Jilbab Yang Direnggut (13)

Ilustrasi: muslimah berlesung pipi.
Oleh: Rudi Hendrik
2016

Bab Sebelumnya:


Jumat pagi ini, cukup berbeda dari pagi-pagi biasanya. Meski jam menunjukkan 20 menit lagi bel masuk akan berbunyi, tapi suasana di pinggir lapangan sudah ramai. Di pinggiran lantai dua dan tiga pun penuh ditempati oleh para siswi dan siswa yang berseragam batik. Seolah mereka sedang menyaksikan sesuatu di tengah lapangan.

Namun, tidak ada pertunjukan apapun di lapangan yang membuat mereka berkumpul. Hanya murid-murid yang baru berdatangan yang mereka saksikan berjalan dari tempat parkir langsung ke gedung atau dari gerbang langsung ke gedung.

Sebagaimana biasanya, Geng Bintang Tujuh sudah berkumpul di tiang besi besar, di bawah keranjang lapangan basket. Di parkiran berkumpul anak-anak SMU dari Geng Amos. Jumlahnya lebih dari sepuluh siswa. Mereka tampak sibuk mengumpulkan uang di tangan Edo Gundala, Ketua Geng Amos.

Di pinggiran lantai tiga, sekelompok siswa SMK kelas tiga akuntansi juga berkumpul. Mereka adalah anggota Geng J-Ray. Di salah satu sudut agak terpisah di pinggiran lantai tiga, tampak siswi baru berambut pirang, Silva Monica, berdiri bersama teman sebangkunya yang gemuk, Saskia.

“Ada apa sih, Sas? Kok ramai betul?” tanya Silva yang aksen bulenya masih tersisa di kalimatnya.

“Kamu tahu Rina yang kemarin ribut dengan Pak Suryo?” Saskia malah bertanya.

“Ya, aku tahu,” jawab Silva.

“Yang di tempat parkiran adalah Geng Amos alias Anak Monster. Mereka ngumpulin uang taruhan. Yang disamping sana,” Saskia menunjuk agak jauh ke samping dengan pandangannya. “Itu Geng J-Ray. Yang di bawa keranjang basket itu, teman-teman sekelas kita juga, adalah anggota Geng Bintang Tujuh, yang ketuanya adalah Rina. Dan yang lainnya. Mereka sedang menunggu dan bertaruh, apakah Rina hari ini masuk pakai jilbab atau tidak, atau tidak masuk sekolah setelah kejadian kemarin."

"Oh,” desah Silva manggut-manggut.

“Woi!” seorang siswa tiba-tiba berteriak di tengah lapangan sambil memandang ke lantai atas. Ia adalah Teguh, siswa yang kemarin mengumumkan dari kelas ke kelas SMK bahwa Rina Ketua Geng Bintang Tujuh telah berjilbab. Setelah mendapat perhatian, Teguh yang masih menyandang tas sekolah, melanjutkan teriakannya, “Rina pakai jilbaaab!”

Semua mata seketika fokus tertuju ke arah gerbang. Mereka menunggu kemunculan Rina dari luar gerbang, sebab Rina setiap pagi selalu diantar oleh mobil dan turun di depan gerbang.

Seorang siswi berjilbab hitam berseragam batik muncul dengan menggoes sepeda, tapi itu bukan Rina yang mereka tunggu, melainkan Barada. Setelah tahu yang datang adalah Barada, bukannya Rina, terdengarlah suara kecewa dari para siswa yang menanti.

“Hahaha!” Teguh yang masih di tengah lapangan tertawa sendiri.

Seorang anggota Geng Amos bahkan membuka sepatunya lalu dilemparkan ke Teguh dan mengenai kepala.

“Aw!” pekik Teguh hingga terbungkuk.

“Hahaha...!” meledaklah tawa para siswa sekalian melihat insiden penimpukan itu.

Teguh segera mencari penimpuknya sambil pegangi kepalanya dan wajah mengerenyit. Setelah tahu bahwa yang melemparnya adalah anggota Geng Amos, Teguh segera berlari pergi meninggalkan lapangan.

Mendengar keributan yang tercipta, Barada yang tidak sadar apa yang terjadi, hanya memandang heran ke seantero lapangan dan gedung. Dalam hati ia hanya bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, tapi ia tidak begitu tertarik untuk mencari tahu. Tanpa sepengetahuan Barada, rupanya keenam anggota Geng Bintang Tujuh memperhatikannya.

“Ayo!” kata Novi Andria memberi komando.

Keenam siswi cantik berok pendek itu lalu beranjak dari pangkalannya. Mereka meninggalkan pinggir lapangan dan masuk ke dalam gedung sekolah.

“Itu Rina?” tanya Silva kepada Saskia.

“Bukan, itu Badar, anak dua akuntansi,” jawab Saskia.

Sambil berjalan menuju lorong gedung, Barada sejenak memandangi atas gedung lantai dua dan tiga. Barada langsung menuju ke tangga.

“Hei, Badar!” panggi seorang siswi sebelum Barada tiba di anak tangga.

Barada pun berhenti dan menengok siapa yang memanggilnya. Yang memanggilnya memang satu orang siswi, yaitu Windi Anggita, tapi ada lima siswi lain yang bersamanya.

“Ye?” sahut Barada bertanya dengan mimik wajahnya.

Sambi senyum-senyum, Windi dan Ade Irma menghampiri Barada. Lalu tiba-tiba keduanya mencekal kuat kedua tangan Barada dan menariknya dengan paksa. Barada ditarik hingga ke toilet khusus wanita.

Setibanya di luar toilet, tubuh Barada langsung didorong hingga siswi berjilbab itu tersudut di tembok. Keenam siswi anggota Geng Bintang Tujuh itu langsung mengurung posisi Barada.

“Tenang, teman-teman!” kata Barada seraya tersenyum manis. “Jelaskan dulu dong, apa masalahnya.”

“Elu yang bikin Rina jadi gila sama jilbab, kan?” tanya Novi Andria menuding.

“Lu apain Rina sampai tiba-tiba berubah seperti itu?” tanya Iyut Nirmala.

“Benar. Kalau enggak lu apa-apain, gak mungkin Rina tiba-tiba jadi alim begitu!” kata Ade Irma.

“Lu main dukun, ya?” tuduh Windi pula.

“Waduh, tuduhan kalian berat betul,” kata Barada mendelik, tapi tidak merasa tertekan dengan kondisi itu. Perasaannya masih bisa tenang.

“Heh Badar! Lu lihat kan kemarin, bagaimana Rina dipermalukan? Lu harus buat Rina kembali lagi seperti dulu!” kata Novi bernada lebih tinggi.

“Maaf, teman-teman cantik. Masalahnya, Rina mau memakai jilbab atas kemauan dan keputusannya sendiri,” kata Barada.

“Lu jangan lepas tanggung jawab!” sentak Ristana, lalu tangannya berkelebat mencoba menampar wajah Barada.

Barada segera memasang tangan kirinya di sisi wajah, sehingga tamparan Ristana yang tomboy itu tertahan.

Buk!

Namun, Novi Andria dan Iyut Nirmala secara bersamaan menendang perut Barada. Barada tidak mengelak atau menangkis. Tendangan ganda itu membuat Barada terbungkuk menahan sakit. Ternyata cewek-cewek geng itu tidak berhenti. Mereka mencoba menampar dan menjambak jilbab Barada.

Sementara itu, terjadi keriuhan di lapangan. Ramai tepuk tangan dilakukan oleh sebagian siswa, sebagian lagi merasa kecewa karena kalah bertaruh.

Rina telah datang. Dugaan sebagian besar siswa ternyata meleset. Rina datang dengan tetap memakai jilbab. Sebagian siswa bertepuk tangan memuji keputusan Rina karena memilih tetap bertahan. Di sisi lain, banyak siswa dan bahkan siswi yang kalah bertaruh, karena memang banyak yang memilih bahwa Rina akan masuk hari ini tanpa jilbab.

“Hahaha!” yang menang taruhan pun tertawa terbahak-bahak, menertawakan temannya yang kalah.

Melihat situasi yang tidak disangka olehnya, Rina hanya bisa berdiri diam sejenak, tertegun. Tepuk tangan sebagian siswa untuknya, cukup menghibur perasaannya.

“Ke mana anak-anak?” tanya Rina dalam hati, karena ia tidak mendapati keberadaan keenam sahabat gengnya di tiang keranjang basket.

Tidak mau menjadi pusat perhatian, Rina segera berjalan masuk ke gedung. Rina berbelok menuju toilet wanita, karena memang ia ingin merapikan sedikit jilbabnya yang terasa sedikit tidak pas.

Namun, setibanya di area toilet siswi, Rina dibuat terkejut melihat teman-temannya sedang mengeroyok Barada.

“Berhenti!” teriak Rina menggelegar, seketika kemarahannya tersulut naik.

Teriakan itu spontan menghentikan keroyokan para anggota Geng Bintang Tujuh.

Plak! Plak!

Baru saja Novi dan Iyut menengok ke belakang, sebuah tamparan tiba-tiba sudah mendarat di wajah keduanya.

Tak ayal lagi, semua siswi yang mengeroyok Barada terkejut bukan main dan terdiam. Terlebih bagi Novi dan Iyut yang mendapat tamparan. Sedikit pun mereka tidak menyangka, Rina yang adalah sahabat mereka, tega dan berani menampar.

Sementara Barada yang masih bisa menyelamatkan wajah dan jilbabnya, meski tubuhnya beberapa kali terkena tendangan dan pukulan, segera berdiri dari ketersudutan.

“Lu semua keterlaluan! Badar enggak salah sedikit pun dalam masalah gua!” bentak Rina.

Rina lalu menerobos kepungan terhadap Barada. Ia meraih tangan kanan Barada dan menariknya untuk pergi.

“Rina!” Indah dan Ristana segera menghadang Rina dan Barada.

“Demi dia elu tega nampar sahabat-sahabat elu!” kata Ristana tidak kalah garang.

“Kalian memang sahabat-sahabat gua. Tapi lu semua juga harus tahu, Badar sekarang seperti satu darah sama gua!” kata Rina.

Rina lalu maju dan menerobos hadangan Indah dan Ristana yang semakin terkejut dengan pernyataan Rina.

Akhirnya, keenam anggota Geng Bintang Tujuh itu terdiam dalam kegeraman dan ketidakmengertian. Bagaimana bisa Rina memilih seorang Barada yang baru diakrabinya dibandingkan mereka berenam yang sejak kelas satu  mereka sudah bersahabat dan sama-sama melakukan suka duka?

Untuk pertama kalinya pula, Rina melakukan penamparan terhadap sesama anggota Bintang Tujuh. Itu adalah tindakan yang sangat menyakiti persahabatan mereka, terutama bagi Novi dan Iyut.

Iyut akhirnya menangis. Indah segera memeluk Iyut.

“Elu luka?” tanya Rina kepada Barada sambil menaiki tangga menuju lantai tiga.

Bukannya menjawab, Barada malah tertawa kecil.

“Koq elu malah ketawa, Badar?” tanya Rina kesal.

“Akhirnya saya merasakan keganasan Geng Bintang Tujuh, setelah sekian lama hanya dengar cerita teman-teman yang pernah kalian intimidasi,” kata Barada.

“Gua pikir elu perempuan yang bisa berantem,” kata Rina.

“Tidak mungkin saya harus berantem dengan sesama teman. Tapi, mungkin akan beda jika mereka tadi berhasil lepas jilbab saya, karena harga jilbab bagi seorang Muslimah itu sangat mahal,” kata Barada. “Saya jadi khawatir, Rin, tindakan kamu tadi kepada mereka akan mengancam kelompok kalian.”

“Sepertinya ancaman perpecahan itu enggak bisa gua hindari,” kata Rina.

Teeet! Teeet! Teeet!

Tiga kali jeritan bel listrik terdengar panjang-panjang. Tandanya masuk untuk mulai belajar di hari itu.

“Rina!” panggil seorang perempuan seraya mendatangi Rina yang baru sampai di lantai tiga. Siswi teman sekelas Rina itu mengatakan maksudnya, “Lu dipanggil menghadap ke ruang Kepala Sekolah!”

“Kasus!” desis Rina pelan. Di pikirannya langsung terbayang tentang masalah kemarin.

“Saya yakin kamu bisa, Rin,” kata Barada memberi semangat.

Rina hanya tersenyum kecil. Ia lalu memberikan tasnya kepada siswi yang bernama Alya itu.

“Tolong bawain tas gua ke kursi, Al,” katanya.

“Hati-hati, tadi gua lihat ada Pak Suryo di ruangan Pak Didi!” pesan Alya lalu beranjak pergi menuju kelasnya.

“Jangan pakai emosi, Rin. Dan mengalah kepada orang tua, itu langkah bijak,” pesan Barada.

“Sip!” ucap Rina optimis, meski wajahnya menyiratkan ketegangan.

Karena ruang kepala sekolah ada di lantai bawah, mau tidak mau Rina harus turun lagi. Dan ternyata, ia harus berpapasan dengan keenam sahabatnya yang sedang naik. Mereka pun saling berhenti dan saling memandang. Keheningan dan ketegangan tercipta.

“Gua minta maaf kepada elu semua, terutama kepada Ofi dan Ala!” ucap Rina. “Gua nyesel sudah keras sama kalian. Tapi tolong, jangan ganggu gua hari ini.”

Keenam sahabat Rina itu hanya terdiam.

“Terus elu mau ke mana?” tanya Indah.

“Gua dipanggil Kepala Sekolah,” jawab Rina, lalu ia melanjutkan menuruni tangga melewati teman-temannya.

Setibanya di lantai satu, Rina langsung menuju ke kantor Kepala Sekolah SMK.

Assalamu ‘alaikum!” salam Rina setibanya di pintu kantor.

Wa ‘alaikum salam!” jawab beberapa orang yang sudah ada di dalam kantor.

Deg!

Satu pukulan godam perasaan menghantam jantung Rina. Di sebuah set kursi sofa di dalam kantor yang memiliki dua ruang itu, telah duduk orang-orang yang Rina kenal, yaitu guru matematika Suryo Manutdilogo, guru agama Mukhtar Abdulghani, Wakil Kepala Sekolah SMK Nini Aidawani, dan Kepala Sekolah SMK Didi Sudrajat.

“Ini hari pengadilan gua,” membatin Rina.

“Duduk di sini, Nak!” kata Didi mengarahkan.

Akhirnya sidang pun dimulai yang dipimpin oleh Kepala Sekolah.

Siang itu, Rina memilih pulang bersama Barada. Ia memilih meninggalkan teman-temannya satu geng.

“Rin, ikut kita ke DM yuk!” ajak Indah kepada Rina setelah jam pelajaran hari itu berakhir.

Sorry, Wi. Gua mau pulang sama Badar,” kata Rina lalu segera berlari kecil mengejar Barada yang juga baru keluar dari kelasnya bersama murid-murid yang lainnya.

Indah dan sahabat yang lainnya hanya bisa memandangi kepergian ketua mereka dengan kecewa.

“Eh, Rin,” tegur Barada sambil tertawa saat mendapati Rina sudah menepuk bahunya. Sejenak Barada memandangi wajah Rina yang tampak putih bercahaya dalam lingakaran jilbab hitam.

“Ih, kenapa sih lu?” hardik Rina melihat tingkah Barada.

“Hahaha!” Barada tiba-tiba tertawa, padahal bagi Rina tidak ada yang lucu. Barada tidak menjawab, ia malah segera menuruni tangga di sela-sela keramaian murid SMK yang semuanya pulang.

Di lantai dua, tangga semakin penuh sesak, sebab seiring pula dengan keluarnya murid-murid SMU.

Rina terus mengikuti Barada, seolah tidak mau tertinggal. Barada langsung menuju parkiran motor dan sepeda. Di lapangan Rina cepat menyusul.

“Lu belum jawab pertanyaan gua, Badar!” kata Rina.

“Wajah kamu enggak menunjukkan kalau kamu dapat masalah besar di kantor Kepala Sekolah tadi,” terka Barada.

“Dukun lu, ya?” tuding Rina yang menandakan terkaan Barada benar.

“Hahaha!” Barada kembali tertawa.

Semenjak Rina dipanggil menghadap ke kantor Kepala Sekolah tadi, keduanya memang belum bertemu lagi hingga waktu pulang ini. Rina belum cerita tentang apa yang dihadapinya di kantor tadi pagi.

“Saya sudah tahu semua,” kata Barada sambil mengeluarkan sepeda model cewek warna merahnya dari parkiran.

“Sudah tahu semua?!” kejut Rina.

“Ya, Ustad Mukhtar yang cerita ke saya,” jelas Barada sambil tertawa kecil.

“Curang. Padahal gua mau cerita sebagai kabar bagus dan mengejutkan ke elu!” gerutuh Rina kecewa, membuat Barada tertawa kecil tapi berkepanjangan.

Di kantor Kepala Sekolah SMK tadi pagi, Rina memang disidang. Ia disidang bukan karena keputusannya untuk memakai jilbab sehingga timbulkan kehebohan, tapi karena tindakan tidak sopannya kepada Pak Suryo.

Namun, Rina yang mengutarakan alasannya bersikap lancang kemarin di kelas, tidak menyangka bahwa ternyata ia mendapat pembelaan dari Pak Mukhtar Abdulghani selaku guru agama. Ketegangan sempat tercipta, ketika Pak Suryo dan Pak Mukhtar harus berdebat tentang kedudukan  jilbab bagi perempuan Islam. Akhirnya, Pak Suryo harus mengakui kesalahan pemahamannya tentang wanita yang layak berjilbab, karena dalam Islam tidak mengenal istilah layak atau tidak pantasnya seorang perempuan memakai jilbab. Pada kesempatan itu, Rina juga dituntut untuk meminta maaf kepada Pak Suryo.

“Rina janji, Rina akan tunjukkan kepada Bapak bahwa Rina memang pantas untuk memakai jilbab, tapi Rina minta waktu untuk membuktikan itu!” kata Rina kepada Kepala Sekolah dan para guru saat itu.

Barada menuntun sepedanya dan Rina berjalan di sebelahnya. Sementara dari kejauhan, keenam anggota Geng Bintang Tujuh hanya bisa memandang. Muncul rasa cemburu di antara mereka.

Untuk ke tempat parkiran mobil, mereka harus lebih dulu keluar gerbang sekolah lalu belok kiri. Sebab, parkiran ada di lahan tanah sebelah gedung sekolah. Hanya Indah Pertiwi yang membawa mobil, sebab ia sudah punya SIM. Anggota geng yang lain biasanya menumpang pulang di mobil Indah atau Rina yang suka dijemput.

Sorry, gua enggak ikut!” kata Novi Andria kepada teman-temannya.

“Kenapa, Ofi?” tanya Windi.

“Gua mau beli sesuatu buat keponakan gua di pasar,” kilah Novi.

“Ya udah, kita duluan, ya!” kata Indah, lalu bersama-sama yang lain pergi menuju parkiran mobil.

Novi segera melangkah pergi ke arah yang berlawanan. Pandangannya masih bisa menangkap keberadaan Rina dan Barada yang agak jauh di depan.

Sekolah IP YAKIN terletak di kawasan pasar Cengkareng, Jakarta Barat. Ada beberapa mall besar di wilayah pasar tersebut. Ketika siswa-siswi sekolah swasta tersebut keluar, mereka akan langsung berada di jalan raya dalam kawasan pasar.

“Gua harus ngomong ke kalian, gua curiga Ofi bohong ke kita,” kata Indah kepada keempat sahabatnya.

“Iya, kayaknya Ofi ngikutin Rina dan Badar,” kata Ade sependapat.

“Lantas?” tanya Windi.

“Ala, lu bisa ngikutin Ofi dari belakang?” tanya Indah kepada Iyut Nirmala.

“Bisa,” jawab Iyut mantap.

“Tapi lu terus kirim pesan ke kita perkembangan yang lu lihat,” kata Indah.

“Oke!” kata Iyut lalu berbalik pergi. Dia harus sedikit berlari untuk bisa melihat keberadaan Novi yang memang membuntuti Rina dan Barada.

Sementara itu, cukup jauh di depan sana, Rina dan Barada tampak gembira dengan kebersamaannya.
“Janji ya, hanya sebentar,” kata Barada kepada Rina. “Masuk, beli, langsung pulang.”

“Ah, enggak ada asiknya banget. Cuci mata dulu, Badar. Setelah itu cuci muka!” kata Rina geregetan, karena Rina adalah tipe gadis yang sangat suka menghabiskan waktu di mall-mall pusat perbelanjaan.

“Tapi saya harus pulang tepat waktu, Rin. Itu sudah rutinitas saya. Paling lama toleransinya saya telat satu jam untuk tiba di rumah,” kilah Barada.

“Itulah pentingnya punya hp, Badar. Jadi, kalau ada urusan darurat, bisa telepon, minimal kirim pesan. Biar gua telepon Ummi, gua punya nomornya kok,” kata Rina lalu mengeluarkan hp-nya dan membuka daftar kontak. “Atau ke nomor Bang Gazza, gua juga....”

Tiba-tiba dengan gerakan tangan yang cepat, Barada merampas hp di tangan Rina. Rina terkejut bukan main, sebab itu bukan gerak rampasan biasa.

“Kamu ternyata diam-diam nyimpan nomor Abang Gazza! Hahaha!” pekik Barada lalu tertawa. “Hallo! Assalamu ‘alaikum, Daeng!”

Wa ‘alaikum salam. Badar?” jawab lelaki di dalam telepon dan bertanya balik.

“Abang, Abang tahu ini nomor siapa?” tanya Barada sambil tertawa-tawa.

Rina jadi panik ketika ternyata Barada benar-benar menelepon nomor Fath Gazza yang ada di hp itu. Buru-buru Rina mengejar Barada yang bergerak menjauh. Sambil tertawa-tawa, Barada justeru meluncur menaiki sepedanya meninggalkan Rina.

Sementara di belakang sana, Novi berjalan memperhatikan keduanya sambil menelepon seseorang.
Di tempat yang lain, pesan WhatsApp masuk ke hp Indah Pertiwi. Indah yang sedang menyetir meminta Ristana untuk membuka pesan itu.

“Novi menelepon orang,” baca Ristana.

“Balas, Is, katakan bukan kita,” kata Indah.

Kembali ke depan mall. Rina benar-benar berlari mengejar sepeda Rina.

Bremr!

Tiba-tiba sebuah sepeda motor gede 250cc berwarna merah menepi dan berhenti menghadang lari Rina. Gadis berjilbab itu pun terkejut. Ia langsung mengenali pemuda yang tidak berhelm tersebut. Pemuda tampan beralis tebal berambut agak botak itu tidak lain adalah Rio Anggoro, mantan pacar Rina.

“Cewek munafik!” maki Rio, dengan wajah garang ia mendatangi Rina.

Rina yang terkejut, lebih terkejut karena Rio sudah mencekal kasar tangannya dan mencoba menariknya.

“Ayo ikut gua!” kata Rio sambil menarik Rina.

Rina yang sempat tertarik mencoba berjongkok untuk menahan tarikan itu.

“Lepasin!” teriak Rina sambil memukul-mukul tangan Rio yang mencengkeram kuat tangannya.

Jeritan Rina membuat Barada berhenti dan melihat ke belakang. Jelas apa yang dilihatnya adalah satu penyerangan seorang lelaki terhadap sahabatnya.

“Dasar cewek jalang! Elu mau ngumpet di balik jilbab?” maki Rio lagi sambil tangan kirinya memukul kepala Rina dan berikutnya menjambak jilbab lalu menariknya hingga lepas dari kepala.

Keributan di pinggir jalan raya depan mall Ramayana itu jelas menarik perhatian orang keramaian.
“Rina!” teriak Barada kencang, menunjukkan kemarahannya.

Kemarahan Barada lebih mendidih lagi saat melihat jilbab Rina direnggut paksa dan dilepas. Baginya itu jelas adalah pelecehan serius terhadap kehormatan seorang Muslimah.

Barada melepaskan sepedanya begitu saja. Roknya ia angkat sehingga tampaklah celana panjang merahnya. Selanjutnya ia berlari kencang ke arah kejadian. Ketika jarak tinggal beberapa meter lagi, Barada melompat jauh.

Buk!

Terjangan Barada yang bukan terjangan wanita biasa mengenai bahu kiri Rio. Kerasnya terjangan kaki Barada memaksanya terdorong menghantam pagar trotoar.

Rio yang kehilangan kendali tubuhnya, segera bangkit berdiri dan melihat siapa yang menendangnya. Mendeliklah Rio saat tahu bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis remaja berjilbab lain.

Pak pak pak! Dak!

“Hakr!”

Dengan gerakan yang cepat dan terlatih, Barada bergerak merangsek maju dengan cepat kepada Rio. Demikian cepat dan lihainya, pukulan telapak tangan Barada berhasil masuk menghantam dada kanan dan kiri Rio, menyusul pukulan lebih kencang tepat di tengah dada, pusat pertemuan dada bawah dan perut atas.  Rio terbungkuk. Dan satu pukulan pamungkas Bqarada berkelebat dari bawah dan menghantam dagu Rio.

Dengan air ludah dan darah tersembur keluar dari rongga mulut, tubuh Rio terlompat melengkung ke belakang. Lalu jatuh menghantam bebatuan trotoar. Setelah itu Rio tidak bisa bangkit lagi, hanya menggeliat mengerang kesakitan.

Rina diam terpaku dengan mulut terbuka menyaksikan kejadian yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sama halnya dengan Novi yang berada agak jauh di balik gerobak pedagang, bibirnya bergetar. Termasuk Iyut di sisi lain.

Ketika Rina, Novi dan Iyut terkejut terperangah, lain halnya dengan masyarakat pasar yang menyaksikan penyerangan Rio terhadap Rina dan penyerangan Barada terhadap Rio.

“Jangan berani-berani usik jilbab Muslimah lagi!” kecam Barada kepada Rio Anggoro.

Barada lalu menghampiri Rina yang tampak masih cukup syok dan menggandengnya pergi.

Sementara itu, bermula seorang lelaki tak dikenal dengan sewot menendang Rio, warga pasar lainnya jadi ikut-ikutan menghakimi Rio baramai-ramai dengan tinju dan tendangan.

“Ampun, Bang! Ampun!” jerit Rio.

Beberapa orang, termasuk seorang satpam mall segera membubarkan penghakiman jalanan itu.
“Bubar!” teriak satpam mall.

Sementara itu, Novi Andria yang ditimpa rasa ketakutan sendiri, segera berbalik dan berjalan pergi.
Iyut buru-buru berlindung dari pandangan Novi ketika berlalu tidak jauh dari posisinya.

Iyut segera menelepon Indah dan kawan-kawan.

“Lu posisi di mana, Wi?” tanya Iyut.

“Mau putar balik ke DM, La,” yang menjawab Ristana.

“Pokoknya lu putar balik jemput gua di lampu merah Cengkareng. Kalian enggak bakal nyangka apa yang gua dan Novi lihat di sini!” kata Iyut berapi-api.

“Lihat apaan?” tanya Ristana.

“Pokoknya jemput gua!” tandas Iyut lalu mematikan sambungannya.

Dengan kondisi berdarah-darah dan lemah, Rio menaiki kembali motornya. Ketampanannya seketika hilang oleh lebam dan bengkak pada wajahnya.

Bremr!

Rio dengan jiwa penuh kemarahan langsung menghentak gas motornya. Ia pergi dalam sekejap.

“Woi! Hp-nya ketinggalan!” teriak satpam mall, tapi telat.

“Maaf, Pak!” ucap Iyut menghampiri satpam tersebut. “Saya kenal sama cowok tadi, hp-nya biar saya nanti kasih.”

Satpam itu sejenak memandang Iyut.

“Benar, Pak. Saya kenal, kok. Dia namanya Rio, bekas pacar cewek yang pakai jilbab tadi. Cewek tadi teman saya,” tandas Iyut.

“Nanti, kalau ketemu sama cowok kaya itu, bilangin, jangan berani-berani lagi pukul cewek, apalagi di tempat ramai,” kata satpam tersebut, lalu memberikan hp di tangannya kepada Iyut.


Sementara itu, Rina memilih pulang dengan taksi. Perasaannya cukup terguncang setelah mendapat serangan dari Rio. Dan Barada sendiri, pulang dengan sepedanya. (RH)

Berlanjut: Perpisahan Penuh Tangis (14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar