alasan Rio mau mencelakainya sebanyak dua kali.

Di telinga, Rina mendengar sahabat-sahabatnya yang lain menghakimi Novi sili berganti. Intinya semua marah kepada Novi, semua kecewa kepada Novi.

Rina lalu berbalik dan kembali bergabung dengan teman-temannya. Rina tidak duduk, tapi ia mengitari meja dan menghampiri Novi.

Dengan berlinang air mata, Novi menatap Rina. Ia sudah siap jika tamparan berikutnya mendarat di wajahnya lagi. Namun, Novi terkejut. Kelima sahabat yang lain pun terkejut. Rina justeru berdiri merentangkan tangannya kepada Novi, memberi isyarat agar Novi mau berdiri memeluknya.

“Enggak mungkin Rina sepemaaf itu,” pikir Novi dan kelima sahabat lainnya.

Melihat Novi menatapnya penuh keraguan, Rina akhirnya mekarkan sedikit senyumnya. Ternyata senyum itu membuat Novi mau berdiri dan memeluknya. Novi kembali meluapkan tangisnya dalam pelukan sahabatnya itu.

“Gua, gua minta maaf, Rin!” ucap Novi dalam tangis dan pelukan itu.

“Gua enggak peduli apa alasan elu, tapi mungkin memang gua pantas menuai kejahatan gua,” kata Rina. “Elu tetap sahabat gua, Fi.”

Tampak Windi dan Ade menyeka sudut matanya, karena mereka merasakan ada air yang keluar. Demikian pula Indah, air matanya bahkan sudah jatuh. Terlebih bagi Iyut yang punya karakter mudah menangis pula. Tapi tidak bagi Ristana dan Rina.

Rina kemudian melepaskan pelukannya dan menyeka wajah Novi dengan kain jilbabnya.

Rina lalu berkata kepada semua temannya, “Kalian tetap sahabat dekat gua. Perbuatan Ofi gua serahkan ke elu semua, karena mulai saat ini, gua mundur sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh dan keluar dari geng!”

Terkejutlah keenam sahabat Rina tersebut.

“Rina!” sebut Indah, Windi dan Ade Irma bersamaan.

“Enggak! Elu enggak boleh begitu, Rin!” teriak Iyut yang langsung menangis deras.

Windi dan Ade Irma berlari bersamaan dan keduanya memeluk tubuh Rina. Dalam pelukan itu, kedua gadis penggemar Korea Selatan itu menangis keras.

“Elu enggak boleh keluar, Rin. Kita semua sahabat satu tubuh!” kata Ade.

“Benar. Enggak mungkin kita bubar!” kata Windi pula.

“Rina!” panggil Indah. “Kalau kita salah sama elu, kita minta maaf. Tapi...”

Kata-kata Indah terputus, emosi dalam dadanya membuatnya sulit sempurnakan kalimatnya.

“Tapi enggak mesti elu harus lepas dari kita. Kalau memang ada ganjalan di antara kita, kita bicarakan bersama. Selama ini kita saling terbuka, Rin. Elu tahu itu,” kata Indah melanjutkan.

“Sebagai ketua, elu berhak kok tampar gua, tampar Ofi, Iis, atau yang lainnya. Kita terima kok. Gua enggak mau ngebayangin, gua harus cemburu pas lihat elu akrab berdua sama Badar di sekolah, sementara gua dan yang lainnya cuma punya kenangan sama elu. Gua enggak mau begitu, Rin!” ujar Iyut seraya sesegukan menahan tangisnya.

“Apa karena elu sekarang berjilbab dan kita enggak? Lantas elu merasa komposisi geng seperti ini enggak cocok?” tanya Indah, sahabat yang paling dekat dengan Rina selama ini.

“Bukan itu,” jawab Rina singkat. Ia berusaha sekuat tenaga menahan gejolak perasaannya agar tidak menangis. Ia menatap langit cerah yang menyilaukan mata.

“Semua karena gua. Lebih baik gua yang keluar dari geng daripada elu, Rin,” kata Novi.

“Lu enggak perlu keluar, Ofi. Gua ngerti keberatan kalian. Tapi ini sudah keputusan dan tekad gua. Bagi gua, banyak yang harus gua kejar saat ini,” kata Rina. Ia lalu menepuk bahu Windi dan Ade yang masih memeluknya. “Gua harus pergi.”

“Enggak mau!” pekik Windi dan Ade bersamaan tanpa mau melepas pelukannya.

“Gua bukan mau pindah sekolah, Duo K. Kita kan ketemu lagi besok di kelas,” kata Rina.

“Tolong deh, Rin. Pertimbangin lagi keputusan elu,” kata Indah yang sudah bisa menguasai perasaannya.

“Windi Adel!” panggil Ristana. “Kenapa sih lu seperti mau ditinggal mati aja?”

“Jadi lu setuju kalau Rina keluar?” tanya Ade Irma kepada Ristana seraya melepaskan pelukannya. “Jangankan Rina, Ofi kalau mau keluar, gua enggak bakal lepasin!”

“Benar!” sahut Windi pula, seraya ikut lepaskan pelukannya terhadap Rina. “Di sekolah kita memang bersama-sama, tapi enggak sebanding kalau kita bareng-bareng ke mall, pergi nonton, makan bareng.”

“Oke, sahabat, gua harus pergi!” kata Rina lalu melangkah menghampiri Indah dan memeluknya, seolah mereka akan berpisah lama dan jauh.

Indah pun memeluk Rina. Ia berusaha untuk tidak menangis, tapi tetap saja air bening itu meluncur jatuh di pipi halusnya.

“Gua berharap elu tetap sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh, enggak peduli elu berjilbab atau enggak,” kata Indah dalam peluknya.

Rina merenggangkan pelukannya dan menatap Indah, sahabat terdekatnya selama ini. Ia memberikan senyum. Lalu katanya, “Sampai jumpa besok di sekolah.”

Rina lalu beralih menghampiri Ristana, cewek tomboy yang selalu berusaha terlihat kuat seperti laki-laki. Namun, setelah ia memeluk Rina, tangisnya tak terbendung, tumpah laksana banjir bandang. Rina hanya membelai rambut pendek sahabatnya itu.

Berbeda dengan yang lainnya, Iyut Nirmala justeru berlari menjauhi Rina ketika datang mendekatinya. Setelah itu dia berhenti dan memandang Rina dengan tatapan tajam, benci, tapi tetap menangis. Rina hanya berdiri diam memandang, tanpa senyum, apa lagi tangis.

“Gua enggak nyangka akan sedramatis ini penyikapan mereka,” kata Rina dalam hati. Lalu ia berbalik dan memandang sahabat-sahabatnya yang lain. Lalu katanya, “Sampai jumpa besok di sekolah. Assalamu ‘alaikum!”

Wa ‘alaikum salam!” hanya Indah yang menjawab.

Rina lalu melangkah pergi menuju parkiran. Sementara itu, Iyut tak lepaskan pandangannya memandang kepergian Rina. Iyut kian lama kian menangis sendiri, tubuhnya bahkan terguncang-guncang.

Rina masuk ke mobil merahnya. Sebentar kemudian, mobil merah mungil itu bergerak mundur lalu berbelok tinggalkan kawasan itu.

“Rinaaa!” teriak Iyut histeris lalu berlari mengejar ke arah kepergian mobil Rina, meski ia tahu tidak akan bisa mengejarnya lagi.


Rina yang masih mendengar panggilan Iyut, melalui kaca spion masih bisa melihat sahabatnya itu berlari mengejar mobilnya. Namun, Rina terus melajukan mobilnya meninggalkan kawasan pantai tersebut. Air mata Rina akhirnya tumpah dalam kesendiriannya. (RH)

Berlanjut: Pertanggungjawaban Seorang Muslimah (Tamat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar