Kejutan untuk Rani dan Rina (22)



Ilustrasi: Muslimah. (Foto: 123RF.com)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:



Begitu mendesaknya pesan yang dibawa oleh Barada, membuat gadis itu tidak mempermasalahkan sopir mobil boks yang menabraknya. 

Gadis berjilbab berpakaian silat itu dengan cekatan bangun dari keterjatuhannya. Saat tahu sepedanya tidak bisa dipakai normal, ia memilih menitipkan sepedanya di pos satpam kompleks.


“Pak, titip sepeda!” kata Barada begitu saja lalu langsung berlari pergi masuk ke kompleks.

Barada benar-benar berlari, tidak peduli bahwa orang-orang yang dilaluinya memperhatikannya sejenak.

Barada harus berlari beberapa menit lamanya untuk sampai di depan gerbang pagar rumah Rina. Di halaman penuh oleh mobil, meskipun mobil tamu hanya ada satu, tapi mobil tuan rumah yang banyak, karena belum dimasukkan ke garasi.

Sehubungan akan melamar seorang wanita yang menyimpan beban aib dosa zina, Abduh hanya datang bersama kedua orangtuanya, tidak melibatkan keluarga besar. Meski demikian, keluarganya tetap membawa sejumlah bingkisan untuk keluarga perempuan yang akan dilamar.

Demikian pula dari pihak Rani yang akan dilamar. Dedy Sirana tidak mengundang sanak famili yang lain, cukup sebatas orang tua dan anak, ditambah para pembantu. Dedy bahkan melarang Rina memanggil teman-temannya ketika Rina minta izin membiarkan sahabat-sahabat satu gengnya untuk datang.

Suara tawa yang saling mengakrabkan hubungan dua keluarga terdengar hingga ke luar. Keluarga Dedy dan Surohman, ayahnya Abduh, masih sebatas basa basi. Belum masuk kepada pernyataan resmi untuk meminang Rani.

Didampingi oleh adiknya, Rani datang dengan pakaian dan jilbab serba putih. Wajah dan pandangannya menunduk malu. Sementara Rina tersenyum manis, meski ia tidak senang dengan suasana itu. 

Sebelum keluar, Rina telah mencoba meyakinkan kakaknya untuk tidak menuruti kemauan ibu mereka. Namun, Rani tidak mau mengecewakan sang mama atau membuatnya marah besar. Hingga akhirnya, Rina merasa harus bisa menerima ketentuan yang kata Barada adalah yang terbaik dari Allah.

“Mungkin Bang Awang ditakdirkan oleh Allah mendapat gadis yang lebih saleh dan suci,” kata hati Rina.

Dugaan itulah yang membuat Rina tidak terlalu ngotot lagi tentang siapa yang pantas menjadi calon suami Rani.

Sementara di luar rumah, Barada bisa masuk ke halaman karena gerbang tidak dikunci. Masuknya Barada dengan pakaian hitam-hitam di malam hari, membuat Pak Burhan selaku sopir keluarga Rina dan Iwan yang pembantu, terkejut. Keduanya sedang duduk-duduk di teras dengan suguhan kopi susu dan kue.

“Maling!” seru Burhan sambil menepuk lengan Iwan.

Iwan jadi serius memandang ke depan, sama seperti Burhan yang usianya jauh lebih tua darinya.

“Ah, itu mah temannya Neng Rina!” kata Iwan sewot sambil balas menampar lengan Burhan, setelah dengan jelas melihat bahwa itu adalah Barada yang sudah dikenalnya.

“Trus, ngapain malam-malam begini datang pakai baju silat begitu?” tanya Burhan seperti mendumel sambil bangkit menyongsong kedatangan Barada.

Iwan juga turut jalan ke depan.

Assalamu ‘alaikum, Pak!” salam Barada seraya tersenyum lalu memberi hormat dengan membungkuk.

Wa ‘alaikum salam!” jawab kedua pria itu. Bahkan Iwan balas membungkuk yang membuat Barada tertawa.

Melihat Barada terengah-engah dan wajahnya bermandi peluh, Burhan pun bertanya, “Ada apa, Neng? Habis lari jauh, ya?”

“Iya, Pak. Bisa ketemu sama Rina, Pak? Super penting, jangan sampai terlambat. Sebab menyangkut hidup manusia!” ujar Barada.

“Elu yang bilang ke Neng Rina, Wan!” suruh Burhan.

“Ya, tunggu sebentar, Neng!” kata Iwan serius. Ia merasa apa yang ingin disampaikan  Barada kepada Rina benar-benar masalah serius, masalah hidup dan mati.

Iwan bergegas masuk ke dalam rumah. Melalui belakang punggung kursi, Iwan berbisik kepada Rina. Rina agak terbelalak mendengar bisikan Iwan di belakang kepalanya. Gadis berjilbab kuning itu segera bangun meninggalkan Rani dan keluarganya yang sedang berbincang hangat dengan keluarga Abduh.

“Badaaar!” pekik Rina sekeluarnya ke teras.

Barada hanya tertawa di tempatnya berdiri. 

Assalamu ‘alaikum!” salam Barada lalu membungkuk seperti orang Jepang.

Wa ‘alaikum salam!” jawab Rina seraya tertawa. Ia mendatangi Barada dan memandang sambil manggut-manggut. Sebab baru kali ini ia melihat Barada dengan seragam silatnya. Ia ingin memeluk Barada, tapi gadis pendekar itu mencegahnya.

“Bau keringat,” kata Barada seraya tersenyum getir. “Eh, Kak Rani sudah dilamar?”

“Baru mau. Lu kenapa malam-malam datang pakai beginian?” tanya Rina.

“Karena kamu enggak angkat telepon, saya terpaksa ngebut naik sepeda ke sini. Pokoknya dengarkan cerita saya!”

Barada lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Firman. Cerita itu membuat Rina terkejut. Maka, setelah usai memahami apa yang disampaikan oleh Barada, Rina segera pergi ke dalam rumah. Sementara Barada menunggu.

“Maaf, Kak Rani izin sebentar ke dalam!” kata Rina kepada kedua orangtuanya dan keluarga Abduh.
Tanpa berkata lagi, Rina menarik tangan Rani agar kakaknya itu ikut dengannya. Rani menurut. 

Kepergian Rina dan Rani dari kursinya membuat sang mama, Irma, jadi bertanya-tanya. Termasuk Nurrahmah dan Surohman, kedua orangtua Abduh.

“Jadi, dengan penuh kesederhanaan, ane selaku bapak dari Abduh dan ini ibunya Abduh, datang dengan tujuan untuk mengikat hubungan kekerabatan dengan Pak Dedy dan Bu Irma,” kata Surohman dengan logat Betawi yang agak kental.

“Maaf, sebentar, Pak!” kata Dedy menahan agar Surohman menahan dulu kata-kata intinya. Dedy berkata kepada anak bungsunya yang duduk di sofa yang lain, “Roni, panggil Rani!”

Roni, anak remaja lelaki berkulit putih, segera pergi ke dalam untuk menyampaikan pesan ayahnya.
Di ruang dalam, Rani terdiam mendengar sepenggal kisah yang disampaikan oleh Rina.

“Kak, dipanggil Papa, noh!” kata Roni.

“Iya,” jawab Rani singkat kepada adiknya, tapi tidak langsung beranjak.

“Lu enggak boleh ngebiarin perempuan itu menanggung imbas derita elu, Ran. Bagaimana kalau elu di posisi sebagai tunangan Bang Abduh?” tandas Rina dengan suara ditekan agar tidak terdengar ke ruang tamu.

“Iya,” kata Rani mengangguk, lalu ia berjalan kembali ke ruang tamu.

Rani kembali bergabung dengan keluarganya dan keluarga Abduh. Sementara Rina memanggil pembantu perempuannya, Lina, dengan isyarat tangan. Lina segera menghampiri Rina.

“Tolong kasih tahu Badar di luar supaya tunggu gua keluar,” bisik Rina kepada Lina.

Lina hanya mengangguk. Kemudian Rina kembali mendampingi Rani.

“Saya megutarakan bahwa saya melamar Nak Rani untuk anak saya Abduh,” kata Surohman langsung kepada Rani yang duduk dengan wajah menunduk.

“Bagaimana, Rani?” tanya Irma.

“Sebelumnya, mohon maaf kepada Papa dan Mama, juga kepada Bang Abduh dan kedua orangtua. Ee ... sebelum saya menyatakan menerima atau menolak, ada yang ingin saya tanyakan. Boleh?” ujar Rani agak terbata-bata.

“Silakan, silakan,” jawab Surohman seraya tertawa kecil bersama istrinya.

“Apakah Bang Abduh, sebelum melamar saya, sudah punya tunangan?” tanya Rani.

Jlegerr!

Pertanyaan tersebut laksana petir sungguhan di malam itu bagi Abduh dan kedua orangtuanya. Terutama bagi Nurrahmah, orang yang mempunyai inisiatif untuk menyelamatkan janin dan status Rani dengan mengorbankan status tunangan calon menantunya. Dan ekspresi keterkejutan itu sangat tampak di wajah Abduh dan orangtuanya saat mendengar pertanyaan Rani.

Dedy Sirana dan istrinya saling pandang melihat reaksi ganjil itu.

Wajah Abduh tampak memerah, sangat jelas bahwa ia langsung merasa menanggung malu. Ibunya pun tampak menunjukkan wajah kebingungan yang tidak tenang. Sementara Surohman menghempaskan napas dan melempar punggungnya ke sandaran sofa.

“Saya baru saja mendapat kabar, Bang,” lanjut Rani. “Demi menolong saya, Abang memutuskan tunangan Abang. Dan sekarang tunangan Abang sedang terbaring karena kecelakaan.”

Jleger! Jleguar!

Ilusi petir meledak-ledak di dalam otak Abduh mendengar berita itu. Seketika itu, keterkejutannya berubah ke dalam wujud kesedihan dan penyesalan. Pemuda besar itu menangis yang disusul oleh tangis ibunya, Nurrahmah.

“Maafin Ummi!” ucap Nurrahmah sambil bergerak memeluk Abduh.

Meski Abduh dan kedua orangtuanya belum menjawab pertanyaan Rani, tapi respon Abduh dan orangtuanya seolah memberi jawaban yang jelas. Dedy dan Irma hanya terbelalak tidak bisa berkata apa-apa selain menyaksikan tangis ibu dan anak itu.

Kegembiraan yang tadi tergelar, kini tergulung ke dalam tangis kesedihan. Surohman pun mau tidak mau harus bertebal muka di depan keluarga Rani.

Nurrahmah yang merasa bahwa itu adalah kesalahannya, menangis hebat. Abduh pun memeluk erat ibunya. Ia mencoba memahami perasaan ibunya. Terbongkarnya drama di balik upaya lamaran ini  menjadi pukulan yang sangat keras bagi ibunya. Memang secara hati nurani, Abduh menentang rencana ibunya. Namun, wujud bakti kepada seorang ibu, Abduh lebih kedepankan sehingga harus rela melepas Naina yang telah menjadi tunangannya.

“Sudah, Ummi!” bisik Abduh menenangkan ibunya.

“Maafin Ummi, Nak!” ratap Nurrahmah.

“Ummi gak salah. Kalaupun kita salah, karena kita manusia, Ummi,” kata Abduh. “Lebih baik kita jelaskan kepada Rani dan orangtuanya.”

Nurrahmah pun mau tidak mau harus berusaha mengendalikan tangisnya dan kembali duduk di tempatnya dengan wajah tertunduk.

“Maaf, Pak Dedy, ane terlalu malu jika lama-lama duduk di sini!” kata Surohman dengan wajah menegang menahan emosi. Terlihat sepasang matanya memerah. Ia berdiri lalu melangkah pergi menuju pintu.

Abduh dan Nurrahmah tidak bisa menahan Surohman.

“Ada apa sebenarnya ini?” tanya Irma bingung. Ia memandang ke Rina, karena gelagat aneh mulai terlihat ketika Rina mendapat bisikan dari Iwan. “Rina!”

“Saya hanya mendapat ceritanya, Ma. Tentang kebenarannya, hanya Bang Abduh yang bisa jelasin,” kata Rina.

“Biar saya yang menjelaskan cerita yang memalukan ini, Pak, Bu,” kata Abduh setelah merasa cukup bisa mengendalikan emosi dalam dadanya. “Kematian pacar Rani yang bernama Sando adalah pemicu kami merasa memiliki tanggung jawab moral dan batin. Karenanya, kami pun terpaksa mengorbankan tunangan saya. Memang awalnya kami tidak tahu bahwa ada beberapa calon lain yang juga mau berkorban untuk menikahi Rani. Memang semestinya kami tidak mengorbankan tunangan saya, tapi kami memandang bahwa tanggung jawab kepada kondisi Rani lebih penting.”

“Baik, baik, saya mengerti, saya mengerti,” kata Dedy segera ambil kesimpulan. 

Abduh sebelumnya memang sudah menceritakan kepada Dedy apa alasan di balik upayanya untuk melamar Rani. Namun, Abduh tidak pernah menceritakan tentang Naina yang harus dikorbankan dan diusir dari cinta Abduh. Demikian pula dengan polisi yang diminta oleh Dedy untuk mengumpulkan informasi tentang Abduh dan keluarganya, mereka tidak mendeteksi keberadaan Naina dalam kehidupan Abduh.

“Langsung saja Dik Abduh, ya,” kata Dedy kepada Abduh. Lalu beralih bertanya kepada Rani, “Rani, kamu sudah tahu ceritanya. Jadi jawablah, menerima atau tidak?”

“Maaf, Pa, saya lebih baik dihukum cambuk hingga mati daripada harus menghancurkan cinta tunangan Bang Abduh,” jawab Rani tegas. Lalu ucapnya kepada Abduh dan ibunya, “Untuk Bang Abduh dan Ibu, tolong maafkan saya. Saya tidak bisa menerima ini.”

“Tidak apa-apa, Nak. Ini semua salah Ummi,” kata Nurrahma seraya menangis.

Rani lalu bangkit dan melangkah pergi sendiri, masuk ke ruangan dalam, menuju ke kamarnya.

Wajah Irma menunjukkan gambaran kekecewaan yang besar.

Abduh mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.

Assalamu ‘alaikum, Bang!” salam seorang wanita dari dalam ponsel Abduh.

Wa ‘alaikum salam, Naina. Maafkan Abang, Naina. Maafkan Abang, maafkan Abang!” ucap Abduh dengan wajah menangis tapi menahan suara tangisnya.

“Abang kenapa?” tanya Naina dari ranjang pembaringannya dengan kondisi masih sakit.

“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Sekali lagi maafkan Abang. Abang belum menjenguk Naina,” ucap Abduh. 

“Eh, siapa yang beri tahu Abang kalau Naina sakit?” tanya Naina agak terkejut.

Pertanyaan Naina yang memberi isyarat bahwa benar ia dalam kondisi sakit, membuat Abduh menangis keras.

“Bang, Bang Abduh!” panggil Naina heran, karena mendengar suara seperti Abduh sedang menangis.
Abduh segera menutup teleponnya.

Pemandangan itu justru membuat Rina dan Irma turut sedih. Irma yang awalnya sangat kesal, jadi turut meneteskan air mata. Mereka tahu siapa yang ditelepon oleh Abduh. 

Akhirnya Rina memilih pergi meninggalkan mereka dan keluar menemui Barada.

“Bagaimana?” tanya Barada.

“Gua rasa cerita cinta Bang Abduh bagus dinovelin, Badar. Sedih eui,” jawab Rina. “Barusan Bang Abduh telepon langsung tunangannya, dia minta maaf berulang-ulang sambil nangis banget, tahu.”

“Berarti urusan saya selesai. Sekarang kamu antar saya pulang,” kata Barada. “Saya telepon kamu sampai tiga kali enggak diangkat. Terus, saya mau pinjam motor Puang, lagi nginep di bengkel. Terus, saya ngebut pakai sepeda. Sekian jauhnya saya aman-aman aja, takdir Allah, pas di depan gerbang kompleks saya diseruduk mobil. Sepeda saya bengkok dan saya titip di pos satpam. Terus, saya lari ke mari. Sekarang antar saya pulang.”

“Oke, sebagai penghargaan atas upaya keras elu, gua antar pulang. Bahkan, gua bantu beliin sepeda baru gantiin sepeda elu. Gi mana?” kata Rina.

“Saya suka punya sahabat yang tidak pelit begini!” kata Barada lalu tertawa agak serak.

Sementara itu, Surohman sudah menyendiri di dalam mobil. Ia benar-benar merasa malu kepada Pak Dedy Sirana dan keluarga. (RH)


Berlanjut: Tangisan Rani dan Rina di Malam Lamaran (23) 



Tunggu Perdana!!!

RATU SUKU LIX

Tidak ada komentar:

Posting Komentar