Tangisan Rani dan Rina di Malam Lamaran (23)



Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:



Rina yang baru tiba dari membeli beberapa setel pakaian muslimah langsung masuk menuju ke kamar kakaknya. Pintu kamar yang tertutup tidak dikunci. Rina pun masuk.


Kamar itu penuh oleh aneka boneka cantik dan lucu. Tampak Rani sedang melakukan salat Isya. Rina berdiri menatap kakaknya yang membelakanginya. Ia terpaku untuk beberapa saat, setelah itu ada senyuman yang mengembang di bibirnya.

Rina akhirnya memilih duduk di tepian kasur. Ia letakkan paper bag bawaannya di sisinya. Ia diam termenung. Dalam hati ia merasa bersyukur, sebab ia merasa Allah telah menunjukkan ujung jalan terang yang ia dan kakaknya bisa lalui menuju ke dunia yang lebih terang.

Rina merasakan suasana hatinya sangat berbeda dengan ketika jilbab tidak menutup kepalanya dan rok tidak menutup sebagian besar kakinya. Ada rasa malu jika mengenang masa kelakuannya yang penuh arogan dan jahat sebagai gadis yang merasa paling cantik, paling kaya dan merasa lebih istimewa dibandingkan dengan gadis-gadis lainnya di sekolah. Meski masih menjabat sebagai Ketua Geng Bintang Tujuh, tapi Rina sudah sangat berubah. Gengnya yang punya citra negatif pun mulai berubah perlahan-lahan menuju kepada karakter positif. Terlebih ketika Ristana memutuskan untuk mengenakan jilbab pula. 

Jika mengingat keanggunan Ristana ketika pertama melihatnya mengenakan pakaian muslimah, Rina kerap merinding, karena ia merasa Ristana lebih cantik darinya.

“Lu boleh tuntut gua kalau sampai lulus dari sekolah ini gua sampai copot jilbab gua sekali aja,” kata Ristana kepada Rina saat di sekolah. Kata-kata yang menunjukkan keseriusan seorang gadis yang sebelumnya tomboy, bahkan pernah diduga seorang lesbian.

Jika merenungi perubahan pada diri dan gengnya, Rina pasti ingat dengan Barada. Ia jadi sangat menyukai Barada. Seandainya bisa, ia ingin selalu bersama dengan Barada setiap hari. Tapi Barada memang gadis yang berbeda, gadis yang terikat oleh norma-norma agama dan kepatuhan kepada orang tua.

Ciut ciut ciut!

Tiba-tiba terdengar suara suitan pesan di ponsel, tapi bukan dari ponsel Rina. Rina melihat ke atas bantal, sumber asal suara. Di atas bantal tergeletak sebuah ponsel. Itu milik Rani.

Tanpa sungkan Rina meraih ponsel tersebut dan membuka layarnya. Sebuah pesan WhatsApp dari nomor yang tidak terdaftar telah masuk.

Assalamu ‘alaikum. Sekitar lima menit lagi saya sampai. Semoga Allah berkahi dan mudahkan lamaran malam ini.”

Itu bunyi pesan dari nomor tidak bernama itu. Rina jadi kerutkan kening. Ia coba lihat foto profil nomor tersebut untuk mengenali wajah pemiliknya. Namun, foto profilnya bukan foto orang, tetapi gambar mushaf Al-Quran yang terbuka.

Wa ‘alaikum salam,” ketik Rina dengan lincahnya. “Ini sapa?”

“Gazza,” jawab pemilik nomor asing itu.

Deg!

Tiba-tiba ada rasa sakit yang menusuk perasaan Rina membaca jawaban itu. Sepasang matanya melebar sementara pikirannya tak habis mengerti. Memorinya seketika menciptakan bayangan wajah Gazza, kakaknya Barada, pemuda yang membuatnya jatuh cinta.

“Bang Gazza melamar Rani,” ucap lirih Rina, tapi itu di dalam hati yang kini merasakan sakit.

Jantung Rina mulai berdegup kencang. Terus bertambah kencang. Ada ketakutan yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya.

Rina buru-buru mengeluarkan ponselnya. Ia membuka daftar WA-nya. Ia buka nama “Calon Suami” yang ada di daftar WA-nya. Nama “Calon Suami” adalah nama yang merujuk kepada Fath Gazza. 

“Beda,” ucap Rina lirih saat menyamakan nomor Gazza di ponselnya dengan nomor asing di ponsel kakaknya. Ada separuh kekhawatiran yang hilang, membuat perasaannya setengah lega, tapi jelas ia masih penasaran. Hatinya kembali bertanya-tanya, “Apa ini nomornya Bang Awang? Kan tinggal Bang Awang, dan Rani sudah setuju ambil risiko di tangan Bang Awang ....”

Rina kembali mengecek daftar WA di ponsel kakaknya. Ia tidak menemukan nomor atas nama Awang. Maka Rina menyimpulkan bahwa itu adalah nomornya Awang Setiawan.

Rina memandang kakaknya. Rani belum selesai dari salatnya.

Meski ada keyakinan bahwa itu adalah nomornya Awang, tapi rasa penasaran membuat Rina pergi meninggalkan kamar tersebut. Ia langsung menuju ke jendela dan memandang ke gerbang halaman. Belum ada siapa-siapa yang datang. Di teras atau di halaman tidak terlihat ada orang. Di mobil yang diparkir pun tidak terlihat keberadaan Burhan, sopir keluarga yang tadi mengantar Rina belanja baju.

Pikiran yang berputar-putar mencoba meraba-raba kemungkinan, apakah Gazza, ataukah Awang, ataukah pria lain. Pikiran itu membuat Rina benar-benar tidak nyaman.

“Tapi kenapa enggak ada yang ngasih tahu gua kalau malam ini ada yang mau ngelamar Rani?” pikir Rina. “Bikin tenggorokan gua kering aja.”

Setelah berdiri selama dua menit, Rina meninggalkan posisinya. Ia masuk, pergi ke lemari es lalu mengambil minuman kotak yang ada. Ia duduk di kursi makan dan mulai minum sambil pandangannya lurus seolah ingin menembus dinding rumah. Pikirannya pun menerawang yang tidak-tidak.

Ning nong!

Assalamu ‘alaikum!

Tiba-tiba lamunan Rina dibuyarkan oleh suara bel, tandanya ada tamu yang sudah berdiri di depan pintu rumah. Berbeda jika tamunya masih berada di depan pintu pagar, suara belnya berbeda. Dan, ada suara seorang pria memberi salam yang terdengar hingga ke ruangan dalam.

Wa ‘alaikum salam!” teriak Rina sambil bergegas keluar dan meninggalkan minumannya di meja makan. Ia menggerutu dalam hati, “Giliran gua tungguin enggak muncul, pas gua masuk udah di teras.”

Setibanya di pintu depan, tanpa mengintip lagi siapa adanya tamu itu, Rina langsung membuka pintu.

Seeerrr!

Satu aliran rasa senang yang tinggi seketika membelai segenap perasaan Rina. Tiba-tiba muncul taman bunga di sisi-sisi ruang hatinya. Kerinduan yang sekian pekan terpendam dan tak bisa terobati, walaupun hanya sekedar memandang dari jauh sekilas wajah sang pujaan hati, akhirnya terbayarkan di malam ini, di saat ini.

Rina tersenyum lebar, tapi pandangan dan wajah cantiknya menunjukkan bahwa ia ada malu. Wajah itu dengan samar sedikit menunduk. Ia yakin seribu persen bahwa ia tidak sedang bermimpi atau berhayal yang tidak-tidak.

Pemuda berjaket hitam itu adalah Fath Gazza, pria yang belakangan ini mengusik dunia cinta Rina. Ia begitu tampan dengan wajah putih yang bersih dan rambut disisir rapi. Ia juga tersenyum manis untuk Rina. Dalam hati ia juga mengagumi kecantikan gadis di depannya itu.

“Hahaha!” 

Tawa yang agak keras dan serak disuarakan oleh Barada. Ia berdiri di belakang kakak lelakinya itu. Ia tahu kenapa Rina terlihat seperti Putri Malu, walaupun tidak terlalu malu-malu.

Assalamu ‘alaikum, Cantik,” sapa Barada lalu membungkuk hormat sebagaimana adatnya.

Wa ‘alaikum salam,” jawab Rina singkat seraya tertawa kecil.

Namun, tawa dan senyum Rina kemudian menghilang, berganti dengan ekspresi curiga.

“Eee .... Bang Gazza, ada perlu apa datang malam-malam begini enggak pakai kabar? Kan gua udah pesan ke Abang kalau mau datang, kabarin gua,” tanya Rina.

“Abang datang mau ngelamar Rani, kakak kamu,” jawab Gazza mantap dan jelas.

“Ah!” pekik Rina terkejut lalu diam.

Di dalam keterdiaman itu, secara cepat jiwa Rina goyah. Hatinya begitu terpukul mendengar jawaban pemuda yang ia cintai baru sebelah hati itu. Sepasang matanya langsung berlapis genangan bening dan memerah.

“Hik!” isak Rina sambil cepat membekap mulutnya sendiri guna membendung luapan tangisnya.

Melihat gelagat itu, Barada terkejut dan cepat ambil inisiatif.

“Rina, biar saya jelasin maksud Daeng Gazza!” kata Barada cepat.

Namun, Rina telah berbalik dan berlari cepat ke tangga, naik ke lantai dua. 

Barada jadi panik. Sementara Gazza berdiri bingung, sebab ia merasa tidak berkata salah barusan.

“Daeng ngomongnya sembarangan sih!” rutuk Barada jadi kesal kepada kakaknya yang hanya mendelik bingung.

Barada segera masuk dan berlari mengejar Rina naik ke kamarnya.

“Perasaan tadi saya ngomong ‘Abang datang mau ngelamar Rani, kakak kamu’. Memang benar seperti itu, tidak ada yang salah. Kenapa Rina bisa nangis seperti itu?” membatin Gazza berdiri masih bingung.

Tidak berapa lama, dari dalam muncul Rani yang masih mengenakan mukena. Ia tersenyum kepada Gazza.

“Mari masuk, Bang!” ajak Rani.

“Iya,” ucap Gazza lalu berjalan masuk ke ruang tamu yang dingin oleh AC. Sambil duduk di sofa tamu, Gazza bertanya, “Bapak dan Ibu belum sampai?”

“Belum,” jawab Rani sambil tetap berdiri.

“Tadi sih Bapak bilang di telepon kalau keduanya sudah dekat kompleks,” kata Gazza.

“Tunggu sebentar ya, Bang,” kata Rani lalu pergi ke ruangan dapur.

Di dapur, tampak Lina sedang membuat minuman untuk tamu.

“Buat berapa, Bi?” tanya Rani.

“Dua, Neng,” jawab Lina.

“Buat tamu tambah satu lagi, Bi,” kata Rani lembut, tidak seperti dulu yang menyuruh pembantu seperti menyuruh anak kecil yang nakal.

Sementara itu, di kamarnya di lantai dua, Rina menangis tengkurap di kasurnya.

“Cantik, kenapa sih pakai nangis sedemikiannya?” tanya Barada sambil berdiri di dekat pintu kamar.

“Hati gua hancur lah, Badar!” teriak Rina sambil berpaling memandang Barada. “Gua memang belum sah jadi pacar abang elu. Abang Gazza memang belum pernah bilang suka ke gua. Kalau dia mau nikah sama cewek lain silakan, karena gua memang bukan pacar dia, apalagi tunangan dia. Tapi kenapa harus kakak gua, Badar?”

“Jadi kamu benar-benar cinta ya sama Daeng Gazza?” tanya Barada sambil pergi duduk di sisi kasur samping Rina. Ia mengambil tisu di meja rias.

“Lu kira gua selama ini cuma bercanda sampai gua tulis namanya di hp gua, Calon Suami? Gua sakit banget, Badar.”

“Kamu benar-benar nangis, Rin. Malu ah, lucu kalau ketua geng nangis,” kata Barada sambil menyeka air mata di wajah Rina dengan tisu. “Yang mau melamar Kak Rani itu Bang Awang, bukan Daeng Gazza.”

“Tipu, lu!” tukas Rina tidak percaya, tapi ia berhenti menangis, meski sesegukannya masih jelas.

“Dosa saya kalau bohong. Daeng Gazza bicara benar, tapi gadis yang mendengarnya yang salah waktu dan tempat,” kata Barada sambil tertawa kecil. “Nanti deh, saya sampaikan ke Daeng kalau kamu benar-benar cinta berat sama dia.”

“Tapi Bang Gazza dengan jelas bilang mau ngelamar Rani,” kata Rina sambil bangun duduk menghadap Barada.

“Iya, Daeng Gazza, saya dan Bang Awang datang buat ngelamar Kak Rani,” tandas Barada.

“Tapi Bang Awangnya enggak ada?” tanya Rina.

“Bang Awang sudah telepon Kak Rani akan datang malam ini untuk melamar. Awalnya hanya Daeng sama Bang Awang yang mau ke sini, tapi Daeng ngajak saya. Saya sama Daeng berangkat dari rumah, terus janjian ketemu di jalan sama Bang Awang. Tadi bareng bertiga ke mari, tapi motornya Bang Awang bocor. Biar enggak telat dan sesuai janji, maka Bang Awang nyuruh saya dan Daeng duluan,” jelas Barada.

Tiit tit!

Terdengar suara klakson mobil di luar rumah.

“Harusnya Bang Gazza ngomongnya jangan begitu!” kata Rina dengan wajah yang kini merengut. Wajahnya telah bersih dari air mata, tapi matanya masih memerah. 

“Kalau tahu kamu akan nangis seperti ini, saya yakin Daeng enggak akan jawab seperti itu. Saya sangat kenal Daeng, jangankan hati gadis cantik seperti kamu, hati tetangga yang cerewet aja dia sangat jaga agar tidak tersakiti,” kata Barada.

“Bang Awang enggak datang sama orangtuanya?” tanya Rina.

“Enggak. Bang Awang itu perantauan. Orangtua dan keluarga besarnya ada di Lampung,” jawab Barada.

Keduanya terdiam saat ada suara motor yang datang masuk ke halaman di bawah sana.

“Itu pasti Bang Awang,” terka Barada. “Ke bawah, yuk!”

“Bentar ah, lu enggak lihat muka gua hancur sama air mata?”

“Hahaha!” Barada justru tertawa, tapi mendadak ia berhenti lagi. “Berarti nanti saya jadi adik ipar kamu dong, Rin?”

“Memang kenapa, lu enggak suka?” tanya Rina dengan nada yang mulai normal.

Rina bergerak turun dari kasur dan duduk di kursi depan rak rias. Agar tidak malu menyisakan bekas tangisan di wajahnya, Rina harus sedikit berbedak.

“Hahaha!” Barada tertawa lebih keras lagi. “Gara-gara akrab sama saya kamu jadi tumbuh dewasa begitu cepat, Rin. Hahaha!”

Rina hanya senyum kecil di depan cermin riasnya.

Setelah merasa dirinya sudah terlihat seperti biasa tanpa ada tanda-tanda air mata, Rina mengajak Barada turun ke bawah. 

Di ruang tamu, tengah berlangsung perbincangan serius. Tampak Gazza duduk bersebelahan dengan seorang pemuda tampan berpeci putih dengan baju koko putih yang terlihat masih baru. Pemuda berwajah tampan mirip aktor India Amir Khan itu adalah Awang Setiawan.

Berseberangan meja dengan keduanya, duduk Rani yang menundukkan wajahnya didampingi oleh Irma Lulubana. Di sisi yang lain, duduk Dedy Sirana.

Di atas meja terdapat beberapa piring kue basah dan tiga gelas teh hangat.

Dedy dan istrinya baru saja tiba, demikian pula dengan Awang. 

Bagi Rani dan kedua orangtuanya, baru kali ini mereka bertemu langsung dengan Awang.

“Dengan bersedianya Rani mengikuti saran ana, jadi ana yakinkan kepada Bapak dan Ibu, bahwa ana akan semaksimal mungkin untuk menjaga amanat yang dititpkan kepada ana,” kata Awang kepada Dedy dan Irma. “Jadi, dengan nama Allah dan semata-mata mengharap rida Allah, ana melamar putri Bapak yang bernama Rani untuk saya nikahi setelah persidangan di Majelis Qadha.”

“Tidak ada jalan lain selain mendengar jawaban dari Rani,” kata Dedy.

`“Ya, saya bersedia, Bang,” jawab Rani pelan tapi terdengar jelas oleh semuanya.

Alhamdulillah!” ucap Rina, Barada, Gazza dan Awang bersamaan.

“Tapi, Nak Awang harus janji loh, tidak akan menyakiti Rani,” ujar Irma.

Insya Allah, Bu. Meski baru sekarang kami bertemu, tapi karena ana meminang Rani karena Allah, maka ana pun akan mencintai Rani karena Allah. Insya Allah, jika karena Allah, Rani akan bahagia jika ana mencintainya dan Rani tidak akan tersakiti jika ana membencinya,” tandas Awang.

“Lalu bagaimana dengan hukuman cambuknya, Nak?” tanya Irma masih khawatir.

“Gazza sudah sampaikan kepada ana tentang keluhan Ibu kepada ana. Insya Allah ana bisa memahami perasaan seorang ibu. Tapi yakinlah, Bu, Islam sangat mengedepankan keselamatan jiwa manusia. Jikalaupun nantinya itu sampai terjadi, meski Rani terluka secara fisik, pada hakikatnya ia menjadi gadis yang benar-benar bersih dari dosa dan memiliki derajat kemuliaan yang tinggi di sisi Allah. Bagaimana mungkin ana tidak bisa mencintai seorang perempuan yang suci dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya?” ujar Awang.

Tiba-tiba Rani menangis di dalam ketertundukannya. Irma cukup terkejut. Ia segera merangkul putrinya dengan penuh kasih sayang.

Awang memilih menahan kata-katanya. Sementara Rina berdiri seraya memeluk lengan kiri Barada yang ada di sisinya. Kali ini Rina tidak akan menangis, karena sebelum-sebelumnya ia bisa ikut menangis jika suasananya haru. Ini untuk kesekian kalinya dan seharusnya ia tidak lagi turut terbawa secara emosional.

“Kenapa, Rani? Seharusnya kamu bahagia dong, Nak,” kata Irma.

“Rani bahagia, Ma. Rani, Rani sangat bahagia. Rani terharu, karena ... karena Allah begitu baik sama Rani dengan mendatangkan Bang Awang,” jawab Rani agak terbata-bata, tapi terus menangis.

“Dik Awang, lalu kapan?” tanya Dedy.

“Teknisnya, Rani harus menulis surat permohonan ke Majelis Qadha untuk diadili secara hukum Islam. Jika sudah ada tanggal sidangnya, ana akan bawa calon istri ana ke sana,” jawab Awang.

“Silakan, Dik Gazza, dimakan kuenya!” kata Dedy. Lalu doanya, “Semoga ini berjalan baik bagi Rani.”

“Amin,” ucap Gazza. 

Ia lalu berpaling kepada adiknya, mau tak mau pandangannya bertemu dengan Rina yang seketika agak kikuk mendapat tatapan. Gazza hanya tersenyum kepada Rina.

“Badar, ayo sini makan!” panggil Gazza kepada adiknya.

“Ayo, Badar, duduk di sini!” panggil Irma pula.

“Iya, tapi Rina enggak mau lepas tangan saya,” kata Barada sambil tersenyum.

Rina memang masih memegangi lengan kiri Barada, seolah tidak mau melepasnya.

“Keluar yuk, Badar!” ajak Rina lalu menarik Barada agar ikut dengannya ke luar rumah.

Barada menurut, ia ikut keluar bersama Rina. Namun, baru sampai pintu, Barada berhenti.

“Tunggu, Rin!” kata Barada lalu berbalik dan pergi mendekati Gazza.

“Ada apa?” tanya Gazza saat Barada menghampirinya.

“Permisi, Bu, Pak,” ucap Barada sambil senyum kepada Dedy dan Irma. Ia menarik lengan kakaknya sambil berbisik, “Daeng harus tanggung jawab!”

“Tanggung jawab apaan?” tanya Gazza tidak mengerti, mencoba bertahan tidak mau menuruti tarikan adiknya.

“Ayo!” Barada menarik tangan Gazza sedikit lebik kuat.

Sementara yang lain hanya diam menyaksikan. Dari pada Barada membuat rusuh, Gazza pun memutuskan menuruti ajakan adiknya. 

Rina yang menyaksikan dari pintu, jadi mendelik terkejut. Buru-buru ia keluar ke teras.

“Daeng harus minta maaf ke Rina karena buat ia nangis!” bisik Barada kepada Gazza sambil berjalan ke pintu.

Gazza terkejut. Dengan cepat ia coba mengelak, “Tapi, tapi itu kan ....” 

“Wajib minta maaf. Rina tadi nangis banget mendengar jawaban Daeng. Apa pun alasannya, Daeng harus minta maaf,” kata Barada dengan suara ditekan.

“Waduh, kamu apa-apaan sih, Badar?” keluh Gazza.

Setibanya di teras, tampak Rina berdiri agak jauh di ujung teras di dekat deretan pot tanaman di pinggiran kolam kecil yang di dalamnya ada beberapa ekor ikan berukuran sedang. Rina berdiri menghadap ke kolam, menyampingi posisi Barada dan Gazza.

Dag dig dug hati Rina saat itu, bagai diramu dengan racikan rempah-rempah pengharum nuansa cinta.

Barada mendorong Gazza agar berjalan kepada Rina. Gazza tidak bisa menolak paksaan adiknya.

“Kenapa saya jadi penakut begini untuk urusan seperti ini?” membatin Gazza. Memang ada rasa ketar-ketir yang menyerang hati Gazza, tapi kakinya secara pelan tetap melangkah mendatangi Rina.

Rina yang tahu bahwa Gazza datang mendekatinya, dilanda rasa bahagia yang datang bergelombang tapi bercampur kebingungan.

“Rina!” sebut Gazza yang telah berhenti dalam jarak dua jangkauan tangan dari Rina.

Tidak mungkin rasanya Rina memilih terus berdiri menghadap ke kolam seperti gadis yang sedang memprotes pacarnya. Ia harus menghadap kepada lawan bicaranya, maka ia pun hadap kiri. Ketika pandangan mereka saling bertemu, Gazza langsung tertawa kecil. Rina pun tersenyum.

“Oh, manisnya!” pekik Gazza tiba-tiba, tapi itu hanya di dalam hati. “Kenapa saya jadi genit begini?”

“Iya, Bang?” sahut Rina.

“Maaf,” ucap Gazza, hanya satu kata. Setelah itu ia diam dalam ketersenyumannya, agak kikuk.

“Maaf kenapa, Bang?” tanya Rina dengan lancar, tampak ia lebih stabil dibandingkan dengan lawan dialognya.

“Yang tadi, emm ... hahaha!” ucap Gazza tidak jelas. Ia benar-benar merasa kacau menyusun kalimat, padahal menyusun kata-kata dan membuat kalimat adalah kerjaan hariannya sebagai wartawan. Jangankan pejabat polisi, pak menteri pun ia berani hadapi dengan segudang pertanyaan. 

Sementara Barada duduk menunggu di kursi dekat pintu.

Tapi akhirnya Gazza pun berbicara jelas kepada Rina, “Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, karena membuat Rina sampai menangis.”

“Ah, enggak apa-apa kok, Bang. Guanya aja yang terlalu berlebihan sampai salah tangkap omongan Abang,” kata Rina sambil tertawa samar karena malu. 

“Saya tadi blunder,” kata Gazza lagi.

“Enggap apa-apa, Bang. Gua sih senang banget Abang mau datang ke rumah. Sering-sering aja,” kata Rina.

Tiba-tiba Barada berteriak kepada mereka, mengacaukan suasana yang tercipta di antara dua hati.
“Sudah selesai, Daeng?!”

Gazza pun menengok ke belakang, Rina pun melihat kepada Barada. Dalam hati Rina menaruh kesal kepada Barada.

“Sudah,” jawab Gazza.

“Kalau sudah ya sudah, balik ke dalam dong, enggak enak sama orangtuanya Rina, nanti disangka yang enggak-enggak,” kata Barada.

“Dasar Badar!” rutuk Gazza pelan. Ia lalu beralih kembali kepada Rina, “Abang ke dalam, Rin.”

“Iya, Bang.”

Gazza berbalik dan berjalan pergi.

“Bang!” panggil Rina, membuat Gazza yang baru melangkah beberapa langkah, berhenti dan menengok. “Bang, jangan buat gua nangis lagi ya.”

Tek! Pesan itu langsung meresap ke perasaan Gazza. Kalimatnya tidak puitis tapi sangat dalam bagi perasaan Gazza. 

“Hahaha!” tawa Gazza pendek. Lalu jawabnya lembut, “Insya Allah.”

Gazza kemudian melangkah terus ke pintu dan masuk ke dalam.

“Hahaha!” 

Semasuknya Gazza ke dalam, Barada tertawa lepas. Rina justru merengut menatap tajam kepada Barada.

“Lu jahat banget tahu!” tukas Rina sambil mendatangi Barada yang tertawa.

Barada justru terus tertawa dengan suaranya yang agak serak.

“Lu tega-teganya motong kebahagiaan gua!” kata Rina kesal.

“Hahaha! Sebab, sebab kalau saya enggak batasi, khawatir hati kamu meledak. Hahaha!” kilah Barada sambil masih tertawa.

“Gua cekek lu!” geram Rina sambil menyergap dan mengapit leher Barada dengan rangkulan tangan.
Tapi Barada terus tambah tertawa. Pada akhirnya Rina pun tertawa juga. (RH)


 
Berlanjut: Dua Hati di Awal Ramadan (Tamat) 



Tunggu Perdana!!!

RATU SUKU LIX


Tidak ada komentar:

Posting Komentar