Pesan Dari Pendekar (21)

Ilustrasi: Ninja wanita. (Foto: Kunoichi)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:

Marni tipe gadis yang perasaannya mudah tersentuh dan mudah menangis. Karenanya, baru saja ia melangkah masuk ke kamar itu, ia sudah menangis. Terlebih ketika melihat sosok cantik Naina Fitrayuni duduk di atas kasur bersandarkan pada tumpukan bantal di belakang punggungnya.


Meski di kamar pribadinya sendiri, Naina tetap menggunakan jilbab. Hanya saja tampak ada balutan perban yang menutup dahi Naina, melingkar di kepala di balik jilbab hitamnya. Kaki dan separuh tubuhnya ditutupi selimut lembut.

Di sisi kepala ranjang ada meja kayu yang di atasnya tersaji makanan dan minuman yang menunya standar untuk orang yang sedang sakit. Di sisi meja ada pula sebuah kursi roda, lengkap bersender sebuah tongkat penyangga untuk berjalan bagi orang yang tidak bisa berjalan.

Melihat kedatangan Marni, Naina tersenyum manis. Berbeda dengan Marni yang justru menangis dan menghamburkan diri memeluk Naina. Kedua gadis itu memang begitu akrab dan dekat. Naina membelai kepala Marni yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri.

“Kenapa nangis, Mar?” tanya Naina seraya tersenyum.

“Bagaimana, bagaimana ... huhuhu ...!”

Marni yang mau menjawab tidak bisa berkata-kata selain satu kata. Tangisnya yang justru terus berlanjut. Jika sudah menangis, Marni sudah pasti sulit untuk berkata-kata. Dan Naina pun membiarkan Marni menangisinya.

Marni akhirnya melepaskan pelukannya. Tangisnya mereda. Ia mengambil tisu di atas meja dan menyeka air matanya. Tidak seperti Marni, Naina tidak menangis sedikit pun. Mantan tunangan Abduh ini memang seorang gadis yang berhati kuat.

“Bagaimana tidak nangis, setelah diputus sama Ummi, Kak Naina justru kecelakaan?” kata Marni serak, menyatakan apa yang tadi ia tidak bisa ungkapkan.

“Tapi saya kan masih utuh,” kata Naina mencoba menyederhanakan hal yang menimpanya.

“Lalu, kondisi Kak Naina sekarang bagaimana? Kata Ardi, kaki Kakak jadi cacat.”

“Anak itu suka melebih-lebihkan,” kata Naina merujuk pada adik lelakinya yang berusia 12 tahun. Alhamdulillah Allah masih beri kesempatan hidup dan tidak begitu parah. Saya sudah bisa ke kamar mandi sendiri, sudah bisa makan sendiri, minum sendiri, dan tidur sendiri, hahaha!”

“Bang Abduh harus....”

“Jangan, Marni!” sergah Naina cepat. “Berjanjilah kepada Kakak!”

“Apa?” tanya Marni.

“Berjanjilah untuk tidak memberi tahu Bang Abduh tentang kondisi saya!”

“Tidak, Bang Abduh harus tahu!” tandas Marni.

“Jangan, Mar. Itu akan menyakiti Bang Abduh dan merusak rencana Ummi. Kak Naina enggak apa-apa kok. Janji, ya?” bujuk Naina.

“Saya harus beri tahu Bang Abduh. Terlalu jahat Bang Abduh kalau tidak tahu keadaan Kak Naina,” kata Marni.

Naina meraih tangan kanan Marni dengan kedua tangannya.

“Demi Allah, berjanjilah untuk tidak memberi tahu Bang Abduh. Berjanjilah untukku, Marni!” desak Naina.

Marni terdiam menatap wajah Naina yang putih bersih. Air matanya kembali mengalir, sementara giginya menggigit bibir bawahnya. Naina mengangguk samar yang kemudian dijawab oleh Marni dengan satu anggukan pula, meski begitu berat bagi Marni untuk memenuhi permintaan Naina.

Sepulangnya dari rumah Naina, Marni memang pada akhirnya memegang janjinya untuk tidak menceritakan kondisi Naina kepada Abduh. Namun, beban hati itu Marni bagikan kepada Firman Barayuda, pemuda yang telah ia terima cintanya.

Kamis sore itu, Firman melakukan apel rutin ke rumah Marni, tapi gadis hitam manis itu malah mengajak Firman mengantarnya pergi membeli jamu untuk Engkong Hasan Abdul Qadir.

Setelah izin kepada orang tua Marni, Firman mengantar Marni dengan motor bebeknya. Dengan gaya feminim, Marni duduk di boncengan dengan gaya menyamping. Meski Marni tidak merangkulkan tangan ke pinggang Firman, tapi pemuda dari perguruan silat Tapak Emas itu tetap merasa senang berbunga-bunga.

Sepulang dari toko jamu, Firman mengajak Marni minum es kelapa. Di saat itulah, Marni bercerita tentang kisah cinta kakak lelakinya yang dipaksa memutuskan tunangannya dengan Naina. Kakaknya kemudian pergi melamar wanita lain yang harus diselamatkan aib dan calon anaknya yang tercipta dengan cara haram.

Ketika bercerita seperti itu kepada Firman, Marni masih sempat menitikkan air mata.

Di malam harinya, ketika Firman berlatih silat, ternyata kisah lara Naina ia juga ceritakan kepada teman-teman seperguruannya.

Sekitar dua puluh anak usia belasan tahun berbaris rapi di lapangan. Mereka mengenakan seragam silat warna hitam. Mereka sedang melakukan latihan gerakan-gerakan dasar silat Tapak Emas. Mereka dilatih oleh seorang pesilat muda yang memakai seragam silat berwarna hitam.

Di sisi lain di lapangan, tidak jauh dari kelompok pemula, para murid senior Perguruan Tapak Emas sedang berlatih melakukan “Tendangan Derajat Langit”. Latihan mereka langsung diawasi oleh sang guru, yaitu Guru Tio.

Belasan murid senior Tapak Emas berbaris renggang dua baris, yaitu baris laki-laki dan perempuan. Semuanya berseragam hitam yang di dada kanannya ada bordiran logo perguruan. Beberapa murid wanita mengenakan jilbab, salah satunya adalah Barada. Di baris lelaki, salah satunya adalah Firman.

Dua puluh meter di depan sana, guru yang lain, yaitu Guru Yudi, berdiri tegak menyampingi barisan para murid. Dia mengangkat tinggi tangan kanannya miring ke atas. Di sela jari-jari tangan itu terjepit ujung mulut sebuah balon merah. Sementara tangan kirinya memegang sepuluh balon lain.

Beberapa meter di sisi kanan Guru Yudi ada dua murid lelaki yang siap dengan posisinya. Tubuh mereka cukup besar dan berisi otot keras. Seorang duduk bersila. Sementara yang satu lagi berposisi rukuk dengan kaki renggang dan kedua tangan berposisi di kedua lutut.

Jadi teknisnya, murid akan berlari dari posisinya kepada murid yang bersila membelakangi mereka. Mereka harus menginjak bahu murid yang bersila dengan satu kaki untuk melompat ke atas punggung murid yang rukuk. Punggung murid yang rukuk akan dijadikan tolakan untuk melompat sekaligus melakukan tendangan mengibas ke balon di tangan kanan Guru Yudi.

“Firman, bagaimana kabar cinta botol jamu kamu?” tanya Barada seraya tertawa kepada Firman di barisan lelaki.

“Siiiplah, lancar!” jawab Firman yang juga ikut tertawa. “Tapi kalau elu dengar cerita cinta abangnya dia, lu pasti gak tega, Badar.”

“Memang sesedih apa sih ceritanya? Kamu sepertinya jadi Bollywood banget ya?” kata Barada lalu tertawa.

“Hup!” pekik Guru Yudi memberi aba-aba.

Murid pria yang terdepan segera berlari ke arah murid yang duduk bersila membelakangi. Pundak kirinya menjadi pijakan untuk melompak ke punggung murid yang rukuk, lalu melompat lagi menendang ke balon merah di tangan kanan Guru Yudi. Tapi sayang, tendangannya tidak mengenai balon, hanya membabat udara kosong.

“Abangnya memilih memutuskan tunangannya, demi menyelamatkan cewek hamil di luar nikah. Padahal cewek itu hamilnya sama cowok lain. Padahal, selain cantik, tunangannya saleha. Bayangin, tragis gak tuh nasib tunangannya?” ujar Firman.

Mendengar cerita singkat Firman, Barada sejenak diam mengerutkan kening.

“Hup!” pekik Guru Yudi lagi.

Kali ini berlari adalah murid wanita terdepan. Ia melakukan hal yang sama dengan murid pertama. Hasilnya, tendangannya masih agak jauh dari sasaran balon.

“Kenapa cowoknya cewek itu enggak tanggung jawab sesudah menghamili?” tanya Barada, tidak tertawa lagi.

“Cowoknya mati ditembak begal,” jawab Firman sambil maju selangkah mendekati gilirannya.

“Kok ceritanya mirip Kak Rani,” membatin Barada.

“Mana tunangannya cantik banget, Badar. Gua pernah ketemu waktu ke rumah cewek gua. Gua lihat langsung, cincin tunangannya dibalikin. Tuh cewek pokoknya alim dan salut lah. Apesnya, setelah diputusin sebagai calon mantu, tuh cewek tabrakan dan sekarang gak bisa jalan. Tapi salutnya lagi, pas cewek gua ngejenguk, dia minta cewek gua berjanji agar enggak cerita ke mantannya tentang kecelakaan dan kondisinya. Bayangin, cewek gua sampai nangis-nangis ngelihat kondisinya,” ujar Firman.

“Cocok banget,” batin Barada lagi. Lalu tanyanya lagi kepada Firman, “Nama abang pacar kamu itu Abduh ya?”

“Iya. Kok lu bisa tahu gitu, Badar?” heran Firman.

“Hup!” seru Guru Yudi lagi.

Belum lagi murid yang bernama Sugiono berlari maju, tiba-tiba Barada berlari lebih dulu dari belakang barisan. Melihat Barada tahu-tahu sudah berlari maju, Sugiono segera menahan langkahnya seraya mendelik.

“Izin duluan!” teriak Barada.

“Dasar Badar!” rutuk Sugiono.

Barada melakukan jejakan yang baik di bahu temannya, lalu melompat naik ke punggung untuk melompat sambil melakukan tendangan mengibas.

Pum!

Tendangan Barada dengan sukses menghantam balon merah di ujung tangan Guru Yudi. Balon itu terpental jauh. Usai itu, Barada berlari dan berhenti di depan Guru Tio.

“Izin, Guru, urusan darurat! Sangat darurat!” lapor Barada kepada Guru Tio.

Push-up 30 kali!” perintah Guru Tio.

Barada segera turun ke tanah dan melakukan push-up layaknya seorang lelaki.

Sementara Firman tidak habis pikir. Kenapa setelah mendengar ceritanya, Barada tiba-tiba berubah jadi gadis berwajah serius. Tabiat tertawanya seketika hilang tertelan malam.

Kemampuannya menyelesaikan Tendangan Derajat Langit dan tidak kepayahan melakukan push-up 30 kali, menunjukkan Barada memang bukan ciri gadis kebanyakan.

Setelah selesai push-up, Barada berdiri menghadap gurunya lalu membungkuk seperti orang Jepang menghormat.

Assalamu ‘alaikum!” salam Barada kepada Guru Tio.

Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab Guru Tio.

Barada langsung berlari pergi. Ia tidak lupa melambaikan tangan kepada teman-temannya sambil tertawa.

“Bisa repot kalau Kak Rani sudah menerima lamaran Bang Abduh,” membatin Barada sambil menaiki sepedanya.

Barada langsung meluncur dengan kecepatan tinggi keluar dari area lapangan kemudian masuk ke jalan besar. Tidak seberapa jauh, Barada memasuki jalan gang untuk sampai ke rumahnya. Di gang, Barada harus mengurangi kecepatannya.

Assalamu ‘alaikum!” salam Barada setibanya di rumah. Ia langsung manyalimi tangan bapaknya yang duduk di teras lalu buru-buru masuk menemui ibunya.

Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuhu!” jawab ayah Barada setelah anaknya menghilang di dalam rumah.

Semasuknya ke dalam, Barada langsung menemui ibunya.

“Hp Ummi mana? Mana, mana, mana?” tanya Barada sambil mencium tangan ibunya di dapur.

“Di kamar. Kenapa sih, Badar?” tanya wanita berjilbab berusia 41 tahun itu, namanya Latifah.

“Darurat, Mi. Penting banget!” jawab Barada sambil bergerak ke dalam kamar orang tuanya.

Tak berapa lama, ia keluar dengan memainkan sebuah ponsel keluaran beberapa tahun yang lalu, ponsel yang main tekan, bukan yang main sentuh.

Barada menelepon nomor seseorang.

“Siapa, Badar?” tanya Latifah.

“Telepon Rina. Ini masalah kakaknya yang mau dilamar malam ini. Padahal di balik lamaran itu mengorbankan hati seorang muslimah saleh, Ummi,” jelas Barada. “Ah, kok enggak diangkat-angkat?”

Nomor Rina yang Barada telepon terdengar aktif, tetapi tidak diangkat. Barada mengulang tiga kali menghubungi nomor Rina, tapi di rumah nun jauh di sana, ponsel Rina berdering di kamar pemiliknya. Sementara Rina sedang berada di lantai bawah, turut menyambut kedatangan rombongan keluarga Abduh yang baru tiba. Namun, dalam rombongan itu tidak terlihat keberadaan Marni.

Marni lebih memilih tidak ikut, karena dia tidak setuju langkah yang diambil oleh ibu dan kakaknya.

Tampak Abduh dan kedua orangtuanya  berpakaian bagus. Demikian pula tuan rumah, Dedy Sirana dan istrinya.

Tiga kali menelepon tapi Rina tidak mengangkat teleponnya, Barada memutuskan mengembalikan ponsel ibunya.

“Ummi, saya izin ke rumah Rina, ini darurat!” kata Barada lalu berlari keluar.

Di teras, Barada menemui ayahnya, Muttaqin.

“Motor Puang ke mana?” tanya Barada dengan menyebut sebutan kehormatan bagi orang yang lebih tua dalam tatanan bangsawan suku Bugis kepada ayahnya. Muttaqin memang masih memiliki nasab bangsawan Bugis.

“Masuk bengkel tadi sore, diinapin di bengkel,” jawab pria 50 tahun itu. “Mau ke mana malam-malam begini? Apalagi masih pakai baju silat begitu.”

“Darurat, Puang. Mau ke rumah Rina. Urusannya penting banget,” jawab Barada. Lalu salam sambil membawa pergi sepedanya, “Assalamu ‘Alaikum!

Wa ‘alaikum salam warahmatullahi!” jawab Muttaqin.

Di jalan raya, Barada melakukan sprint dengan sepedanya. Mau tidak mau ia memerlukan waktu lebih lama untuk sampai ke rumah Rina dibandingkan jika ia menggunakan motor.

Adrenalin Barada harus berpacu dengan waktu. Keringat benar-benar membanjir di tubuhnya dan menetes dari keningnya.

Teet!

Sebuah mobil mengklakson Barada agar lebih menepi jalannya. Barada pun menepi tapi terus melesat kencang, seolah ingin menyamai kecepatan sepeda motor.

Akhirnya Barada tiba di depan gerbang perumahan tempat rumah Rina berada.

Prakr!

Ketika Barada berbelok tanpa mengurangi kecepatan sepedanya hendak masuk ke jalan menuju gerbang perumahan, sebuah mobil boks juga berbelok agak kencang.

Kali ini kewaspadaan Barada kurang fokus, sehingga depan mobil boks itu menabrak sepeda Barada dari samping.

Barada terlempar dan berguling beberapa kali hingga terhenti tepat di bibir got, tapi tidak sampai ada anggota tubuhnya yang masuk ke dalam got. Sementara sepedanya, tergeletak di aspal dalam kondisi agak bengkok. Jelasnya, sulit untuk dipakai secara normal lagi.

Mobil boks seketika berhenti terkejut. Sopir dan kernetnya segera turun. Dua satpam di pintu masuk kompleks segera datang ke lokasi kecelakaan. (RH)



Berlanjut: Kejutan untuk Rani dan Rina (22)


Tunggu Perdana!!!

RATU SUKU LIX


Tidak ada komentar:

Posting Komentar