Karakter Xu Huang. |
Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Salah satu sudut kota Bogor.
Pondok Pesantren Ash-Shiroth diasuh seorang ulama
terkemuka dan disegani oleh masyarakat luas. Kemasyhurannya sudah menasional
berkat peran serta media.
K.H. Abdul Waro. Hampir semua kalangan mengenalnya. Kedalaman
ilmunya, ketinggian wibawanya, kerendahan hatinya, dan keluwesan
penyampaiannya, membuat tokoh ini banyak disukai dan digurui oleh umat Islam.
Maka dampak gelombang keterkenalannya itu melahirkan kepadatan jadwal undangan
yang mau tidak mau harus diseleksi. Hanya undangan-undangan yang bermaslahat
besar bagi umat yang bisa dipenuhinya. Maka, adalah wajar jika lelaki usia 53
tahun ini, hanya dua hari berada di pesantrennya setiap dua pekan.
Kepadatan jadwal panggilan untuk berceramah dan
sebagai narasumber di berbagai tempat, otomatis membuat Ketua Umum Forum Ulama
Tanggap Umat (FUTU) ini berlimpah rezeki. Hal itu berdampak positif bagi
perkembangan fisik Pondok Pesantren Ash-Shiroth.
Ribuan lebih santri yang terdaftar sebagai murid di
ponpes yang memiliki dua gedung belajar mengajar tersebut. Ada pula dua gedung
asrama para santri dan satu masjid besar yang dilengkapi dengan perpustakaan
lengkap. Ditambah satu blok asrama untuk para pengajar plus kantor para ustaz
dan ustazah. Keluasan lahan praktik perkebunan dan berternak menjadi aset besar
ponpes ini.
Di salah satu tempat di kawasan lahan kosong untuk
pertanian, sebanyak 60 santri pria bertebaran teratur di posisi yang sudah
diarahkan oleh Ustaz Firman Ahmad. Semuanya berbekal cangkul.
Pesantren memiliki sebuah traktor untuk membajak
tanah agar menjadi gembur. Namun sayang, saat ini si traktor sedang rusak
parah. Perlu ganti beberapa suku cadang yang tidak murah harganya. Karena hal
itulah, pagi ini para santri hanya berbekal cangkul untuk menggemburkan tanah.
Ustaz Firman juga membekali dirinya dengan sebuah
cangkul. Sesekali ustaz berjenggot tipis itu memeriksa kerja murid-muridnya
dalam cara mencangkul. Meski remeh, tapi mencangkul memiliki tekhnik sendiri.
Di sudut timur, santri yang bernama Afrizal sedang
menertawakan temannya yang berposisi dua meter di samping kanannya. Temannya
adalah seorang santri gemuk berkulit putih bersih berusia 21 tahun, seusia
dengan Afrizal. Tampak wajahnya cemberut. Namanya Nitra. Sedangkan Afrizal
sendiri adalah seorang pemuda berkulit sawo matang.
“Ayah mengirim saya ke sini bukan untuk mencangkul
menjadi sapi pengolah tanah, Zal. Aduh, pinggangku!” keluh Nitra.
“Setidaknya antum
(kamu) dididik belajar menjadi orang miskin, Nit,” timpal Afrizal. “Dan,
belajar mengenali bahan rumah masa depan kita. Ana (saya) yakin, orang tua antum
pasti senang jika tahu putranya sudah pandai mencangkul. Hahaha!”
Nitra berhenti sejenak. Tangan kiri pegangi cangkul,
sementara tangan kanan pegangi pinggang. Wajah berpeluhnya mengerenyit.
Ditengoknya Afrizal yang terus mengayunkan cangkulnya lalu ditarik membongkar
tanah.
“Nit, antum
sudah hafal tiga hadits yang ditugaskan Ustaz Ridwan?” tanya Afrizal.
“Wadduh, Zal!” pekik Nitra panik. ”Nanti sore ya
hafalannya? Saya kira pekan depan. Saya baru hafal satu hadits, itu terkadang
samar-samar. Antum sudah hafal
berapa, Zal?”
“Tiga, semuanya diriwayatkan oleh Bukhari,” jawab
Afrizal.
Tak!
“Allahuakbar!”
pekik Afrizal tiba-tiba sambil berhenti mencangkul.
Cangkul Afrizal sepertinya mengenai batu yang
terkubur. Namun, tadi Afrizal sempat melihat percikan kembang api warna biru
saat mata cangkul mengenai benda keras di dalam tanah.
“Kenapa, Zal?” tanya Nitra tanpa bergeser dari
tempat berdirinya.
Afrizal tidak langsung menjawab. Ia tarik cangkulnya
dan melihat sisi tajam alatnya. Ternyata sisi tajam cangkul Afrizal rompal.
“Wah, cangkul ana
rompal kena batu, Nit!” jawab Afrizal.
Nitra datang mendekat. Ia melihat mata cangkul
Afrizal memang rompal. Pria gemuk itu pun tertawa.
Afrizal lalu berjongkok untuk melihat batu apa yang
dicangkulnya. Ia bongkar tanah yang sudah tercangkul untuk melihat batu di
baliknya.
“Apa ini?” ucap Afrizal pelan, penasaran. Setelah ia
perhatikan batu yang ditemukannya, Afrizal mendadak tersenyum senang. “Nit! Ana dapat permata, harta karun!”
Batu yang ditemukan oleh Afrizal adalah sebuah batu
bening mengkilap berwarna biru setebal dua jari. Batu biru bening sepanjang 10
cm itu seperti batu mulia permata atau sejenisnya.
Begitu senangnya, Afrizal langsung meraih batu biru
itu dengan tangan kanannya. Ia ingin langsung tunjukkan kepada Nitra.
Zerzzz!
Suara aneh yang cukup keras terdengar hingga ke
telinga Ustaz Firman dan seluruh santri yang sedang bekerja.
“Aaa!” jerit Nitra tinggi sambil sontak tubuhnya
terjajar ketakutan dan jatuh terduduk dengan wajah pucat.
Sementara Ustaz Firman dan seluruh santri yang
melihat kepada Afrizal, ternganga tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Subhanallah!
Astaghfirullah! Allahuakbar!” ucap Ustaz Firman seketika di dalam
keterkejutannya.
“Astaghfirullah!
Astaghfirullah! Astaghfirullah!” sebut seorang santri berulang-ulang dengan
suara gemetar.
“Na
‘udzubillah! Na ‘udzubillah! Na ‘udzubillahi minasysyaithanirrajiiim!”
sebut yang lain membaca doa perlindungan dari setan.
Hal yang mereka saksikan adalah munculnya semburan
sinar biru dari bawah kaki Afrizal yang menimbulkan suara keras. Sejenak sinar
itu menutupi seluruh tubuh pemuda tersebut. Namun, ketika sinar biru itu
lenyap, sosok Afrizal turut lenyap, tapi ada sosok asing yang menggantikannya.
Sosok itulah yang membuat semuanya terkejut dan ketakutan.
Sosok asing itu adalah seorang lelaki tinggi gagah
perkasa dengan tubuh yang tegap dan berotot bagus. Ia mengenakan pakaian perang
kerajaan klasik Cina berwarna putih berlapis-lapis. Warna biru menghiasai
tepiannya. Batang tangannya dibalut ketat dengan kain putih berhias lapisan
logam pengaman. Baju yang tanpa lengan membuat dua lengan kekarnya telanjang.
Kedua kakinya tertutup celana biru dan sepatu logam berleher panjang. Kepalanya
ditutup dengan kain biru panjang yang diperkuat dengan ikat kepala berwarna
emas. Wajahnya tampan, cukup jauh dari ketampanan Afrizal. Sepasang matanya
agak sipit seperti etnis Tiong Hua. Batang lehernya terlihat begitu kokoh.
Ia adalah Dho Gho, seorang tokoh Harzai dari Dinasti
Prajurit Fajar.
Sebagian santri segera berlari menjauhi tempat itu
karena takut. Selebihnya tetap di tempatnya, tapi bergerak merapat berkumpul
satu.
Sementara Ustaz Firman Ahmad memerlukan diri untuk
mendekati sosok Dho Gho. Nitra, orang yang tadi paling dekat dengan posisi
Afrizal, sudah berlari menjauh bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Mereka melihat, sosok asing dan aneh itu berdiri
memperhatikan dirinya dengan wajah kebingungan dan panik.
“Ustaz! Ustaz! Kenapa ana?!” teriak Dho Gho dengan suara milik Afrizal. Ia berlari ke
arah Ustaz Firman seraya bertanya.
Bdak!
“Yallah!”
pekik Ustaz firman ketika tubuh besar Dho Gho berlari sekencang mobil dan
menabraknya.
Tubuh ustaz berusia 32 tahun itu terpental sejauh 4
meter.
Blugk!
“Akh! Innalillahi!”
jerit Ustaz Firman kesakitan.
“Ustaz!” pekik para santri terkejut, lalu
beramai-ramai mendatangi tubuh guru mereka.
Ustaz Firman hanya menyebut nama Allah seraya
mengerenyit menahan sakit. Ia tidak bisa bangun, tulang pungguhnya mungkin ada
yang patah.
“Cepat beri tahu Dewan Asatiz!” perintah Ustaz
Firman kepada santrinya.
Maka, dua orang santri segera berlari pulang menuju
gedung ponpes.
Dho Gho datang dengan wajah menyesal dan bingung.
“Maafkan ana,
Ustaz! Ana tidak bermaksud menyerang
Ustaz. Ana tidak tahu!” kata Dho Gho
berteriak sambil mendekati posisi Ustaz Firman.
“Cepat bawa Ustaz pergi!” perintah Ustaz Firman,
sebelum ia ditinggal sendirian oleh para santri yang ketakutan.
Beberapa santri yang awalnya sudah siap kabur,
buru-buru mengangkat tubuh Ustaz Firman yang tidak berdaya.
“Innalillahi!
Innalillahi!” ucap Ustaz saat sakit di tubuhnya meningkat karena digotong
secara brutal oleh para santri yang ketakutan.
Tinggallah Dho Gho sendiri berteman cangkul-cangkul
yang berserakan.
“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Siapa ana ini? Siapa ana?” tanya Dho Gho bingung dan kembali memeriksan tubuhnya. Tubuh
itu jelas-jelas bukan tubuhnya, itu tubuh orang asing.
Berlanjut: Ilmu Sesat (4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar