Kurir Pesanan Khusus (6)

Ilustrasi: kurir. (Foto: Kepooo.id)


Novel: Ratu Suku Lix
Tahun 2017

Bab Sebelumnya:


Keesokan paginya, Afrizal akan melakoni peran awalnya sebagai kurir martabak. Pagi-pagi ia harus sudah rapi, sebab Ringgo akan mengantarnya ke tempat kerja.

Setelah mematut dirinya di cermin dan yakin sudah rapi, segera Afrizal keluar dari kamar bagus milik Edo Ragia itu. Seiring keluarnya Afrizal dari kamar, dari dalam kamar di depannya keluar pula seorang gadis cantik yang sudah segar dan rapi. Gadis itu berambut pendek seatas bahu. Tangannya menenteng tas. Ialah Alice Zarvia, anak kedua Ringgo yang hendak berangkat kuliah.


Afrizal lempar senyum ramah, tapi Alice tidak balas tersenyum sedikit pun, dingin.

“Afrizal, ya?” tanya Alice menerka.

“Benar,” jawab Afrizal seraya tetap tersenyum.

Setting-an kamar itu jangan dirubah sedikit pun. Tidur ya tidur saja. Edo sangat tidak suka kalau setting-an kamarnya dirubah sedikit pun. Suka dendam kalau pulang,” ujar Alice memperingatkan. “Hati-hati jika kerja dengan Ayah.”

Alice lalu berlalu lebih dulu meninggalkan Afrizal. Pemuda yang usianya lebih tua setahun dari Alice itu hanya bisa berpikiran positif, karena itulah salah satu ilmu yang didapatnya di pesantren, meski pada akhirnya dia adalah korban dari pikiran negatif dari para gurunya.

Afrizal segera beranjak dan turun, karena kamar itu memang terletak di lantai dua.

Ternyata Ringgo sudah siap dan menunggu di teras. Alice masuk ke sedan silver yang ia kendarai sendiri. Sedan biru lainnya sedang menunggu bersama sopirnya yang bernama Pak Suro. Usianya bisa diterka dari warna rambutnya yang disisir rapi, sudah banyak yang berwarna putih.

“Jam 10 pas pasti tiba. Yang mengantar kurir baru,” kata Ringgo yang sedang bertelepon sambil berjalan ke sedan birunya. Sejenak ia diam, lalu berbicara lagi, “Iya, iya. Oke. Saya siapkan.”

Setelah masuk ke mobil, barulah Ringgo mematikan ponselnya. Sebelum Afrizal masuk ke mobil, Ringgo lebih dulu memberi isyarat agar Afrizal masuk dan duduk di samping sopir. Sementara Alice sudah meluncur pergi bersama mobilnya.

Tampak di sisi lain, seorang karyawan pria sedang membuka pintu kios martabak. Tampak pula Warsinah dan Marni telah tiba untuk bekerja kembali.

Pak Suro mulai menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah lalu meluncur pergi.

“Zal, kamu harus ingat, motto dari usaha Om ini adalah ‘Kami Antar Tepat Waktu’. Perlu diperhatikan, segel kemasan martabak tidak boleh rusak sebelum pesanan itu sampai ke pemesan. Jika segel sudah rusak sebelum tiba ke tangan pembeli, maka wajib bagi kita mengganti dua kali lipat atau pesanan diterima tanpa dibayar,” kata Ringgo dari belakang Afrizal.

Demikian salah satu pesan Ringgo kepada keponakannya itu saat meluncur menuju lokasi kios martabak miliknya yang merupakan cabang kedua dari kios yang ada di rumah.

Ternyata kios cabang kedua terletak di daerah pasar yang menghadap ke jalan raya. Afrizal diperkenalkan sebagai kurir baru kepada para karyawan yang berseragam merah. Para karyawan di kios yang tergolong besar tersebut dikepalai oleh Surija. Ia adalah seorang pria gemuk berusia 40 tahun berkulit putih yang memelihara kumis tebal tapi rapi, seolah tertata.

Kepada Afrizal dijelaskan, bila hendak mengantar pesanan khusus, Afrizal akan menerima sendiri paket martabaknya dari Surija, bukan dari karyawan pengepakan. Afrizal diberi motor khusus sebagai kurir. Namun, nama kios martabak itu berbeda dengan yang di rumah Ringgo. Kios ini bernama “Martabak Raja Rasa”.

Pukurl 09.30 WIB, Afrizal berangkat untuk melaksanakan tugas perdananya. Berbekal aplikasi peta digital di ponsel barunya, Afrizal bisa melalui jalan dengan tepat di ibu kota Indonesia itu. Pukul 09.50 WIB ia pun tiba ke alamat pesanan, 10 menit lebih cepat. Tugas-tugas selanjutnya datang susul-menyusul. Dengan berbekal pendidikan ilmu sabar, disiplin dan bekerja keras, Afrizal pun menikmati dan menyelesaikan tugasnya dengan senang dan baik. Di hari pertamanya, semua antara pesanan khusus sampai tepat waktu.

Belakangan Afrizal ketahui, ternyata ada perbedaan antara mengantar pesanan biasa dengan pesanan khusus. Pengantar pesanan khusus pasti mendapat uang tip jalan yang khusus untuk pengantar. Sedangkan pengantar pesanan biasa tidak mendapat uang terima kasih.

Ketika Afrizal melaporkan tentang uang tip yang diterimanya di hari pertama, Ringgo mengatakan bahwa uang itu hak pribadi Afrizal sebagai uang jasa.

Tak terasa kemudian, Afrizal sudah melakoni kerjanya sebagai kurir selama dua pekan. Kecerdasannya membuat ia cepat hafal jalan-jalan besar hingga gang-gang kecil di ibu kota dan berbagai alamat. Kini ia sudah jarang memakai bantuan peta lagi. Terlebih, untuk martabak pesanan khusus, pelanggannya selalu sama dengan alamat yang sama.

Ringgo sendiri memuji cara kerja keponakannya yang bagus. Uang tip yang banyak didapatnya, Afrizal tabung untuk masa depan. Ketika gaji pertamanya ia terima, cukup memuaskan. Separuh ia masukkan ke dalam celengan macan besar yang ia beli beberapa hari yang lalu.

Hari ini agak berbeda. Afrizal harus mengantarkan pesanan khusus yang cukup banyak ke satu pemesan. Afrizal pun hati-hati dalam membawa kendaraannya.

Afrizal masuk ke kawasan kompleks perumahan elit. Ketika sudah berada di jalan alamat yang ditujunya, Afrizal memelankan laju motornya. Ia memperhatikan seksama nomor rumah satu per satu. Hingga akhirnya ia berhenti di depan gerbang pagar sebuah rumah besar dan mewah, rumah yang lebih besar dari rumah pamannya. Rumah bertingkat tiga itu berhalaman luas hingga bisa menampung lebih lima mobil. Deretan motor-motor bagus pun terparkir di dalam halaman.

Sejenak Afrizal mengecek alamat yang ia pegang dan mencocokkan nomornya. Memang benar, itulah rumahnya. Ia pun turun dari kendaraannya dan pergi menekan bel yang ada.

“Siapa?”

Afrizal cukup terkejut mendengar suara perempuan yang bertanya sangat dekat dengannya, tapi tidak ada orangnya. Ternyata suara itu bersumber dari speaker canggih yang tertanam di tembok gerbang.

“Afrizal dari Martabak Raja Rasa, pesanan sampai!” kata Afrizal agak berteriak sambil mendekatkan mulutnya ke speaker, khawatir yang bertanya tidak mendengar jika bicara pelan.

“Tunggu sebentar,” kata si speaker.

Afrizal pun menunggu. Tidak berapa lama, pintu pagar itu terbuka sendiri secara elektrik.

“Masuk!” perintah suara perempuan di dalam speaker.

Afrizal pun membawa masuk motornya yang penuh muatan. Kendaraannya ia parkir tidak jauh di depan pintu rumah yang telah dibuka oleh dua oran lelaki bertubuh besar.

Afrizal segera keluarkan kertas surat jalan untuk ditandatangani.

“Bantu bawa masuk dulu, baru nanti ditandatangani oleh Bos,” kata lelaki besar yang batang tangan kanannya bertato ular.

“Iya, Pak,” kata Afrizal menurut.

Pesanan yang Afrial bawa lalu dibagi menjadi tiga tumpuk. Masing-masing lalu membawa masuk satu tumpuk.

Suara hentakan musik terdengar menggebu-gebu full house. Semakin masuk, semakin keras dan jelas terdengar.

Afrizal kagum melihat kemewahan rumah besar itu. Mereka melewati sebuah ruangan luas yang dipakai bermusik disko. Beberapa pasang lelaki dan perempuan saling berjoget lupa daratan, seolah dunia hanya milik berdua. Gelas-gelas dan botol-botol  bir memenuhi atas meja-meja yang ada.

Astaghfirullah,” ucap Afrizal pelan, nyaris tidak terdengar.

“Sudah datang martabaknya?” tanya seorang pemuda tampan berkulit putih bersih, sambil keluar dari ruang pesta dan mengiringi ketiga pembawa martabak. Pemuda yang telinga kanannya ditempeli anting berlian itu bernama Venus.

Para pembawa martabak keluar ke sebuah kolam renang besar dan bagus. Bentuk kolam renang itu unik, berbentuk angka tiga raksasa.

Di pinggir kolam sebelah ujung, berkumpul beberapa lelaki sedang menekuni sebuah meja dengan tatanan kartu remi di tangan. Selain kartu yang berserakan di meja, ada pula tumpukan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Pemandangan itu membuat orang yang melihatnya akan menyimpulkan bahwa mereka sedang berjudi.

Melihat kedatangan pesanan, seorang lelaki berkaos hitam polos menutup kartunya di atas meja dan segera menyambut datangnya pesanan. Lelaki berusia 46 tahun itu bertubuh atletis dan berkulit putih bersih. Tampak kalung rantai emas melilit ketat di lehernya. Ia bernama Garda Prabowo, bos besar sekaligus pemilik rumah besar itu.

“Letakkan semuanya di meja ini!” perintah Garda sambil menunjuk sebuah meja lain yang kosong.
Kotak-kotak martabak itupun diletakkan di atas meja yang dimaksud.

“Benar-benar pesta besar hari ini,” kata Venus girang.

“Bos, tanda tangan terima,” kata lelaki besar bertato ular.

Afrizal menyodorkan kertas surat tanda terima dan sebuah pena kepada Garda.

“Jadi kamu keponakannya Ringgo?” tanya Garda sambil menerima kertas dan pena itu. Di saat itu, pandangan Garda juga fokus kepada lengan kanan Afrizal. Di balik kain lengan seragam Afrizal ada bias cahaya biru redup.

“Iya, Pak,” jawab Afrizal. Ternyata Afrizal juga melihat bayangan sinar merah di balik kain lengan kanan baju Garda.

Sambil memberikan kembali kertas dan pena Afrizal, Garda memberikan lima uang kertas seratus ribuan.

“Bukankah pembayarannya via transfer, Pak?” tanya Afrizal tanpa langsung menerima uang itu.

“Ini uang tip buat kamu,” jawab Garda seraya tersenyum kecil.

“Tapi ini terlalu banyak, Pak,” kata Afrizal.

“Saya sedang pesta dan saya sedang senang. Ambil saja buat pacar kamu,” kata Garda.

“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Afrizal seraya tersenyum senang dan menerima uang itu. “Saya permisi, Pak.”

“Silakan.”

Afrizal berbalik pergi. Namun, ketika baru tujuh langkah Afrizal berjalan pergi, tiba-tiba Garda berseru memanggil.

“Harzai!” seru Garda sambil memandang kepada Afrizal.

Namun, Afrizal yang mendengar panggilan itu tetap berjalan pergi tanpa menengok, karena ia merasa bukan dirinya yang dipanggil.

Melihat Afrizal tidak menanggapi panggilannya, Garda lalu kembali ke kursinya. Permainan kartunya kembali berlanjut.

“Anak itu seorang Harzai,” bisik Garda kepada lelaki botak plontos di sebelahnya.

“Saya juga melihat tandanya,” kata lelaki botak berkemeja biru langit. Usianya lebih tua dari Garda. Ia bernama Doni Sardi.

“Sepertinya dia Harzai kemarin sore yang masih lugu,” kata Garda.

“Atau dia hanya berpura-pura tidak mengerti,” timpal Doni. (RH)



Berlanjut: Dua Pencuri Cantik (7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar