DR. Budi Waseso, MPd mengantar Fatara Hendrik ke kelasnya, yakni Kelas 11 IPA. Fatara berjalan di belakang lelaki bertubuh gemuk pendek berperut buncit itu. Meski agak buntet, tetapi Kepala Sekolah adalah sosok yang ditakuti dan dihormati oleh seluruh warga sekolah swasta itu. Rambutnya yang sudah jarang-jarang karena faktor botak, tetap disisir rapi ke semping. Kumis tebalnya melintang asik seperti kumis jawara Tanah Abang.
Fatara berjalan di belakang Pak Budi. Sementara Jur
berjalan lebih belakang lagi sambil menenteng tas sekolah Fatara.
Suasana di sekolah tampak sepi karena semua sudah masuk
ke kelas masing-masing. Setiap kelas sudah diisi oleh seorang guru pengajar.
“Assalamu ‘alaikum, Bu Rita!” salam Pak Budi di pintu
kelas.
“Wa ‘alaikum salam, Pak. Silakan masuk, Pak,” kata Bu
Rita Sudarto, guru bahasa Indonesia yang terkenal cantik dan lembut tanpa
kekerasan. Ia berdiri di depan kelas sambil memegang sebuah buku.
Pak Budi dan Fatara melangkah masuk. Ternyata Jur juga
ikut masuk.
“Ada roti sobek isi susu kuda jantan!” sahut seorang
murid dari pojokan kelas.
“Aaah!” tiba-tiba ramai siswi putri mendesah panjang
seperti desahan malam Jumat kliwon.
“Hahaha...!” tertawa ramailah di Kelas 11 IPA itu.
“Bu Rita, pegangan, Bu!” teriak Erwin bermaksud menggoda
gurunya yang memang faktanya masih belum menikah.
“Siapa yang berkata lagi, Bapak hukum cuci toilet!” ancam
Budi sambil menatap tajam ke seantero kelas.
Seketika senyaplah kelas. Tidak ada yang berani berurusan
dengan Kepala Sekolah.
“Jur, tunggu di luar!” perintah Fatara kepada pengawalnya
itu. Ia mengambil tas dari tangan Jur.
“Siap, Nona!” ucap Jur patuh, layaknya seorang prajurit.
Ia lalu balik kiri. Namun, sebelum ia maju jalan menuju pintu kelas, ia masih
sempat menurunkan sedikit kacamata hitamnya lalu memandangi para murid dengan
gayanya.
“Hahaha!”
Melihat gaya Jur yang menurut mereka kocak, meledaklah
tawa semua murid.
Jur sekilas memandang kembali majikannya. Ternyata Fatara
memandangnya dengan tajam dan dingin. Ditatap menyeramkan seperti itu, Jur
buru-buru berjalan ke luar. Di luar dekat pintu, Jur berdiri siap sempurna
dengan dagu sedikit terangkat, seperti penjaga Istana Kremlin di Moskow, Rusia.
Kacamata kokoh bertengger di batang hidungnya.
Budi Wasesa tidak bisa menghukum mereka yang tertawa,
tidak mungkin satu kelas dihukum.
“Ini murid baru di kelas ini. Saya serahkan kepada Ibu,”
kata Pak Budi kepada Bu Rita.
“Iya, Pak,” ucap Bu Rita seraya tersenyum hambar dengan
sinar mata yang memancarkan kengerian saat memandangi Fatara. Dengan jelas ia
melihat kulit wajah Fatara yang begitu putih, jenis kulit yang belum pernah ia
lihat sebelumnya. Meski demikian, di dalam hati ia harus mengakui bahwa Fatara
jauh lebih cantik darinya.
“Anak-anakku yang tersayang!” seru Budi kepada seluruh
murid Kelas 11 IPA.
“Iya, Bapakku Sayang!” sahut para siswa serentak seraya
tersenyum-senyum.
“Bapak berharap kalian menjadikan teman baru kalian
sebagai anggota keluarga besar 11 IPA, bukan sebaliknya!” pesan Budi.
“Iya, Bapakku Sayang!” sahut seluruh murid serempak
kompak sehingga terdengar ramai.
“Baik, Bu Rita, semoga baik-baik saja. Saya pamit,” ucap
Budi seraya tersenyum manis kepada Bu Rita.
“Terima kasih, Pak,” ucap Bu Rita.
Baru saja Budi Waseso melangkah, tiba-tiba ia berbalik
lagi dan bertanya kepada Bu Rita, “Oh ya, Bu. Katanya sudah mau sebar undangan
ya?”
Mendelik Bu Rita mendapat pertanyaan seperti itu.
“Ah, Bapak dapat bisikan dari siapa?” tanya Bu Rita
seraya tersenyum malu.
“Alhamdulillah jika belum,” kata Budi tersenyum lega
sambil mengelus dada berdasinya.
“Hahaha! Pak Kepsek modus!” teriak seorang murid
perempuan yang akhirnya memancing sekelas tertawa.
Budi yang hanya bermaksud bercanda menggoda Bu Rita tertawa
sambil berjalan ke luar kelas.
Bu Rita Sudarto lalu beralih kepada Fatara untuk
menyuruhnya memperkenalkan diri. Namun, ia kerutkan kening karena melihat jelas
Fatara memandang ke belakangnya. Bu Rita lalu menengok ke belakang, tetapi
tidak ada siapa-siapa selain meja guru dan tembok kelas. Hal itu membuat Bu
Rita mendadak merinding.
“Fatara?” panggil Bu Rita.
Fatara yang saat itu sedang memandangi sosok hijau
bermata merah di belakang Bu Rita, segera beralih fokus memandang kepada guru
barunya itu.
“Lihat apa?” tanya Bu Rita dengan tatapan agak takut.
“Nanti saja saya jawab, kalau Ibu tidak sedang tugas,”
kata Fatara datar tanpa sedikit pun senyum, seolah kulit wajahnya begitu keras
untuk bergerak.
Jawaban yang menimbulkan misteri itu membuat Bu Rita
mulai merasakan rasa takut yang ia ciptakan sendiri dengan imajinasi dugaannya.
Sejumlah murid yang duduk di deretan kursi depan
mendengar dialog singkat itu. Mereka langsung saling berbisik-bisik,
menimbulkan kegaduhan.
“Silakan, Fatara. Perkenalkan diri,” kata Bu Rita.
“Hai, semua. Nama saya Fatara Hendrik dari Keluarga
Hendrik. Demikian,” kata Fatara singkat.
“Hah, hanya segitu!” pekik Erwin, murid terganteng di
kelas itu, sebab ketiga teman gantengnya ada di kelas lain.
“Hahaha!” tertawalah sejumlah murid. Mereka sudah
membayangkan perkenalan yang intronya panjang kali lebar kali tinggi.
Ketika sebagian murid menertawainya, Fatara tetap saja
bergeming dalam ekspresinya.
“Boleh saya duduk, Bu?” tanya Fatara.
“Silakan,” kata Bu Rita seraya tersenyum canggung,
terlebih Fatara tidak ada senyum sedikit pun.
Sejenak Fatara melirik kepada sosok gaib di belakang Bu
Rita. Guru berambut sebahu itu jadi tergidik ngeri melihat gerak mata Fatara.
Fatara melangkah pergi menuju ke kursi kosong di belakang.
Semua murid memandang tanpa kedip kepada Fatara yang berjalan, seperti melihat
seorang diva dunia yang sangat cantik. Padahal yang mereka ingin lihat jelas
adalah kulit putih dan warna biru pada tubuh Fatara. Namun, Fatara bersikap
abai dengan tingkah warga kelas itu.
Akhirnya Fatara duduk di sisi seorang perempuan gemuk berkulit
mulus, berpipi bakpao dan berhidung pesek. Meski demikian, gadis itu memiliki
model mata yang indah, membuatnya terlihat cukup cantik meski tubuhnya
berlipat-lipat karena lemak. Gadis ini bermodel seperti Ayu Nosatgia, tetapi
yang ini lebih enak dipandang mata.
“Hai!” sapa siswi gemuk itu dengan ekspresi yang tidak
jelas, antara tersenyum, takut dan merana. “Nama saya Erla Zaskia.”
“Masih ada hubungan keluarga dengan Zaskia Gotik?” tanya
Fatara sambil duduk tanpa memandang kepada Erla Zaskia.
“Tidak ada, hehehe!” jawab Erla sambil cengengesan
bingung tingkah.
“Baik, Anak-Anak, perhatikan!” seru Bu Rita dengan suara
lembutnya.
Fatara masih melihat keberadaan makhluk hijau bermata
merah yang suka melompat-lompat di tempat, tidak jauh di belakang Bu Rita.
Makhluk berwajah seperti kakek-kakek itu memiliki ekor panjang seperti ekor
biawak. Bentuk tubuhnya seperti perpaduan manusia dan hewan.
Sosok hijau itu hanya dilihat oleh Fatara.
Tidak hanya itu, Fatara juga melihat seorang wanita
bergaun serba hitam gelap berdiri tepat di sudut kiri belakang kelas. Wanita
itu berdiri mematung di sana. Seluruh wajahnya ditutupi oleh rambut yang lurus
terurai. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar