Ilustrasi muslimah. (Gambar: Gamis Jilbab Syar'i) |
2016
Bab Sebelumnya:
Hari sudah melalui waktu Ashar.
Barada memakai pakaian serba hijau dengan jilbab besar warna hijau lebih muda.
Sebuah tas kain tebal hitam tersandang di bahu kanannya. Ia memutuskan
menghampiri seorang ibu muda yang sedang menggendong bayi satu tahunnya.
“Assalamu ‘alaikum, Bu,” salam Barada seraya tersenyum. Lalu
membungkuk seperti orang Jepang menghormat.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab ibu tersebut.
“Maaf, Bu. Tahu rumah Riska?”
tanya Barada.
“Tuh, yang kelihatan ada
jemurannya di depan rumah!” kata si ibu sambil menunjuk sebuah rumah di samping
sebuah gang.
“Terima kasih banyak, Bu. Assalamu ‘alaikum,” ucap Barada, lalu
ujung-ujungnya dia membungkuk lagi.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab ibu tersebut seraya tersenyum, karena
merasa lucu terhadap Barada yang pakai adat bungkuk-bungkuk.
Namun bagi Barada sendiri, hal
itu sudah menjadi kebiasaannya. Justru ia senang ketika melihat orang tersenyum
karena adatnya itu.
Barada langsung menuju ke sebuah
rumah sederhana yang langsung menghadap ke jalan raya yang tidak begitu lebar.
Sederet pakaian menggantung di seutas tali jemuran depan rumah. Rumah sederhana
itu memiliki teras yang sempit. Sebuah motor tanpa roda depan di stangnya,
berdiri memenuhi separuh teras. Pintu yang terdiri dari dua daun pintu,
tertutup bagian bawahnya dan terbuka pintu atasnya.
Sebuah mikrolet merah tampak
melintas membawa penumpang, menunjukkan jalan di depan rumah itu jadi rute
trayek angkutan umum.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Barada agak keras, karena tidak melihat
ada orang.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab satu suara perempuan dari dalam.
Hingga beberapa saat, Barada
tidak melihat kemunculan seseorang dari dalam rumah. Namun kemudian, pintu
bawah bergerak membuka.
Oh, barulah Barada melihat orang
yang tadi menjawab salamnya. Seorang wanita muda cantik yang menurut Barada
usianya lebih tua darinya dua atau tiga tahun. Rambut sebahunya tampak agak
kusut. Dahinya dibalut perban melingkar yang pada sisi kanan ada tonjolan kapas
yang tebal. Ia memakai kaos oblong warna kuning. Sementara pakaian bawahnya
adalah kain sarung. Gadis cantik berbibir tipis itu duduk di kursi roda yang sebenarnya
tidak pas dipakai di ruang rumah yang tidak begitu luas.
Barada membungkuk lagi seperti
orang Jepang kepada gadis di ambang pintu itu.
“Cari siapa ya?” tanya gadis di
kursi roda tanpa senyum.
“Mbak Riska, ya?” Barada justeru
menerka.
“Benar,” jawab gadis bersarung
itu, masih tanpa senyum dan menatap penuh pertanyaan.
“Nama saya Badar, Mbak. Saya
datang untuk menjenguk, Mbak.”
“Jenguk saya? Tapi saya enggak
kenal kamu,” kata Riska mulai curiga, karena sedikit pun ia tidak mengenal
Barada.
“Benar,” kata Barada tetap
tersenyum, dalam hati ia agak susah sendiri menjelaskannya. Tapi ia sudah
membayangkan kalau nantinya ada pengusiran terhadapnya. Karenanya, dengan berat
ia pun mengatakan, “Saya seorang utusan dari orang yang telah menabrak Mbak
Riska.”
Jlegerr!
Laksana mendengar petir di
cerahnya hari. Wajah cantik yang awalnya penuh curiga, tiba-tiba berubah marah.
“Pergi!” teriak Riska keras.
Meski telah siap diusir, tetap
saja satu kata pengusiran itu membuat perasaan Barada tertusuk.
“Tapi, Mbak. Melalui lisan saya,
orang yang menabrak Mbak mengharapkan maaf dari Mbak,” kata Barada berusaha
untuk tetap bertahan di posisinya.
“Orang pengecut macam apa dia,
hah?! Kalau memang dia mau bertanggung jawab, sejak kejadian dia seharusnya
lakukan itu. Setelah dua minggu, dia baru peduli dan hanya mengirim orang
lain!” teriak Riska. Lalu kembali mengusir Barada, “Kamu pergi sekarang juga!”
Ingin rasanya Riska melempar
sesuatu, tapi kondisinya membuat ia sulit mengambil sesuatu untuk dilempar.
“Riska, apa-apaan ini?” tanya
seorang lelaki yang muncul dari belakang Riska. Seorang pria kurus berbaju kaos
T-Shirt usang bermotif salur biru
putih dan bercelana kain cokelat yang kotor oleh bekas oli dan tanah. Pria
berambut agak tidak rapih dan berkumis tipis tersebut segera keluar menengahi
kedua gadis tersebut. Ia bernama Rusdi.
“Lihat, Pak! Orang yang menabrak
saya kirim orang kemari!” kata Riska dengan nada masih tinggi mengandung emosi
kemarahan.
Riska memilih membalikkan arah
kursinya dan bergerak masuk ke dalam rumah.
“Assalamu ‘alaikum, Pak,” ucap Barada lalu membungkuk kepada lelaki
yang usianya sekitar hampir 50-an tahun.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Rusdi seraya tersenyum kecil. Dalam hati
ia berkata, “Orang yang dikirim si penabrak Muslimah yang sopan.”
“Maaf, Pak. Mungkin kedatangan
saya kurang sopan sebagai orang yang diutus, tapi ada yang ingin saya bicarakan
kepada Riska, atau jika tidak, dengan orang tuanya,” ujar Barada.
“Yaaa, memang tidak pantas ya,
Dik, kalau orang yang menabrak Riska kirim orang. Kenapa bukan dia sendiri yang
datang? Begitu lho,” kata Rusdi yang tampaknya berusaha menunjukkan
kebijaksanaannya dalam menyikapi musibah yang menimpa anaknya, sekaligus yang
menimpa keluarganya. “Adik lihat sendiri tanggapan Riska. Saya dan ibunya Riska
sih, ya sudah pasrah lah. Yang namanya musibah, mau bicara apa? Mendingan
bicara di warung kopi susu situ, Dik. Kasihan Riska kalau dengar yang bikin
perasaannya marah.”
Rusdi lalu mengajak Barada ke
warung kopi susu yang ada beberapa puluh meter dari rumah tersebut. Warung kopi
susu itu dihiasi spanduk yang berisi daftar menu yang bisa dipesan di warung
itu. Ada bubur kacang ijo, bubur ketan hitam, dan berbagai tawaran direbuskan
mie instan.
“Nama Adik siapa?” tanya Rusdi.
“Badar, Pak.”
“Hubungannya dengan orang yang
menabrak anak saya apa?” tanya Rusdi lagi.
“Sahabat dekat.”
Rusdi dan Barada masuk ke warung
yang saat itu sedang kosong pelanggan.
“Mak Tut, susu dua, Mak!” pesan
Rusdi kepada seorang wanita usia tiga puluhan yang sedang duduk menonton
sinetro komedi sore.
Tanpa menyahut, perempuan yang
dipanggil Mak Tut itu bergerak untuk membuatkan pesanan.
Rusdi dan Barada duduk di kursi
kayu panjang yang ada.
“Tidak baik juga kalau saya
ngusir Badar, apa lagi Badar cuma orang utusan, ya kan? Tidak ada untungnya.
Kalau memang sahabat Badar itu punya niat baik, walaupun terlambat, saya sih
mau tahu juga, apa maunya. Saya harus terang-terangan juga, supaya dia tahu.
Saya sekeluarga susah jadinya. Kalau Riska sih, jangan ditanya, orang jadi
cacat begitu,” kata Rusdi.
“Karena itu, meski saya juga akui
ini kurang sopan, tapi teman saya meminta maaf yang sebesar-besarnya dari Riska
dan Bapak sekeluarga,” kata Barada berusaha selembut mungkin kalimatnya dalam bicara.
“Kalau saya sih, mau enggak mau
ya harus memaafkan, daripada jadi beban. Kalau Riska, ya tergantung anaknya,
saya tidak bisa mewakilkan. Untuk hari ini, jelas Riska belum memaafkan. Nanti
tolong disampaikan ke sahabat kamu itu, Badar.”
“Terus terang, teman saya ini
masih seumuran saya. Jiwanya terguncang juga waktu nabrak, sampai pun untuk
bertanggung jawab, dia takut. Karena ketakutan itulah, teman saya mengirim saya
temui Riska dan keluarganya. Setidaknya ada upaya dulu untuk meminta maaf. Dan
teman saya mau ganti kerugian materi dan yang lainnya, semampunya dia.
Karenanya, lewat saya, teman saya ingin tahu tuntutan Riska dan keluarga,” ujar
Barada yang membuat ada kelegaan di hati Rusdi.
“Saya sih jujur aja, ya, biaya
memang ada bantuan dari pacar Riska dan juga dari warga, tapi tetap aja, biayanya
terlalu besar buat keluarga saya yang miskin. Orang sehari-hari ngandalin ojeg
doang. Sekarang motornya rusak parah. Badar lihat kan yang di teras itu?
Sekarang cuma emaknya Riska yang pagi sama sore gini keliling jualan kue
setelah musibah ini. Mau benerin motor, hutang sudah numpuk di mana-mana. Ya,
begitulah, Dik.”
Mak Tut meletakkan dua gelas kopi
putih hangat untuk Rusdi dan Barada.
“Memang yang nabrak seumuran elu,
ya?” tanya Mak Tut kepada Barada, kental dengan logat Betawi.
“Iya, Mak,” jawab Barada seraya
tersenyum kepada Mak Tut yang ogah senyum.
Mak Tut lalu kembali ke kursinya
di depan televisi. Ia lebih tidak mau ketinggalan cerita lucu sinetronnya dari
pada mendengarkan perbincangan pribadi keluarga Rusdi.
Sementara Barada membuka tasnya dan
mengambil sesuatu di dalamnya. Sebuah amplop berisi tebal dikeluarkan. Amplop
itu langsung disodorkan kepada Rusdi. Tanpa sungkan Rusdi menerimanya, karena
sudah sepantasnya dia mendapat ganti rugi untuk meringankan beban ekonominya.
“Ini sepuluh juta, Pak. Sementara
baru itu. Karena teman saya masih pelajar, jadi belum punya penghasilan.
Nantinya, jika teman saya sudah siap mental, dia sendiri yang akan datang ke
Riska,” kata Barada.
“Ya, alhamdulillah kalau begitu, Badar. Ayo, diminum!” kata Rusdi yang
mulai sumringah.
“Iya,” ucap Barada dengan tetap
menjaga senyumnya, lalu meminum kopi yang sudah menunggu dihabiskan.
“Jangan lupa utang elu di sini,
Rus!” teriak Mak Tut tiba-tiba, bermaksud menunjukkan kepada Barada bahwa Rusdi
juga punya hutang di warung itu.
“Iya!” sahut Rusdi. Lalu
gerutuhnya seraya tertawa kecil, “Buka rahasia aja kalau saya punya hutang di
sini.”
“Tolong nanti Bapak hitung saja
kerugiannya, lalu sms aja ke nomor ini, Pak,” kata Barada lalu menyodorkan
secarik kertas kecil bertuliskan sejumlah nomor.
“Ya ya ya,” Rusdi yang sudah
memegang segepok uang 10 juta, manggut-manggut sambil ambil kertas itu dan
sejenak melihat nomor yang tertera.
“Kalau begitu, saya pamit, Pak.
Tolong salam untuk Riska dan Ibu,” kata Barada.
“Baik, Badar. Terima kasih
banyak, kamu sudah mau jadi utusan sahabat kamu itu,” kata Rusdi.
Barada menghabiskan susunya. Lalu
selorohnya, “Alhamdulillah, saya
masih beruntung, enggak dilempar golok sama Riska.”
“Hahaha! Anak saya enggak sejahat
itu, Badar,” kata Rusdi seraya tertawa kecil. Hatinya telah senang, meskipun
uang yang diterimanya itu masih kurang banyak untuk menutupi semua utang. Padahal di masa-masa awal setelah insiden penabrakan terhadap anaknya, Rusdi
bukan main marahnya, bahkan seperti orang gila mencaci maki pelaku yang sedikit
pun tidak bertanggung jawab.
Setelah salam dan membungkuk,
Barada pun melangkah pergi. Di satu tempat yang tidak terlihat dari warung kopi
susu, Barada mendatangi sebuah mobil sedan Honda City merah. Di kursi pengemudi
telah duduk Rina Viona. Pakaian Muslimahnya masih pakaian yang ia kenakan saat
ke pantai bertemu keenam sahabat gengnya.
Barada memberikan senyum kepada
Rina lalu masuk duduk di sebelah sahabat barunya itu.
“Alhamdulillah, Riska mengusir saya,” kata Barada melapor, tetap
tersenyum. “Tapi bapaknya mau menerima. Hutang mereka menumpuk banyak.”
“Terima kasih, Badar!” ucap Rina
haru sambil bergerak memeluk Barada dan mencium pipi kanan sahabatnya.
Barada hanya tertawa, yang
kemudian diikuti oleh tawa Rina.
“Sekarang kamu traktir saya!”
kata Barada menagih.
Meski masih memiliki beban
pertanggungjawaban terhadap Riska yang ditabraknya, Rina hari ini merasa cukup
lega dan bahagia. Dua Muslimah itu pun pulang dengan gembira. (RH)
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar