Ilustrasi: Muslimah. (Foto: 123RF.com) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Begitu mendesaknya
pesan yang dibawa oleh Barada, membuat gadis itu tidak mempermasalahkan sopir
mobil boks yang
menabraknya.
Gadis berjilbab
berpakaian silat itu dengan cekatan bangun dari keterjatuhannya. Saat tahu
sepedanya tidak bisa dipakai normal, ia memilih menitipkan sepedanya di pos
satpam kompleks.
“Pak, titip sepeda!”
kata Barada begitu saja lalu langsung berlari pergi masuk ke kompleks.
Barada benar-benar
berlari, tidak peduli bahwa orang-orang yang dilaluinya memperhatikannya
sejenak.
Barada harus berlari
beberapa menit lamanya untuk sampai di depan gerbang pagar rumah Rina. Di
halaman penuh oleh mobil, meskipun mobil tamu hanya ada satu, tapi mobil tuan
rumah yang banyak, karena belum dimasukkan ke garasi.
Sehubungan akan melamar
seorang wanita yang menyimpan beban aib dosa zina, Abduh hanya datang bersama
kedua orangtuanya, tidak melibatkan keluarga besar. Meski demikian, keluarganya
tetap membawa sejumlah bingkisan untuk keluarga perempuan yang akan dilamar.
Demikian pula dari
pihak Rani yang akan dilamar. Dedy Sirana tidak mengundang sanak famili yang
lain, cukup sebatas orang tua dan anak, ditambah para pembantu. Dedy bahkan
melarang Rina memanggil teman-temannya ketika Rina minta izin membiarkan
sahabat-sahabat satu gengnya untuk datang.
Suara tawa yang saling
mengakrabkan hubungan dua keluarga terdengar hingga ke luar. Keluarga Dedy dan
Surohman, ayahnya Abduh, masih sebatas basa basi. Belum masuk kepada pernyataan
resmi untuk meminang Rani.
Didampingi oleh
adiknya, Rani datang dengan pakaian dan jilbab serba putih. Wajah dan
pandangannya menunduk malu. Sementara Rina tersenyum manis, meski ia tidak
senang dengan suasana itu.
Sebelum keluar, Rina
telah mencoba meyakinkan kakaknya untuk tidak menuruti kemauan ibu mereka.
Namun, Rani tidak mau mengecewakan sang mama atau membuatnya marah besar.
Hingga akhirnya, Rina merasa harus bisa menerima ketentuan yang kata Barada
adalah yang terbaik dari Allah.
“Mungkin Bang Awang
ditakdirkan oleh Allah mendapat gadis yang lebih saleh dan suci,” kata hati
Rina.
Dugaan itulah yang
membuat Rina tidak terlalu ngotot
lagi tentang siapa yang pantas menjadi calon suami Rani.
Sementara di luar
rumah, Barada bisa masuk ke halaman karena gerbang tidak dikunci. Masuknya
Barada dengan pakaian hitam-hitam di malam hari, membuat Pak Burhan selaku
sopir keluarga Rina dan Iwan yang pembantu, terkejut. Keduanya sedang
duduk-duduk di teras dengan suguhan kopi susu dan kue.
“Maling!” seru Burhan
sambil menepuk lengan Iwan.
Iwan jadi serius
memandang ke depan, sama seperti Burhan yang usianya jauh lebih tua darinya.
“Ah, itu mah temannya
Neng Rina!” kata Iwan sewot sambil balas menampar lengan Burhan, setelah dengan
jelas melihat bahwa itu adalah Barada yang sudah dikenalnya.
“Trus, ngapain
malam-malam begini datang pakai baju silat begitu?” tanya Burhan seperti
mendumel sambil bangkit menyongsong kedatangan Barada.
Iwan juga turut jalan
ke depan.
“Assalamu ‘alaikum, Pak!” salam Barada seraya tersenyum lalu memberi
hormat dengan membungkuk.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab kedua pria itu. Bahkan Iwan balas
membungkuk yang membuat Barada tertawa.
Melihat Barada
terengah-engah dan wajahnya bermandi peluh, Burhan pun bertanya, “Ada apa,
Neng? Habis lari jauh, ya?”
“Iya, Pak. Bisa ketemu
sama Rina, Pak? Super penting, jangan sampai terlambat. Sebab menyangkut hidup
manusia!” ujar Barada.
“Elu yang bilang ke
Neng Rina, Wan!” suruh Burhan.
“Ya, tunggu sebentar,
Neng!” kata Iwan serius. Ia merasa apa yang ingin disampaikan Barada kepada Rina benar-benar masalah
serius, masalah hidup dan mati.
Iwan bergegas masuk ke
dalam rumah. Melalui belakang punggung kursi, Iwan berbisik kepada Rina. Rina
agak terbelalak mendengar bisikan Iwan di belakang kepalanya. Gadis berjilbab
kuning itu segera bangun meninggalkan Rani dan keluarganya yang sedang berbincang
hangat dengan keluarga Abduh.
“Badaaar!” pekik Rina
sekeluarnya ke teras.
Barada hanya tertawa di
tempatnya berdiri.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Barada lalu membungkuk seperti orang
Jepang.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab Rina seraya tertawa. Ia mendatangi Barada
dan memandang sambil manggut-manggut. Sebab baru kali ini ia melihat Barada
dengan seragam silatnya. Ia ingin memeluk Barada, tapi gadis pendekar itu
mencegahnya.
“Bau keringat,” kata
Barada seraya tersenyum getir. “Eh, Kak Rani sudah dilamar?”
“Baru mau. Lu kenapa
malam-malam datang pakai beginian?” tanya Rina.
“Karena kamu enggak
angkat telepon, saya terpaksa ngebut naik sepeda ke sini. Pokoknya dengarkan
cerita saya!”
Barada lalu
menceritakan apa yang didengarnya dari Firman. Cerita itu membuat Rina
terkejut. Maka, setelah usai memahami apa yang disampaikan oleh Barada, Rina
segera pergi ke dalam rumah. Sementara Barada menunggu.
“Maaf, Kak Rani izin
sebentar ke dalam!” kata Rina kepada kedua orangtuanya dan keluarga Abduh.
Tanpa berkata lagi,
Rina menarik tangan Rani agar kakaknya itu ikut dengannya. Rani menurut.
Kepergian Rina dan Rani
dari kursinya membuat sang mama, Irma, jadi bertanya-tanya. Termasuk Nurrahmah
dan Surohman, kedua orangtua Abduh.
“Jadi, dengan penuh
kesederhanaan, ane selaku bapak dari Abduh dan ini ibunya Abduh, datang dengan
tujuan untuk mengikat hubungan kekerabatan dengan Pak Dedy dan Bu Irma,” kata
Surohman dengan logat Betawi yang agak kental.
“Maaf, sebentar, Pak!”
kata Dedy menahan agar Surohman menahan dulu kata-kata intinya. Dedy berkata
kepada anak bungsunya yang duduk di sofa yang lain, “Roni, panggil Rani!”
Roni, anak remaja lelaki
berkulit putih, segera pergi ke dalam untuk menyampaikan pesan ayahnya.
Di ruang dalam, Rani
terdiam mendengar sepenggal kisah yang disampaikan oleh Rina.
“Kak, dipanggil Papa,
noh!” kata Roni.
“Iya,” jawab Rani
singkat kepada adiknya, tapi tidak langsung beranjak.
“Lu enggak boleh
ngebiarin perempuan itu menanggung imbas derita elu, Ran. Bagaimana kalau elu
di posisi sebagai tunangan Bang Abduh?” tandas Rina dengan suara ditekan agar
tidak terdengar ke ruang tamu.
“Iya,” kata Rani
mengangguk, lalu ia berjalan kembali ke ruang tamu.
Rani kembali bergabung
dengan keluarganya dan keluarga Abduh. Sementara Rina memanggil pembantu perempuannya,
Lina, dengan isyarat tangan. Lina segera menghampiri Rina.
“Tolong kasih tahu
Badar di luar supaya tunggu gua keluar,” bisik Rina kepada Lina.
Lina hanya mengangguk.
Kemudian Rina kembali mendampingi Rani.
“Saya megutarakan bahwa
saya melamar Nak Rani untuk anak saya Abduh,” kata Surohman langsung kepada
Rani yang duduk dengan wajah menunduk.
“Bagaimana, Rani?”
tanya Irma.
“Sebelumnya, mohon maaf
kepada Papa dan Mama, juga kepada Bang Abduh dan kedua orangtua. Ee ... sebelum
saya menyatakan menerima atau menolak, ada yang ingin saya tanyakan. Boleh?”
ujar Rani agak terbata-bata.
“Silakan, silakan,” jawab Surohman seraya tertawa kecil bersama istrinya.
“Apakah Bang Abduh,
sebelum melamar saya, sudah punya tunangan?” tanya Rani.
Jlegerr!
Pertanyaan tersebut
laksana petir sungguhan di malam itu bagi Abduh dan kedua orangtuanya. Terutama
bagi Nurrahmah, orang yang mempunyai inisiatif untuk menyelamatkan janin dan
status Rani dengan mengorbankan status tunangan calon menantunya. Dan ekspresi
keterkejutan itu sangat tampak di wajah Abduh dan orangtuanya saat mendengar
pertanyaan Rani.
Dedy Sirana dan istrinya
saling pandang melihat reaksi ganjil itu.
Wajah Abduh tampak
memerah, sangat jelas bahwa ia langsung merasa menanggung malu. Ibunya pun
tampak menunjukkan wajah kebingungan yang tidak tenang. Sementara Surohman
menghempaskan napas dan melempar punggungnya ke sandaran sofa.
“Saya baru saja
mendapat kabar, Bang,” lanjut Rani. “Demi menolong saya, Abang memutuskan
tunangan Abang. Dan sekarang tunangan Abang sedang terbaring karena
kecelakaan.”
Jleger! Jleguar!
Ilusi petir
meledak-ledak di dalam otak Abduh mendengar berita itu. Seketika itu,
keterkejutannya berubah ke dalam wujud kesedihan dan penyesalan. Pemuda besar
itu menangis yang disusul oleh tangis ibunya, Nurrahmah.
“Maafin Ummi!” ucap
Nurrahmah sambil bergerak memeluk Abduh.
Meski Abduh dan kedua
orangtuanya belum menjawab pertanyaan Rani, tapi respon Abduh dan orangtuanya
seolah memberi jawaban yang jelas. Dedy dan Irma hanya terbelalak tidak bisa
berkata apa-apa selain menyaksikan tangis ibu dan anak itu.
Kegembiraan yang tadi
tergelar, kini tergulung ke dalam tangis kesedihan. Surohman pun mau tidak mau
harus bertebal muka di depan keluarga Rani.
Nurrahmah yang merasa
bahwa itu adalah kesalahannya, menangis hebat. Abduh pun memeluk erat ibunya.
Ia mencoba memahami perasaan ibunya. Terbongkarnya drama di balik upaya lamaran
ini menjadi pukulan yang sangat keras
bagi ibunya. Memang secara hati nurani, Abduh menentang rencana ibunya. Namun,
wujud bakti kepada seorang ibu, Abduh lebih kedepankan sehingga harus rela
melepas Naina yang telah menjadi tunangannya.
“Sudah, Ummi!” bisik
Abduh menenangkan ibunya.
“Maafin Ummi, Nak!”
ratap Nurrahmah.
“Ummi gak salah.
Kalaupun kita salah, karena kita manusia, Ummi,” kata Abduh. “Lebih baik kita
jelaskan kepada Rani dan orangtuanya.”
Nurrahmah pun mau tidak
mau harus berusaha mengendalikan tangisnya dan kembali duduk di tempatnya
dengan wajah tertunduk.
“Maaf, Pak Dedy, ane
terlalu malu jika lama-lama duduk di sini!” kata Surohman dengan wajah menegang
menahan emosi. Terlihat sepasang matanya memerah. Ia berdiri lalu melangkah
pergi menuju pintu.
Abduh dan Nurrahmah
tidak bisa menahan Surohman.
“Ada apa sebenarnya
ini?” tanya Irma bingung. Ia memandang ke Rina, karena gelagat aneh mulai
terlihat ketika Rina mendapat bisikan dari Iwan. “Rina!”
“Saya hanya mendapat
ceritanya, Ma. Tentang kebenarannya, hanya Bang Abduh yang bisa jelasin,” kata
Rina.
“Biar saya yang
menjelaskan cerita yang memalukan ini, Pak, Bu,” kata Abduh setelah merasa
cukup bisa mengendalikan emosi dalam dadanya. “Kematian pacar Rani yang bernama
Sando adalah pemicu kami merasa memiliki tanggung jawab moral dan batin.
Karenanya, kami pun terpaksa mengorbankan tunangan saya. Memang awalnya kami
tidak tahu bahwa ada beberapa calon lain yang juga mau berkorban untuk menikahi
Rani. Memang semestinya kami tidak mengorbankan tunangan saya, tapi kami
memandang bahwa tanggung jawab kepada kondisi Rani lebih penting.”
“Baik, baik, saya
mengerti, saya mengerti,” kata Dedy segera ambil kesimpulan.
Abduh sebelumnya memang
sudah menceritakan kepada Dedy apa alasan di balik upayanya untuk melamar Rani.
Namun, Abduh tidak pernah menceritakan tentang Naina yang harus dikorbankan dan
diusir dari cinta Abduh. Demikian pula dengan polisi yang diminta oleh Dedy
untuk mengumpulkan informasi tentang Abduh dan keluarganya, mereka tidak
mendeteksi keberadaan Naina dalam kehidupan Abduh.
“Langsung saja Dik
Abduh, ya,” kata Dedy kepada Abduh. Lalu beralih bertanya kepada Rani, “Rani,
kamu sudah tahu ceritanya. Jadi jawablah, menerima atau tidak?”
“Maaf, Pa, saya lebih
baik dihukum cambuk hingga mati daripada harus menghancurkan cinta tunangan
Bang Abduh,” jawab Rani tegas. Lalu ucapnya kepada Abduh dan ibunya, “Untuk Bang
Abduh dan Ibu, tolong maafkan saya. Saya tidak bisa menerima ini.”
“Tidak apa-apa, Nak.
Ini semua salah Ummi,” kata Nurrahma seraya menangis.
Rani lalu bangkit dan
melangkah pergi sendiri, masuk ke ruangan dalam, menuju ke kamarnya.
Wajah Irma menunjukkan gambaran
kekecewaan yang besar.
Abduh mengeluarkan
ponselnya dan menelepon seseorang.
“Assalamu ‘alaikum, Bang!” salam seorang wanita dari dalam ponsel
Abduh.
“Wa ‘alaikum salam, Naina. Maafkan Abang, Naina. Maafkan Abang,
maafkan Abang!” ucap Abduh dengan wajah menangis tapi menahan suara tangisnya.
“Abang kenapa?” tanya
Naina dari ranjang pembaringannya dengan kondisi masih sakit.
“Tidak apa-apa, tidak
apa-apa. Sekali lagi maafkan Abang. Abang belum menjenguk Naina,” ucap Abduh.
“Eh, siapa yang beri
tahu Abang kalau Naina sakit?” tanya Naina agak terkejut.
Pertanyaan Naina yang
memberi isyarat bahwa benar ia dalam kondisi sakit, membuat Abduh menangis
keras.
“Bang, Bang Abduh!”
panggil Naina heran, karena mendengar suara seperti Abduh sedang menangis.
Abduh segera menutup
teleponnya.
Pemandangan itu justru
membuat Rina dan Irma turut sedih. Irma yang awalnya sangat kesal, jadi turut
meneteskan air mata. Mereka tahu siapa yang ditelepon oleh Abduh.
Akhirnya Rina memilih
pergi meninggalkan mereka dan keluar menemui Barada.
“Bagaimana?” tanya
Barada.
“Gua rasa cerita cinta
Bang Abduh bagus dinovelin, Badar. Sedih eui,” jawab Rina. “Barusan Bang Abduh
telepon langsung tunangannya, dia minta maaf berulang-ulang sambil nangis
banget, tahu.”
“Berarti urusan saya
selesai. Sekarang kamu antar saya pulang,” kata Barada. “Saya telepon kamu
sampai tiga kali enggak diangkat. Terus, saya mau pinjam motor Puang, lagi
nginep di bengkel. Terus, saya ngebut pakai sepeda. Sekian jauhnya saya
aman-aman aja, takdir Allah, pas di depan gerbang kompleks saya diseruduk
mobil. Sepeda saya bengkok dan saya titip di pos satpam. Terus, saya lari ke
mari. Sekarang antar saya pulang.”
“Oke, sebagai
penghargaan atas upaya keras elu, gua antar pulang. Bahkan, gua bantu beliin
sepeda baru gantiin sepeda elu. Gi mana?” kata Rina.
“Saya suka punya
sahabat yang tidak pelit begini!” kata Barada lalu tertawa agak serak.
Sementara itu, Surohman
sudah menyendiri di dalam mobil. Ia benar-benar merasa malu kepada Pak Dedy
Sirana dan keluarga. (RH)
Berlanjut: Tangisan Rani dan Rina di Malam Lamaran (23)
Tunggu Perdana!!!
RATU SUKU LIX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar