Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Rina yang baru tiba
dari membeli beberapa setel pakaian muslimah langsung masuk menuju ke kamar
kakaknya. Pintu kamar yang tertutup tidak dikunci. Rina pun masuk.
Kamar itu penuh oleh
aneka boneka cantik dan lucu. Tampak Rani sedang melakukan salat Isya. Rina
berdiri menatap kakaknya yang membelakanginya. Ia terpaku untuk beberapa saat,
setelah itu ada senyuman yang mengembang di bibirnya.
Rina akhirnya memilih
duduk di tepian kasur. Ia letakkan paper
bag bawaannya di sisinya. Ia diam termenung. Dalam hati ia merasa
bersyukur, sebab ia merasa Allah telah menunjukkan ujung jalan terang yang ia
dan kakaknya bisa lalui menuju ke dunia yang lebih terang.
Rina merasakan suasana
hatinya sangat berbeda dengan ketika jilbab tidak menutup kepalanya dan rok
tidak menutup sebagian besar kakinya. Ada rasa malu jika mengenang masa
kelakuannya yang penuh arogan dan jahat sebagai gadis yang merasa paling
cantik, paling kaya dan merasa lebih istimewa dibandingkan dengan gadis-gadis
lainnya di sekolah. Meski masih menjabat sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh, tapi
Rina sudah sangat berubah. Gengnya yang punya citra negatif pun mulai berubah
perlahan-lahan menuju kepada karakter positif. Terlebih ketika Ristana
memutuskan untuk mengenakan jilbab pula.
Jika mengingat
keanggunan Ristana ketika pertama melihatnya mengenakan pakaian muslimah, Rina
kerap merinding, karena ia merasa Ristana lebih cantik darinya.
“Lu boleh tuntut gua
kalau sampai lulus dari sekolah ini gua sampai copot jilbab gua sekali aja,”
kata Ristana kepada Rina saat di sekolah. Kata-kata yang menunjukkan keseriusan
seorang gadis yang sebelumnya tomboy, bahkan pernah diduga seorang lesbian.
Jika merenungi
perubahan pada diri dan gengnya, Rina pasti ingat dengan Barada. Ia jadi sangat
menyukai Barada. Seandainya bisa, ia ingin selalu bersama dengan Barada setiap
hari. Tapi Barada memang gadis yang berbeda, gadis yang terikat oleh
norma-norma agama dan kepatuhan kepada orang tua.
Ciut ciut ciut!
Tiba-tiba terdengar suara
suitan pesan di ponsel,
tapi bukan dari ponsel Rina. Rina melihat ke atas bantal, sumber asal suara. Di
atas bantal tergeletak sebuah ponsel. Itu milik Rani.
Tanpa sungkan Rina
meraih ponsel tersebut dan membuka layarnya. Sebuah pesan WhatsApp dari nomor yang tidak terdaftar telah masuk.
“Assalamu ‘alaikum. Sekitar lima menit lagi saya sampai. Semoga
Allah berkahi dan mudahkan lamaran malam ini.”
Itu bunyi pesan dari
nomor tidak bernama itu. Rina jadi kerutkan kening. Ia coba lihat foto profil
nomor tersebut untuk mengenali wajah pemiliknya. Namun, foto profilnya bukan
foto orang, tetapi gambar mushaf Al-Quran yang terbuka.
“Wa ‘alaikum salam,” ketik Rina dengan lincahnya. “Ini sapa?”
“Gazza,” jawab pemilik
nomor asing itu.
Deg!
Tiba-tiba ada rasa
sakit yang menusuk perasaan Rina membaca jawaban itu. Sepasang matanya melebar
sementara pikirannya tak habis mengerti. Memorinya seketika menciptakan
bayangan wajah Gazza, kakaknya Barada, pemuda yang membuatnya jatuh cinta.
“Bang Gazza melamar
Rani,” ucap lirih Rina, tapi itu di dalam hati yang kini merasakan sakit.
Jantung Rina mulai
berdegup kencang. Terus bertambah kencang. Ada ketakutan yang tiba-tiba muncul
di dalam dirinya.
Rina buru-buru
mengeluarkan ponselnya. Ia membuka daftar WA-nya. Ia buka nama “Calon Suami”
yang ada di daftar WA-nya. Nama “Calon Suami” adalah nama yang merujuk kepada
Fath Gazza.
“Beda,” ucap Rina lirih
saat menyamakan nomor Gazza di ponselnya dengan nomor asing di ponsel kakaknya.
Ada separuh kekhawatiran yang hilang, membuat perasaannya setengah lega, tapi
jelas ia masih penasaran. Hatinya kembali bertanya-tanya, “Apa ini nomornya
Bang Awang? Kan tinggal Bang Awang, dan Rani sudah setuju ambil risiko di
tangan Bang Awang ....”
Rina kembali mengecek
daftar WA di ponsel kakaknya. Ia tidak menemukan nomor atas nama Awang. Maka
Rina menyimpulkan bahwa itu adalah nomornya Awang Setiawan.
Rina memandang
kakaknya. Rani belum selesai dari salatnya.
Meski ada keyakinan
bahwa itu adalah nomornya Awang, tapi rasa penasaran membuat Rina pergi
meninggalkan kamar tersebut. Ia langsung menuju ke jendela dan memandang ke
gerbang halaman. Belum ada siapa-siapa yang datang. Di teras atau di halaman
tidak terlihat ada orang. Di mobil yang diparkir pun tidak terlihat keberadaan
Burhan, sopir keluarga yang tadi mengantar Rina belanja baju.
Pikiran yang
berputar-putar mencoba meraba-raba kemungkinan, apakah Gazza, ataukah Awang,
ataukah pria lain. Pikiran itu membuat Rina benar-benar tidak nyaman.
“Tapi kenapa enggak ada
yang ngasih tahu gua kalau malam ini ada yang mau ngelamar Rani?” pikir Rina.
“Bikin tenggorokan gua kering aja.”
Setelah berdiri selama
dua menit, Rina meninggalkan posisinya. Ia masuk, pergi ke lemari es lalu
mengambil minuman kotak yang ada. Ia duduk di kursi makan dan mulai minum
sambil pandangannya lurus seolah ingin menembus dinding rumah. Pikirannya pun
menerawang yang tidak-tidak.
Ning nong!
“Assalamu ‘alaikum!”
Tiba-tiba lamunan Rina
dibuyarkan oleh suara bel, tandanya ada tamu yang sudah berdiri di depan pintu
rumah. Berbeda jika tamunya masih berada di depan pintu pagar, suara belnya
berbeda. Dan, ada suara seorang pria memberi salam yang terdengar hingga ke
ruangan dalam.
“Wa ‘alaikum salam!” teriak Rina sambil bergegas keluar dan
meninggalkan minumannya di meja makan. Ia menggerutu dalam hati, “Giliran gua
tungguin enggak muncul, pas gua masuk udah di teras.”
Setibanya di pintu
depan, tanpa mengintip lagi siapa adanya tamu itu, Rina langsung membuka pintu.
Seeerrr!
Satu aliran rasa senang
yang tinggi seketika membelai segenap perasaan Rina. Tiba-tiba muncul taman
bunga di sisi-sisi ruang hatinya. Kerinduan yang sekian pekan terpendam dan tak
bisa terobati, walaupun hanya sekedar memandang dari jauh sekilas wajah sang
pujaan hati, akhirnya terbayarkan di malam ini, di saat ini.
Rina tersenyum lebar,
tapi pandangan dan wajah cantiknya menunjukkan bahwa ia ada malu. Wajah itu
dengan samar sedikit menunduk. Ia yakin seribu persen bahwa ia tidak sedang
bermimpi atau berhayal yang tidak-tidak.
Pemuda berjaket hitam
itu adalah Fath Gazza, pria yang belakangan ini mengusik dunia cinta Rina. Ia
begitu tampan dengan wajah putih yang bersih dan rambut disisir rapi. Ia juga
tersenyum manis untuk Rina. Dalam hati ia juga mengagumi kecantikan gadis di
depannya itu.
“Hahaha!”
Tawa yang agak keras
dan serak disuarakan oleh Barada. Ia berdiri di belakang kakak lelakinya itu.
Ia tahu kenapa Rina terlihat seperti Putri Malu, walaupun tidak terlalu
malu-malu.
“Assalamu ‘alaikum, Cantik,” sapa Barada lalu membungkuk hormat
sebagaimana adatnya.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Rina singkat seraya tertawa kecil.
Namun, tawa dan senyum
Rina kemudian menghilang, berganti dengan ekspresi curiga.
“Eee .... Bang Gazza,
ada perlu apa datang malam-malam begini enggak pakai kabar? Kan gua udah pesan
ke Abang kalau mau datang, kabarin gua,” tanya Rina.
“Abang datang mau
ngelamar Rani, kakak kamu,” jawab Gazza mantap dan jelas.
“Ah!” pekik Rina
terkejut lalu diam.
Di dalam keterdiaman
itu, secara cepat jiwa Rina goyah. Hatinya begitu terpukul mendengar jawaban
pemuda yang ia cintai baru sebelah hati itu. Sepasang matanya langsung berlapis
genangan bening dan memerah.
“Hik!” isak Rina sambil
cepat membekap mulutnya sendiri guna membendung luapan tangisnya.
Melihat gelagat itu,
Barada terkejut dan cepat ambil inisiatif.
“Rina, biar saya
jelasin maksud Daeng Gazza!” kata Barada cepat.
Namun, Rina telah
berbalik dan berlari cepat ke tangga, naik ke lantai dua.
Barada jadi panik.
Sementara Gazza berdiri bingung, sebab ia merasa tidak berkata salah barusan.
“Daeng ngomongnya
sembarangan sih!” rutuk Barada jadi kesal kepada kakaknya yang hanya mendelik
bingung.
Barada segera masuk dan
berlari mengejar Rina naik ke kamarnya.
“Perasaan tadi saya
ngomong ‘Abang datang mau ngelamar Rani, kakak kamu’. Memang benar seperti itu,
tidak ada yang salah. Kenapa Rina bisa nangis seperti itu?” membatin Gazza
berdiri masih bingung.
Tidak berapa lama, dari
dalam muncul Rani yang masih mengenakan mukena. Ia tersenyum kepada Gazza.
“Mari masuk, Bang!”
ajak Rani.
“Iya,” ucap Gazza lalu
berjalan masuk ke ruang tamu yang dingin oleh AC. Sambil duduk di sofa tamu,
Gazza bertanya, “Bapak dan Ibu belum sampai?”
“Belum,” jawab Rani
sambil tetap berdiri.
“Tadi sih Bapak bilang
di telepon kalau keduanya sudah dekat kompleks,” kata Gazza.
“Tunggu sebentar ya,
Bang,” kata Rani lalu pergi ke ruangan dapur.
Di dapur, tampak Lina
sedang membuat minuman untuk tamu.
“Buat berapa, Bi?”
tanya Rani.
“Dua, Neng,” jawab
Lina.
“Buat tamu tambah satu
lagi, Bi,” kata Rani lembut, tidak seperti dulu yang menyuruh pembantu seperti
menyuruh anak kecil yang nakal.
Sementara itu, di
kamarnya di lantai dua, Rina menangis tengkurap di kasurnya.
“Cantik, kenapa sih
pakai nangis sedemikiannya?” tanya Barada sambil berdiri di dekat pintu kamar.
“Hati gua hancur lah,
Badar!” teriak Rina sambil berpaling memandang Barada. “Gua memang belum sah
jadi pacar abang elu. Abang Gazza memang belum pernah bilang suka ke gua. Kalau
dia mau nikah sama cewek lain silakan,
karena gua memang bukan pacar dia, apalagi tunangan dia. Tapi kenapa harus
kakak gua, Badar?”
“Jadi kamu benar-benar
cinta ya sama Daeng Gazza?” tanya Barada sambil pergi duduk di sisi kasur
samping Rina. Ia mengambil tisu di meja rias.
“Lu kira gua selama ini
cuma bercanda sampai gua tulis namanya di hp gua, Calon Suami? Gua sakit
banget, Badar.”
“Kamu benar-benar
nangis, Rin. Malu ah, lucu kalau ketua geng nangis,” kata Barada sambil menyeka
air mata di wajah Rina dengan tisu. “Yang mau melamar Kak Rani itu Bang Awang,
bukan Daeng Gazza.”
“Tipu, lu!” tukas Rina
tidak percaya, tapi ia berhenti menangis, meski sesegukannya masih jelas.
“Dosa saya kalau
bohong. Daeng Gazza bicara benar, tapi gadis yang mendengarnya yang salah waktu
dan tempat,” kata Barada sambil tertawa kecil. “Nanti deh, saya sampaikan ke
Daeng kalau kamu benar-benar cinta berat sama dia.”
“Tapi Bang Gazza dengan
jelas bilang mau ngelamar Rani,” kata Rina sambil bangun duduk menghadap
Barada.
“Iya, Daeng Gazza, saya
dan Bang Awang datang buat ngelamar Kak Rani,” tandas Barada.
“Tapi Bang Awangnya
enggak ada?” tanya Rina.
“Bang Awang sudah
telepon Kak Rani akan datang malam ini untuk melamar. Awalnya hanya Daeng sama
Bang Awang yang mau ke sini, tapi Daeng ngajak saya. Saya sama Daeng berangkat
dari rumah, terus janjian ketemu di jalan sama Bang Awang. Tadi bareng bertiga
ke mari, tapi motornya Bang Awang bocor. Biar enggak telat dan sesuai janji,
maka Bang Awang nyuruh saya dan Daeng duluan,” jelas Barada.
Tiit tit!
Terdengar suara klakson
mobil di luar rumah.
“Harusnya Bang Gazza
ngomongnya jangan begitu!” kata Rina dengan wajah yang kini merengut. Wajahnya
telah bersih dari air mata, tapi matanya masih memerah.
“Kalau tahu kamu akan
nangis seperti ini, saya yakin Daeng enggak akan jawab seperti itu. Saya sangat
kenal Daeng, jangankan hati gadis cantik seperti kamu, hati tetangga yang
cerewet aja dia sangat jaga agar tidak tersakiti,” kata Barada.
“Bang Awang enggak
datang sama orangtuanya?” tanya Rina.
“Enggak. Bang Awang itu
perantauan. Orangtua dan keluarga besarnya ada di Lampung,” jawab Barada.
Keduanya terdiam saat
ada suara motor yang datang masuk ke halaman di bawah sana.
“Itu pasti Bang Awang,”
terka Barada. “Ke bawah, yuk!”
“Bentar ah, lu enggak
lihat muka gua hancur sama air mata?”
“Hahaha!” Barada justru
tertawa, tapi mendadak ia berhenti lagi. “Berarti nanti saya jadi adik ipar
kamu dong, Rin?”
“Memang kenapa, lu
enggak suka?” tanya Rina dengan nada yang mulai normal.
Rina bergerak turun
dari kasur dan duduk di kursi depan rak rias. Agar tidak malu menyisakan bekas
tangisan di wajahnya, Rina harus sedikit berbedak.
“Hahaha!” Barada
tertawa lebih keras lagi. “Gara-gara akrab sama saya kamu jadi tumbuh dewasa
begitu cepat, Rin. Hahaha!”
Rina hanya senyum kecil
di depan cermin riasnya.
Setelah merasa dirinya
sudah terlihat seperti biasa tanpa ada tanda-tanda air mata, Rina mengajak
Barada turun ke bawah.
Di ruang tamu, tengah
berlangsung perbincangan serius. Tampak Gazza duduk bersebelahan dengan seorang
pemuda tampan berpeci putih dengan baju koko putih yang terlihat masih baru.
Pemuda berwajah tampan mirip aktor India Amir Khan itu adalah Awang Setiawan.
Berseberangan meja
dengan keduanya, duduk Rani yang menundukkan wajahnya didampingi oleh Irma
Lulubana. Di sisi yang lain, duduk Dedy Sirana.
Di atas meja terdapat
beberapa piring kue basah dan tiga gelas teh hangat.
Dedy dan istrinya baru
saja tiba, demikian pula dengan Awang.
Bagi Rani dan kedua orangtuanya,
baru kali ini mereka bertemu langsung dengan Awang.
“Dengan bersedianya
Rani mengikuti saran ana, jadi ana yakinkan kepada Bapak dan Ibu, bahwa
ana akan semaksimal mungkin untuk
menjaga amanat yang dititpkan kepada ana,”
kata Awang kepada Dedy dan Irma. “Jadi, dengan nama Allah dan semata-mata
mengharap rida Allah, ana melamar
putri Bapak yang bernama Rani untuk saya nikahi setelah persidangan di Majelis
Qadha.”
“Tidak ada jalan lain
selain mendengar jawaban dari Rani,” kata Dedy.
`“Ya, saya bersedia,
Bang,” jawab Rani pelan tapi terdengar jelas oleh semuanya.
“Alhamdulillah!” ucap Rina, Barada, Gazza dan Awang bersamaan.
“Tapi, Nak Awang harus
janji loh, tidak akan menyakiti Rani,” ujar Irma.
“Insya Allah, Bu. Meski baru sekarang kami bertemu, tapi karena ana meminang Rani karena Allah, maka ana pun akan mencintai Rani karena
Allah. Insya Allah, jika karena
Allah, Rani akan bahagia jika ana mencintainya
dan Rani tidak akan tersakiti jika ana
membencinya,” tandas Awang.
“Lalu bagaimana dengan
hukuman cambuknya, Nak?” tanya Irma masih khawatir.
“Gazza sudah sampaikan
kepada ana tentang keluhan Ibu kepada
ana. Insya Allah ana bisa memahami perasaan seorang ibu. Tapi yakinlah,
Bu, Islam sangat mengedepankan keselamatan jiwa manusia. Jikalaupun nantinya
itu sampai terjadi, meski Rani terluka secara fisik, pada hakikatnya ia menjadi gadis
yang benar-benar bersih dari dosa dan memiliki derajat kemuliaan yang tinggi di
sisi Allah. Bagaimana mungkin ana
tidak bisa mencintai seorang perempuan yang suci dan dicintai oleh Allah dan
Rasul-Nya?” ujar Awang.
Tiba-tiba Rani menangis
di dalam ketertundukannya. Irma cukup terkejut. Ia segera merangkul putrinya
dengan penuh kasih sayang.
Awang memilih menahan
kata-katanya. Sementara Rina berdiri seraya memeluk lengan kiri Barada yang ada
di sisinya. Kali ini Rina tidak akan menangis, karena sebelum-sebelumnya ia
bisa ikut menangis jika suasananya haru. Ini untuk kesekian kalinya dan
seharusnya ia tidak lagi turut terbawa secara emosional.
“Kenapa, Rani?
Seharusnya kamu bahagia dong, Nak,” kata Irma.
“Rani bahagia, Ma.
Rani, Rani sangat bahagia. Rani terharu, karena ... karena Allah begitu baik
sama Rani dengan mendatangkan Bang Awang,” jawab Rani agak terbata-bata, tapi
terus menangis.
“Dik Awang, lalu
kapan?” tanya Dedy.
“Teknisnya, Rani harus
menulis surat permohonan ke Majelis Qadha untuk diadili secara hukum Islam.
Jika sudah ada tanggal sidangnya, ana
akan bawa calon istri ana ke sana,”
jawab Awang.
“Silakan, Dik Gazza,
dimakan kuenya!” kata Dedy. Lalu doanya, “Semoga ini berjalan baik bagi Rani.”
“Amin,” ucap Gazza.
Ia lalu berpaling
kepada adiknya, mau tak mau pandangannya bertemu dengan Rina yang seketika agak
kikuk mendapat tatapan. Gazza hanya tersenyum kepada Rina.
“Badar, ayo sini
makan!” panggil Gazza kepada adiknya.
“Ayo, Badar, duduk di
sini!” panggil Irma pula.
“Iya, tapi Rina enggak
mau lepas tangan saya,” kata Barada sambil tersenyum.
Rina memang masih
memegangi lengan kiri Barada, seolah tidak mau melepasnya.
“Keluar yuk, Badar!”
ajak Rina lalu menarik Barada agar ikut dengannya ke luar rumah.
Barada menurut, ia ikut
keluar bersama Rina. Namun, baru sampai pintu, Barada berhenti.
“Tunggu, Rin!” kata
Barada lalu berbalik dan pergi mendekati Gazza.
“Ada apa?” tanya Gazza
saat Barada menghampirinya.
“Permisi, Bu, Pak,”
ucap Barada sambil senyum kepada Dedy dan Irma. Ia menarik lengan kakaknya
sambil berbisik, “Daeng harus tanggung jawab!”
“Tanggung jawab apaan?”
tanya Gazza tidak mengerti, mencoba bertahan tidak mau menuruti tarikan
adiknya.
“Ayo!” Barada menarik
tangan Gazza sedikit lebik kuat.
Sementara yang lain
hanya diam menyaksikan. Dari pada Barada membuat rusuh, Gazza pun memutuskan
menuruti ajakan adiknya.
Rina yang menyaksikan
dari pintu, jadi mendelik terkejut. Buru-buru ia keluar ke teras.
“Daeng harus minta maaf
ke Rina karena buat ia nangis!” bisik Barada kepada Gazza sambil berjalan ke
pintu.
Gazza terkejut. Dengan
cepat ia coba mengelak, “Tapi, tapi itu kan ....”
“Wajib minta maaf. Rina
tadi nangis banget mendengar jawaban Daeng. Apa pun alasannya, Daeng harus
minta maaf,” kata Barada dengan suara ditekan.
“Waduh, kamu apa-apaan
sih, Badar?” keluh Gazza.
Setibanya di teras,
tampak Rina berdiri agak jauh di ujung teras di dekat deretan pot tanaman di
pinggiran kolam kecil yang di dalamnya ada beberapa ekor ikan berukuran sedang.
Rina berdiri menghadap ke kolam, menyampingi posisi Barada dan Gazza.
Dag dig dug hati Rina
saat itu, bagai diramu dengan racikan rempah-rempah pengharum nuansa cinta.
Barada mendorong Gazza
agar berjalan kepada Rina. Gazza tidak bisa menolak paksaan adiknya.
“Kenapa saya jadi
penakut begini untuk urusan seperti ini?” membatin Gazza. Memang ada rasa
ketar-ketir yang menyerang hati Gazza, tapi kakinya secara pelan tetap
melangkah mendatangi Rina.
Rina yang tahu bahwa
Gazza datang mendekatinya, dilanda rasa bahagia yang datang bergelombang tapi
bercampur kebingungan.
“Rina!” sebut Gazza
yang telah berhenti dalam jarak dua jangkauan tangan dari Rina.
Tidak mungkin rasanya
Rina memilih terus berdiri menghadap ke kolam seperti gadis yang sedang
memprotes pacarnya. Ia harus menghadap kepada lawan bicaranya, maka ia pun
hadap kiri. Ketika pandangan mereka saling bertemu, Gazza langsung tertawa
kecil. Rina pun tersenyum.
“Oh, manisnya!” pekik
Gazza tiba-tiba, tapi itu hanya di dalam hati. “Kenapa saya jadi genit begini?”
“Iya, Bang?” sahut
Rina.
“Maaf,” ucap Gazza,
hanya satu kata. Setelah itu ia diam dalam ketersenyumannya, agak kikuk.
“Maaf kenapa, Bang?”
tanya Rina dengan lancar, tampak ia lebih stabil dibandingkan dengan lawan dialognya.
“Yang tadi, emm ...
hahaha!” ucap Gazza tidak jelas. Ia benar-benar merasa kacau menyusun kalimat,
padahal menyusun kata-kata dan membuat kalimat adalah kerjaan hariannya sebagai
wartawan. Jangankan pejabat polisi, pak menteri pun ia berani hadapi dengan
segudang pertanyaan.
Sementara Barada duduk
menunggu di kursi dekat pintu.
Tapi akhirnya Gazza pun
berbicara jelas kepada Rina, “Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, karena
membuat Rina sampai menangis.”
“Ah, enggak apa-apa
kok, Bang. Guanya aja yang terlalu berlebihan sampai salah tangkap omongan
Abang,” kata Rina sambil tertawa samar karena malu.
“Saya tadi blunder,”
kata Gazza lagi.
“Enggap apa-apa, Bang.
Gua sih senang banget Abang mau datang ke rumah. Sering-sering aja,” kata Rina.
Tiba-tiba Barada
berteriak kepada mereka, mengacaukan suasana yang tercipta di antara dua hati.
“Sudah selesai,
Daeng?!”
Gazza pun menengok ke
belakang, Rina pun melihat kepada Barada. Dalam hati Rina menaruh kesal kepada
Barada.
“Sudah,” jawab Gazza.
“Kalau sudah ya sudah,
balik ke dalam dong, enggak enak sama orangtuanya Rina, nanti disangka yang
enggak-enggak,” kata Barada.
“Dasar Badar!” rutuk
Gazza pelan. Ia lalu beralih kembali kepada Rina, “Abang ke dalam, Rin.”
“Iya, Bang.”
Gazza berbalik dan
berjalan pergi.
“Bang!” panggil Rina,
membuat Gazza yang baru melangkah beberapa langkah, berhenti dan menengok.
“Bang, jangan buat gua nangis lagi ya.”
Tek! Pesan itu langsung
meresap ke perasaan Gazza. Kalimatnya tidak puitis tapi sangat dalam bagi
perasaan Gazza.
“Hahaha!” tawa Gazza
pendek. Lalu jawabnya lembut, “Insya
Allah.”
Gazza kemudian
melangkah terus ke pintu dan masuk ke dalam.
“Hahaha!”
Semasuknya Gazza ke
dalam, Barada tertawa lepas. Rina justru merengut menatap tajam kepada Barada.
“Lu jahat banget tahu!”
tukas Rina sambil mendatangi Barada yang tertawa.
Barada justru terus
tertawa dengan suaranya yang agak serak.
“Lu tega-teganya motong
kebahagiaan gua!” kata Rina kesal.
“Hahaha! Sebab, sebab
kalau saya enggak batasi, khawatir hati kamu meledak. Hahaha!” kilah Barada
sambil masih tertawa.
“Gua cekek lu!” geram
Rina sambil menyergap dan mengapit leher Barada dengan rangkulan tangan.
Tapi Barada terus
tambah tertawa. Pada akhirnya Rina pun tertawa juga. (RH)
Berlanjut: Dua Hati di Awal Ramadan (Tamat)
Tunggu Perdana!!!
RATU SUKU LIX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar