Dua Pencuri Cantik (7)


Novel: Ratu Suku Lix



Tahun 2017



Bab Sebelumnya:












Kedua orangtua Lidya telah bercerai. Ayahnya entah telah sampai ke mana di muka bumi ini. Ibunya, jadi istri rahasia seorang rentenir. Ibunya sudah tidak peduli lagi kabar anak-anaknya, karena terlalu sibuk berusaha menutupi hubungan rahasianya dengan suami wanita lain.

Johan kakak tertuanya, kini beralamat di hotel prodeo. Johan divonis 10 tahun penjara dan meninggalkan seorang istri dan satu bayi. Karena himpitan ekonomi, sang istri ujung-ujungnya main serong dengan seorang sopir taksi.

Karim, kakak termudanya, berpetualang di Kalimantan sebagai sopir di sebuah perusahaan tambang. Terakhir ada kontak pada dua tahun yang lalu.

Lidya lebih banyak menghabiskan malamnya di rumah bibinya, adik dari ibunya yang hingga usia matang belum juga menikah. Nama bibinya adalah Hilwa Fadia, berusia 30 tahun. Lidya tidak pernah mendengar bibinya bicara tentang rencana pernikahan dirinya. Sang bibi justru menolak beberapa pinangan lelaki. Wajahnya yang cantik memang menarik minat beberapa lelaki untuk melamarnya.

Hilwa sangat baik kepada Lidya, karena semua kebutuhan Lidya sangat ia perhatikan. Hal yang membuat Lidya sangat suka dengan bibinya itu karena ia tidak pernah dimarahi. Hilwa pun tidak suka mengekang atau membatasi Lidya dengan berbagai macam larangan. Lidya dibiarkan bebas. Namun, dampak negatif dari kelonggaran itu adalah Lidya telah hamil sebelum menikah.

Di hari kegagalan bunuh diri Lidya di sekolah, membuat hari Marli Sisilia jadi berat. Ia harus berpikir keras untuk mencari metode yang pas untuk Lidya.

Marli adalah anak semata wayang dari keluarga kaya. Namun, ia berangkat sekolah selalu mengendarai sepeda tanpa boncengan. Ketika ia mengantar Lidya pulang dengan alasan sakit, Marli harus membonceng Lidya. Teman barunya itu harus berdiri di belakang punggungnya.

Lidya tidak dibawah pulang ke rumahnya, melainkan ke rumah Marli. Awalnya, Lidya tidak menyangka bahwa Marli adalah anak seorang kaya, hanya karena ia melihat Marli ke sekolah dengan sepeda.

Kepulangan Marli mendapat sambutan hangat dari Marni, ibunya. Ia tidak bercerita tentang masalah yang menimpa Lidya. Ia hanya mengatakan bahwa ia dan Lidya sedang izin pulang cepat, sebab ada urusan penting. Alasan itu dimaklumi oleh Marni selaku seorang ibu yang memang pengertian.

Cium tangan dan pipi mama adalah pemandangan yang membuat Lidya merasa cukup iri. Jika pulang ke rumah bibinya, Lidya akan langsung masuk tanpa perlu menyapa bibinya. Di kamar ia akan lepas sepatu begitu saja dan lempar tas ke atas kasur. Kemudian, ganti pakaian lalu pergi tanpa pamit kepada bibinya yang juga sibuk mengurus usaha bakso dan mie ayamnya.

Sementara Marli, makan pun dilayani oleh sang mama. Pembantu yang ada hanya sebagai peran tambahan. Ada secercah kebahaiaan yang baru dirasakan oleh Lidya di rumah itu. Terlebih Marni tidak sungkan mengajaknya berbicara dengan akrab, bukan bertanya-tanya yang terkesan mengorek identitas.

“Motor barumu sudah datang, sudah lengkap dengan surat-surat dan platnya. Jadi bisa langsung kamu pakai,” kata Marni sambil meletakkan tisu di meja makan.

“Terima kasih selalu, Mama!” ucap Marli sambil bergerak berdiri dari kursinya dan memeluk sang mama.

Marni hanya tersenyum dan membiarkan wajahnya dicium lagi oleh Marli.

“Seperti ini, Lidya, jika permintaannya dipenuhi, wajah Mama bisa habis diciumnya,” kata Marni kepada Lidya.

Lidya dan Marli hanya tertawa.

“Lidya, makan yang banyak dan yang kamu suka ya, jangan sampai menyesal sepulangnya dari rumah ini,” kata Marni.

“Iya, Bu,” kata Lidya.

“Silakan nikmati. Mama tinggal dulu ya,” kata Marni.

Kedua gadis itu pun menikmati makan menjelang siang tersebut. Marni tidak mau keberadaannya justru mengganggu kebebasan obrolan kedua anak muda itu.

Usai makan, Marli mengajak Lidya ke kamarnya. Usai bersih-bersih diri, Marli ganti pakaian. Marli mengenakan celana panjang kulit, tapi ia juga mengenakan rok panjang yang memiliki belahan panjang di kedua sisinya. Sementara Lidya diminta memilih pakaian Marli yang mana saja. Marli mau mengajak Lidya jalan-jalan untuk mengurangi rasa stres.

Usai pamitan kepada Marni, Marli dan Lidya pergi ke garasi. Di garasi yang cukup luas, terparkir dua mobil mewah berwarna merah dan putih. Terdapat pula sebuah sepeda motor besar yang ditutupi oleh plastik besar berwarna hitam. Dua ban besarnya yang terlihat baru menunjukkan jenis motor tersebut. Ketika Marli menyingkap plastik penutup tersebut, maka tampaklah sebuah sepeda motor berwarna biru terang bermesin 250 cc. Jika dibandingkan dengan postur tubuh Marli, jelas motor itu tidak sepadan. Namun, itulah salah satu kelebihan Marli, ia lihai mengendalikan sepeda motor besar meski tubuhnya mungil.

Dua dara cantik itupun kemudian pergi. Marli memakai jaket dan helm berwarna biru, sesuai dengan warna motor. Sementara Lidya berjaket dan berhelm kuning.

Lidya memeluk erat pingang Marli. Lidya merasakan bahwa Marli adalah sahabat terdekatnya saat ini, padahal mereka baru akrab kurang dari sehari. Namun, Lidya nyatanya merasa senang bersama Marli. Berbagai macam onak dari permasalahannya untuk sementara terhempas angin waktu entah ke mana terbangnya. 

Ketika Marli mengajak pergi bermain-main di taman wahana mencoba berbagai jenis permainan menantang adrenalin dan mengocok jantung, semua beban Lidya benar-benar terlupakan. Lidya melepaskan jeritan sekuat-kuatnya dan mengumbar tawa selepas-lepasnya. Marli pun merasa senang melihat ketegangan dan kegembiraan yang dialami Lidya. Ia merasa berhasil membuat Lidya terhibur. Hingga akhirnya keduanya keluar dari taman ria menjelang waktu sore.

“Ke mana lagi?” tanya Marli menawarkan, sambil memberi helm kepada Lidya.

“Melanjutkan kesedihan. Saya mau cari alamat Alvin. Saya mau bertemu orangtuanya,” jawab Lidya.

“Yakin tidak akan bunuh diri lagi jika terlalu sedih?” tanya Marli.

“Tidak, Lai. Saya sudah cukup kuat untuk menerima badai saya,” kata Lidya seraya tersenyum kepada Marli.

“Kamu tahu rumah Alvin?” tanya Marli.

“Alvin tidak pernah membawa saya ke rumahnya. Tapi saya tahu toko mebel milik orangtuanya.”

“Ayo!”

Keduanya pun keluar dari area parkiran dan melesat pergi menuju daerah yang ditunjukkan Lidya. Di perjalanan, Lidya minta berhenti di minimarket. Ia ingin membeli tisu.

“Saya tunggu di sini,” kata Marli di parkiran.

Lidya segera masuk ke minimarket dan membeli apa yang dibutuhkan. Sementara Marli menunggu di motor.

Tak berapa lama, sebuah motor datang berhenti di sebelah motor Marli. Motor khusus pengantar martabak. Pengendaranya berjaket merah yang pada bagian punggungnya tertulis kalimat “Martabak Raja Rasa”. Setelah pengendara itu membuka helmnya, ia tidak lain adalah Afrizal. 

Saat itu, Afrizal membawa pesanan yang cukup banyak. Namun, ia sampai ke tempat itu bukan lantaran ia mengantar paket ke tempat tersebut, tapi Alice, putri Ringgo. Alice menelepon Afrizal dari rumahnya agar dibelikan beberapa jenis bahan pelembab wajah yang di minimarket pun biasa ada. Menurut perhitungan waktu, Afrizal merasa tidak akan terlambat jika hanya mampir beberapa menit saja di dalam perjalanannya mengantar pesanan.

“Abang!” panggil Marli saat Afrizal hendak menuju pintu minimarket.

Afrizal segera berpaling ke sumber panggilan.

“Seporsi berapa?” tanya Marli saat pemuda itu menemukan wajahnya.

“Sekotak 30 dan 40. Jika minat, telepon saja,” jawab Afrizal seraya tersenyum.

“Yang itu saja,” kata Marli seraya menunjuk tumpukan kotak martabak yang terkemas rapi di motor.

“Itu pesanan orang. Telepon saja dan pesan, oke?” tandas Afrizal. Ia lalu beranjak pergi ke pintu kaca minimarket.

Tak berapa lama Afrizal masuk, Lidya keluar dengan membawa tentengan kantong plastik di tangan.

“Lidya, mau martabak?” tanya Marli.

“Boleh.”

“Itu, ambil dua kotak,” suruh Marli sambil menunjuk motor Afrizal dengan pandangan matanya.

“Tapi ini kan pesanan, Lai,” kata Lidya.


“Yang penting kita bayar plus uang tipnya,” kata Marli sambil keluarkan selembar uang seratus ribu.


“Ya sudah,” kata Lidya tersenyum sambil ambil uang di tangan Marli.


Dengan sedikit bersusah payah, Lidya membongkar beberapa ikatan pengaman di motor Afrizal. Marli hanya tersenyum-senyum melihat upaya Lidya. Ia juga mengawasi keberadaan Afrizal di dalam minimarket. Lidya akhirnya berhasil mencabut dua kotak dan menyelipkan uang yang dipegangnya ke tumpukan kotak yang lain.


Saat itu, Afrizal sudah berdiri di depan kasir untuk membayar benda yang dibelinya. Ketika tanpa sengaja ia melihat ke luar, alangkah terkejutnya ia.


“Hoi!” teriak Afrizal saat barang muatannya dibongkar oleh seorang gadis cantik. Ia langsung berlari ke pintu untuk keluar.


“Lidya, cepat!” teriak Marli.


Lidya pun langsung naik ke belakang punggung Marli dan langsung merangkul pinggang. Motor yang sudah menyala langsung melesat pergi.


Afrizal yang tinggal beberapa meter lagi, cepat melompat berusaha menjankau Lidya, tapi lompatannya hanya menangkap tempat kosong.


Marli dan Lidya tertawa lepas dengan keberhasilan kejahilan mereka.


Sementara di parkiran, Afrizal memendam kesal yang luar biasa. Ia pun tidak bisa langsung berusaha mengejar, karena paketnya sudah dalam kondisi tidak terikat kuat. Dengan geramnya, ia mengambil uang seratus ribu yang dilihatnya terselip di tumpukan kotak martabak.


Afrizal tampak begitu cemas, ia tidak bisa tenang. Baru kali ini ia mengalami hal buruk di dalam tugasnya. Buru-buru ia mengeluarkan ponselnya.


Assalamu ‘alaikum, Om,” salam Afrizal setelah ponselnya terhubung dengan ponsel Ringgo di suatu tempat.


Wa ‘alaikum salam,” jawab Ringgo.


“Om, pesanan khusus untuk pesanan Pak Garda Prabowo dicuri orang dua kotak!” lapor Afrizal dengan nada panik.


“Apa?!” kejut Ringgo di ujung sambungan. Lalu nada kemarahan terdengar jelas setelah itu. “Bagaimana kamu bisa seteledor itu, Zal?!”


“Begini, Om. Alice menyuruh saya belanja, lalu saya mampir ke minimarket karena hanya sebentar. Ternyata di parkiran, martabak saya dicuri orang dua kotak,” ujar Afrizal.


“Seharusnya kamu selesaikan dulu tugasmu. Kamu terlalu ceroboh, terlalu ceroboh! Om tidak mau tahu, kamu harus mendapatkan kembali dua kotak yang dicuri itu!” Ringgo benar-benar marah besar.

“Tapi, Om, pencurinya sudah tidak bisa saya kejar. Diganti saja, Om. Biar saya tanggung kerugiannya!” tawar Afrizal.


“Bukan masalah rugi atau tidak ruginya, Zal! Ini masalah kepercayaan pelanggan terhadap usaha Om. Pokoknya, bagaimanapun caranya, kamu harus mendapatkan kembali dua kotak itu. Pak Garda itu adalah pelanggan Om yang nomor satu. Pesanannya harus tepat waktu dan lengkap sampai langsung ke tangannya. Mengerti?!”


“Tapi, Om....”


“Tidak ada tapi-tapian. Pesanan itu harus sampai utuh kepada Pak Garda atau kembali pulang dalam keadaan utuh. Titik!”


“Om! Om! Hallo?” panggil Afrizal, tapi Ringgo telah memutus sambungan teleponnya.


Kebingungan Afrizal jadi memuncak. Ia bingung harus berbuat apa. Afrizal diam sejenak, berpikir. Namun, mendadak ia menghentak kesal. Akalnya buntu, tidak tahu harus bagaimana. Pandangannya liar ke sana dan ke mari, seolah mencari celah untuk kabur dari permasalahan.


Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah!” ucap Afrizal akhirnya. Ia mencoba menenangkan diri dengan zikir.


Jelas sangat tidak mungkin untuk menemukan dua gadis yang mencuri dua kotak martabak bawaannya di kota sebesar dan seramai Jakarta.


Dengan pikiran bingung, Afrizal memutuskan merapikan kembali ikatan paket bawaannya. Ia lalu masuk ke minimarket untuk menuntaskan pembeliannya. 


Usai itu, Afrizal membawa kembali motornya ke jalan. Mencari? Jelas tidak mungkin untuk dilakukan oleh Afrizal. (RH)

Berlanjut: Rahasia Di Bawah Martabak (8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar