Ilustrasi: Ninja wanita. (Foto: Kunoichi) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Marni tipe gadis yang
perasaannya mudah tersentuh dan mudah menangis. Karenanya, baru saja ia
melangkah masuk ke kamar itu, ia sudah menangis. Terlebih ketika melihat sosok
cantik Naina Fitrayuni duduk di atas kasur bersandarkan pada tumpukan bantal di
belakang punggungnya.
Meski di kamar
pribadinya sendiri, Naina tetap menggunakan jilbab. Hanya saja tampak ada
balutan perban yang menutup dahi Naina, melingkar di kepala di balik jilbab
hitamnya. Kaki dan separuh tubuhnya ditutupi selimut lembut.
Di sisi kepala ranjang
ada meja kayu yang di atasnya tersaji makanan dan minuman yang menunya standar
untuk orang yang sedang sakit. Di sisi meja ada pula sebuah kursi roda, lengkap
bersender sebuah tongkat penyangga untuk berjalan bagi orang yang tidak bisa
berjalan.
Melihat kedatangan
Marni, Naina tersenyum manis. Berbeda dengan Marni yang justru menangis dan
menghamburkan diri memeluk Naina. Kedua gadis itu memang begitu akrab dan
dekat. Naina membelai kepala Marni yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri.
“Kenapa nangis, Mar?”
tanya Naina seraya tersenyum.
“Bagaimana, bagaimana ...
huhuhu ...!”
Marni yang mau menjawab
tidak bisa berkata-kata selain satu kata. Tangisnya yang justru terus
berlanjut. Jika sudah menangis, Marni sudah pasti sulit untuk berkata-kata. Dan
Naina pun membiarkan Marni menangisinya.
Marni akhirnya
melepaskan pelukannya. Tangisnya mereda. Ia mengambil tisu di atas meja dan
menyeka air matanya. Tidak seperti Marni, Naina tidak menangis sedikit pun.
Mantan tunangan Abduh ini memang seorang gadis yang berhati kuat.
“Bagaimana tidak
nangis, setelah diputus sama Ummi, Kak Naina justru kecelakaan?” kata Marni
serak, menyatakan apa yang tadi ia tidak bisa ungkapkan.
“Tapi saya kan masih
utuh,” kata Naina mencoba menyederhanakan hal yang menimpanya.
“Lalu, kondisi Kak
Naina sekarang bagaimana? Kata Ardi, kaki Kakak jadi cacat.”
“Anak itu suka
melebih-lebihkan,” kata Naina merujuk pada adik lelakinya yang berusia 12
tahun. “Alhamdulillah Allah masih
beri kesempatan hidup dan tidak begitu parah. Saya sudah bisa ke kamar mandi
sendiri, sudah bisa makan sendiri, minum sendiri, dan tidur sendiri, hahaha!”
“Bang Abduh harus....”
“Jangan, Marni!” sergah
Naina cepat. “Berjanjilah kepada Kakak!”
“Apa?” tanya Marni.
“Berjanjilah untuk
tidak memberi tahu Bang Abduh tentang kondisi saya!”
“Tidak, Bang Abduh
harus tahu!” tandas Marni.
“Jangan, Mar. Itu akan
menyakiti Bang Abduh dan merusak rencana Ummi. Kak Naina enggak apa-apa kok.
Janji, ya?” bujuk Naina.
“Saya harus beri tahu
Bang Abduh. Terlalu jahat Bang Abduh kalau tidak tahu keadaan Kak Naina,” kata
Marni.
Naina meraih tangan
kanan Marni dengan kedua tangannya.
“Demi Allah,
berjanjilah untuk tidak memberi tahu Bang Abduh. Berjanjilah untukku, Marni!”
desak Naina.
Marni terdiam menatap
wajah Naina yang putih bersih. Air matanya kembali mengalir, sementara giginya
menggigit bibir bawahnya. Naina mengangguk samar yang kemudian dijawab oleh
Marni dengan satu anggukan pula, meski begitu berat bagi Marni untuk memenuhi permintaan
Naina.
Sepulangnya dari rumah
Naina, Marni memang pada akhirnya memegang janjinya untuk tidak menceritakan
kondisi Naina kepada Abduh. Namun, beban hati itu Marni bagikan kepada Firman
Barayuda, pemuda yang telah ia terima cintanya.
Kamis sore itu, Firman
melakukan apel rutin ke rumah Marni, tapi gadis hitam manis itu malah mengajak
Firman mengantarnya pergi membeli jamu untuk Engkong Hasan Abdul Qadir.
Setelah izin kepada
orang tua Marni, Firman mengantar Marni dengan motor bebeknya. Dengan gaya feminim,
Marni duduk di boncengan dengan gaya menyamping. Meski Marni tidak merangkulkan
tangan ke pinggang Firman, tapi pemuda dari perguruan silat Tapak Emas itu tetap
merasa senang berbunga-bunga.
Sepulang dari toko
jamu, Firman mengajak Marni minum es kelapa. Di saat itulah, Marni bercerita
tentang kisah cinta kakak lelakinya yang dipaksa memutuskan tunangannya dengan
Naina. Kakaknya kemudian pergi melamar wanita lain yang harus diselamatkan aib
dan calon anaknya yang tercipta dengan cara haram.
Ketika bercerita seperti
itu kepada Firman, Marni masih sempat menitikkan air mata.
Di malam harinya,
ketika Firman berlatih silat, ternyata kisah lara Naina ia juga ceritakan
kepada teman-teman seperguruannya.
Sekitar dua puluh anak
usia belasan tahun berbaris rapi di lapangan. Mereka mengenakan seragam silat
warna hitam. Mereka sedang melakukan latihan gerakan-gerakan dasar silat Tapak
Emas. Mereka dilatih oleh seorang pesilat muda yang memakai seragam silat
berwarna hitam.
Di sisi lain di
lapangan, tidak jauh dari kelompok pemula, para murid senior Perguruan Tapak
Emas sedang berlatih melakukan “Tendangan Derajat Langit”. Latihan mereka
langsung diawasi oleh sang guru, yaitu Guru Tio.
Belasan murid senior
Tapak Emas berbaris renggang dua baris, yaitu baris laki-laki dan perempuan.
Semuanya berseragam hitam yang di dada kanannya ada bordiran logo perguruan.
Beberapa murid wanita mengenakan jilbab, salah satunya adalah Barada. Di baris
lelaki, salah satunya adalah Firman.
Dua puluh meter di
depan sana, guru yang lain, yaitu Guru Yudi, berdiri tegak menyampingi barisan
para murid. Dia mengangkat tinggi tangan kanannya miring ke atas. Di sela
jari-jari tangan itu terjepit ujung mulut sebuah balon merah. Sementara tangan
kirinya memegang sepuluh balon lain.
Beberapa meter di sisi
kanan Guru Yudi ada dua murid lelaki yang siap dengan posisinya. Tubuh mereka
cukup besar dan berisi otot keras. Seorang duduk bersila. Sementara yang satu
lagi berposisi rukuk dengan kaki renggang dan kedua tangan berposisi di kedua
lutut.
Jadi teknisnya, murid
akan berlari dari posisinya kepada murid yang bersila membelakangi mereka.
Mereka harus menginjak bahu murid yang bersila dengan satu kaki untuk melompat
ke atas punggung murid yang rukuk. Punggung murid yang rukuk akan dijadikan
tolakan untuk melompat sekaligus melakukan tendangan mengibas ke balon di
tangan kanan Guru Yudi.
“Firman, bagaimana
kabar cinta botol jamu kamu?” tanya Barada seraya tertawa kepada Firman di
barisan lelaki.
“Siiiplah, lancar!”
jawab Firman yang juga ikut tertawa. “Tapi kalau elu dengar cerita cinta
abangnya dia, lu pasti gak tega, Badar.”
“Memang sesedih apa sih
ceritanya? Kamu sepertinya jadi Bollywood banget ya?” kata Barada lalu tertawa.
“Hup!” pekik Guru Yudi
memberi aba-aba.
Murid pria yang
terdepan segera berlari ke arah murid yang duduk bersila membelakangi. Pundak
kirinya menjadi pijakan untuk melompak ke punggung murid yang rukuk, lalu
melompat lagi menendang ke balon merah di tangan kanan Guru Yudi. Tapi sayang,
tendangannya tidak mengenai balon, hanya membabat udara kosong.
“Abangnya memilih
memutuskan tunangannya, demi menyelamatkan cewek hamil di luar nikah. Padahal
cewek itu hamilnya sama cowok lain. Padahal, selain cantik, tunangannya saleha.
Bayangin, tragis gak tuh nasib tunangannya?” ujar Firman.
Mendengar cerita
singkat Firman, Barada sejenak diam mengerutkan kening.
“Hup!” pekik Guru Yudi
lagi.
Kali ini berlari adalah
murid wanita terdepan. Ia melakukan hal yang sama dengan murid pertama.
Hasilnya, tendangannya masih agak jauh dari sasaran balon.
“Kenapa cowoknya cewek
itu enggak tanggung jawab sesudah menghamili?” tanya Barada, tidak tertawa
lagi.
“Cowoknya mati ditembak
begal,” jawab Firman sambil maju selangkah mendekati gilirannya.
“Kok ceritanya mirip
Kak Rani,” membatin Barada.
“Mana tunangannya
cantik banget, Badar. Gua pernah ketemu waktu ke rumah cewek gua. Gua lihat
langsung, cincin tunangannya dibalikin. Tuh cewek pokoknya alim dan salut lah.
Apesnya, setelah diputusin sebagai calon mantu, tuh cewek tabrakan dan sekarang
gak bisa jalan. Tapi salutnya lagi, pas cewek gua ngejenguk, dia minta cewek
gua berjanji agar enggak cerita ke mantannya tentang kecelakaan dan kondisinya.
Bayangin, cewek gua sampai nangis-nangis ngelihat kondisinya,” ujar Firman.
“Cocok banget,” batin
Barada lagi. Lalu tanyanya lagi kepada Firman, “Nama abang pacar kamu itu Abduh
ya?”
“Iya. Kok lu bisa tahu
gitu, Badar?” heran Firman.
“Hup!” seru Guru Yudi
lagi.
Belum lagi murid yang
bernama Sugiono berlari maju, tiba-tiba Barada berlari lebih dulu dari belakang
barisan. Melihat Barada tahu-tahu sudah berlari maju, Sugiono segera menahan
langkahnya seraya mendelik.
“Izin duluan!” teriak
Barada.
“Dasar Badar!” rutuk
Sugiono.
Barada melakukan
jejakan yang baik di bahu temannya, lalu melompat naik ke punggung untuk
melompat sambil melakukan tendangan mengibas.
Pum!
Tendangan Barada dengan
sukses menghantam balon merah di ujung tangan Guru Yudi. Balon itu terpental
jauh. Usai itu, Barada berlari dan berhenti di depan Guru Tio.
“Izin, Guru, urusan
darurat! Sangat darurat!” lapor Barada kepada Guru Tio.
“Push-up 30 kali!” perintah Guru Tio.
Barada segera turun ke
tanah dan melakukan push-up layaknya
seorang lelaki.
Sementara Firman tidak
habis pikir. Kenapa setelah mendengar ceritanya, Barada tiba-tiba berubah jadi
gadis berwajah serius. Tabiat tertawanya seketika hilang tertelan malam.
Kemampuannya
menyelesaikan Tendangan Derajat Langit dan tidak kepayahan melakukan push-up 30 kali, menunjukkan Barada
memang bukan ciri gadis kebanyakan.
Setelah selesai push-up, Barada berdiri menghadap gurunya
lalu membungkuk seperti orang Jepang menghormat.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Barada kepada Guru Tio.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab Guru Tio.
Barada langsung berlari
pergi. Ia tidak lupa melambaikan tangan kepada teman-temannya sambil tertawa.
“Bisa repot kalau Kak
Rani sudah menerima lamaran Bang Abduh,” membatin Barada sambil menaiki
sepedanya.
Barada langsung
meluncur dengan kecepatan tinggi keluar dari area lapangan kemudian masuk ke
jalan besar. Tidak seberapa jauh, Barada memasuki jalan gang untuk sampai ke
rumahnya. Di gang, Barada harus mengurangi kecepatannya.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Barada setibanya di rumah. Ia langsung
manyalimi tangan bapaknya yang duduk di teras lalu buru-buru masuk menemui
ibunya.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuhu!” jawab ayah Barada
setelah anaknya menghilang di dalam rumah.
Semasuknya ke dalam,
Barada langsung menemui ibunya.
“Hp Ummi mana? Mana,
mana, mana?” tanya Barada sambil mencium tangan ibunya di dapur.
“Di kamar. Kenapa sih,
Badar?” tanya wanita berjilbab berusia 41 tahun itu, namanya Latifah.
“Darurat, Mi. Penting
banget!” jawab Barada sambil bergerak ke dalam kamar orang tuanya.
Tak berapa lama, ia keluar
dengan memainkan sebuah ponsel keluaran beberapa tahun yang lalu, ponsel yang
main tekan, bukan yang main sentuh.
Barada menelepon nomor
seseorang.
“Siapa, Badar?” tanya
Latifah.
“Telepon Rina. Ini
masalah kakaknya yang mau dilamar malam ini. Padahal di balik lamaran itu
mengorbankan hati seorang muslimah saleh, Ummi,” jelas Barada. “Ah, kok enggak
diangkat-angkat?”
Nomor Rina yang Barada
telepon terdengar aktif, tetapi tidak diangkat. Barada mengulang tiga kali
menghubungi nomor Rina, tapi di rumah nun jauh di sana, ponsel Rina berdering
di kamar pemiliknya. Sementara Rina sedang berada di lantai bawah, turut
menyambut kedatangan rombongan keluarga Abduh yang baru tiba. Namun, dalam
rombongan itu tidak terlihat keberadaan Marni.
Marni lebih memilih
tidak ikut, karena dia tidak setuju langkah yang diambil oleh ibu dan kakaknya.
Tampak Abduh dan kedua
orangtuanya berpakaian bagus. Demikian
pula tuan rumah, Dedy Sirana dan istrinya.
Tiga kali menelepon
tapi Rina tidak mengangkat teleponnya, Barada memutuskan mengembalikan ponsel
ibunya.
“Ummi, saya izin ke
rumah Rina, ini darurat!” kata Barada lalu berlari keluar.
Di teras, Barada
menemui ayahnya, Muttaqin.
“Motor Puang ke mana?”
tanya Barada dengan menyebut sebutan kehormatan bagi orang yang lebih tua dalam
tatanan bangsawan suku Bugis kepada ayahnya. Muttaqin memang masih memiliki
nasab bangsawan Bugis.
“Masuk bengkel tadi
sore, diinapin di bengkel,” jawab pria 50 tahun itu. “Mau ke mana malam-malam
begini? Apalagi masih pakai baju silat begitu.”
“Darurat, Puang. Mau ke
rumah Rina. Urusannya penting banget,” jawab Barada. Lalu salam sambil membawa
pergi sepedanya, “Assalamu ‘Alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam warahmatullahi!” jawab Muttaqin.
Di jalan raya, Barada
melakukan sprint dengan sepedanya.
Mau tidak mau ia memerlukan waktu lebih lama untuk sampai ke rumah Rina
dibandingkan jika ia menggunakan motor.
Adrenalin Barada harus
berpacu dengan waktu. Keringat benar-benar membanjir di tubuhnya dan menetes
dari keningnya.
Teet!
Sebuah mobil
mengklakson Barada agar lebih menepi jalannya. Barada pun menepi tapi terus
melesat kencang, seolah ingin menyamai kecepatan sepeda motor.
Akhirnya Barada tiba di
depan gerbang perumahan tempat rumah Rina berada.
Prakr!
Ketika Barada berbelok
tanpa mengurangi kecepatan sepedanya hendak masuk ke jalan menuju gerbang
perumahan, sebuah mobil boks
juga berbelok agak kencang.
Kali ini kewaspadaan
Barada kurang fokus, sehingga depan mobil boks itu menabrak sepeda Barada dari samping.
Barada terlempar dan
berguling beberapa kali hingga terhenti tepat di bibir got, tapi tidak sampai
ada anggota tubuhnya yang masuk ke dalam got. Sementara sepedanya, tergeletak
di aspal dalam kondisi agak bengkok. Jelasnya, sulit untuk dipakai secara
normal lagi.
Mobil boks seketika berhenti
terkejut. Sopir dan kernetnya segera turun. Dua satpam di pintu masuk kompleks
segera datang ke lokasi kecelakaan. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar