Sekolah Geger

Ayu Nostagia yang berseragam kemeja putih lengan panjang dan berok hitam sepanjang lutut lewat sedikit, mengikuti Gawa Hendrik di belakang. Ayu membawa tas ransel kecil berwarna hitam, yang pada bagian depannya ada gambar sepasang mata menyeramkan, sama dengan gambar mata yang ada di badan bus.

Gawa berjalan sambil makan sebuah apel merah. Para pelayan yang Gawa lewati segera membungkuk sedikit memberi hormat kepada tuan terkecilnya.

“Kak Ayu, tangkap!” seru Gawa sambil melambungkan apel di tangannya ke belakang, tanpa menengok ke belakang lagi.

Ayu terkejut mendapat perintah tiba-tiba. Buru-buru ia berusaha menangkap apel merah yang melambung, sampai kelabakan. Namun, Ayu berhasil menangkapnya.

Ayu memandangi apelnya yang sudah ada bekas gigitan gigi.

“Kak Ayu boleh makan,” kata Gawa seenaknya.

Ayu mendelik.

“Yang benar saja. Aku disuruh makan bekas gigitan,” membatin Ayu.

“Kalau jijik, Ayu bisa buang,” kata Gawa lagi tanpa memandang kepada pengawalnya itu.

Ayu buru-buru membuang apel itu ketika melihat keberadaan tong sampah.

Saat ini Gawa mengenakan seragam putih biru yang menunjukkan bahwa ia bersekolah pada tingkat SMP. Meski usianya masih sepuluh tahun, Gawa adalah anak cerdas.

Mereka akhirnya tiba di teras depan. Sebuah mobil BMW berwarna biru dongker telah parkir di depan tangga utama, menunggu. Di belakang kemudi telah duduk gagah Aditya Harapan dengan setelan kemeja putih dan dilapisi jas hitam. Kacamata hitam mempergaya penampilannya di belakang kemudi mobil mahal senilai lebih 1 miliar itu.

Ayu segera berlari kecil mendahului majikannya. Ia cepat membuka pintu tengah untuk Gawa. Anak kecil jahil itu hanya tertawa kecil melihat kegesitan Ayu, padahal bodinya berat.

Dengan tingkah yang riang, Gawa naik masuk ke dalam mobil yang tergolong besar itu. Setelah menutup pintu mobil, Ayu segera membuka pintu depan dan naik duduk di jok depan, tepatnya di samping sopir. Pemandangan itu bisa disebut mirip sepasang suami istri dengan satu orang anak.

“Ayo jalan, Bang Aditya!” teriak Gawa bersemangat.

Aditya Harapan segera injak gas, mobil pun meluncur menuju ke gerbang pekarangan.

“Kak Ayu masih takut?” tanya Gawa sambil tersenyum-senyum.

“Sudah tidak, Tuan Muda Gawa,” jawab Ayu seraya tersenyum, sedikit melirik ke belakang.

“Kalau lidah saya begini, bagaimana?” tanya Gawa lagi sambil menjulurkan lidah bercabangnya yang berwarna biru pekat.

Lidah itu ternyata bisa keluar panjang dan menjulur sampai ke samping wajah Ayu.

“Huaaa! Ampuuun, Tuan Mudaaa!”

Teriak Ayu terkejut bukan main kencangnya saat melihat ada benda aneh muncul di samping pipinya. Hal itu juga membuat Aditya tegang dalam menyetir.

“Hahaha!” tawa Gawa sambil menarik masuk lidah aneh dan menyeramkan miliknya itu. “Saya cuma bercanda, Kak Ayu. Lama-lama juga akan biasa. Hahaha!”

Namun, ketika berbicara biasa, lidah Gawa tampak biasa, seperti lidah pada umumnya, tidak sedikit pun terlihat ada lidah aneh.

Akhirnya mereka tiba di sebuah sekolah swasta di Jakarta. SMP Derajat Mulya. Itulah nama sekolah itu. Pagarnya tertutup rapat dengan tembok yang tinggi. Sebelum Aditya membawa mobilnya ke tempat parkir, lebih dulu ia menurunkan majikannya di dekat gerbang.

Murid-murid di sekolah itu sudah mulai ramai berdatangan, baik yang diantar maupun yang datang secara mandiri.

Ayu yang lebih dulu turun. Awalnya Ayu disangka ibu guru baru di sekolah itu. Namun, ketika ia membuka pintu untuk majikannnya, terlihat jelas bahwa ia bukan ibu guru, tapi ibu muda.

Ayu segera membuka pintu bagi Gawa. Tuan muda kecil itu segera turun dengan tersenyum. Gawa memandang ke gedung sekolah yang bertingkat, lalu memandang ke sekitar.

Awalnya hanya beberapa pasang mata yang melihat kepada kehadiran Gawa, tetapi dalam waktu singkat, mereka saling memanggil teman dan menunjuk kepada Gawa. Akhirnya, hampir semua mata yang menjangkau keberadaan Gawa memandang ke arah anak itu.

Anak-anak yang posisinya dekat, buru-buru menjauh. Yang posisinya dalam jarak aman, mereka memandang dengan menyeringai tapi tidak sakit, hanya merasa tergidik seram. Yang jauh, mereka tidak tahu jelas, apa yang sedang mereka pandangi, memancing untuk lebih mendekat.

Hingga akhirnya, semua pandangan warga sekolah itu memandangi Gawa dengan berbagai ekspresi tidak sedap. Namun, tampak sekali bahwa Gawa tidak mempedulikan semua tatapan minus itu, ia tetap tersenyum karena kini ia berada di lingkungan baru, tidak peduli lingkungan itu akan menerimanya atau tidak.

Namun, berbeda dengan Ayu Nostalgia. Ia jadi tidak nyaman menjadi pusat perhatian, terlebih ia bukanlah pengawal cantik yang seksi.

Tampak pula seorang satpam sekolah bergerak lebih mendekat, tetapi tidak sampai ke hadapan Gaza. Tindakan satpam tersebut hanya untuk memperjelas apa yang sedang dilihatnya. Ia memandang dengan ekspresi seperti sakit perut.

“Ayo, Kak Ayu!” ajak Gawa lalu berjalan lebih dulu.

Ayu segera mengawal di belakang Gawa sambil membawa tas ransel sang majikan. Gawa menunjukkan wajah datar, tanpa merasa terganggu dengan semua pandangan mata yang ditujukan kepadanya.

“Majikan saya kecil-kecil keren juga,” batin Ayu.

Melihat majikannya berjalan dengan tenang, akhirnya Ayu berusaha menirunya. Ia berjalan tegak, dagu sedikit di angkat, dan kacamata hitam ia pasang di wajahnya, sehingga mirip pengawal berkelas.

Justru murid-murid sekolah itulah yang segera menyingkir ketika Gawa dan Ayu lewat di dekat mereka.

Innalillahi!” jerit seorang guru perempuan gemuk pendek, yang kebetulan berpapasan di tikungan lorong. Guru bernama Ibu Rossa Amelia itu sontak terlompat merapat ke tembok. Sepasang matanya mendelik dan mulut ternganga. Kuduknya merinding mengikuti bulu tangannya yang berdiri.

“Pagi, Bu!” sapa Gawa kepada Bu Rossa Amelia.

“Papapa... pagi!” balas Bu Rossa yang jadi gagap karena terintimidasi oleh rasa horor.

“Ruangan Kepala Sekolah di mana, Bu?” tanya Gawa sambil tersenyum.

“Lululu... lurus, terus belok kakaka... kanan, lalu mentok!” jawab Bu Rossa masih tergagap, seolah benar-benar melihat hantu yang nyata.

“Terima kasih, Ibu Cantik,” ucap Gawa seraya tersenyum. Namun, di akhir senyumannya, lidah bercabang Gawa sempat keluar sekali.

“Ak!” jerit Bu Rossa terkejut bukan main, sampai-sampai kepalanya tersentak ke belakang dan membentur tembok. Jantung dan lututnya seketika terasa lemas. Tubuhnya tersurut turun terduduk di lantai.

Sementara Gawa dan Ayu sudah berjalan pergi meninggalkan Bu Rossa menuju ke kantor Kepala Sekolah.

“Bu Rossa kenapa?” tanya seorang guru lelaki, masih muda lagi tampan dan rambutnya disisir rapi. Ia mengenakan baju olahraga warna kuning dan celana training hitam. Ia bernama Pak Mudi, lengkapnya Mudi Ternama.

“Anu... anu, Mu...” ucap Bu Rossa yang membuat Pak Mudi terkesiap.

“Ibu Rossa bicara apa?” tanya Pak Mudi agak malu, karena menyangka Bu Rossa bicara kotor, terlebih Bu Rossa yang terduduk membuat posisi wajahnya sejajar dengan posisi pinggang Pak Mudi.

Buru-buru Pak Mudi menutupi titik celananya pada pangkal paha. Namun, tindakan Pak Mudi itu tidak menjadi pikiran Bu Rossa karena rasa keterkejutan dan ketakutannya lebih kuat.

“Cecece... cepat, beri tahu Kepala Sekolah, anak baru itu lidahnya aneh seperti monster,” kata Bu Rossa.

Pak Mudi lalu membantu Bu Rossa berdiri agar tidak menjadi perhatian siswa yang lalu lalang.

“Maksud Ibu, murid baru yang bikin geger itu?” tanya Pak Mudi.

“Iya, Pak. Cepat beri tahu Pak Kurnia, anak itu punya lidah yang aneh!” kata Bu Rossa panik.

“Karena Ibu yang tahu, lebih baik bersama ke kantor Pak Kurnia,” kata Pak Mudi.

Tok tok tok!

Drs. Kurnia Huzaifah, M.Pd yang sedang membaca dokumen di meja besarnya, sejenak memandang pintu kantornya yang tertutup saat terdengar suara ketukan.

“Masuk!” perintah Kurnia.

Pintu kantor itu dibuka dari luar oleh Ayu.

Astaghfirullah!” ucap Kurnia terkejut saat melihat penampilan Gawa.

Namun, sebagai orang yang berpendidikan dengan gelar Drs, Kurnia tidak mudah larut dalam keterkejutan. Sebelumnya ia sudah mendapat petunjuk dari Nyonya Rudy bahwa Gawa Hendrik memiliki kelainan fisik, sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Assalamu ‘alaikum, Pak!” salam Ayu setelah membuka kacamata hitamnya.

Wa.., wa ‘alaikum salam,” jawab Kurnia sedikit gugup. Namun, ia berusaha membawa tenang dirinya dengan menarik napas yang dalam. Terlebih orang yang dihadapinya ini hanyalah seorang anak kecil berumur sepuluh tahun. (RH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar