Calon Primadona Baru

Arjuna Rangga, Micho Sapta, Erwin Yudono, dan Rendy Habib, berkumpul di kursi bawah pohon taman. Tidak biasanya mereka kumpul pagi-pagi, biasanya mereka baru kumpul saat jam istirahat atau setelah pulang.

Keempat siswa yang dikenal dengan sebutan Empat Pangeran itu sepakat untuk membuktikan kabar viral satu malam.

Tadi malam, semua guru dan murid SMA Gilang Bangsa yang memiliki ponsel, mendapat info berantai yang berbunyi “Besok ada primadona baru pindahan luar negeri”.

Berita viral se-SMA itu manjadi bahasan utama dan serius bagi Empat Pangeran. Bahkan mereka melakukan pertemuan darurat jam 12 malam di trotoar sambil ngopi eceran kopinya pedagang minuman keliling.

“Selama dua tahun, Primadona Gilang Bangsa adalah Lucy. Pertanyaannya adalah, apakah mahkota tiara primadona itu akan jatuh?” kata Micho Sapta, pemuda tampan beralis tebal dan berkumis tipis lagi halus. Ia adalah murid kelas 12.

“Oke, tetapkan taruhan pertama. Kalau kalah, traktir yang menang selama lima hari,” kata Arjuna Ragga, siswa tampan berhidung mancung dengan warna ras blasteran yang kental. Kakeknya asli orang Spanyol. Ia sekarang kelas 12. “Murid baru bakal kudeta atau tidak? Kalau saya, masih Lucy.”

“Murid baru,” kata Erwin memilih. Ia siswa kelas 11 bertubuh tinggi berkulit sawo matang, tetapi ketampanannya boleh diadu. Keluarganya masih memiliki ikatan darah yang kuat dengan salah satu keluarga kraton yang ada di Tanah Jawa.

“Lucy!” pilih Rendy Habib, pemuda tampan bermata lebar dan berhidung panjang dan mancung. Alis dan cambangnya tampak lebat. Ia masih keturunan darah etnis Arab. Ia sama seperti Erwin, kelas 11.

“Lucy!” kata Micho juga memilih.

“Oke, tiga lawan satu. Taruhan kedua. Siapa yang berhasil mendapat senyum pertamanya? Yang kalah lari mundur tiga putaran di lapangan basket,” kata Arjuna lagi.

“Oke.”

“Setuju!”

“Siapa takut?”

Ketiga lainnya sepakat dengan taruhan kedua.

“Taruhan ketiga. Siapa yang berhasil minum satu gelas dengannya. Yang kalah, patungan buat pesta kecil,” kata Arjuna lagi.

“Setuju!” kata ketiga lainnya sepakat.

Setelah itu, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan motor besarnya masing-masing.

Keesokan paginya, Empat Pangeran bertemu di kursi bawah pohon di taman. Ternyata bukan hanya mereka berempat yang menunggu kedatangan si anak baru, tetapi Lima Dewi Merak juga berkumpul di kursi pinggir lapangan sekolah.

Lima Dewi Merak adalah nama kelompok bagi lima siswi cantik kelas 12. Meski di dalam kelompok itu ada Lucy Swiari, Primadona Gilang Bangsa saat ini, tetapi keempat siswi lainnya bukanlah yang tercantik.

Mereka juga sama dengan murid-murid yang lain, ingin sekali melihat secantik apa siswi pindahan yang katanya akan menjadi primadona baru Gilang Bangsa.

Akhirnya sebuah mobil mewah merah cerah merek Hummer H3 memasuki gerbang sekolah.

Melihat mobil itu, seketika para murid yang penasaran dengan si murid baru segera memusatkan pandangan mereka. Mereka yakin itu adalah mobil si murid baru karena sebelumnya tidak ada murid yang diantar datang dengan mobil jenis itu.

“Wow! Berkelas habis!” ucap Erwin terpukau.

“Kamu tahu harga itu mobil?” tanya Arjuna.

“Satu miliar,” terka Rendy.

“Salah!” kata Arjuna.

“Setengah miliar,” kata Micho.

“Salah. Yang benar tiga miliar!” kata Arjuna.

Mobil merah besar itu berhenti di depan tangga.

“Teman-Teman, lihat sopirnya!” kata Micho.

“Settaaan!” sebut Erwin sebagai ungkapan kekagumannya saat berhasil melihat keberadaan sopir mobil itu.

Mereka melihat Cucun Maghfira yang cantik berwajah putih bersih dan berhidung mancung. Bibirnya merah oleh lipstik. Kecantikannya menyimpan rasa penasaran karena matanya ditutupi oleh kaca mata hitam. Seorang gadis muda lagi cantik, tetapi menyopiri sebuah mobil besar nan mewah.

Akhirnya si anak baru turun dari mobil. Namun, sebagian dari warga sekolah SMA itu harus kecewa, meski tidak sedikit yang terpukau dan tertawa geli sendiri.

Orang yang turun dari mobil itu adalah seorang pemuda bertubuh tampan, karena wajahnya memang kurang tampan. Pemuda berambut cepak dan berkacamata hitam gelap itu tidak lain adalah Jur, yang nama aslinya Mahjur Supeno. Ia mengenakan kaos warna putih lengan pendek yang ketat, memperlihatkan tampilan ototnya yang membuat mata wanita tergiur dan nyali lelaki lain jadi ciut.

Jur segera membuka pintu bagi majikannya. Fatara Hendrik memberikan tas jinjing miliknya kepada Jur. Setelahnya, ia bergerak turun dan langsung berjalan menaiki tangga.

Empat Pangeran, Lima Dewi Merak dan para siswa lainnya, termasuk satpam sekolah, ternganga berjemaah melihat sosok anak baru yang mengenakan seragam sekolah sama seperti mereka, yaitu putih abu-abu. Namun, anak baru itu berambut biru terang, bermata biru, berbibir biru dan berkuku hijau. Yang paling aneh adalah kulitnya yang berwarna putih seputih kapas.

Arjuna, Micho, Erwin, dan Rendy tidak bisa berkata-kata selama hampir satu menit lamanya. Hingga ketika Fatara yang dikawal oleh sang bodyguard lewat tepat di depan mata mereka, tidak ada satu pun yang berkomentar.

Kondisi yang sama juga dialami oleh Lima Dewi Merak dan para murid yang lainnya.

Hingga akhirnya Erwin berteriak.

“Saya menaaang!”

“Enggak enggak enggak!” tolak Arjuna langsung merespon.

“Benar, enggak bisa, Er!” dukung Rendy.

“Enggak bisa bagaimana?” tanya Erwin protes. “Sekarang saya tanya, jawab dengan jujur. Arjuna, cantikan mana, Lucy atau si anak baru?”

“Anak baru,” jawab Arjuna.

“Kamu, Ren. Cantikan Lucy atau anak baru?” tanya Erwin lagi.

“Ya, jujur sih, cantikan anak baru,” jawab Rendy lemah.

“Sekarang kamu, Cho. Lucy atau anak baru?” tanya Erwin lagi.

“Kalau saya Lucy, tapi bohong,” jawab Micho lemah. Tapi tiba-tiba dia teriak kepada Erwin, “Tetap enggak bisa. Meski dia cantik, tetapi cewek itu aneh, Er!”

“Oit! Kita enggak nyinggung masalah keanehan. Kalian bertiga sudah mengakui, cewek itu lebih cantik dari Lucy!” tandas Erwin.

“Tapi kita belum tahu, dia bakal kudeta Lucy atau enggak. Hasil belum kelihatan, Er!” kilah Arjuna.

“Benar, Er. Walaupun anak baru lebih cantik dari Lucy, tapi belum tentu ada yang mau karena dia aneh,” kata Micho sambil tertawa kecil.

“Aaah, kalian. Oke, kita tunggu beberapa hari ke depan. Kita lihat reaksi sebagian besar anak-anak!” kata Erwin melunak.

Sementara itu, Fatara Hendrik berjalan tenang di sepanjang koridor sekolah yang melewati teras kelas demi kelas. Wajahnya dingin sedingin es. Ia tidak peduli dengan tatapan setiap mata kepadanya.

Sangat berbeda dengan Jur yang berjalan dengan tangan kanan menenteng tas sekolah Fatara. Jur berjalan dengan percaya diri di belakang nona mudanya. Matanya melirik ke sana dan ke sini, tetapi itu tertutupi oleh kacamatanya yang seperti kacamata bintang film Terminator. Ketika mendapati ada sekelompok siswi cantik yang dilewati, Jur terkadang tersenyum sendiri, seolah sedang menebar pesona.

Jika Gawa Hendrik pertama datang ke sekolah membuat hampir semua warga sekolah ketakutan, berbeda dengan Fatara yang hanya dianggap aneh. Kesan mengerikan tidak begitu melekat pada diri Fatara karena adanya faktor cantik.

Namun, tetap saja kehadiran Fatara di sekolah itu menghebohkan seisi sekolah.

Fatara tidak perlu bertanya untuk mencari letak ruang kepala sekolah. Ia cukup membaca papan nama yang ada di atas pintu setiap ruangan. Bahkan ada papan denah yang membuat orang baru mudah menemukan tempat yang dicari di sekolah itu tanpa harus bertanya. (RH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar