Martabak 1001 Rasa (5)


Novel: Ratu Suku Lix
Tahun 2017

Bab Sebelumnya:


Taksi biru itu berhenti di depan sebuah rumah besar yang pintu gerbang halaman luasnya terbuka lebar. Di sisi kanan ada garasi dan pintu utama rumah. Di sisi kiri adalah kios martabak. Di atas kios terdapat tulisan besar “Martabak 1001 Rasa” dan tulisan lebih kecil berbunyi “melayani pesanan dan mengantar tepat waktu”. Tulisan itu juga dihiasi berbagai foto-foto nyata martabak yang terlihat lezat dengan berbagai rasa, seolah gambarnya sudah mewakili kelezatan rasanya.


Kios martabak itu berpenampilan bersih. Ada dua juru masak yang keduanya lelaki. Satu orang wanita bagian pengepakan, dua orang wanita bagian melayani pelanggan dan pemesanan, satu orang wanita bagian kasir. Sebagaimana gambar yang dipamerkan di bagian atas kios, warung martabak itu memang menyediakan martabak berbagai macam rasa dan jenis, meskipun tidak sampai 1001 rasa.

Dari dalam taksi turunlah seorang pemuda cukup tampan berpakaian rapi dengan kemeja biru lengan panjang. Pemuda itu tidak lain adalah Afrizal, santri Ponpes Ash-Shiroth. Ia membawa tas tenteng yang cukup besar berisi pakaian.

Afrizal langsung menuju ke kios martabak. Pelayan cantik berseragam kuning langsung menyambut dengan senyum manis dan pertanyaan.

“Mau pesan yang mana, Mas?” tanya si gadis pelayan.

“Saya mau bertemu Pak Ringgo, Mbak. Pak Ringgonya ada?” jawab Afrizal yang tidak memakai kata “ana” untuk menyebut kata “saya”. Menurutnya ia harus membedakan beberapa kata antara di lingkungan pesantren dan lingkungan umum.

“Si mas ini siapa ya?” tanya si gadis lagi.

“Saya Afrizal, keponakan Pak Ringgo.”

“Tunggu, ya,” kata si gadis pelayan, kemudian menghampiri temannya yang duduk di kursi kasir. Lalu katanya, “Namanya Afrizal, mau bertemu Bos. Katanya keponakannya.”

Perempuan kasir yang juga berseragam kuning itu segera mengangkat gagang telepon di meja. Ia hanya menekan dua angka. Setelah menunggu sejenak, ia pun berbicara di telepon.

“Ada pemuda mengaku keponakan Bapak. Namanya Afrizal, Pak,” lapor gadis kasir yang bernama Warsinah. Sejenak ia diam mendengar. Lalu katanya lagi, “Baik, Pak.”

Warsinah meletakkan teleponnya.

“Ni, kata Bos, suruh tunggu di teras,” kata Warsinah kepada temannya.

Pelayan cantik bernama Marni segera kembali menemui Afrizal di sisi lain.

“Mas Afrizal diminta menunggu di teras,” kata Marni lalu menunjuk ke arah garasi. Di sana memang ada teras pendek, tempat pintu utama rumah berada.

“Terima kasih, Mbak.”

Afrizal pun beranjak pergi. Marni segera beralih untuk melayani seorang pelanggan yang baru datang.

Setelah sosok Dho Gho kembali ke wujud Afrizal, anak muda yang sudah tidak beribu dan bapak ini langsung diringkus dan dilumpuhkan oleh Ustaz Kholil dan Ustaz Rusdi. Dengan sosok normal, Afrizal tidak bisa melawan seperti sosok Dho Gho.

Afrizal harus menjalani hukuman kurungan kamar selama sehari. Setelah disidang oleh Dewan Asatid, akhirnya diputuskan untuk me-ruqyah Afrizal, karena pemuda itu dianggap mempelajari ilmu sesat. Afrizal pun setuju untuk diterapi.

Di bawah pengawasan Pimpinan Ponpes Ash-Shiroth K.H. Abdul Waro, Afrizal menjalani terapi ruqyah. Dalam terapi itu, Afrizal dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Biasanya, orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu berunsur bantuan jin, akan merasakan satu reaksi tak wajar di dalam tubuhnya saat mendengar bacaan Al-Quran, terutama surat dan ayat-ayat khusus.

Setelah melakukan ruqyah hingga bebeberapa jam, ternyata Afrizal tidak menunjukkan reaksi apapun di dalam dirinya. Bacaan ayat-ayat suci tidak membuatnya merasakan pusing, mual-mual atau menjerit-jerit seperti orang kesurupan sebagaimana gejala yang biasa ditunjukkan oleh pasien ruqyah. Hal itu seolah membuktikan bahwa dalam diri Afrizal tidak terdapat ilmu hitam.

Akhirnya, K.H. Abdul Waro memutuskan untuk mengusir Afrizal karena tetap dianggap mempelajari ilmu sesat dan sangat berbahaya.

Tidak ada bapak, tidak ada ibu lagi, Afrizal pun memutuskan pergi ke kediaman kerabat terdekat. Kerabat yang terdekat posisinya dengan Ponpes Ash-Shiroth adalah pamannya, adik dari ibunya, yaitu Ringgo Aditya.

Setelah menunggu tidak sampai lima menit, pintu rumah dibuka dari dalam. Muncullah seorang lelaki berkulit putih bersih berperawakan kurus dan memelihara kumis. Ia mengenakan T-Shirt putih berkerah yang di bagian dadanya ada bordiran kepala kuda. Di pinggangnya menempel dua sarang ponsel yang masing-masing ada isinya. Dialah Ringgo Aditya, usianya 45 tahun.

Assalamu ‘alaikum, Om!” salam Afrizal yang langsung mengenali. Ia langsung menyalim tangan pamannya.

“Afrizal?” terka Ringgo memastikan, karena sebelumnya ia sudah diberi tahu siapa tamunya yang datang.

“Iya, Om,” jawab Afrizal seraya tersenyum dan mengangguk.

“Wah wah wah, sudah dewasa dan ganteng,” puji Ringgo seraya tertawa kecil. “Ayo masuk.”

Ringgo mengajak Afrizal masuk ke ruang tamu yang ber-AC. Ruang tamu itu cukup luas dengan berbagai perlengkapan dan hiasan yang serba wah.

“Jangan sungkan, Zal. Anggap rumah sendiri. Ayo duduk.”

Dari ruang dalam, muncul berlari kecil seorang wanita berusia 37 tahun berkebaya kuning. Namanya Aniyah, pembantu di rumah itu.

“Bi Iyah, bawakan tas Afrizal ke kamar Edo. Bawakan minum!” perintah Ringgo kepada pembantunya.

“Baik, Pak.”

Aniyah lalu mengambil alih tas Afrizal dan membawanya pergi.

“Kamu sedang libur?” tanya Ringgo kepada Afrizal yang memandangi foto besar yang menempel di dinding ruangan.

“Tidak, Om. Saya diusir dari pesantren....”

“Diusir?” kejut Ringgo.

“Iya. Saya difitnah mempelajari ilmu hitam. Akhirnya saya ke mari. Mungkin Om bisa mendapatkan pekerjaan untuk saya?” ujar Afrizal.

“Hal pekerjaan ada, tapi kamu tidak memiliki ilmu hitam, kan?”

“Tidak, Om. Demi Allah.”

“Om juga yakin, kamu tidak mungkin percaya hal-hal yang demikian. Kamu bisa naik motor?”

“Bisa.”

“Om kebetulan perlu kurir tambahan untuk mengirimkan martabak-martabak pesanan khusus. Harus tepat waktu. Tentunya di pesantren sangat ditekankan tentang kedisiplinan, jadi Om rasa kamu bisa menjadi pengantar yang tepat waktu. Usaha martabak pesan kirim Om semakin diminati dan terus berkembang. Sekarang saja Om punya empat cabang. Nanti Om berikan hp yang bisa membantu kamu untuk mengirim paketnya. Dengan itu kamu bisa dimudahkan dengan peta.”

“Terima kasih, Om, terima kasih!” ucap Afrizal begitu senang.

Melihat Afrizal memandangi sebuah foto besar lain di dinding, Ringgo pun berkata, “Itu Alice, anak kesayangan Om. Nanti kamu akan sering bertemu dengannya, sebab kamarnya di depan kamar Edo yang kamu tempati.”

Di foto besar itu, Ringgo berdiri merangkul bahu seorang gadis cantik. Keduanya sama-sama tersenyum bahagia.

“Edo sendiri ke mana, Om?” tanya Afrizal lagi. Ia hanya mengetahui bahwa pamannya itu memiliki putra yang lebih tua darinya, yaitu Edo Ragia.

“Sudah dua tahun sekolah di Australia.”

“Lalu Tante Lusy ke mana, Om? Kok tidak muncul sejak tadi?” tanya Afrizal lagi.

Ringgo hanya tertawa kecil dan santai. Lalu katanya dengan enteng, “Itu masa lalu, Zal. Om lebih ringan hati sendiri membesarkan dua anak.”

Afrizal manggut-manggut tanda paham. Dari dalam muncul Aniyah yang membawa minuman dan toples berisi kue kering.

“Diminum, Zal!” suruh Ringgo usai Aniyah meletakkan bawaannya di meja depan Afrizal. “Besok pagi kamu mulai bekerja, tapi bukan di kios depan, melainkan di cabang dua.” (RH)


Berlanjut: Kurir Pesanan Khusus (6)


3 komentar:

  1. bolavita agen Slot Online terpercaya degan bonus dan pelayanan terbaik

    Ayo segera daftarkan menjadi angota baru bolavita hanya modal 50 rbu
    bisa jadi jutawan hanya ada di bolavita.club

    hanya dengan mebuktikan sendiri baru akan percya ayo segera daftar y tunngu ya
    degan pelayanan 24 jam yg sangat ramah dan baik

    Bonus cash back 10% untuk setiap member

    ayo segera daftar dan buktikan sendiri
    info lbh lanjut:

    whatup : +62812-2222-995

    BalasHapus