Afrizal keluar dari musala bersama jemaah lainnya usai melaksanakan salat zuhur. Pemuda berkulit hitam itu langsung menuju ke rumah sederhananya yang berada tidak jauh dari pantai Desa Maja, Kecamatan Kalianda.
Rumah
berlantai keramik lusuh itu memiliki jemuran ikan asin di sisi kanannya. Ada
balai-balai bambu di teras rumah yang menghadap ke jalan raya kecil di kaki
Gunung Rajabasa.
Ketika
Afrizal masuk, dilihatnya Suryani, adik perempuannya yang berusia 15 tahun
sedang duduk di lantai, makan siang di depan televisi, sambil menonton. Dari
dalam kamar keluar seorang wanita kurus separuh baya yang masih bermukena
putih. Ia adalah Nurani, ibu dari Afrizal dan Suryani.
Nurani
baru saja selesai melaksanakan salat.
“Mak!”
panggil Afrizal lembut, membuat sang ibu berhenti bergerak dan menengok kepada
putra sulungnya. Ia hafal, nada seperti itu biasanya ada hal penting yang ingin
dibicarakan Afrizal kepadanya.
“Duduklah!”
suruh Nurani kepada putra tertuanya itu. Ia melangkah dan duduk di kursi lusuh
yang busanya sudah menyembul keluar karena robek.
Setelah
ibunya duduk, barulah Afrizal duduk berseberang meja dengan orangtua tunggalnya
itu. Sementara Suryani hanya menengok melihat keduanya sejenak, lalu kembali
beralih ke televisi.
“Masalah
penting apa, Zal?” tanya Nurani pelan, tapi serius menatap anaknya. Ia berharap
bukan hal yang membuat perasaannya kecewa.
Afrizal
tidak langsung menjawab. Ia membungkuk mengambil sebuah buku tipis di bawah
meja. Buku yang sampulnya bergambar kombinasi sebuah masjid dan peta itu
Afrizal berikan kepada ibunya.
“Emak
tahu kan tentang Masjid Al-Aqsha?” tanya sang anak, dengan nada yang seolah
hati-hati.
“Iya,
kamu cerita banyak ke Emak tentang Al-Aqsha,” jawab Nurani.
“Masjid
Al-Aqsha memanggil, Mak. Jadi, Afrizal mau izin pergi,” kata Afrizal.
Deg!
Ketika
kata “izin pergi” terdengar oleh Nurani, jantung keibuannya seketika bereaksi
tidak enak. Ia diam menatap wajah putranya. Dalam keterdiaman itu ia berusaha
menekan perasaannya agar tidak tercurah lebih dulu air matanya menyikapi niat
anaknya yang belum jelas.
Mendengar
kata “izin pergi” juga membuat Suryani jadi kembali menengok kepada ibu dan
kakaknya. Kali ini ia serius pula memandang kepada Afrizal. Ia tidak segera
beralih kepada televisi. Ia pun ingin tahu, ke mana kakaknya akan pergi.
“Kata
kamu, tempat Al-Aqsha itu daerah konflik dan jauh sekali. Ada perang di sana,
ribuan orang mati dibunuh sama orang Yahudi. Orang di sana dikurung di kotanya
tidak bisa keluar. Lalu, buat apa kamu ke sana?” tanya Nurani.
“Saya
enggak mau ke sana, tapi saya mau pergi menyiarkan tentang Masjid Al-Aqsha,
Mak. Itu masjid suci ketiga kita yang perlu diperhatikan orang Islam
se-Indonesia, bahkan sedunia,” kata Afrizal meralat.
“Emak
tidak mengerti yang kamu bicarakan ini, Zal,” kata Nurani dengan wajah sedikit
merengut.
Afrizal
pun mulai melihat ketidaksetujuan ibunya dari desah nafas dan ketajaman
pandangannya. Gurat wajahnya pun menunjukkan itu.
Sementara
Suryani meninggalkan makannya yang sudah selesai dan bergerak berdiri di
belakang punggung kursi yang diduduki ibunya.
“Begini,
Mak. Jika bisa saya berjuang senjata ke Palestina, pasti saya lakukan, tapi
saya dan orang Islam Indonesia yang mau membela Palestina tidak mungkin berbuat
itu. Saya sudah lama memikirkan bagaimana caranya saya bisa bela Masjid
Al-Aqsha. Nah, baru tadi pagi saya dapat ide, Mak. Saya baca di koran tentang
beberapa orang yang berjalan kaki keliling dunia dengan berbagai maksud, sehingga
dia terkenal ke seluruh dunia....”
“Maksud
kamu, kamu mau terkenal juga?” tanya Nurani memotong dengan nada agak ketus.
“Bukan
begitu, Mak. Yang mau saya terkenalkan adalah Masjid Al-Aqshanya, bukan saya.
Saya berencana mau jalan kaki dari rumah ini sampai ke Jakarta, sampai ke ujung
Jawa di Madura. Saya mau sampaikan tentang kondisi Masjid Al-Aqsha!” jelas
Afrizal dengan nada agak tinggi karena terbawa semangat.
“Ya
Allah, Zal!” pekik Nurani tiba-tiba lalu geleng-geleng menatap putranya. Muncul
gurat kemarahan di wajahnya, meski tidak memuncak. Namun, suara ibunya berubah
rendah untuk memberi pengertian kepada putranya. “Bapakmu sudah pergi, tinggal
kamu satu-satunya tulang punggung kita. Kalau kamu pergi, siapa penjaga
keluarga ini, Zal. Emak tidak bisa bayangkan kamu pergi jalan kaki seperti
orang kabur dari rumah yang tidak ada tujuannya. Kenapa harus cara itu? Emak
rasa cukup kamu cerita kepada Emak, ke Suryani, kepada Ustaz Yahya, ke orang
sekampung. Tidak perlu kamu korbankan usaha melautmu. Kamu tahu, Allah sedang
beri keluarga kita rezeki melimpah. Harus kamu syukuri itu!”
“Hasil
dari laut cukup untuk bekal Emak selama saya pergi. Saya cuma pergi sementara
dan akan pulang lagi, Mak,” kata Afrizal masih coba untuk berdalih bahwa
kepergiannya tidak berdampak buruk bagi keluarganya.
“Selagi
kamu banyak uang, pikirlah tentang kawinmu,” kata Nurani lalu berdiri dari
duduknya.
“Saya
sudah niat tidak akan kawin sebelum saya berbuat sesuatu untuk membela Masjid
Al-Aqsha, Mak,” kata Afrizal.
“Emak
tidak setuju kamu pergi jalan kaki seperti orang gila!” tegas Nurani lalu
beranjak pergi meninggalkan Afrizal.
“Mak!”
panggil Afrizal agak keras, membuat sang ibu berhenti di depan pintu kamarnya.
“Emak dulu berbuat gila untuk dapatkan Bapak, maka tidak salah saya berbuat
gila untuk Allah!”
Nurani
terdiam menatap lamat-lamat wajah putranya. Tak lama setelah itu, dia melangkah
masuk ke kamarnya.
Afrizal
dengan hempasan nafas kecewa menyandarkan punggung kekarnya ke sandaran kursi.
Ia mememandang adiknya yang masih berdiri di belakang kursi.
“Piring
di bawa ke dalam!” suruh Afrizal kepada adiknya.
“Hehehe!”
kekeh Suryani kepada kakaknya tersebut.
“Kenapa
kamu?!” hardik Afrizal yang merasa ditertawakan.
“Kalau
saya setuju, saya dukung! Al-Aqsha! Al-Aqsha! Al-Aqsha!” kata Suryani seraya
tertawa lalu berteriak kecil seraya angkat tangan kanan dengan jemari mengepal,
seperti orang berdemo.
“Biar
enggak ada yang larang kamu keluyuran malam-malam?” terka Afrizal.
“Hahaha!”
Suryani semakin tertawa sambil bergerak menghampiri piring bekas makannya untuk
diberesi. “Mendingan Kakak lamar dulu Wetto biar enggak penasaran. Hahaha!”
Afrizal
hanya tersenyum getir di dalam rasa kecewanya atas penolakan ibunya. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar