Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Kedua orangtua Lidya telah bercerai. Ayahnya entah
telah sampai ke mana di muka bumi ini. Ibunya, jadi istri rahasia seorang
rentenir. Ibunya sudah tidak peduli lagi kabar anak-anaknya, karena terlalu
sibuk berusaha menutupi hubungan rahasianya dengan suami wanita lain.
Johan kakak tertuanya, kini beralamat di hotel
prodeo. Johan divonis 10 tahun penjara dan meninggalkan seorang istri dan satu
bayi. Karena himpitan ekonomi, sang istri ujung-ujungnya main serong dengan
seorang sopir taksi.
Karim, kakak termudanya, berpetualang di Kalimantan
sebagai sopir di sebuah perusahaan tambang. Terakhir ada kontak pada dua tahun
yang lalu.
Lidya lebih banyak menghabiskan malamnya di rumah
bibinya, adik dari ibunya yang hingga usia matang belum juga menikah. Nama
bibinya adalah Hilwa Fadia, berusia 30 tahun. Lidya tidak pernah mendengar
bibinya bicara tentang rencana pernikahan dirinya. Sang bibi justru menolak
beberapa pinangan lelaki. Wajahnya yang cantik memang menarik minat beberapa
lelaki untuk melamarnya.
Hilwa sangat baik kepada Lidya, karena semua
kebutuhan Lidya sangat ia perhatikan. Hal yang membuat Lidya sangat suka dengan
bibinya itu karena ia tidak pernah dimarahi. Hilwa pun tidak suka mengekang
atau membatasi Lidya dengan berbagai macam larangan. Lidya dibiarkan bebas.
Namun, dampak negatif dari kelonggaran itu adalah Lidya telah hamil sebelum
menikah.
Di hari kegagalan bunuh diri Lidya di sekolah,
membuat hari Marli Sisilia jadi berat. Ia harus berpikir keras untuk mencari
metode yang pas untuk Lidya.
Marli adalah anak semata wayang dari keluarga kaya.
Namun, ia berangkat sekolah selalu mengendarai sepeda tanpa boncengan. Ketika
ia mengantar Lidya pulang dengan alasan sakit, Marli harus membonceng Lidya.
Teman barunya itu harus berdiri di belakang punggungnya.
Lidya tidak dibawah pulang ke rumahnya, melainkan ke
rumah Marli. Awalnya, Lidya tidak menyangka bahwa Marli adalah anak seorang
kaya, hanya karena ia melihat Marli ke sekolah dengan sepeda.
Kepulangan Marli mendapat sambutan hangat dari
Marni, ibunya. Ia tidak bercerita tentang masalah yang menimpa Lidya. Ia hanya
mengatakan bahwa ia dan Lidya sedang izin pulang cepat, sebab ada urusan
penting. Alasan itu dimaklumi oleh Marni selaku seorang ibu yang memang
pengertian.
Cium tangan dan pipi mama adalah pemandangan yang
membuat Lidya merasa cukup iri. Jika pulang ke rumah bibinya, Lidya akan
langsung masuk tanpa perlu menyapa bibinya. Di kamar ia akan lepas sepatu
begitu saja dan lempar tas ke atas kasur. Kemudian, ganti pakaian lalu pergi
tanpa pamit kepada bibinya yang juga sibuk mengurus usaha bakso dan mie
ayamnya.
Sementara Marli, makan pun dilayani oleh sang mama.
Pembantu yang ada hanya sebagai peran tambahan. Ada secercah kebahaiaan yang
baru dirasakan oleh Lidya di rumah itu. Terlebih Marni tidak sungkan
mengajaknya berbicara dengan akrab, bukan bertanya-tanya yang terkesan mengorek
identitas.
“Motor barumu sudah datang, sudah lengkap dengan
surat-surat dan platnya. Jadi bisa langsung kamu pakai,” kata Marni sambil
meletakkan tisu di meja makan.
“Terima kasih selalu, Mama!” ucap Marli sambil
bergerak berdiri dari kursinya dan memeluk sang mama.
Marni hanya tersenyum dan membiarkan wajahnya dicium
lagi oleh Marli.
“Seperti ini, Lidya, jika permintaannya dipenuhi,
wajah Mama bisa habis diciumnya,” kata Marni kepada Lidya.
Lidya dan Marli hanya tertawa.
“Lidya, makan yang banyak dan yang kamu suka ya,
jangan sampai menyesal sepulangnya dari rumah ini,” kata Marni.
“Iya, Bu,” kata Lidya.
“Silakan nikmati. Mama tinggal dulu ya,” kata Marni.
Kedua gadis itu pun menikmati makan menjelang siang
tersebut. Marni tidak mau keberadaannya justru mengganggu kebebasan obrolan
kedua anak muda itu.
Usai makan, Marli mengajak Lidya ke kamarnya. Usai
bersih-bersih diri, Marli ganti pakaian. Marli mengenakan celana panjang kulit,
tapi ia juga mengenakan rok panjang yang memiliki belahan panjang di kedua
sisinya. Sementara Lidya diminta memilih pakaian Marli yang mana saja. Marli
mau mengajak Lidya jalan-jalan untuk mengurangi rasa stres.
Usai pamitan kepada Marni, Marli dan Lidya pergi ke
garasi. Di garasi yang cukup luas, terparkir dua mobil mewah berwarna merah dan
putih. Terdapat pula sebuah sepeda motor besar yang ditutupi oleh plastik besar
berwarna hitam. Dua ban besarnya yang terlihat baru menunjukkan jenis motor
tersebut. Ketika Marli menyingkap plastik penutup tersebut, maka tampaklah
sebuah sepeda motor berwarna biru terang bermesin 250 cc. Jika dibandingkan
dengan postur tubuh Marli, jelas motor itu tidak sepadan. Namun, itulah salah
satu kelebihan Marli, ia lihai mengendalikan sepeda motor besar meski tubuhnya
mungil.
Dua dara cantik itupun kemudian pergi. Marli memakai
jaket dan helm berwarna biru, sesuai dengan warna motor. Sementara Lidya
berjaket dan berhelm kuning.
Lidya memeluk erat pingang Marli. Lidya merasakan
bahwa Marli adalah sahabat terdekatnya saat ini, padahal mereka baru akrab
kurang dari sehari. Namun, Lidya nyatanya merasa senang bersama Marli. Berbagai
macam onak dari permasalahannya untuk sementara terhempas angin waktu entah ke
mana terbangnya.
Ketika Marli mengajak pergi bermain-main di taman
wahana mencoba berbagai jenis permainan menantang adrenalin dan mengocok
jantung, semua beban Lidya benar-benar terlupakan. Lidya melepaskan jeritan
sekuat-kuatnya dan mengumbar tawa selepas-lepasnya. Marli pun merasa senang
melihat ketegangan dan kegembiraan yang dialami Lidya. Ia merasa berhasil
membuat Lidya terhibur. Hingga akhirnya keduanya keluar dari taman ria
menjelang waktu sore.
“Ke mana lagi?” tanya Marli menawarkan, sambil
memberi helm kepada Lidya.
“Melanjutkan kesedihan. Saya mau cari alamat Alvin.
Saya mau bertemu orangtuanya,” jawab Lidya.
“Yakin tidak akan bunuh diri lagi jika terlalu
sedih?” tanya Marli.
“Tidak, Lai. Saya sudah cukup kuat untuk menerima
badai saya,” kata Lidya seraya tersenyum kepada Marli.
“Kamu tahu rumah Alvin?” tanya Marli.
“Alvin tidak pernah membawa saya ke rumahnya. Tapi
saya tahu toko mebel milik orangtuanya.”
“Ayo!”
Keduanya pun keluar dari area parkiran dan melesat
pergi menuju daerah yang ditunjukkan Lidya. Di perjalanan, Lidya minta berhenti
di minimarket. Ia ingin membeli tisu.
“Saya tunggu di sini,” kata Marli di parkiran.
Lidya segera masuk ke minimarket dan membeli apa
yang dibutuhkan. Sementara Marli menunggu di motor.
Tak berapa lama, sebuah motor datang berhenti di
sebelah motor Marli. Motor khusus pengantar martabak. Pengendaranya berjaket
merah yang pada bagian punggungnya tertulis kalimat “Martabak Raja Rasa”.
Setelah pengendara itu membuka helmnya, ia tidak lain adalah Afrizal.
Saat itu, Afrizal membawa pesanan yang cukup banyak.
Namun, ia sampai ke tempat itu bukan lantaran ia mengantar paket ke tempat
tersebut, tapi Alice, putri Ringgo. Alice menelepon Afrizal dari rumahnya agar
dibelikan beberapa jenis bahan pelembab wajah yang di minimarket pun biasa ada.
Menurut perhitungan waktu, Afrizal merasa tidak akan terlambat jika hanya
mampir beberapa menit saja di dalam perjalanannya mengantar pesanan.
“Abang!” panggil Marli saat Afrizal hendak menuju
pintu minimarket.
Afrizal segera berpaling ke sumber panggilan.
“Seporsi berapa?” tanya Marli saat pemuda itu
menemukan wajahnya.
“Sekotak 30 dan 40. Jika minat, telepon saja,” jawab
Afrizal seraya tersenyum.
“Yang itu saja,” kata Marli seraya menunjuk tumpukan
kotak martabak yang terkemas rapi di motor.
“Itu pesanan orang. Telepon saja dan pesan, oke?”
tandas Afrizal. Ia lalu beranjak pergi ke pintu kaca minimarket.
Tak berapa lama Afrizal masuk, Lidya keluar dengan
membawa tentengan kantong plastik di tangan.
“Lidya, mau martabak?”
tanya Marli.
“Boleh.”
“Itu, ambil dua kotak,”
suruh Marli sambil menunjuk motor Afrizal dengan pandangan matanya.
“Tapi ini kan pesanan,
Lai,” kata Lidya.
“Yang penting kita
bayar plus uang tipnya,” kata Marli sambil keluarkan selembar uang seratus
ribu.
“Ya sudah,” kata Lidya
tersenyum sambil ambil uang di tangan Marli.
Dengan sedikit bersusah
payah, Lidya membongkar beberapa ikatan pengaman di motor Afrizal. Marli hanya
tersenyum-senyum melihat upaya Lidya. Ia juga mengawasi keberadaan Afrizal di
dalam minimarket. Lidya akhirnya berhasil mencabut dua kotak dan menyelipkan
uang yang dipegangnya ke tumpukan kotak yang lain.
Saat itu, Afrizal sudah
berdiri di depan kasir untuk membayar benda yang dibelinya. Ketika tanpa
sengaja ia melihat ke luar, alangkah terkejutnya ia.
“Hoi!” teriak Afrizal
saat barang muatannya dibongkar oleh seorang gadis cantik. Ia langsung berlari
ke pintu untuk keluar.
“Lidya, cepat!” teriak
Marli.
Lidya pun langsung naik
ke belakang punggung Marli dan langsung merangkul pinggang. Motor yang sudah
menyala langsung melesat pergi.
Afrizal yang tinggal
beberapa meter lagi, cepat melompat berusaha menjankau Lidya, tapi lompatannya
hanya menangkap tempat kosong.
Marli dan Lidya tertawa
lepas dengan keberhasilan kejahilan mereka.
Sementara di parkiran,
Afrizal memendam kesal yang luar biasa. Ia pun tidak bisa langsung berusaha
mengejar, karena paketnya sudah dalam kondisi tidak terikat kuat. Dengan
geramnya, ia mengambil uang seratus ribu yang dilihatnya terselip di tumpukan
kotak martabak.
Afrizal tampak begitu
cemas, ia tidak bisa tenang. Baru kali ini ia mengalami hal buruk di dalam tugasnya.
Buru-buru ia mengeluarkan ponselnya.
“Assalamu ‘alaikum, Om,” salam Afrizal setelah ponselnya terhubung
dengan ponsel Ringgo di suatu tempat.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Ringgo.
“Om, pesanan khusus
untuk pesanan Pak Garda Prabowo dicuri orang dua kotak!” lapor Afrizal dengan
nada panik.
“Apa?!” kejut Ringgo di
ujung sambungan. Lalu nada kemarahan terdengar jelas setelah itu. “Bagaimana
kamu bisa seteledor itu, Zal?!”
“Begini, Om. Alice
menyuruh saya belanja, lalu saya mampir ke minimarket karena hanya sebentar.
Ternyata di parkiran, martabak saya dicuri orang dua kotak,” ujar Afrizal.
“Seharusnya kamu
selesaikan dulu tugasmu. Kamu terlalu ceroboh, terlalu ceroboh! Om tidak mau
tahu, kamu harus mendapatkan kembali dua kotak yang dicuri itu!” Ringgo
benar-benar marah besar.
“Tapi, Om, pencurinya
sudah tidak bisa saya kejar. Diganti saja, Om. Biar saya tanggung kerugiannya!”
tawar Afrizal.
“Bukan masalah rugi atau
tidak ruginya, Zal! Ini masalah kepercayaan pelanggan terhadap usaha Om.
Pokoknya, bagaimanapun caranya, kamu harus mendapatkan kembali dua kotak itu.
Pak Garda itu adalah pelanggan Om yang nomor satu. Pesanannya harus tepat waktu
dan lengkap sampai langsung ke tangannya. Mengerti?!”
“Tapi, Om....”
“Tidak ada tapi-tapian.
Pesanan itu harus sampai utuh kepada Pak Garda atau kembali pulang dalam
keadaan utuh. Titik!”
“Om! Om! Hallo?”
panggil Afrizal, tapi Ringgo telah memutus sambungan teleponnya.
Kebingungan Afrizal
jadi memuncak. Ia bingung harus berbuat apa. Afrizal diam sejenak, berpikir.
Namun, mendadak ia menghentak kesal. Akalnya buntu, tidak tahu harus bagaimana.
Pandangannya liar ke sana dan ke mari, seolah mencari celah untuk kabur dari
permasalahan.
“Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah!” ucap Afrizal
akhirnya. Ia mencoba menenangkan diri dengan zikir.
Jelas sangat tidak
mungkin untuk menemukan dua gadis yang mencuri dua kotak martabak bawaannya di
kota sebesar dan seramai Jakarta.
Dengan pikiran bingung,
Afrizal memutuskan merapikan kembali ikatan paket bawaannya. Ia lalu masuk ke
minimarket untuk menuntaskan pembeliannya.
Usai itu, Afrizal
membawa kembali motornya ke jalan. Mencari? Jelas tidak mungkin untuk dilakukan
oleh Afrizal. (RH)
Berlanjut: Rahasia Di Bawah Martabak (8)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar