Ilustrasi: muslimah berlesung pipi. |
2016
Bab Sebelumnya:
Jumat pagi ini, cukup berbeda dari pagi-pagi biasanya. Meski jam menunjukkan 20 menit lagi bel masuk akan berbunyi, tapi suasana di pinggir lapangan sudah ramai. Di pinggiran lantai dua dan tiga pun penuh ditempati oleh para siswi dan siswa yang berseragam batik. Seolah mereka sedang menyaksikan sesuatu di tengah lapangan.
Namun, tidak ada pertunjukan
apapun di lapangan yang membuat mereka berkumpul. Hanya murid-murid yang baru
berdatangan yang mereka saksikan berjalan dari tempat parkir langsung ke gedung
atau dari gerbang langsung ke gedung.
Sebagaimana biasanya, Geng
Bintang Tujuh sudah berkumpul di tiang besi besar, di bawah keranjang lapangan
basket. Di parkiran berkumpul anak-anak SMU dari Geng Amos. Jumlahnya lebih
dari sepuluh siswa. Mereka tampak sibuk mengumpulkan uang di tangan Edo
Gundala, Ketua Geng Amos.
Di pinggiran lantai tiga,
sekelompok siswa SMK kelas tiga akuntansi juga berkumpul. Mereka adalah anggota
Geng J-Ray. Di salah satu sudut agak terpisah di pinggiran lantai tiga, tampak
siswi baru berambut pirang, Silva Monica, berdiri bersama teman sebangkunya
yang gemuk, Saskia.
“Ada apa sih, Sas? Kok ramai
betul?” tanya Silva yang aksen bulenya masih tersisa di kalimatnya.
“Kamu tahu Rina yang kemarin
ribut dengan Pak Suryo?” Saskia malah bertanya.
“Ya, aku tahu,” jawab Silva.
“Yang di tempat parkiran adalah
Geng Amos alias Anak Monster. Mereka ngumpulin uang taruhan. Yang disamping
sana,” Saskia menunjuk agak jauh ke samping dengan pandangannya. “Itu Geng
J-Ray. Yang di bawa keranjang basket itu, teman-teman sekelas kita juga, adalah
anggota Geng Bintang Tujuh, yang ketuanya adalah Rina. Dan yang lainnya. Mereka
sedang menunggu dan bertaruh, apakah Rina hari ini masuk pakai jilbab atau
tidak, atau tidak masuk sekolah setelah kejadian kemarin."
"Oh,” desah Silva manggut-manggut.
“Woi!” seorang siswa tiba-tiba
berteriak di tengah lapangan sambil memandang ke lantai atas. Ia adalah Teguh,
siswa yang kemarin mengumumkan dari kelas ke kelas SMK bahwa Rina Ketua Geng
Bintang Tujuh telah berjilbab. Setelah mendapat perhatian, Teguh yang masih
menyandang tas sekolah, melanjutkan teriakannya, “Rina pakai jilbaaab!”
Semua mata seketika fokus tertuju
ke arah gerbang. Mereka menunggu kemunculan Rina dari luar gerbang, sebab Rina
setiap pagi selalu diantar oleh mobil dan turun di depan gerbang.
Seorang siswi berjilbab hitam
berseragam batik muncul dengan menggoes sepeda, tapi itu bukan Rina yang mereka
tunggu, melainkan Barada. Setelah tahu yang datang adalah Barada, bukannya
Rina, terdengarlah suara kecewa dari para siswa yang menanti.
“Hahaha!” Teguh yang masih di
tengah lapangan tertawa sendiri.
Seorang anggota Geng Amos bahkan
membuka sepatunya lalu dilemparkan ke Teguh dan mengenai kepala.
“Aw!” pekik Teguh hingga
terbungkuk.
“Hahaha...!” meledaklah tawa para
siswa sekalian melihat insiden penimpukan itu.
Teguh segera mencari penimpuknya
sambil pegangi kepalanya dan wajah mengerenyit. Setelah tahu bahwa yang
melemparnya adalah anggota Geng Amos, Teguh segera berlari pergi meninggalkan
lapangan.
Mendengar keributan yang
tercipta, Barada yang tidak sadar apa yang terjadi, hanya memandang heran ke
seantero lapangan dan gedung. Dalam hati ia hanya bertanya-tanya tentang apa
yang terjadi, tapi ia tidak begitu tertarik untuk mencari tahu. Tanpa
sepengetahuan Barada, rupanya keenam anggota Geng Bintang Tujuh
memperhatikannya.
“Ayo!” kata Novi Andria memberi
komando.
Keenam siswi cantik berok pendek
itu lalu beranjak dari pangkalannya. Mereka meninggalkan pinggir lapangan dan
masuk ke dalam gedung sekolah.
“Itu Rina?” tanya Silva kepada Saskia.
“Bukan, itu Badar, anak dua
akuntansi,” jawab Saskia.
Sambil berjalan menuju lorong
gedung, Barada sejenak memandangi atas gedung lantai dua dan tiga. Barada
langsung menuju ke tangga.
“Hei, Badar!” panggi seorang
siswi sebelum Barada tiba di anak tangga.
Barada pun berhenti dan menengok
siapa yang memanggilnya. Yang memanggilnya memang satu orang siswi, yaitu Windi
Anggita, tapi ada lima siswi lain yang bersamanya.
“Ye?” sahut Barada bertanya
dengan mimik wajahnya.
Sambi senyum-senyum, Windi dan
Ade Irma menghampiri Barada. Lalu tiba-tiba keduanya mencekal kuat kedua tangan
Barada dan menariknya dengan paksa. Barada ditarik hingga ke toilet khusus
wanita.
Setibanya di luar toilet, tubuh
Barada langsung didorong hingga siswi berjilbab itu tersudut di tembok. Keenam
siswi anggota Geng Bintang Tujuh itu langsung mengurung posisi Barada.
“Tenang, teman-teman!” kata
Barada seraya tersenyum manis. “Jelaskan dulu dong, apa masalahnya.”
“Elu yang bikin Rina jadi gila
sama jilbab, kan?” tanya Novi Andria menuding.
“Lu apain Rina sampai tiba-tiba
berubah seperti itu?” tanya Iyut Nirmala.
“Benar. Kalau enggak lu
apa-apain, gak mungkin Rina tiba-tiba jadi alim begitu!” kata Ade Irma.
“Lu main dukun, ya?” tuduh Windi
pula.
“Waduh, tuduhan kalian berat
betul,” kata Barada mendelik, tapi tidak merasa tertekan dengan kondisi itu.
Perasaannya masih bisa tenang.
“Heh Badar! Lu lihat kan kemarin,
bagaimana Rina dipermalukan? Lu harus buat Rina kembali lagi seperti dulu!”
kata Novi bernada lebih tinggi.
“Maaf, teman-teman cantik.
Masalahnya, Rina mau memakai jilbab atas kemauan dan keputusannya sendiri,”
kata Barada.
“Lu jangan lepas tanggung jawab!”
sentak Ristana, lalu tangannya berkelebat mencoba menampar wajah Barada.
Barada segera memasang tangan
kirinya di sisi wajah, sehingga tamparan Ristana yang tomboy itu tertahan.
Buk!
Namun, Novi Andria dan Iyut
Nirmala secara bersamaan menendang perut Barada. Barada tidak mengelak atau
menangkis. Tendangan ganda itu membuat Barada terbungkuk menahan sakit.
Ternyata cewek-cewek geng itu tidak berhenti. Mereka mencoba menampar dan
menjambak jilbab Barada.
Sementara itu, terjadi keriuhan
di lapangan. Ramai tepuk tangan dilakukan oleh sebagian siswa, sebagian lagi
merasa kecewa karena kalah bertaruh.
Rina telah datang. Dugaan sebagian
besar siswa ternyata meleset. Rina datang dengan tetap memakai jilbab. Sebagian
siswa bertepuk tangan memuji keputusan Rina karena memilih tetap bertahan. Di
sisi lain, banyak siswa dan bahkan siswi yang kalah bertaruh, karena memang
banyak yang memilih bahwa Rina akan masuk hari ini tanpa jilbab.
“Hahaha!” yang menang taruhan pun
tertawa terbahak-bahak, menertawakan temannya yang kalah.
Melihat situasi yang tidak
disangka olehnya, Rina hanya bisa berdiri diam sejenak, tertegun. Tepuk tangan
sebagian siswa untuknya, cukup menghibur perasaannya.
“Ke mana anak-anak?” tanya Rina
dalam hati, karena ia tidak mendapati keberadaan keenam sahabat gengnya di
tiang keranjang basket.
Tidak mau menjadi pusat
perhatian, Rina segera berjalan masuk ke gedung. Rina berbelok menuju toilet
wanita, karena memang ia ingin merapikan sedikit jilbabnya yang terasa sedikit
tidak pas.
Namun, setibanya di area toilet
siswi, Rina dibuat terkejut melihat teman-temannya sedang mengeroyok Barada.
“Berhenti!” teriak Rina
menggelegar, seketika kemarahannya tersulut naik.
Teriakan itu spontan menghentikan
keroyokan para anggota Geng Bintang Tujuh.
Plak! Plak!
Baru saja Novi dan Iyut menengok
ke belakang, sebuah tamparan tiba-tiba sudah mendarat di wajah keduanya.
Tak ayal lagi, semua siswi yang
mengeroyok Barada terkejut bukan main dan terdiam. Terlebih bagi Novi dan Iyut
yang mendapat tamparan. Sedikit pun mereka tidak menyangka, Rina yang adalah
sahabat mereka, tega dan berani menampar.
Sementara Barada yang masih bisa
menyelamatkan wajah dan jilbabnya, meski tubuhnya beberapa kali terkena
tendangan dan pukulan, segera berdiri dari ketersudutan.
“Lu semua keterlaluan! Badar
enggak salah sedikit pun dalam masalah gua!” bentak Rina.
Rina lalu menerobos kepungan
terhadap Barada. Ia meraih tangan kanan Barada dan menariknya untuk pergi.
“Rina!” Indah dan Ristana segera
menghadang Rina dan Barada.
“Demi dia elu tega nampar
sahabat-sahabat elu!” kata Ristana tidak kalah garang.
“Kalian memang sahabat-sahabat
gua. Tapi lu semua juga harus tahu, Badar sekarang seperti satu darah sama
gua!” kata Rina.
Rina lalu maju dan menerobos
hadangan Indah dan Ristana yang semakin terkejut dengan pernyataan Rina.
Akhirnya, keenam anggota Geng
Bintang Tujuh itu terdiam dalam kegeraman dan ketidakmengertian. Bagaimana bisa
Rina memilih seorang Barada yang baru diakrabinya dibandingkan mereka berenam
yang sejak kelas satu mereka sudah
bersahabat dan sama-sama melakukan suka duka?
Untuk pertama kalinya pula, Rina
melakukan penamparan terhadap sesama anggota Bintang Tujuh. Itu adalah tindakan
yang sangat menyakiti persahabatan mereka, terutama bagi Novi dan Iyut.
Iyut akhirnya menangis. Indah
segera memeluk Iyut.
“Elu luka?” tanya Rina kepada
Barada sambil menaiki tangga menuju lantai tiga.
Bukannya menjawab, Barada malah
tertawa kecil.
“Koq elu malah ketawa, Badar?”
tanya Rina kesal.
“Akhirnya saya merasakan
keganasan Geng Bintang Tujuh, setelah sekian lama hanya dengar cerita
teman-teman yang pernah kalian intimidasi,” kata Barada.
“Gua pikir elu perempuan yang
bisa berantem,” kata Rina.
“Tidak mungkin saya harus
berantem dengan sesama teman. Tapi, mungkin akan beda jika mereka tadi berhasil
lepas jilbab saya, karena harga jilbab bagi seorang Muslimah itu sangat mahal,”
kata Barada. “Saya jadi khawatir, Rin, tindakan kamu tadi kepada mereka akan
mengancam kelompok kalian.”
“Sepertinya ancaman perpecahan
itu enggak bisa gua hindari,” kata Rina.
Teeet! Teeet! Teeet!
Tiga kali jeritan bel listrik
terdengar panjang-panjang. Tandanya masuk untuk mulai belajar di hari itu.
“Rina!” panggil seorang perempuan
seraya mendatangi Rina yang baru sampai di lantai tiga. Siswi teman sekelas
Rina itu mengatakan maksudnya, “Lu dipanggil menghadap ke ruang Kepala
Sekolah!”
“Kasus!” desis Rina pelan. Di
pikirannya langsung terbayang tentang masalah kemarin.
“Saya yakin kamu bisa, Rin,” kata
Barada memberi semangat.
Rina hanya tersenyum kecil. Ia
lalu memberikan tasnya kepada siswi yang bernama Alya itu.
“Tolong bawain tas gua ke kursi,
Al,” katanya.
“Hati-hati, tadi gua lihat ada
Pak Suryo di ruangan Pak Didi!” pesan Alya lalu beranjak pergi menuju kelasnya.
“Jangan pakai emosi, Rin. Dan
mengalah kepada orang tua, itu langkah bijak,” pesan Barada.
“Sip!” ucap Rina optimis, meski
wajahnya menyiratkan ketegangan.
Karena ruang kepala sekolah ada
di lantai bawah, mau tidak mau Rina harus turun lagi. Dan ternyata, ia harus
berpapasan dengan keenam sahabatnya yang sedang naik. Mereka pun saling
berhenti dan saling memandang. Keheningan dan ketegangan tercipta.
“Gua minta maaf kepada elu semua,
terutama kepada Ofi dan Ala!” ucap Rina. “Gua nyesel sudah keras sama kalian.
Tapi tolong, jangan ganggu gua hari ini.”
Keenam sahabat Rina itu hanya
terdiam.
“Terus elu mau ke mana?” tanya
Indah.
“Gua dipanggil Kepala Sekolah,”
jawab Rina, lalu ia melanjutkan menuruni tangga melewati teman-temannya.
Setibanya di lantai satu, Rina
langsung menuju ke kantor Kepala Sekolah SMK.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Rina setibanya di pintu kantor.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab beberapa orang yang sudah ada di dalam kantor.
Deg!
Satu pukulan godam perasaan
menghantam jantung Rina. Di sebuah set kursi sofa di dalam kantor yang memiliki
dua ruang itu, telah duduk orang-orang yang Rina kenal, yaitu guru matematika
Suryo Manutdilogo, guru agama Mukhtar Abdulghani, Wakil Kepala Sekolah SMK Nini
Aidawani, dan Kepala Sekolah SMK Didi Sudrajat.
“Ini hari pengadilan gua,”
membatin Rina.
“Duduk di sini, Nak!” kata Didi
mengarahkan.
Akhirnya sidang pun dimulai yang
dipimpin oleh Kepala Sekolah.
Siang itu, Rina memilih pulang
bersama Barada. Ia memilih meninggalkan teman-temannya satu geng.
“Rin, ikut kita ke DM yuk!” ajak
Indah kepada Rina setelah jam pelajaran hari itu berakhir.
“Sorry, Wi. Gua mau pulang sama Badar,” kata Rina lalu segera
berlari kecil mengejar Barada yang juga baru keluar dari kelasnya bersama
murid-murid yang lainnya.
Indah dan sahabat yang lainnya
hanya bisa memandangi kepergian ketua mereka dengan kecewa.
“Eh, Rin,” tegur Barada sambil
tertawa saat mendapati Rina sudah menepuk bahunya. Sejenak Barada memandangi
wajah Rina yang tampak putih bercahaya dalam lingakaran jilbab hitam.
“Ih, kenapa sih lu?” hardik Rina
melihat tingkah Barada.
“Hahaha!” Barada tiba-tiba
tertawa, padahal bagi Rina tidak ada yang lucu. Barada tidak menjawab, ia malah
segera menuruni tangga di sela-sela keramaian murid SMK yang semuanya pulang.
Di lantai dua, tangga semakin
penuh sesak, sebab seiring pula dengan keluarnya murid-murid SMU.
Rina terus mengikuti Barada,
seolah tidak mau tertinggal. Barada langsung menuju parkiran motor dan sepeda.
Di lapangan Rina cepat menyusul.
“Lu belum jawab pertanyaan gua,
Badar!” kata Rina.
“Wajah kamu enggak menunjukkan
kalau kamu dapat masalah besar di kantor Kepala Sekolah tadi,” terka Barada.
“Dukun lu, ya?” tuding Rina yang
menandakan terkaan Barada benar.
“Hahaha!” Barada kembali tertawa.
Semenjak Rina dipanggil menghadap
ke kantor Kepala Sekolah tadi, keduanya memang belum bertemu lagi hingga waktu
pulang ini. Rina belum cerita tentang apa yang dihadapinya di kantor tadi pagi.
“Saya sudah tahu semua,” kata
Barada sambil mengeluarkan sepeda model cewek warna merahnya dari parkiran.
“Sudah tahu semua?!” kejut Rina.
“Ya, Ustad Mukhtar yang cerita ke
saya,” jelas Barada sambil tertawa kecil.
“Curang. Padahal gua mau cerita
sebagai kabar bagus dan mengejutkan ke elu!” gerutuh Rina kecewa, membuat
Barada tertawa kecil tapi berkepanjangan.
Di kantor Kepala Sekolah SMK tadi
pagi, Rina memang disidang. Ia disidang bukan karena keputusannya untuk memakai
jilbab sehingga timbulkan kehebohan, tapi karena tindakan tidak sopannya kepada
Pak Suryo.
Namun, Rina yang mengutarakan
alasannya bersikap lancang kemarin di kelas, tidak menyangka bahwa ternyata ia
mendapat pembelaan dari Pak Mukhtar Abdulghani selaku guru agama. Ketegangan
sempat tercipta, ketika Pak Suryo dan Pak Mukhtar harus berdebat tentang
kedudukan jilbab bagi perempuan Islam.
Akhirnya, Pak Suryo harus mengakui kesalahan pemahamannya tentang wanita yang
layak berjilbab, karena dalam Islam tidak mengenal istilah layak atau tidak
pantasnya seorang perempuan memakai jilbab. Pada kesempatan itu, Rina juga
dituntut untuk meminta maaf kepada Pak Suryo.
“Rina janji, Rina akan tunjukkan
kepada Bapak bahwa Rina memang pantas untuk memakai jilbab, tapi Rina minta
waktu untuk membuktikan itu!” kata Rina kepada Kepala Sekolah dan para guru
saat itu.
Barada menuntun sepedanya dan
Rina berjalan di sebelahnya. Sementara dari kejauhan, keenam anggota Geng
Bintang Tujuh hanya bisa memandang. Muncul rasa cemburu di antara mereka.
Untuk ke tempat parkiran mobil,
mereka harus lebih dulu keluar gerbang sekolah lalu belok kiri. Sebab, parkiran
ada di lahan tanah sebelah gedung sekolah. Hanya Indah Pertiwi yang membawa
mobil, sebab ia sudah punya SIM. Anggota geng yang lain biasanya menumpang
pulang di mobil Indah atau Rina yang suka dijemput.
“Sorry, gua enggak ikut!” kata Novi Andria kepada teman-temannya.
“Kenapa, Ofi?” tanya Windi.
“Gua mau beli sesuatu buat
keponakan gua di pasar,” kilah Novi.
“Ya udah, kita duluan, ya!” kata
Indah, lalu bersama-sama yang lain pergi menuju parkiran mobil.
Novi segera melangkah pergi ke
arah yang berlawanan. Pandangannya masih bisa menangkap keberadaan Rina dan
Barada yang agak jauh di depan.
Sekolah IP YAKIN terletak di
kawasan pasar Cengkareng, Jakarta Barat. Ada beberapa mall besar di wilayah
pasar tersebut. Ketika siswa-siswi sekolah swasta tersebut keluar, mereka akan
langsung berada di jalan raya dalam kawasan pasar.
“Gua harus ngomong ke kalian, gua
curiga Ofi bohong ke kita,” kata Indah kepada keempat sahabatnya.
“Iya, kayaknya Ofi ngikutin Rina
dan Badar,” kata Ade sependapat.
“Lantas?” tanya Windi.
“Ala, lu bisa ngikutin Ofi dari
belakang?” tanya Indah kepada Iyut Nirmala.
“Bisa,” jawab Iyut mantap.
“Tapi lu terus kirim pesan ke
kita perkembangan yang lu lihat,” kata Indah.
“Oke!” kata Iyut lalu berbalik
pergi. Dia harus sedikit berlari untuk bisa melihat keberadaan Novi yang memang
membuntuti Rina dan Barada.
Sementara itu, cukup jauh di
depan sana, Rina dan Barada tampak gembira dengan kebersamaannya.
“Janji ya, hanya sebentar,” kata
Barada kepada Rina. “Masuk, beli, langsung pulang.”
“Ah, enggak ada asiknya banget.
Cuci mata dulu, Badar. Setelah itu cuci muka!” kata Rina geregetan, karena Rina
adalah tipe gadis yang sangat suka menghabiskan waktu di mall-mall pusat perbelanjaan.
“Tapi saya harus pulang tepat
waktu, Rin. Itu sudah rutinitas saya. Paling lama toleransinya saya telat satu
jam untuk tiba di rumah,” kilah Barada.
“Itulah pentingnya punya hp,
Badar. Jadi, kalau ada urusan darurat, bisa telepon, minimal kirim pesan. Biar
gua telepon Ummi, gua punya nomornya kok,” kata Rina lalu mengeluarkan hp-nya
dan membuka daftar kontak. “Atau ke nomor Bang Gazza, gua juga....”
Tiba-tiba dengan gerakan tangan
yang cepat, Barada merampas hp di tangan Rina. Rina terkejut bukan main, sebab
itu bukan gerak rampasan biasa.
“Kamu ternyata diam-diam nyimpan
nomor Abang Gazza! Hahaha!” pekik Barada lalu tertawa. “Hallo! Assalamu ‘alaikum, Daeng!”
“Wa ‘alaikum salam. Badar?” jawab lelaki di dalam telepon dan
bertanya balik.
“Abang, Abang tahu ini nomor
siapa?” tanya Barada sambil tertawa-tawa.
Rina jadi panik ketika ternyata
Barada benar-benar menelepon nomor Fath Gazza yang ada di hp itu. Buru-buru
Rina mengejar Barada yang bergerak menjauh. Sambil tertawa-tawa, Barada justeru
meluncur menaiki sepedanya meninggalkan Rina.
Sementara di belakang sana, Novi
berjalan memperhatikan keduanya sambil menelepon seseorang.
Di tempat yang lain, pesan
WhatsApp masuk ke hp Indah Pertiwi. Indah yang sedang menyetir meminta Ristana
untuk membuka pesan itu.
“Novi menelepon orang,” baca
Ristana.
“Balas, Is, katakan bukan kita,”
kata Indah.
Kembali ke depan mall. Rina
benar-benar berlari mengejar sepeda Rina.
Bremr!
Tiba-tiba sebuah sepeda motor
gede 250cc berwarna merah menepi dan berhenti menghadang lari Rina. Gadis
berjilbab itu pun terkejut. Ia langsung mengenali pemuda yang tidak berhelm
tersebut. Pemuda tampan beralis tebal berambut agak botak itu tidak lain adalah
Rio Anggoro, mantan pacar Rina.
“Cewek munafik!” maki Rio, dengan
wajah garang ia mendatangi Rina.
Rina yang terkejut, lebih
terkejut karena Rio sudah mencekal kasar tangannya dan mencoba menariknya.
“Ayo ikut gua!” kata Rio sambil
menarik Rina.
Rina yang sempat tertarik mencoba
berjongkok untuk menahan tarikan itu.
“Lepasin!” teriak Rina sambil
memukul-mukul tangan Rio yang mencengkeram kuat tangannya.
Jeritan Rina membuat Barada
berhenti dan melihat ke belakang. Jelas apa yang dilihatnya adalah satu
penyerangan seorang lelaki terhadap sahabatnya.
“Dasar cewek jalang! Elu mau
ngumpet di balik jilbab?” maki Rio lagi sambil tangan kirinya memukul kepala
Rina dan berikutnya menjambak jilbab lalu menariknya hingga lepas dari kepala.
Keributan di pinggir jalan raya
depan mall Ramayana itu jelas menarik perhatian orang keramaian.
“Rina!” teriak Barada kencang,
menunjukkan kemarahannya.
Kemarahan Barada lebih mendidih
lagi saat melihat jilbab Rina direnggut paksa dan dilepas. Baginya itu jelas
adalah pelecehan serius terhadap kehormatan seorang Muslimah.
Barada melepaskan sepedanya
begitu saja. Roknya ia angkat sehingga tampaklah celana panjang merahnya.
Selanjutnya ia berlari kencang ke arah kejadian. Ketika jarak tinggal beberapa
meter lagi, Barada melompat jauh.
Buk!
Terjangan Barada yang bukan
terjangan wanita biasa mengenai bahu kiri Rio. Kerasnya terjangan kaki Barada
memaksanya terdorong menghantam pagar trotoar.
Rio yang kehilangan kendali
tubuhnya, segera bangkit berdiri dan melihat siapa yang menendangnya.
Mendeliklah Rio saat tahu bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis remaja
berjilbab lain.
Pak pak pak! Dak!
“Hakr!”
Dengan gerakan yang cepat dan
terlatih, Barada bergerak merangsek maju dengan cepat kepada Rio. Demikian
cepat dan lihainya, pukulan telapak tangan Barada berhasil masuk menghantam
dada kanan dan kiri Rio, menyusul pukulan lebih kencang tepat di tengah dada,
pusat pertemuan dada bawah dan perut atas.
Rio terbungkuk. Dan satu pukulan pamungkas Bqarada berkelebat dari bawah
dan menghantam dagu Rio.
Dengan air ludah dan darah
tersembur keluar dari rongga mulut, tubuh Rio terlompat melengkung ke belakang.
Lalu jatuh menghantam bebatuan trotoar. Setelah itu Rio tidak bisa bangkit
lagi, hanya menggeliat mengerang kesakitan.
Rina diam terpaku dengan mulut
terbuka menyaksikan kejadian yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sama halnya
dengan Novi yang berada agak jauh di balik gerobak pedagang, bibirnya bergetar.
Termasuk Iyut di sisi lain.
Ketika Rina, Novi dan Iyut
terkejut terperangah, lain halnya dengan masyarakat pasar yang menyaksikan
penyerangan Rio terhadap Rina dan penyerangan Barada terhadap Rio.
“Jangan berani-berani usik jilbab
Muslimah lagi!” kecam Barada kepada Rio Anggoro.
Barada lalu menghampiri Rina yang
tampak masih cukup syok dan menggandengnya pergi.
Sementara itu, bermula seorang lelaki tak dikenal dengan sewot menendang Rio, warga pasar lainnya jadi ikut-ikutan menghakimi Rio baramai-ramai dengan tinju dan tendangan.
Sementara itu, bermula seorang lelaki tak dikenal dengan sewot menendang Rio, warga pasar lainnya jadi ikut-ikutan menghakimi Rio baramai-ramai dengan tinju dan tendangan.
“Ampun, Bang! Ampun!” jerit Rio.
Beberapa orang, termasuk seorang
satpam mall segera membubarkan penghakiman jalanan itu.
“Bubar!” teriak satpam mall.
Sementara itu, Novi Andria yang
ditimpa rasa ketakutan sendiri, segera berbalik dan berjalan pergi.
Iyut buru-buru berlindung dari
pandangan Novi ketika berlalu tidak jauh dari posisinya.
Iyut segera menelepon Indah dan
kawan-kawan.
“Lu posisi di mana, Wi?” tanya
Iyut.
“Mau putar balik ke DM, La,” yang
menjawab Ristana.
“Pokoknya lu putar balik jemput
gua di lampu merah Cengkareng. Kalian enggak bakal nyangka apa yang gua dan
Novi lihat di sini!” kata Iyut berapi-api.
“Lihat apaan?” tanya Ristana.
“Pokoknya jemput gua!” tandas
Iyut lalu mematikan sambungannya.
Dengan kondisi berdarah-darah dan
lemah, Rio menaiki kembali motornya. Ketampanannya seketika hilang oleh lebam
dan bengkak pada wajahnya.
Bremr!
Rio dengan jiwa penuh kemarahan
langsung menghentak gas motornya. Ia pergi dalam sekejap.
“Woi! Hp-nya ketinggalan!” teriak
satpam mall, tapi telat.
“Maaf, Pak!” ucap Iyut
menghampiri satpam tersebut. “Saya kenal sama cowok tadi, hp-nya biar saya
nanti kasih.”
Satpam itu sejenak memandang
Iyut.
“Benar, Pak. Saya kenal, kok. Dia
namanya Rio, bekas pacar cewek yang pakai jilbab tadi. Cewek tadi teman saya,”
tandas Iyut.
“Nanti, kalau ketemu sama cowok
kaya itu, bilangin, jangan berani-berani lagi pukul cewek, apalagi di tempat
ramai,” kata satpam tersebut, lalu memberikan hp di tangannya kepada Iyut.
Sementara itu, Rina memilih
pulang dengan taksi. Perasaannya cukup terguncang setelah mendapat serangan
dari Rio. Dan Barada sendiri, pulang dengan sepedanya. (RH)
Berlanjut: Perpisahan Penuh Tangis (14)
Berlanjut: Perpisahan Penuh Tangis (14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar