Ilustrasi: kurir. (Foto: Kepooo.id) |
Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Keesokan paginya, Afrizal akan melakoni peran awalnya sebagai kurir
martabak. Pagi-pagi ia harus sudah rapi, sebab Ringgo akan mengantarnya ke
tempat kerja.
Setelah mematut dirinya di cermin dan yakin sudah rapi, segera Afrizal
keluar dari kamar bagus milik Edo Ragia itu. Seiring keluarnya Afrizal dari
kamar, dari dalam kamar di depannya keluar pula seorang gadis cantik yang sudah
segar dan rapi. Gadis itu berambut pendek seatas bahu. Tangannya menenteng tas.
Ialah Alice Zarvia, anak kedua Ringgo yang hendak berangkat kuliah.
Afrizal lempar senyum ramah, tapi Alice tidak balas tersenyum sedikit
pun, dingin.
“Afrizal, ya?” tanya Alice menerka.
“Benar,” jawab Afrizal seraya tetap tersenyum.
“Setting-an kamar itu jangan
dirubah sedikit pun. Tidur ya tidur saja. Edo sangat tidak suka kalau setting-an kamarnya dirubah sedikit pun.
Suka dendam kalau pulang,” ujar Alice memperingatkan. “Hati-hati jika kerja
dengan Ayah.”
Alice lalu berlalu lebih dulu meninggalkan Afrizal. Pemuda yang usianya
lebih tua setahun dari Alice itu hanya bisa berpikiran positif, karena itulah
salah satu ilmu yang didapatnya di pesantren, meski pada akhirnya dia adalah
korban dari pikiran negatif dari para gurunya.
Afrizal segera beranjak dan turun, karena kamar itu memang terletak di
lantai dua.
Ternyata Ringgo sudah siap dan menunggu di teras. Alice masuk ke sedan
silver yang ia kendarai sendiri. Sedan biru lainnya sedang menunggu bersama
sopirnya yang bernama Pak Suro. Usianya bisa diterka dari warna rambutnya yang
disisir rapi, sudah banyak yang berwarna putih.
“Jam 10 pas pasti tiba. Yang mengantar kurir baru,” kata Ringgo yang
sedang bertelepon sambil berjalan ke sedan birunya. Sejenak ia diam, lalu
berbicara lagi, “Iya, iya. Oke. Saya siapkan.”
Setelah masuk ke mobil, barulah Ringgo mematikan ponselnya. Sebelum
Afrizal masuk ke mobil, Ringgo lebih dulu memberi isyarat agar Afrizal masuk
dan duduk di samping sopir. Sementara Alice sudah meluncur pergi bersama
mobilnya.
Tampak di sisi lain, seorang karyawan pria sedang membuka pintu kios
martabak. Tampak pula Warsinah dan Marni telah tiba untuk bekerja kembali.
Pak Suro mulai menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah lalu
meluncur pergi.
“Zal, kamu harus ingat, motto dari usaha Om ini adalah ‘Kami Antar Tepat
Waktu’. Perlu diperhatikan, segel kemasan martabak tidak boleh rusak sebelum
pesanan itu sampai ke pemesan. Jika segel sudah rusak sebelum tiba ke tangan
pembeli, maka wajib bagi kita mengganti dua kali lipat atau pesanan diterima
tanpa dibayar,” kata Ringgo dari belakang Afrizal.
Demikian salah satu pesan Ringgo kepada keponakannya itu saat meluncur
menuju lokasi kios martabak miliknya yang merupakan cabang kedua dari kios yang
ada di rumah.
Ternyata kios cabang kedua terletak di daerah pasar yang menghadap ke
jalan raya. Afrizal diperkenalkan sebagai kurir baru kepada para karyawan yang
berseragam merah. Para karyawan di kios yang tergolong besar tersebut dikepalai
oleh Surija. Ia adalah seorang pria gemuk berusia 40 tahun berkulit putih yang memelihara
kumis tebal tapi rapi, seolah tertata.
Kepada Afrizal dijelaskan, bila hendak mengantar pesanan khusus, Afrizal
akan menerima sendiri paket martabaknya dari Surija, bukan dari karyawan
pengepakan. Afrizal diberi motor khusus sebagai kurir. Namun, nama kios
martabak itu berbeda dengan yang di rumah Ringgo. Kios ini bernama “Martabak
Raja Rasa”.
Pukurl 09.30 WIB, Afrizal berangkat untuk melaksanakan tugas perdananya.
Berbekal aplikasi peta digital di ponsel barunya, Afrizal bisa melalui jalan
dengan tepat di ibu kota Indonesia itu. Pukul 09.50 WIB ia pun tiba ke alamat
pesanan, 10 menit lebih cepat. Tugas-tugas selanjutnya datang susul-menyusul.
Dengan berbekal pendidikan ilmu sabar, disiplin dan bekerja keras, Afrizal pun
menikmati dan menyelesaikan tugasnya dengan senang dan baik. Di hari
pertamanya, semua antara pesanan khusus sampai tepat waktu.
Belakangan Afrizal ketahui, ternyata ada perbedaan antara mengantar
pesanan biasa dengan pesanan khusus. Pengantar pesanan khusus pasti mendapat
uang tip jalan yang khusus untuk pengantar. Sedangkan pengantar pesanan biasa
tidak mendapat uang terima kasih.
Ketika Afrizal melaporkan tentang uang tip yang diterimanya di hari
pertama, Ringgo mengatakan bahwa uang itu hak pribadi Afrizal sebagai uang
jasa.
Tak terasa kemudian, Afrizal sudah melakoni kerjanya sebagai kurir
selama dua pekan. Kecerdasannya membuat ia cepat hafal jalan-jalan besar hingga
gang-gang kecil di ibu kota dan berbagai alamat. Kini ia sudah jarang memakai
bantuan peta lagi. Terlebih, untuk martabak pesanan khusus, pelanggannya selalu
sama dengan alamat yang sama.
Ringgo sendiri memuji cara kerja keponakannya yang bagus. Uang tip yang
banyak didapatnya, Afrizal tabung untuk masa depan. Ketika gaji pertamanya ia
terima, cukup memuaskan. Separuh ia masukkan ke dalam celengan macan besar yang
ia beli beberapa hari yang lalu.
Hari ini agak berbeda. Afrizal harus mengantarkan pesanan khusus yang
cukup banyak ke satu pemesan. Afrizal pun hati-hati dalam membawa kendaraannya.
Afrizal masuk ke kawasan kompleks perumahan elit. Ketika sudah berada di
jalan alamat yang ditujunya, Afrizal memelankan laju motornya. Ia memperhatikan
seksama nomor rumah satu per satu. Hingga akhirnya ia berhenti di depan gerbang
pagar sebuah rumah besar dan mewah, rumah yang lebih besar dari rumah pamannya.
Rumah bertingkat tiga itu berhalaman luas hingga bisa menampung lebih lima
mobil. Deretan motor-motor bagus pun terparkir di dalam halaman.
Sejenak Afrizal mengecek alamat yang ia pegang dan mencocokkan nomornya.
Memang benar, itulah rumahnya. Ia pun turun dari kendaraannya dan pergi menekan
bel yang ada.
“Siapa?”
Afrizal cukup terkejut mendengar suara perempuan yang bertanya sangat
dekat dengannya, tapi tidak ada orangnya. Ternyata suara itu bersumber dari speaker canggih yang tertanam di tembok
gerbang.
“Afrizal dari Martabak Raja Rasa, pesanan sampai!” kata Afrizal agak
berteriak sambil mendekatkan mulutnya ke speaker,
khawatir yang bertanya tidak mendengar jika bicara pelan.
“Tunggu sebentar,” kata si speaker.
Afrizal pun menunggu. Tidak berapa lama, pintu pagar itu terbuka sendiri
secara elektrik.
“Masuk!” perintah suara perempuan di dalam speaker.
Afrizal pun membawa masuk motornya yang penuh muatan. Kendaraannya ia
parkir tidak jauh di depan pintu rumah yang telah dibuka oleh dua oran lelaki
bertubuh besar.
Afrizal segera keluarkan kertas surat jalan untuk ditandatangani.
“Bantu bawa masuk dulu, baru nanti ditandatangani oleh Bos,” kata lelaki
besar yang batang tangan kanannya bertato ular.
“Iya, Pak,” kata Afrizal menurut.
Pesanan yang Afrial bawa lalu dibagi menjadi tiga tumpuk. Masing-masing
lalu membawa masuk satu tumpuk.
Suara hentakan musik terdengar menggebu-gebu full house. Semakin masuk, semakin keras dan jelas terdengar.
Afrizal kagum melihat kemewahan rumah besar itu. Mereka melewati sebuah
ruangan luas yang dipakai bermusik disko. Beberapa pasang lelaki dan perempuan
saling berjoget lupa daratan, seolah dunia hanya milik berdua. Gelas-gelas dan
botol-botol bir memenuhi atas meja-meja
yang ada.
“Astaghfirullah,” ucap Afrizal
pelan, nyaris tidak terdengar.
“Sudah datang martabaknya?” tanya seorang pemuda tampan berkulit putih
bersih, sambil keluar dari ruang pesta dan mengiringi ketiga pembawa martabak.
Pemuda yang telinga kanannya ditempeli anting berlian itu bernama Venus.
Para pembawa martabak keluar ke sebuah kolam renang besar dan bagus.
Bentuk kolam renang itu unik, berbentuk angka tiga raksasa.
Di pinggir kolam sebelah ujung, berkumpul beberapa lelaki sedang
menekuni sebuah meja dengan tatanan kartu remi di tangan. Selain kartu yang
berserakan di meja, ada pula tumpukan uang yang tidak sedikit jumlahnya.
Pemandangan itu membuat orang yang melihatnya akan menyimpulkan bahwa mereka
sedang berjudi.
Melihat kedatangan pesanan, seorang lelaki berkaos hitam polos menutup
kartunya di atas meja dan segera menyambut datangnya pesanan. Lelaki berusia 46
tahun itu bertubuh atletis dan berkulit putih bersih. Tampak kalung rantai emas
melilit ketat di lehernya. Ia bernama Garda Prabowo, bos besar sekaligus
pemilik rumah besar itu.
“Letakkan semuanya di meja ini!” perintah Garda sambil menunjuk sebuah
meja lain yang kosong.
Kotak-kotak martabak itupun diletakkan di atas meja yang dimaksud.
“Benar-benar pesta besar hari ini,” kata Venus girang.
“Bos, tanda tangan terima,” kata lelaki besar bertato ular.
Afrizal menyodorkan kertas surat tanda terima dan sebuah pena kepada
Garda.
“Jadi kamu keponakannya Ringgo?” tanya Garda sambil menerima kertas dan
pena itu. Di saat itu, pandangan Garda juga fokus kepada lengan kanan Afrizal.
Di balik kain lengan seragam Afrizal ada bias cahaya biru redup.
“Iya, Pak,” jawab Afrizal. Ternyata Afrizal juga melihat bayangan sinar
merah di balik kain lengan kanan baju Garda.
Sambil memberikan kembali kertas dan pena Afrizal, Garda memberikan lima
uang kertas seratus ribuan.
“Bukankah pembayarannya via transfer, Pak?” tanya Afrizal tanpa langsung
menerima uang itu.
“Ini uang tip buat kamu,” jawab Garda seraya tersenyum kecil.
“Tapi ini terlalu banyak, Pak,” kata Afrizal.
“Saya sedang pesta dan saya sedang senang. Ambil saja buat pacar kamu,”
kata Garda.
“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Afrizal seraya tersenyum senang dan
menerima uang itu. “Saya permisi, Pak.”
“Silakan.”
Afrizal berbalik pergi. Namun, ketika baru tujuh langkah Afrizal
berjalan pergi, tiba-tiba Garda berseru memanggil.
“Harzai!” seru Garda sambil memandang kepada Afrizal.
Namun, Afrizal yang mendengar panggilan itu tetap berjalan pergi tanpa
menengok, karena ia merasa bukan dirinya yang dipanggil.
Melihat Afrizal tidak menanggapi panggilannya, Garda lalu kembali ke
kursinya. Permainan kartunya kembali berlanjut.
“Anak itu seorang Harzai,” bisik Garda kepada lelaki botak plontos di
sebelahnya.
“Saya juga melihat tandanya,” kata lelaki botak berkemeja biru langit.
Usianya lebih tua dari Garda. Ia bernama Doni Sardi.
“Sepertinya dia Harzai kemarin sore yang masih lugu,” kata Garda.
“Atau dia hanya berpura-pura tidak mengerti,” timpal Doni. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar