Dua Hati di Awal Ramadan (Tamat)



Ilustrasi: Cincin nikah. (Orori.com)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:



Naina terus memutar dua roda kursi rodanya memasuki gerbang kecil berwarna hijau muda. Ketika ia membuka dan masuk, ia terperangah melihat keindahan taman bunga mawar berwarna putih yang mengapit satu jalan lurus yang berlapis aspal yang mulus.


“Ah!” pekik Naina terkejut saat tiba-tiba muncul seorang anak perempuan berjilbab kuning yang dengan mudahnya merebut cincin tunangannya dari jari tangannya.

Gadis kecil yang berusia sekitar sepuluh tahun itu lalu berlari sambil tertawa membawa pergi cincin emas milik Naina.

“Cincinku!” teriak Naina sambil respek hendak mengejar dengan bangkit dari kursi rodanya.

Namun, Naina tersungkur ke aspal. Kakinya masih terasa sakit. 

Cincin tunangan adalah benda yang sangat berharga bagi Naina, karena itu adalah pemberian dari Abduh, tunangannya. Adanya keinginan yang kuat untuk mendapatkannya kembali, memaksa Naina tetap berusaha bangun untuk mengejar, sementara anak itu semakin jauh menuju sebuah lorong.

Entah bagaimana, Naina faktanya bisa berdiri dan melangkah selangkah. Bahkan Naina sendiri merasa heran. Ketika ia bisa berjalan tiga langkah, ia coba untuk berlari. Dan dengan senangnya ia berlari saat dirinya memang bisa berlari.

Maka, Naina pun berlari kencang mengejar anak perempuan yang semakin menjauh. Dengan rasa terkejut bercampur senang, Naina bisa terbang. Ia terus terbang mengejar anak perempuan itu, tapi gadis kecil itu telah menghilang masuk ke dalam lorong.

Dengan sendirinya, tubuh Naina turun ke mulut lorong yang di dalamnya ada cahaya lampu yang terang. Naina tanpa pikir panjang berjalan masuk. Rasa senang yang lain melanda hati Naina saat melihat sepanjang lorong berderet pakaian long dress berwarna putih. Ada pula deretan jilbab berwarna-warni. Jumlahnya banyak.

Seketika Naina lupa tentang cincinnya. Dengan gembiranya dia melihat-lihat koleksi pakaian indah itu. Hingga akhirnya, Naina memilih satu set pakaian muslimah. Tapi Naina jadi bingung ketika ia berniat membayarnya. Selain ia tidak memiliki uang, di tempat itu tidak ada orang lain selain dirinya.

“Naina!”

Tiba-tiba Naina mendengar seseorang memanggil namanya.

“Naina!”

Panggilan kedua ternyata menyadarkan pendengaran dan pikiran Naina bahwa ia sedang bermimpi, tapi sepasang kelopak matanya masih terpejam.

“Naina!”

Panggilan yang ketiga begitu jelas menyadarkannya bahwa ia sudah terbangun dari mimpi dan ada seorang lelaki yang menyebut namanya.

Naina membuka sepasang kelopak matanya. Pandangannya seketika tertumpu pada sewajah yang sangat dikenalnya, yaitu wajah pria yang meski sudah memutuskannya, tapi ia sangat cintai. Abduh telah duduk tepat di sisi ranjang Naina.

Wajah pemuda tampan itu tampak sudah menangis. Rasa cintanya yang tinggi kepada Naina membuatnya tidak tahan melihat kondisi gadis cantik berjilbab itu. Gadis itu kini berbaring dalam kondisi kaki yang cacat.

“Abang,” sebut Naina terkejut, suaranya pelan tapi terdengar jelas oleh Abduh.

“Naina!” sebut Abduh sumringah bercampur sedih penuh penyesalan.

“Kenapa Abang menangis di depan Naina?” tanya Naina lembut dengan ekspresi turut sedih.

“Abang meminta keikhlasan Naina atas kezaliman Abang terhadap Naina,” kata Abduh penuh harap. “Abang begitu tersiksa karena kajahatan Abang kepadamu. Abang tidak habis pikir, kenapa Abang sekejam ini? Kenapa Abang menyakiti dan menghancurkan perasaan wanita yang Abang anggap paling lembut dan ikhlas di dunia ini? Bagaimana bisa Abang tidak tahu bahwa Naina sedang terbaring sakit yang semuanya gara-gara Abang? Bagaimana ....”

Abduh berhenti berkata-kata, tangis pengakuan dan penyesalannya menjadi lebih hebat.

“Bagaimana, bagaimana Abang bisa begitu bodoh membuang keindahan dunia yang memberi harapan akhirat dan justru ... dan justru memilih emosi nafsu belaka?” kata Abduh dengan kata-kata yang dikuat-kuatkan hingga berwujud menjadi satu kalimat sempurna.

Ungkapan pengakuan dan penyesalan pemuda yang dicintainya itu membuat Naina jadi turut meneteskan air mata, sesuatu yang sulit keluar dari sepasang mata seorang Naina.

“Abang, berhentilah meratap,” kata Naina. “Abang telah membuat Naina menangis.”

“Naina mau memaafkan Abang?” tanya Abduh.

“Bagaimana Naina mau memaafkan Abang jika Naina merasa Abang tidak memiliki kesalahan sedikit pun terhadap Naina? Semua yang terjadi kepada Naina, semata-mata pemberian Allah. Dan apakah yang bukan merupakan suatu kebaikan, jika itu datangnya dari Allah? Bukankah dulu Abang mengatakan ilmu itu kepada Naina?” ujar Naina begitu bijak. “Jika Abang merasa ada kesalahan Abang terhadap Naina yang tidak Naina rasakan, tentunya dengan penuh keikhlasan Naina akan maafkan.”

Alhamdulillah, alhamdulillah Allah mempertemukan hamba dengan seorang bidadari di bumi ini,” ucap Abduh tersenyum syukur. Ia lalu menyeka banjiran air matanya. Lalu tanyanya, “Apakah Naina masih mencintai Abang?”

Naina yang tidak lagi menangis, tersenyum begitu menyejukkan perasaan pemuda itu.

“Naina masih sangat menaruh cinta kepada Abang dan sangat berharap kepada Allah agar rida memberikan Abang sebagai imam bagi Naina. Namun, jika Allah tidak mengabulkan harapan Naina, tentunya Allah punya sesuatu yang lebih baik bagi Naina,” kata Naina.

“Maukah Naina menikah sungguhan dengan Abang?” tanya Abduh dengan mimik serius, sebab dalam hatinya ada rasa khawatir jika jawaban “tidak” yang terucap oleh lisan gadis itu.

Naina tersenyum begitu lebar lalu tertawa kecil, membuat Abduh pun turut tersenyum dan tertawa kecil, tapi mengandung keraguan dalam hati.

“Maafkan Naina, Bang,” ucap Naina setelah senyum dan tawanya reda.

Seketika Abduh berhenti tersenyum dan tertawa. Hatinya seketika syok mendengar jawaban itu. Dan seketika itu pula, harapannya meluncur terjun bebas ke alam yang penuh kegelapan tanpa terlihat ada dasarnya.

“Maafkan Naina, Bang. Naina tidak bisa,” kata Naina lagi, lalu diam menarik napas dalam-dalam, kian memporak-porandakan perasaan Abduh dalam hitungan kurang dari sedetik. Lalu lanjutnya, “Maafkan Naina, Bang. Naina tidak bisa menolak tawaran seperti itu dari dulu,” ucap Naina lagi dengan wajah yang tetap tanpa senyum sedikit pun.

Abduh terdiam seraya menatap tajam Naina, sebab sebelumnya Naina tidak pernah bercanda seperti itu kepadanya. Ditatap seperti itu, Naina hanya memberikan senyum yang kecil.

“Hahaha ...!”

Akhirnya meledaklah tawa Abduh, yang disusul oleh tawa Naina. 

Marni dan seorang wanita separuh baya yang sejak tadi berdiri di dekat pintu kamar, turut tertawa.

“Jadi kapan kita menikah, Bang?” tanya Naina.

“Besok,” jawab Abduh.

“Hah!” kejut Naina seakan tidak salah dengar. “Kapan, Bang?”

“Besok,” tegas Abduh.

“Hahaha!” 

Kali ini Naina yang tertawa lebar.

“Sebab Abang takut Allah memberikan cobaan seperti kemarin di hari-hari yang akan datang,” kilah Abduh.

“Dengan kaki yang masih seperti ini?” tanya Naina lagi.

“Ya,” jawab Abduh. “Kita sambut bulan suci Ramadhan dengan ikatan suci di antara kita.”

Maka, keesokan paginya, keduanya pun melakukan akad nikah. Naina menikah dengan kondisi terduduk cantik di kursi roda. (RH)

TAMAT




Tunggu Perdana!!!

RATU SUKU LIX



Tidak ada komentar:

Posting Komentar