2016
Bab Sebelumnya:
Setelah memarkir mobil Avanza
merah maroon miliknya, Novi Andria
segera mendatangi teman-temannya yang sudah berkumpul di meja kayu panjang
bawah pohon. Di atas meja telah berderet tujuh kelapa muda yang tinggal sedot
air segarnya.
“Hai!” sapa Novi dengan senyum
lalu menyalami kelima sahabatnya dengan cara saling membenturkan kepal tangan
dengan pelan. “Rina belum datang?”
“Bentar lagi,” jawab Indah yang
tampil dengan celana jeans hitam, berkaos putih dilapisi kemeja lengan panjang
kuning yang tidak dikancingkan. Rambutnya diikat sederhana dengan ikat rambut
warna merah belang putih. Di atas kepalanya bertengger kacamata hitam.
“Itu dia!” tunjuk Windi Anggita
yang tampil seperti penyanyi dangdut. Ia mengenakan baju pink lengan pendek. Celana legging
juga pink, tapi dilengkapi rok hitam
pendek mengembang. Rambutnya dikepang tunggal tapi menyamping di kanan. Hampir
sama dengan penampilan Ade Irma yang juga kepang tunggal di sisi kiri. Model
pakaiannya hampir sama tapi beda warna. Keduanya memang suka kompak, seperti
anak kembar lain bapak lain ibu. Keduanya bukan mengikuti model penyanyi
dangdut, tapi mencontoh gaya pakaian salah satu penyanyi wanita K-Pop, tapi
entah siapa.
Sedan Honda City warna merah menyala
masuk ke area parkir warung tenda minuman pinggir pantai pasir putih itu.
Setelah parkir, pintu depan dibuka. Awalnya, turunlan dua kaki bersepatu model sneakers cokelat dari bahan kulit mahal
yang berkaos kaki putih. Kedua kaki itu dibalut oleh celana gombrong warna biru
laut, sama dengan warna baju longgarnya yang berlengan panjang. Ia mengenakan
jilbab longgar warna putih, tapi kuat terpasang di kepala, sehingga tiupan
angin Teluk Jakarta tidak merusak keindahan jilbab itu. Warna putih pada jilbab
terlihat selaras dengan putihnya kulit wajah si gadis yang tidak lain adalah
Rina. Pagi menjelang siang itu, Rina tampil tidak hanya cantik, tapi juga
anggun dan sejuk di mata, sesejuk rasa yang diberikan angin laut di pantai itu.
“Wow, anggun banget!” ucap Ade
Irma terpana.
Awalnya, Rina tidak mau hadir di
tempat itu. Meski pada Jumat yang lalu ia telah menyatakan permohonan maaf
kepada keenam sahabatnya itu, tapi ia masih menyimpan kemarahan kepada mereka.
Namun, desakan Indah Pertiwi di telepon yang begitu memaksa, akhirnya membuat
Rina terpaksa mengatakan akan hadir.
“Elu wajib datang, Rin. Ada hal
yang penting banget yang elu harus tahu dan harus kita buka sama-sama, agar
enggak ada rahasia di antara kita. Setelah ini, terserah elu mau bersikap apa.
Kita enggak akan mempermasalahkan keputusan elu untuk tetap berjilbab. Please, elu harus datang, Rin, demi
persahabatan Bintang Tujuh.”
Itulah kata-kata Indah kepada
Rina di telepon.
Setelah menyalami
sahabat-sahabatnya dengan tos tinju, Rina pun bergabung dengan mereka dalam
satu meja panjang.
“Oke, semua sudah kumpul!” seru
Ristana, gadis cantik rambut pendek yang tampil dengan celana levis selutut dan
berjaket lengan pendek hitam yang melapisi kaos hijaunya. Di telinga kirinya
tampak berderet beberapa anting tindik.
“Sebelum elu semua menumpahkan
semuanya ke gua, gua mau lebih dulu untuk sekali lagi, gua ucapin maaf yang
sebesar-besarnya ke elu semua, karena gua sudah enggak terbuka belakangan ini.
Kemudian gua udah menomorduakan elu semua dan lebih mengutamakan Badar yang
bagi kalian bukanlah siapa-siapa, tapi gua punya alasan kuat. Dan sekali lagi
gua minta maaf khusus kepada Ofi (Novi Andria), Ala (Iyut Nirmala), dan lu Iis
(Ristana). Gua nyesel sudah sampai main tangan sama kalian. Tapi untuk hijab
gua, gua enggak akan mundur atau jadi pecundang. Gua memang akui, gua masih
kasar, baru mulai belajar salat, gua masih kayak yang dulu, gua belum jadi
cewek alim. Tapi, gua enggak salah kalau gua memilih jilbab sebagai baju gua,
walaupun gua sampai detik ini masih Ketua Geng Bintang Tujuh,” ujar Rina.
“Rin, kalau elu masih menganggap
kita adalah sahabat, dan elu masih pegang janji geng kita, elu harus jelasin,
kenapa sekarang elu lebih memilih Badar dari pada kita,” kata Ade Irma.
“Benar!” timpal Windi cepat.
“Awalnya gua enggak ada hubungan
sama Badar. Gua enggak menghendaki dia masuk ke kehidupan gua. Dia pun, gua
yakin sedikit pun dia enggak akan mau peduli sama cewek-cewek macam kita. Dia
bukan level kita. Tapi gua yakin memang takdir. Gua memang belum cerita ke elu
semua. Minggu lalu, gua dibohongin sama Roy. Dia jebak gua. Gua ditampar di
pinggir jalan raya di atas jembatan, karena dia tahu gua yang nabrak pacarnya
sampai masuk rumah sakit. Dia bayar orang buat culik dan bius gua. Tapi sebelum
gua celaka, Badar dan teman-temannya nyelamatin gua. Sadar-sadar, gua sudah di
rumah Badar. Akhirnya gua kenal Badar, kenal keluarganya. Badar memang bukan
cewek selevelan kita, tapi dia cewek yang lebih tinggi levelnya dari pada kita.
Coba elu semua perhatiin aja. Gua kira waktu Jumat pagi elu semua menang karena
bisa ngeroyok dia, tapi ternyata gua salah. Waktu itu dia cuma pilih mengalah,
karena dia enggak mau ribut sama teman. Karena, untuk kedua kalinya, dia
nyelamatin gua dari Roy di depan Ramayana. Badar ternyata jago silat, sampai-sampai
Roy dihajar Badar sampai muntah darah. Gila!” tutur Rina, lalu ia menyedot air
kelapa di depannya.
“Sebenarnya gua dari awal sudah
curiga sama Roy. Tapi gua enggak habis pikir, kenapa dia bisa tahu kalau elu
yang nabrak pacar dia, Rin. Padahal elu cerita sendiri, kalau waktu itu
pacarnya naik motor sendiri dan jalanan sepi. Enggak mungkin Roy ada dilokasi
jam enaman pagi begitu,” kata Indah. “Di antara kita, enggak ada yang megang
nomor Roy untuk cerita kalau elu yang nabrak pacarnya dia.”
Tampak Ristana mengeluarkan hp
dari sakunya lalu menelepon seseorang. Di saat yang bersamaan, tiba-tiba
terdengar suara nada dering sebuah hp. Semua sama-sama hapal bahwa itu adalah
nada dering hp milik Novi.
Novi segera merogoh saku baju
merahnya, tempat hp-nya berada. Setelah dilihat nama orang yang menelepon, Novi
secara samar agak terkejut. Nama yang tertera adalah Rio, nama lelaki yang
akrab mereka panggil “Roy”.
“Siapa, Fi?” tanya Iyut Nirmala
yang hari itu memakai rok pendek selutut tapi berbaju gombrong warna putih
berhias sablonan gambar pohon kelapa tanpa pantai.
“Oh ini, ini nyokap gua,” jawab
Novi sedikit tergagap, lalu buru-buru menolak menjawab telepon yang masuk itu.
“Gua kira Roy telepon elu,”
celetuk Windi.
Perkataan Windi itu membuat Novi
agak mendelik terkejut. Reaksi itu tertangkap oleh yang lain.
“Gua mana punya nomor Roy!”
bantah Novi cepat, tapi bahasa tubuhnya terlihat tidak nyaman di mata
teman-temannya.
“Padahal gua barusan telepon elu
pakai hp Roy, Ofi,” kata Ristana, lalu menunjukkan hp di tangannya kepada Novi.
Kian terkejutlah Novi, meski
dalam hati ia membantah, “Enggak mungkin hp Roy ada di tangan Iis.”
Percakapan itu membuat Rina
merasa aneh. Secara lekat ia memandang tajam kepada Novi yang duduk tepat di
hadapannya. Tatapan tajam Rina membuat Novi yang sebenarnya dikenal paling
garang juga di antara mereka, jadi salah tingkah. Ia seolah menduduki
kerikil-kerikil batu yang membuatnya bergerak tidak nyaman.
“Jumat kemarin, elu kan yang
nelepon Roy dan ngasih tahu keberadaan Rina? Sehingga Roy menyerang Rina di
depan Ramayana,” tanya Iyut.
Deg!
Godam besi seolah menghantam
jantung Novi mendengar pertanyaan yang menyudutkannya.
“Jangan sembarangan lu, Ala!”
teriak Novi marah kepada Iyut, berusaha menyangkal tudingan tersebut.
“Hp yang di tangan Iis itu adalah
hp Roy yang jatuh pas dia digebukin oleh Badar dan orang pasar. Lu ada di sana,
kan? Lu enggak bisa nyangkal, karena gua lihat elu ada di sana nyaksiin
langsung Rina dipukul sama Roy. Jilbab Rina ditarik lepas sama Roy, sehingga
Badar sangat marah. Gua lihat elu nyaksiin itu semua. Pas Roy diselamatin sama
satpam, Roy buru-buru pergi. Hp-nya ketinggalan dan gua minta hp itu dari
satpam. Elu enggak bisa nyangkal lagi kalau bukan elu yang telepon Roy!” ujar
Iyut.
Plak!
Novi yang tidak bisa berkata
apa-apa mendengar paparan dari Iyut Nirmala, tidak bisa menghindari gerakan
cepat Rina yang berdiri dan mencondongkan badannya untuk menampar wajah Novi.
“Jadi elu yang nusuk gua dari
belakang, Fi?!” teriak Rina marah.
“Tahan, Rin!” seru Indah seraya
merangkul bahu Rina dan menuntunnya untuk duduk kembali.
“Kalian enggak bisa fitnah gua
begitu aja!” teriak Novi seraya bangkit berdiri dengan wajah merah dan mata
berkaca-kaca. Tamparan Rina terasa panas di kulit wajahnya.
“Itu bukan fitnah, Ofi!” tandas
Indah. “Hp punya Roy itu adalah bukti jelas. Elu nelepon Roy beberapa saat
sebelum kejadian di depan Ramayana. Sebelum-sebelumnya juga elu ditelepon sama
Roy. Pesan WA elu sama dia, masih tersimpan di hp dia. Sangat jelas, elu yang
ngasih tahu ke Roy bahwa Rina yang tabrak pacar dia.”
Novi tidak bisa berkata apa-apa
lagi, ia tidak bisa menyangkal lagi, karena apa yang ungkapkan oleh Indah
semuanya benar. Ia kembali terduduk dengan lemas dan menangis.
“Benar elu yang cerita ke Roy,
Ofi?” tanya Rina pelan, tapi tatapan dan wajahnya mengandung kemarahan.
“Terserah elu, Rin. Lu bisa
tampar gua berulang-ulang, elu bisa pukul dan tendang gua, karena gua memang
sudah mengkhianati elu, sudah tusuk elu dari belakang,” kata Novi kepada Rina.
Brak!
Mendengar jawaban Novi, Rina
melampiaskan amarahnya dengan menggebrak meja.
Keributan itu membuat pelanggan
di meja lain memperhatikan mereka. Termasuk pengelolah warung tenda minuman
itu.
Rina meninggalkan duduknya dan
pergi berdiri menghadap laut. Ia sama sekali tidak menyangka Novi akan berbuat
jahat kepadanya. Karena perbuatan Novi, Rina hampir dicelakai dua kali dan
dipermalukan di depan umum.
Rina menarik napas panjang untuk
meredam api yang membakar isi dadanya. Ingin rasanya dia menangis, tapi ia
berusaha menahannya dan menghilangkan rasa itu.
“Gua memang jahat. Hanya karena
cemburu, gua sampai menabrak pacar Roy. Roy memang pantas kalau balas dendam ke
gua. Tapi perbuatan Ofi benar-benar menyakiti gua,” membatin Rina.
Sejenak pikiran Rina melesat jauh
menerobos angin pantai. Khayalan Rina mencoba melihat kondisi seorang gadis
yang pada waktu setelah Subuh sengaja ia tabrak. Entah, apakah gadis itu masih
di rumah sakit atau sudah pulang ke rumahnya? Ada segumpal sesal di sudut
hatinya.
“Keburukan akan berbalas
keburukan,” ucap Rina kepada dirinya sendiri, ia mengutip ucapan Barada kepada
dirinya, setelah ia cerita alasan Rio mau mencelakainya sebanyak dua kali.
Di telinga, Rina mendengar
sahabat-sahabatnya yang lain menghakimi Novi sili berganti. Intinya semua marah
kepada Novi, semua kecewa kepada Novi.
Rina lalu berbalik dan kembali
bergabung dengan teman-temannya. Rina tidak duduk, tapi ia mengitari meja dan
menghampiri Novi.
Dengan berlinang air mata, Novi
menatap Rina. Ia sudah siap jika tamparan berikutnya mendarat di wajahnya lagi.
Namun, Novi terkejut. Kelima sahabat yang lain pun terkejut. Rina justeru
berdiri merentangkan tangannya kepada Novi, memberi isyarat agar Novi mau
berdiri memeluknya.
“Enggak mungkin Rina sepemaaf
itu,” pikir Novi dan kelima sahabat lainnya.
Melihat Novi menatapnya penuh
keraguan, Rina akhirnya mekarkan sedikit senyumnya. Ternyata senyum itu membuat
Novi mau berdiri dan memeluknya. Novi kembali meluapkan tangisnya dalam pelukan
sahabatnya itu.
“Gua, gua minta maaf, Rin!” ucap
Novi dalam tangis dan pelukan itu.
“Gua enggak peduli apa alasan
elu, tapi mungkin memang gua pantas menuai kejahatan gua,” kata Rina. “Elu
tetap sahabat gua, Fi.”
Tampak Windi dan Ade menyeka
sudut matanya, karena mereka merasakan ada air yang keluar. Demikian pula
Indah, air matanya bahkan sudah jatuh. Terlebih bagi Iyut yang punya karakter
mudah menangis pula. Tapi tidak bagi Ristana dan Rina.
Rina kemudian melepaskan pelukannya
dan menyeka wajah Novi dengan kain jilbabnya.
Rina lalu berkata kepada semua
temannya, “Kalian tetap sahabat dekat gua. Perbuatan Ofi gua serahkan ke elu
semua, karena mulai saat ini, gua mundur sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh dan
keluar dari geng!”
Terkejutlah keenam sahabat Rina
tersebut.
“Rina!” sebut Indah, Windi dan
Ade Irma bersamaan.
“Enggak! Elu enggak boleh begitu,
Rin!” teriak Iyut yang langsung menangis deras.
Windi dan Ade Irma berlari
bersamaan dan keduanya memeluk tubuh Rina. Dalam pelukan itu, kedua gadis
penggemar Korea Selatan itu menangis keras.
“Elu enggak boleh keluar, Rin.
Kita semua sahabat satu tubuh!” kata Ade.
“Benar. Enggak mungkin kita
bubar!” kata Windi pula.
“Rina!” panggil Indah. “Kalau
kita salah sama elu, kita minta maaf. Tapi...”
Kata-kata Indah terputus, emosi
dalam dadanya membuatnya sulit sempurnakan kalimatnya.
“Tapi enggak mesti elu harus
lepas dari kita. Kalau memang ada ganjalan di antara kita, kita bicarakan
bersama. Selama ini kita saling terbuka, Rin. Elu tahu itu,” kata Indah
melanjutkan.
“Sebagai ketua, elu berhak kok
tampar gua, tampar Ofi, Iis, atau yang lainnya. Kita terima kok. Gua enggak mau
ngebayangin, gua harus cemburu pas lihat elu akrab berdua sama Badar di
sekolah, sementara gua dan yang lainnya cuma punya kenangan sama elu. Gua
enggak mau begitu, Rin!” ujar Iyut seraya sesegukan menahan tangisnya.
“Apa karena elu sekarang
berjilbab dan kita enggak? Lantas elu merasa komposisi geng seperti ini enggak
cocok?” tanya Indah, sahabat yang paling dekat dengan Rina selama ini.
“Bukan itu,” jawab Rina singkat.
Ia berusaha sekuat tenaga menahan gejolak perasaannya agar tidak menangis. Ia
menatap langit cerah yang menyilaukan mata.
“Semua karena gua. Lebih baik gua
yang keluar dari geng daripada elu, Rin,” kata Novi.
“Lu enggak perlu keluar, Ofi. Gua
ngerti keberatan kalian. Tapi ini sudah keputusan dan tekad gua. Bagi gua,
banyak yang harus gua kejar saat ini,” kata Rina. Ia lalu menepuk bahu Windi
dan Ade yang masih memeluknya. “Gua harus pergi.”
“Enggak mau!” pekik Windi dan Ade
bersamaan tanpa mau melepas pelukannya.
“Gua bukan mau pindah sekolah,
Duo K. Kita kan ketemu lagi besok di kelas,” kata Rina.
“Tolong deh, Rin. Pertimbangin
lagi keputusan elu,” kata Indah yang sudah bisa menguasai perasaannya.
“Windi Adel!” panggil Ristana.
“Kenapa sih lu seperti mau ditinggal mati aja?”
“Jadi lu setuju kalau Rina
keluar?” tanya Ade Irma kepada Ristana seraya melepaskan pelukannya. “Jangankan
Rina, Ofi kalau mau keluar, gua enggak bakal lepasin!”
“Benar!” sahut Windi pula, seraya
ikut lepaskan pelukannya terhadap Rina. “Di sekolah kita memang bersama-sama,
tapi enggak sebanding kalau kita bareng-bareng ke mall, pergi nonton, makan
bareng.”
“Oke, sahabat, gua harus pergi!”
kata Rina lalu melangkah menghampiri Indah dan memeluknya, seolah mereka akan
berpisah lama dan jauh.
Indah pun memeluk Rina. Ia
berusaha untuk tidak menangis, tapi tetap saja air bening itu meluncur jatuh di
pipi halusnya.
“Gua berharap elu tetap sebagai
Ketua Geng Bintang Tujuh, enggak peduli elu berjilbab atau enggak,” kata Indah
dalam peluknya.
Rina merenggangkan pelukannya dan
menatap Indah, sahabat terdekatnya selama ini. Ia memberikan senyum. Lalu
katanya, “Sampai jumpa besok di sekolah.”
Rina lalu beralih menghampiri
Ristana, cewek tomboy yang selalu berusaha terlihat kuat seperti laki-laki.
Namun, setelah ia memeluk Rina, tangisnya tak terbendung, tumpah laksana banjir
bandang. Rina hanya membelai rambut pendek sahabatnya itu.
Berbeda dengan yang lainnya, Iyut
Nirmala justeru berlari menjauhi Rina ketika datang mendekatinya. Setelah itu
dia berhenti dan memandang Rina dengan tatapan tajam, benci, tapi tetap
menangis. Rina hanya berdiri diam memandang, tanpa senyum, apa lagi tangis.
“Gua enggak nyangka akan
sedramatis ini penyikapan mereka,” kata Rina dalam hati. Lalu ia berbalik dan
memandang sahabat-sahabatnya yang lain. Lalu katanya, “Sampai jumpa besok di
sekolah. Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam!” hanya Indah yang menjawab.
Rina lalu melangkah pergi menuju
parkiran. Sementara itu, Iyut tak lepaskan pandangannya memandang kepergian
Rina. Iyut kian lama kian menangis sendiri, tubuhnya bahkan terguncang-guncang.
Rina masuk ke mobil merahnya.
Sebentar kemudian, mobil merah mungil itu bergerak mundur lalu berbelok
tinggalkan kawasan itu.
“Rinaaa!” teriak Iyut histeris
lalu berlari mengejar ke arah kepergian mobil Rina, meski ia tahu tidak akan
bisa mengejarnya lagi.
Rina yang masih mendengar
panggilan Iyut, melalui kaca spion masih bisa melihat sahabatnya itu berlari
mengejar mobilnya. Namun, Rina terus melajukan mobilnya meninggalkan kawasan
pantai tersebut. Air mata Rina akhirnya tumpah dalam kesendiriannya. (RH)
Berlanjut: Pertanggungjawaban Seorang Muslimah (Tamat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar