Prajurit Tiong Hua di Pesantren (3)

Karakter Xu Huang.
Novel: Ratu Suku Lix
Tahun 2017

Bab Sebelumnya:



Salah satu sudut kota Bogor.

Pondok Pesantren Ash-Shiroth diasuh seorang ulama terkemuka dan disegani oleh masyarakat luas. Kemasyhurannya sudah menasional berkat peran serta media.


K.H. Abdul Waro. Hampir semua kalangan mengenalnya. Kedalaman ilmunya, ketinggian wibawanya, kerendahan hatinya, dan keluwesan penyampaiannya, membuat tokoh ini banyak disukai dan digurui oleh umat Islam. Maka dampak gelombang keterkenalannya itu melahirkan kepadatan jadwal undangan yang mau tidak mau harus diseleksi. Hanya undangan-undangan yang bermaslahat besar bagi umat yang bisa dipenuhinya. Maka, adalah wajar jika lelaki usia 53 tahun ini, hanya dua hari berada di pesantrennya setiap dua pekan.

Kepadatan jadwal panggilan untuk berceramah dan sebagai narasumber di berbagai tempat, otomatis membuat Ketua Umum Forum Ulama Tanggap Umat (FUTU) ini berlimpah rezeki. Hal itu berdampak positif bagi perkembangan fisik Pondok Pesantren Ash-Shiroth.

Ribuan lebih santri yang terdaftar sebagai murid di ponpes yang memiliki dua gedung belajar mengajar tersebut. Ada pula dua gedung asrama para santri dan satu masjid besar yang dilengkapi dengan perpustakaan lengkap. Ditambah satu blok asrama untuk para pengajar plus kantor para ustaz dan ustazah. Keluasan lahan praktik perkebunan dan berternak menjadi aset besar ponpes ini.

Di salah satu tempat di kawasan lahan kosong untuk pertanian, sebanyak 60 santri pria bertebaran teratur di posisi yang sudah diarahkan oleh Ustaz Firman Ahmad. Semuanya berbekal cangkul.

Pesantren memiliki sebuah traktor untuk membajak tanah agar menjadi gembur. Namun sayang, saat ini si traktor sedang rusak parah. Perlu ganti beberapa suku cadang yang tidak murah harganya. Karena hal itulah, pagi ini para santri hanya berbekal cangkul untuk menggemburkan tanah.

Ustaz Firman juga membekali dirinya dengan sebuah cangkul. Sesekali ustaz berjenggot tipis itu memeriksa kerja murid-muridnya dalam cara mencangkul. Meski remeh, tapi mencangkul memiliki tekhnik sendiri.

Di sudut timur, santri yang bernama Afrizal sedang menertawakan temannya yang berposisi dua meter di samping kanannya. Temannya adalah seorang santri gemuk berkulit putih bersih berusia 21 tahun, seusia dengan Afrizal. Tampak wajahnya cemberut. Namanya Nitra. Sedangkan Afrizal sendiri adalah seorang pemuda berkulit sawo matang.

“Ayah mengirim saya ke sini bukan untuk mencangkul menjadi sapi pengolah tanah, Zal. Aduh, pinggangku!” keluh Nitra.

“Setidaknya antum (kamu) dididik belajar menjadi orang miskin, Nit,” timpal Afrizal. “Dan, belajar mengenali bahan rumah masa depan kita. Ana (saya) yakin, orang tua antum pasti senang jika tahu putranya sudah pandai mencangkul. Hahaha!”

Nitra berhenti sejenak. Tangan kiri pegangi cangkul, sementara tangan kanan pegangi pinggang. Wajah berpeluhnya mengerenyit. Ditengoknya Afrizal yang terus mengayunkan cangkulnya lalu ditarik membongkar tanah.

“Nit, antum sudah hafal tiga hadits yang ditugaskan Ustaz Ridwan?” tanya Afrizal.

“Wadduh, Zal!” pekik Nitra panik. ”Nanti sore ya hafalannya? Saya kira pekan depan. Saya baru hafal satu hadits, itu terkadang samar-samar. Antum sudah hafal berapa, Zal?”

“Tiga, semuanya diriwayatkan oleh Bukhari,” jawab Afrizal.

Tak!

Allahuakbar!” pekik Afrizal tiba-tiba sambil berhenti mencangkul.

Cangkul Afrizal sepertinya mengenai batu yang terkubur. Namun, tadi Afrizal sempat melihat percikan kembang api warna biru saat mata cangkul mengenai benda keras di dalam tanah. 

“Kenapa, Zal?” tanya Nitra tanpa bergeser dari tempat berdirinya.

Afrizal tidak langsung menjawab. Ia tarik cangkulnya dan melihat sisi tajam alatnya. Ternyata sisi tajam cangkul Afrizal rompal.

“Wah, cangkul ana rompal kena batu, Nit!” jawab Afrizal.

Nitra datang mendekat. Ia melihat mata cangkul Afrizal memang rompal. Pria gemuk itu pun tertawa.
Afrizal lalu berjongkok untuk melihat batu apa yang dicangkulnya. Ia bongkar tanah yang sudah tercangkul untuk melihat batu di baliknya.

“Apa ini?” ucap Afrizal pelan, penasaran. Setelah ia perhatikan batu yang ditemukannya, Afrizal mendadak tersenyum senang. “Nit! Ana dapat permata, harta karun!”

Batu yang ditemukan oleh Afrizal adalah sebuah batu bening mengkilap berwarna biru setebal dua jari. Batu biru bening sepanjang 10 cm itu seperti batu mulia permata atau sejenisnya.

Begitu senangnya, Afrizal langsung meraih batu biru itu dengan tangan kanannya. Ia ingin langsung tunjukkan kepada Nitra.

Zerzzz!

Suara aneh yang cukup keras terdengar hingga ke telinga Ustaz Firman dan seluruh santri yang sedang bekerja.

“Aaa!” jerit Nitra tinggi sambil sontak tubuhnya terjajar ketakutan dan jatuh terduduk dengan wajah pucat.

Sementara Ustaz Firman dan seluruh santri yang melihat kepada Afrizal, ternganga tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Subhanallah! Astaghfirullah! Allahuakbar!” ucap Ustaz Firman seketika di dalam keterkejutannya.
Astaghfirullah! Astaghfirullah! Astaghfirullah!” sebut seorang santri berulang-ulang dengan suara gemetar.

Na ‘udzubillah! Na ‘udzubillah! Na ‘udzubillahi minasysyaithanirrajiiim!” sebut yang lain membaca doa perlindungan dari setan.

Hal yang mereka saksikan adalah munculnya semburan sinar biru dari bawah kaki Afrizal yang menimbulkan suara keras. Sejenak sinar itu menutupi seluruh tubuh pemuda tersebut. Namun, ketika sinar biru itu lenyap, sosok Afrizal turut lenyap, tapi ada sosok asing yang menggantikannya. Sosok itulah yang membuat semuanya terkejut dan ketakutan.

Sosok asing itu adalah seorang lelaki tinggi gagah perkasa dengan tubuh yang tegap dan berotot bagus. Ia mengenakan pakaian perang kerajaan klasik Cina berwarna putih berlapis-lapis. Warna biru menghiasai tepiannya. Batang tangannya dibalut ketat dengan kain putih berhias lapisan logam pengaman. Baju yang tanpa lengan membuat dua lengan kekarnya telanjang. Kedua kakinya tertutup celana biru dan sepatu logam berleher panjang. Kepalanya ditutup dengan kain biru panjang yang diperkuat dengan ikat kepala berwarna emas. Wajahnya tampan, cukup jauh dari ketampanan Afrizal. Sepasang matanya agak sipit seperti etnis Tiong Hua. Batang lehernya terlihat begitu kokoh.

Ia adalah Dho Gho, seorang tokoh Harzai dari Dinasti Prajurit Fajar.

Sebagian santri segera berlari menjauhi tempat itu karena takut. Selebihnya tetap di tempatnya, tapi bergerak merapat berkumpul satu. 

Sementara Ustaz Firman Ahmad memerlukan diri untuk mendekati sosok Dho Gho. Nitra, orang yang tadi paling dekat dengan posisi Afrizal, sudah berlari menjauh bergabung dengan teman-temannya yang lain.

Mereka melihat, sosok asing dan aneh itu berdiri memperhatikan dirinya dengan wajah kebingungan dan panik.

“Ustaz! Ustaz! Kenapa ana?!” teriak Dho Gho dengan suara milik Afrizal. Ia berlari ke arah Ustaz Firman seraya bertanya.

Bdak!

Yallah!” pekik Ustaz firman ketika tubuh besar Dho Gho berlari sekencang mobil dan menabraknya.
Tubuh ustaz berusia 32 tahun itu terpental sejauh 4 meter.

Blugk!

“Akh! Innalillahi!” jerit Ustaz Firman kesakitan.

“Ustaz!” pekik para santri terkejut, lalu beramai-ramai mendatangi tubuh guru mereka.

Ustaz Firman hanya menyebut nama Allah seraya mengerenyit menahan sakit. Ia tidak bisa bangun, tulang pungguhnya mungkin ada yang patah.

“Cepat beri tahu Dewan Asatiz!” perintah Ustaz Firman kepada santrinya.

Maka, dua orang santri segera berlari pulang menuju gedung ponpes.

Dho Gho datang dengan wajah menyesal dan bingung.

“Maafkan ana, Ustaz! Ana tidak bermaksud menyerang Ustaz. Ana tidak tahu!” kata Dho Gho berteriak sambil mendekati posisi Ustaz Firman.

“Cepat bawa Ustaz pergi!” perintah Ustaz Firman, sebelum ia ditinggal sendirian oleh para santri yang ketakutan.

Beberapa santri yang awalnya sudah siap kabur, buru-buru mengangkat tubuh Ustaz Firman yang tidak berdaya.

Innalillahi! Innalillahi!” ucap Ustaz saat sakit di tubuhnya meningkat karena digotong secara brutal oleh para santri yang ketakutan.

Tinggallah Dho Gho sendiri berteman cangkul-cangkul yang berserakan.

“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Siapa ana ini? Siapa ana?” tanya Dho Gho bingung dan kembali memeriksan tubuhnya. Tubuh itu jelas-jelas bukan tubuhnya, itu tubuh orang asing.


Berlanjut: Ilmu Sesat (4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar