Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Setelah izin kepada guru kelasnya, Lidya bergegas ke
toilet sekolah khusus untuk siswi. Sesuatu yang tidak normal dialami oleh tubuh
Lidya. Tangan kirinya memegangi perut, sedangkan tangan kanannya membekap
mulutnya sendiri, seolah menahan sesuatu yang hendak termuntahkan. Wajah
bersihnya memerah.
Seorang guru lelaki yang tidak begitu Lidya kenal
sempat berpapasan di tikungan. Guru itu hanya memperhatikan curiga hingga Lidya
hilang di balik tembok. Karena kurang mengenalnya, sang guru pun berlalu pergi.
Di toilet, Lidya hanya bertemu dengan seorang siswi
dari kelas lain. Lidya langsung masuk ke salah satu kamar yang ada.
“Hoekh!”
Terdengar suara muntah dari dalam.
Yayasan Karya Nusa adalah sekolah besar dengan jumlah
murid terbanyak di Indonesia. Sekolah ini harus menyediakan delapan unit blok
toilet. Tiga blok untuk siswa, tiga blok untuk siswi, satu blok untuk guru pria
dan satu blok untuk guru wanita. Masing-masing blok menyediakan enam kamar.
Lidya adalah siswi kelas 11B. Sosoknya yang bersih dan
cantik serta supel, memposisikan dirinya sebagai primadonanya kelas 11B.
Tingkat kecerdasannya mampu bersaing dalam lima besar di kelasnya. Kesupelannya
dalam bergaul, membuatnya jadi target pemburu cinta belia, baik siswa setingkat
kelas 11 atau pun kakak kelasnya.
Dari sekian banyaknya pria yang mendaftar kepadanya,
Lidya akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Alvin Nugraha, kakak kelasnya di 12C.
Alvin adalah pemuda tampan yang jadi rebutan para siswi, putra pengusaha mebel.
Tunggangannya adalah Toyota Corolla Altis keluaran 2017 warna biru.
Kembali ke kamar toilet.
Hanya cairan bening dan kental yang keluar dari
muntahan Lidya yang beberapa kali. Parasnya memerah dan sepasang matanya merah
berair. Disiramnya closet tempat
muntahannya terbuang. Rasa mualnya mulai berkurang. Dikeluarkannya tisu dari
saku rok abu-abunya guna membersihkan wajah cantiknya.
Tiba-tiba suara lagu dari Shakira yang berjudul Waka
Waka, lagu Piala Dunia 2010 di Afrika, terdengar memenuhi ruang sempit itu.
Lidya segera merogoh sakunya, tempat ia mengantongi ponselnya. Ia segera
melihat siapa yang telah meneleponnya. Oh, rupanya Alvin, sang kekasih. Hari
itu Alvin memang tidak masuk sekolah.
“Hallo, Vin?” sapa Lidya lemah.
“Lid, saya Beno!” seru suara lelaki di dalam ponsel.
Beno? Oh ya, Lidya kenal Beno, siswa dari SMA Harapan
Bangsa, salah satu sahabat kental Alvin.
“Ada apa, Ben? Kenapa hp Alvin kamu yang pegang?” tanya
Lidya.
“Sorry, Lid,”
ucap Beno bernada gugup dan agak panik.
Nada itu membuat Lidya curiga.
“Memangnya kenapa?” tanya Lidya dengan nada naik satu
oktaf.
“Sebenarnya berat bagi saya menyampaikan ke kamu, Lid.
Tapi, kamu harus tahu tentang ....”
“Memangnya ada apa? Alvin kenapa, Ben?” tanya Lidya
mendesak Beno untuk cepat bicara langsung ke permasalahan.
Seketika itu pula terlintas hal-hal buruk di dalam
benak Lidya tentang Alvin. Kekhawatirannya muncul, membuatnya mulai panik.
Sementara di ujung telepon, Beno terdengar kian gugup, seolah ia juga
kebingungan untuk bicara tepat.
“Iya, Lid. Ini tentang Alvin,” kata Beno lagi.
“Alvin ditangkap?” terka Lidya akhirnya. Wajahnya
benar-benar memucat. Air matanya yang tadi surut, kini meluap kembali dan
bertahan di tepian lingkar matanya, seolah ragu untuk terjun meluncur ke pipi
halusnya.
Lidya sangat kenal dengan Alvin. Ketika terakhir ia
meneleponnya, Alvin sedang “musyawarah di atas awan” bersama sahabat-sahabat
seperjuangannya di rumah Aldi alias Tompel. Lidya mengerti maksud kalimat
“musyawarah di atas awan”.
“Alvin tidak tertangkap, kok,” jawab Beno.
“Dia main sama perempuan lain?” terka Lidya lagi.
“Tapi, Alvin mati ditembak polisi,” jawab Beno pada
akhirnya.
Jlegarr!
Petir langsung menyambar di atas kepala Lidya. Apa-apa
yang ada di dalam otaknya seketika semuanya terbanting hancur ke lantai WC.
Darahnya berhenti mengalir dan pipa pernapasannya pun tersumbat. Rongga dadanya
serasa tertindih reruntuhan beton.
Kaki Lidya seketika gontai. Punggungnya terhempas ke
dinding lalu tubuhnya jatuh tersurut turun. Bibir indahnya hanya bisa bergetar,
memberi irama kehancuran jiwa yang dahsyat dan kejam. Pandangannya pun menembus
tembok menatap kegelapan arah. Hatinya hancur terjun bebas ke jurang dan hancur
lumat di dasarnya.
Ponsel yang masih terpegang di tangan kanan, sudah
tidak lagi menempel di telinga. Samar-samar masih terdengar suara Beno
berbicara menjelaskan apa yang terjadi terhadap Alvin.
“Waktu digerebek, Alvin melawan polisi pakai golok,
jadi ditembak ....”
Namun, suara Beno bagi Lidya, sudah tidak terdengar.
Prak!
Ponsel itu akhirnya dilempar kuat ke dinding lalu jatuh
tepat ke dalam lubang closet yang
menganga terbuka. Tangis Lidya pun tumpah ruah. Beramai-ramailah air bening itu
melompat terjun bebas di kedua pipi Lidya.
Sempurna sudah masalah yang diterima Lidya. Otaknya pun
telah buntu untuk mencari solusi. Hatinya telah kosong, karena isinya telah
terkuras bersama tumpahnya air mata.
Hancur hati dan hidup Lidya. Satu tiang harapan yang
menopangnya, akhirnya runtuh diguncang gempa takdir. Lidya telah terhimpit di
sudut kehancuran, jauh di dasar kekelaman. Ia tidak bisa keluar.
Namun, di dalam kebutaan hati, jiwa, pikiran dan mata
Lidya, ia kemudian melihat satu cahaya dari satu jalan. Dan ketika ia sadar
akan satu jalan itu, maka Lidya langsung bangkit membuka pintu toilet kemudian
berlari ke luar. Ia terus berlari membawa tangis, berlari naik dan terus naik,
hingga akhirnya tiba di atap gedung yang rata tanpa atap.
Di satu tempat hanya ada tempat duduk panjang dari
semen serta dilengkapi atap kecil secukupnya, hanya untuk meneduhi dua tempat
duduk semen itu dari sinar matahari.
Cerahnya langit dan damainya angin tidak mampu
mempengaruhi irama kelamnya hati Lidya. Hal yang ditatapnya adalah Jakarta yang
luas dengan ramainya jalan raya dan tinggi-tingginya gedung pencakar langit.
Lidya tidak mau duduk menikmati pemandangan hangat yang
ada. Lidya tidak tertarik untuk berteduh di bawah atap seraya menikmati
semilirnya angin ibu kota. Ia lebih tertarik untuk berjalan dan berdiri tepat
di pinggiran atap gedung. Dari titik itu, ia bisa lebih leluasa memandang ke
depan dan ke bawah sana. Di bawah, terhampar lapangan bersemen yang luas, tapi
sepi. Saat itu, semua warga sekolah berada di kelasnya masing-masing.
Kini, tinggal separuh telapak sepatu Lidya yang
menginjak tepian atap gedung. Oleng sedikit, Lidya akan terjun bebas tanpa
parasut. Detak jantung yang tadi berhenti, kini berlari kencang. Entah mengapa,
tidak ada rasa takut di hatinya berdiri di ketinggian lima lantai itu. Kini
Lidya bisa melihat “satu jalan” yang dimaksudnya, yaitu satu jalan pintas yang
bisa membawanya bebas dari segala permasalahan yang menghimpit hidupnya, yaitu
bunuh diri.
Tinggal menghitung mundur detik-detik melompatnya gadis
cantik belia itu.
“Lidya!”
Betapa terkejutnya Lidya saat ada suara yang menyebut
namanya dari belakang. Jantungnya nyaris copot. Namun, hal itu tidak membuatnya
meluncur jatuh. Ditengoknya ke belakang.
Ada seorang siswi berambut panjang, cantik berkulit
bersih berhidung mungil tapi mancung. Ia sudah duduk berteduh di kursi semen,
beberapa meter dari Lidya berdiri. Sikapnya santai, seolah-olah tidak terganggu
atau bermasalah jika Lidya berdiri di sana.
Lidya mengenal anak kelas 10A itu, karena ia cukup
populer di kalangan guru dan para siswa/siswi. Ia dikenal bernama Marli
Sisilia. Gadis bertubuh mungil itu dikenal sebagai anak orang kaya dan ibunya punya
kedudukan penting di yayasan pemilik sekolah tersebut.
“Kamu sedang apa, Lid?” tanya Marli, seolah tidak paham
dengan apa yang dilakukan Lidya dan apa risikonya.
“Saya mau lompat, saya mau mati!” jawab Lidya dengan
nada tinggi dan wajah bersimbah air mata.
“Emmm, sombong sekali,” kata Marli dengan mimik
mengejek.
Lidya hanya menatap gadis yang dua tahun lebih muda
darinya itu. Ia tidak paham maksud perkataan Marli.
“Memangnya kamu sudah punya bekal apa sampai
berani-berani menantang malaikat penjaga neraka? Jika kamu lompat, satu dua
tiga hitungan, urusan selesai. Empat lima enam, malaikat kubur menyiksa kamu.
Tujuh delapan sembilan, malaikat neraka menghabisi kamu. Sepuluh, kamu kekal di
neraka,” ujar Marli.
Lidya terdiam mendengar penuturan Marli yang begitu
santai.
“Tidak ada untungnya menjadi artis terkenal setelah
mati,” kata Marli lagi.
“Jangan mengejek saya, Mar!” teriak Lidya menghardik.
“Kamu tidak megerti apa yang saya rasakan, apa yang menimpa sasya. Saya begitu
menderita, Mar. Saya begitu tersiksa. Ayah, Ibu, kakak-kakak saya, sampai orang
yang saya cintai pun, hanya memberi kehancuran. Saya tidak tahan, Mar!”
“Mati justru awal penderitaan abadi buat kamu, jika
kamu mati bunuh diri!” debat Marli.
“Tidak, mati adalah akhir dari penderitaan saya. Saya
memang anak sial, perempuan sial! Huuu ...!” kata Lidya lalu tangisnya meledak
lagi.
Dari tangga, naik seorang murid lelaki berambut kering
berwarna kemerahan, sebab terlalu sering terjemur di bawah matahari. Ia
berwajah cukup tampan untuk ukuran lelaki berkulit sawo matang. Ia pun
berseragam putih abu-abu. Ia membawa sekantong gorengan di plastik putih
transparan. Ia bernama Arya Kalanbi, sahabat kental Marli dan teman sekelas.
“Hei!” teriak Arya begitu terkejut melihat seorang
siswi nekat berdiri di pinggir atap gedung. Arya kenal muka dengan siswi itu,
tapi tidak kenal nama. Buru-buru Arya
berlari ke arah Lidya sambil berteriak, “Hei! Jangan lompat, nanti jatuh!”
Tindakan Arya yang berlari mendekati Lidya, membuat
Marli terkejut pula. Buru-buru Marli melompat menyambar lengan Arya dan
menahannya agar tidak mendekati Lidya yang jadi panik juga.
“Lai, dia mau lompat bunuh diri!” teriak Arya marah,
karena merasa digagalkan oleh sahabatnya.
“Tapi tindakan kamu justru mempercepat dia melompat!”
bisik Marli geregetan kepada Arya.
“Lai! Dia lompat!” teriak Arya panik, tapi hanya
melotot saja melihat ke arah Lidya.
Kaki kanan Lidya sudah menginjak landasan hampa saat
Marli melihat ke arahnya. Tubuh Lidya pun bergerak miring perlahan menuju
posisi luncuran.
Posisi Marli yang cukup pas, bisa membuatnya langsung
bertolak berlari, lalu melompat seiring jatuhnya tubuh Lidya. Lompatan kucing
Marli mendarat tepat di bibir atap gedung. Separuh badan Marli keluar batas.
Tap!
Berhasil. Marli berhasil menangkap pergelangan tangan
Lidya. Namun, upaya penyelamatan itu belum berhasil, sebab tangkapan itu justru
membuat tubuh Marli ikut tertarik ke bawah.
“Lai ...!” pekik Arya terkejut dan cepat berlari ke
pinggir. (RH)
Berlanjut: Awal Persahabatan (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar