“Damar!”
panggil Hendra saat melihat Ustaz Taufik Karomah berjalan menuju mobil antar
jemputnya. Pemuda yang masih berkalung kamera hitam itu memanggil Darmawan yang
sedang berbincang dengan Nirmala.
Darmawan
segera izin kepada Nirmala dan segera mendatangi Hendra.
“Seperti
pernah lihat itu akhwat (saudara
perempuan),” kata Hendra kerutkan kening sambil tetap memandang ke teras masjid
ketika Darmawan sudah sampai kepadanya.
“Hahaha,
itu, yang kemarin jual tahu bulat manis di tempat saya,” kata Darmawan seraya
tertawa kecil.
“Ustaz
Taufik mau pulang tuh, yuk temui!” ajak Hendra yang mengenakan ransel hitam yang
terlihat berat.
Usai
salat zuhur, pengajian tentang Masjid Al-Aqsha pun selesai. Para jemaah yang
salat memenuhi masjid Ahad siang itupun berbubaran, termasuk Ustaz Taufik
Karomah selaku penceramahnya.
Di
dampingi oleh ketua panitia Tabligh Al-Aqsha dan ustaz setempat, Ustaz Taufik
menuju mobil yang akan mengantarnya pulang. Hendra dan Darmawan bergegas
menghampiri Ustaz Taufik yang masih berbincang sejenak di sisi mobil.
“Assalamu ‘alaikum, Ustaz!” salam Hendra.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab
Ustaz Taufik dengan nada semangat. “Ah, ini wartawan kita, fotonya yang
ganteng, Ra, jangan pas lagi monyong yang antum naikin ke publik.”
“Biar
ekspresinya lebih hidup kalau pakai yang maju-maju, Ustaz,” kata Hendra bernada
seloroh.
“Hahaha!”
tertawa bersamalah mereka.
“Kenalkan,
Ustaz, ikhwan Darmawan, salah satu fans Al-Aqsha,” kata Hendra menunjukkan diri
Darmawan.
Darmawan
segera maju ulurkan tangan untuk berjabat.
“Darmawan,
Ustaz!” kata Darmawan memperkenalkan diri.
“Taufik
Karomah,” kata sang ustaz pula seraya tertawa ringan menjabat tangan Darmawan.
Darmawan
pun menjabat para pendamping Ustaz Taufik lainnya.
“Saya
Irwan, Ustaz!” seru seorang pemuda tiba-tiba datang merangsek maju seraya
langsung menjabat tangan Ustaz Taufik. Ia tidak lain adalah Irwan, buruh di
pabrik boks speaker. “Saya tinggal di
kampung sebelah, tapi sudah masuk Kabupaten Tangerang. Kapan ada acara lagi,
Ustaz?”
“Pemuda-pemuda
seperti ini yang diperlukan oleh Al-Aqsha. Nanti hari Jumat usai salat, ada
acara pertemuan ulama yang khusus bahas kondisi Al-Aqsha di kediaman Ustaz Abu
Rosyid. Darmawan dan Irwan datang saja, jangan telat,” ujar Ustaz Taufik.
“Alamatnya,
Ustaz?” tanya Irwan lagi.
“Minta
sama Hendra, dia punya,” jawab Ustaz Taufik.
“Iya,
nanti saya beri,” kata Hendra kepada Irwan.
“Baik,
Ustaz pamit dulu ya. Ingat, Ustaz harap bisa bertemu kalian di hari Jumat
nanti,” kata Ustaz Taufik.
“Insyaallah,” jawab Darmawan, Hendra dan
Irwan bersamaan.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Hendra.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab
mereka semua.
Ustaz
Taufik pun bergerak masuk ke dalam mobil. Sementara yang lain melepas dengan
senyum keikhlasan.
“Akhi, sini!” panggil Hendra kepada
Irwan.
Irwan
segera mendekati Hendra yang sedang membuka tas ranselnya. Hendra menulis di
secarik kertas.
“Ini
alamatnya. Rute angkutan umum pun mudah untuk sampai ke sana,” kata Hendra.
“Jazakallahu khairan (semoga Allah
membalas kamu dengan balasan yang terbaik)!” ucap Irwan seraya menerima kertas
tersebut.
“Allahumma aamiin,” balas Hendra.
“Eh,
kalau bisa, bareng saya aja naik motor pas hari Jumat,” kata Darmawan tiba-tiba
kepada Irwan.
Irwan
jadi terdiam sejenak, berpikir.
“Bisa?”
tanya Irwan kepada Darmawan.
“Insyaallah. Sebab, saya naik motor
sendiri.”
“Boleh,”
kata Irwan sepakat.
“Coba
catat nomor hp saya,” kata Darmawan.
Darmawan
dan Irwan pun bertukar nomor ponsel untuk mengatur rencana keberangkatan di
hari Jumat.
Akhirnya,
Darmawan, Irwan dan Hendra berpisah. Irwan pulang berjalan kaki karena
kediamannya hanya menyeberang kampung. Hendra pulang dengan sepeda motornya.
Darmawan pun pergi ke parkiran mendapati sepeda motornya, tapi pandangannya
masih mencari-cari. Namun, karena yang dicari sudah tidak terlihat di lokasi
sekitar, Darmawan pun beranjak pergi meninggalkan area masjid.
Baru
saja keluar dari gang masjid, Darmawan melihat sosok wanita berhijab hijau muda
sedang berjalan sendiri menyandang tas berwarna kuning. Sosok gemuk itu
Darmawan curigai adalah Nirmala.
Darmawan
memelankan sepeda motornya, sebab ia harus melihat wajah muslimah itu lebih
dulu untuk memastikannya bahwa ia adalah Nirmala atau bukan. Namun, dari warna
pakaiannya yang sama, memastikan bahwa itu adalah Nirmala.
“Nir!”
panggil Darmawan saat memastikan bahwa itu adalah Nirmala. Ia menghentikan
sepeda motornya tepat di samping gadis gemuk manis yang memang adalah Nirmala.
“Eh,
Bang Damar,” ucap Nirmala seraya tersenyum dan berhenti melangkah menuju
pangkalan angkutan umum.
“Nirmala
naik angkutan umum sendiri?” tanya Darmawan.
“Iya,
Bang.” Jawab Nirmala seraya senyum setengah tersipu.
“Sebelumnya
maaf nih, Nir. Abang hanya mau menawarkan atas beberapa pertimbangan. Jika
Nirmala mau, ayo ikut Abang naik motor. Kalau ikut Abang, Nirmala lebih terjaga
dan aman, kalau seandainya terjadi sesuatu, Abang tetap bisa tanggung jawab.
Kalau naik umum, beberapa kali naik turun trayek,” ujar Darmawan.
“Tapi,
....” Nirmala berucap dengan ragu seraya memandang Darmawan dengan raut wajah
seolah berpikir. “Apa tidak apa-apa, Bang?”
“Insyaallah aman, asal dengan syarat,”
kata Darmawan mantap.
“Syarat
apa, Bang?” Nirmala jadi tambah ragu.
“Nirmala
duduknya yang aman. Paham kan maksud Abang?” kata Darmawan.
“Paham,”
jawab Nirmala seraya tersenyum sipu.
“Jika
demikian, ayo naik!” ajak Darmawan seraya membaikkan duduknya dan menguatkan
pegangannya pada stang.
Nirmala
pun bergerak naik duduk ke belakang Darmawan dan duduk dengan aman tanpa
memegang bahu atau merangkul pinggang si pemuda. Tasnya ia letakkan di depan
tubuh sebagai pengaman.
Maka berangkatlah mereka menuju pulang. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar