Ilustrasi: Han Ga In, artis Korea Selatan |
BINTANG TURUN KE LANGIT
Oleh: Rudi
Hendrik
2016
Seorang gadis di antara para
siswa lainnya, untuk pertama kali melangkah memasuki gerbang Institut
Pendidikan Yayasan Kenang Indonesia yang disingkat “IP YAKIN”.
Gadis itu berkulit putih bersih
dengan wajah cantik layaknya wajah-wajah orang kaya yang selalu hidup di bawah hembusan
angin ber-AC. Berseragam putih lengan panjang dengan dasi panjang berwarna
hitam berlogo sesuatu. Rok abu-abunya juga panjang, berbeda dengan siswi
lainnya yang hampir semua memakai rok selutut. Ia mengenakan sepatu hitam
bergaris putih bermerek punya luar negeri. Tangan kanannya menjinjing tas
berwarna merah dengan hiasan gantungan kunci berbandul miniatur gitar listrik.
Kedatangannya menyedot perhatian
mata para siswa yang sudah ramai berdatangan sebelum bel menjerit meneriaki
para penuntut ilmu untuk masuk ke kelasnya masing-masing. Selain wajah
cantiknya yang laksana bintang kejora di langit malam tanpa awan, wajahnya juga
memang tayang perdana di sekolah itu. Namun, yang lebih membuat gadis ini
menjadi pusat magnet di pagi itu karena rambut sebahunya yang berwarna kuning
emas seperti orang bule.
Kedatangan si gadis juga menjadi
perhatian empat siswi yang sedang berkumpul di bawah tiang keranjang lapangan
basket.
“Wow! Siapa tuh?” tanya siswi
berambut ikal sebahu sambil mencolek temannya ketika pertama kali melihat
kedatangan siswi berambut bule. Siswi cantik bertahi lalat kecil di pipi kiri
itu bernama lengkap Iyut Nirmala, panggilannya Ala.
Ketiga temannya yang segera
memandang ke arah pandangan Iyut, berdesah “wow” secara bersamaan.
“Anak baru,” kata siswi berambut
panjang sepunggung, pelan. Ia bernama Novi Andria, panggilannya Ofi.
“Malapetaka,” ucap siswi yang
rambut sebahunya diikat dengan ikat rambut bermodel kulit kucing, membuat
anting emasnya berkilau jelas di telinga. Ia bernama Indah Pertiwi,
panggilannya Iwi.
Sementara siswi berambut pendek
yang cantik terkesan tomboy, tidak berkomentar. Ia bernama Ristana,
panggilannya Iis.
Keempatnya adalah sosok siswi
yang masuk kategori “cantik”. Selain karena mereka memang cantik dari segi
wajah, mereka juga memiliki kulit yang putih. Tiga dari mereka mengenakan rok
sebatas atas lutut, berbeda dengan Ristana yang ujung roknya hingga menutupi
lutut.
Di sekolah swasta itu, untuk
urusan rok, aturan batasannya dari atas lutut hingga mata kaki. Sepatu wajib
hitam dan kaus kaki putih panjang sebetis atas. Siswa/siswi berdasi panjang
hitam dengan logo sekolah IP YAKIN.
“Malapetaka apa yang lu maksud?”
tanya Novi serius.
“Lu lihat, noh anak Batalion!”
tunjuk Indah dengan matanya ke arah sekelompok siswa yang berkumpul di depan
pintu ruang Pembimbing Siswa yang masih tertutup.
Keenam siswa dengan berbagai
wajah itu, semuanya memandangi lewatnya siswi berambut bule untuk setiap
detiknya. Keenam siswa itu disebut “Batalion” karena itu adalah nama kelompok
band mereka di sekolah.
“Lu lihat, semua anak batangan di
sekolah ini pada ngelihatin dia. Bukan karena tuh anak makhluk alien atau
siluman buaya ijo, tapi karena tuh anak memang cantik!” kata Indah berapi-api,
kian menegaskan ramalan buruknya.
Memang, hampir semua siswa yang
melihat kedatangan si gadis berambut pirang, tidak segera membuang pandangannya
ke obyek yang lain. Minimal terjadi loading
di mata, kepala, bahkan di hati mereka.
“Pak Mukhtar yang tawadhu’ aja sampai kesirep sama pesona
rambut emasnya,” kata Indah berbisik, lebih menegaskan analisanya.
Keempat gadis itu pun memandang
ke nun jauh di depan perpustakaan, tempat seorang pria berwajah sejuk dengan
jenggot lima jarinya dan peci hitam khas Indonesia, berdiri terdiam memandang
kedatangan siswi berambut pirang. Lelaki berusia 45 tahun itu adalah guru agama
Islam di sekolah itu, namanya Mukhtar Abdulghani. Ia satu-satunya guru yang
tidak pernah ganti baju, selalu pakai baju koko dengan berbagai warna dan
jenis.
“Akhirnya Pak Mukhtar kena deh!”
kata Iyut yang membuat keempatnya tertawa ramai.
Tawa keempatnya yang nyaring
membuat Pak Mukhtar beralih memandang kepada mereka, tapi guru agama itu tidak
tahu bahwa keempat gadis itu menertawakannya. Pak Mukhtar lalu berlalu pergi
menuju ke ruang guru. Sementara beberapa meter di belakangnya berjalan si gadis
rambut pirang.
Dengan membaca plang petunjuk
yang dipasang di sisi atas lorong sekolah, si gadis pirang tidak perlu bertanya
untuk menemukan di sudut mana ruangan Kepala Sekolah SMK berada.
“Hahaha!”
Tiba-tiba tawa sekelompok siswa
meledak keras di area parkir motor. Dari candaan fisik yang mereka lakukan,
menunjukkan mereka sedang menjadikan siswi rambut pirang sebagai obyek candaan.
“Dasar Geng Anak Cicak!” rutuk
Ristana dengan wajah sinis.
Geng Anak Cicak adalah nama
ejekan yang ditujukan kepada kelompok geng siswa di sekolah itu yang bernama Geng
Anak Monster, disingkat Geng Amos.
“Tau tuh, norak banget, kayak gak
pernah lihat artis Vietnam!” rutuk Novi yang diikuti tawa Indah dan Iyut.
“Gua yakin banget, Rina bakal
jatuh pamor dalam beberapa jam doang!” kata Indah melanjutkan ramalannya.
“Lu bilang beberapa jam doang,
Wi?” ucap Novi dengan ekspresi syok seperti mendengar kabar dapat voucher
belanja seribu rupiah.
“Ya!” sahut Indah penuh yakin ditambah
separuh kebanggan. “Siapa berani taruhan? Bakso dua biji!”
Kalimat akhir Indah membuat
Ristana menarik pelan rambut Indah.
“Aw!” pekik Indah merengut sambil
berpaling kepada Ristana.
“Taruhan bakso dua biji, ketahuan
miskinnya. Kalau ramalan Iwi benar, gua traktir bakso Rina semangkok,” ujar
Ristana.
“Setuju. Kalau Iwi benar, gua
traktir Ofi,” kata Iyut.
“Oke, kalau Iwi menang, gua
traktir Iis,” kata Novi pula. “Dan kalau Iwi kalah, traktir kita bertiga.”
“Lha, yang traktir gua siapa?”
protes Indah.
“Duo K,” jawab Novi dan Iyut
berbarengan.
Tiba-tiba dua siswi cantik muncul
berlari ke arah mereka berempat. Siswi pertama rambut sebahunya di kepang kanan
dan kiri, bertabur ikat rambut karet warna-warni. Siswi kedua berambut panjang.
Sisi kanan kepalanya hanya dihiasi satu jepit rambut warna putih terang.
Keduanya juga termasuk gadis-gadis yang cantik.
“Wah, gawat gawat gawat!” teriak
siswi berkepang begitu heboh, membuat keempat gadis yang didatanginya jadi
pasang wajah serius, hingga kening ikut menegang dengan cara berkerut. Ia
bernama Windi Anggita, panggilannya Windi.
“Ada Han Ga-in di sekolah kita!”
kata siswi satunya lagi, juga begitu panik. Namanya Ade Irma, panggilannya
Adel. “Mana Rina? Mana?”
“Han Ga-in itu binatang apaan?”
tanya Indah kepada kedua sahabat mereka juga yang dikenal dengan julukan Duo K.
“Han Ga-in itu artis cantik drama
Korea,” Ristana yang justeru menjawab.
“Betul!” sahut Duo K bersamaan
sambil menunjuk Ristana. Nama Duo K melekat pada Windi dan Ade karena mereka
adalah pemuja musik K-Pop, film dan drama-drama Korea.
“Rina harus tahu kalau di sekolah
ini akan ada Han Ga-in blasteran Amerika. Hah! Anak itu bakalan merebut pasar
perhatian para brondong se-YAKIN. Sekarang Han Ga-in ada di ruangan Kepsek. Gak
masalah kalau dia anak baru kelas satu, tapi kayaknya enggak deh, pesonanya
matang banget untuk kelas satu. Wah! Kalau kelas tiga, Rina bisa habis
keinjak-injak!” cerocos Windi dengan mimik seperti wajah rakyat yang sedang
mendapat serangan udara.
Memang, wajah siswi berambut
pirang tadi mirip dengan aktris drama Korea Selatan Han Ga-in, bintang utama di
drama “Bad Guy” (2010) dan film “Architecture 101” (2012).
Kepanikan Windi semakin komplit
oleh kehebohan paniknya Ade Irma, membuat yang lainnya sangat tidak nyaman.
“Aaa! Berisik!” bentak Novi.
Karakternya sebagai anggota geng perempuan muncul ke permukaan. “Anak itu baru
masuk halaman aja sudah bikin kacau anggota Geng Bintang Tujuh. Pokoknya lihat
aja kalau sampai mengusik karisma kita!”
Iyut pun menghardik Duo K, “Memang
hebatnya apa kalau rambutnya bule? Siapa yang tahu, dia cuma anak pinggir jalan
yang mungut muka di tangga plaza. Geng Bintang Tujuh pantang keguncang cuma
karena nongolnya bidadari abu-abu yang gak jelas. Udah, berhenti panik gitu,
ngejatuhin derajat kelompok kita aja!”
Duo K hanya diam merengut.
Keenam siswi itu memang tergabung
dalam satu kelompok yang bernama Geng Bintang Tujuh. Kelompok geng perempuan
itu beranggotakan tujuh gadis, tidak lebih tidak kurang. Nama geng mereka sudah
mahsyur di seantero IP YAKIN. Bahkan keberadaan geng ini sudah diketahui oleh
para guru di sekolah itu. Namun untungnya, masalah yang mereka timbulkan tidak
pernah ada yang sampai ke tangan para guru, jadi jajaran guru pun tidak
mempermasalahkannya. Geng Bintang Tujuh diketuai oleh Rina Viona.
“Memangnya anak baru itu di
ruangan kepsek mana?” tanya Indah kepada Duo K.
“Kepsek SMK,” jawab Windi.
IP YAKIN memiliki dua sekolah
dalam satu gedung, yaitu SMU dan SMK. Adapun Geng Bintang Tujuh adalah
siswi-siswi SMK jurusan sekretaris.
“Kita tunggu aja, masuk mana
dia,” kata Novi dengan wajah berdarah dingin.
Teeet! Teeet! Teeet!
Jeritan bel listrik tiga kali
terdengar nyaring, memanggil semua siswa untuk masuk ke kelasnya masing-masing.
“Inna lillahi!” pekik Indah terkejut bukan main sambil memandang ke
arah gerbang sekolah.
Kelima lainnya segera memandang
setujuan dengan pandangan Indah. Ketika mereka melihat obyek yang dimaksud,
semuanya pun merasa terguncang.
“Akk!” pekik tertahan Windi dan
Ade Irma bersamaan. Saking syoknya, keduanya nyaris jatuh terduduk di lantai
semen.
“Oh!” keluh Novi serasa
kehilangan pijakan, bahkan tubuhnya jadi lunglai, tangannya segera berpegangan
di tiang keranjang basket.
Iyut terperangah dengan mulut
terbuka dan mata mendelik, hampir tidak bisa dibedakan dengan wajah ikan asin
yang terjemur.
Sementara Ristana tetap terdiam, cool, meski di dalam hatinya bergolak
tidak karuan.
Yang mereka lihat sehingga mereka
terguncang adalah sosok seorang siswi berhijab yang melangkah mendatangi
mereka. Yaaa, hanya seorang siswi berjilbab yang memang berwajah cantik. Tapi,
apakah sampai sedahsyat itu efek yang ditimbulkan siswi itu sehingga membuat
keenam anggota Geng Bintang Tujuh terguncang hebat?
“Ri... Rina?” ucap Indah gagap
bernada bertanya, tapi tidak ada yang menjawab.
Siswi itu memang Rina, Rina
Viona, Ketua Geng Bintang Tujuh. Rina, kemarin masih tampil penuh pesona tidak
jauh beda dengan keenam anggota gengnya. Bahkan roknya yang terpendek di antara
mereka. Sekarang, roknya panjang mencapai mata kaki. Kemarin, rambut ikal
indahnya masih tergerai mempercantik wajah bersihnya. Kini, rambut itu telah
tertutup oleh jilbab putih.
Seorang ketua geng yang hidup
penuh gengsi dan gaya glamour, yang tidak sedikit pun peduli dengan gaya hidup
religius atau pendidikan agama, tiba-tiba dalam sepintas malam berubah wujud
seperti ganti judul film. Tidak hanya itu, Rina adalah sosok terkejam dan
terjahat di Geng Bintang Tujuh.
“Assalamu ‘alaikum!”
Bukan Rina yang mengucapkan
salam. Bukan juga salah satu dari keenam lainnya dengan maksud menggoda.
Salam yang terdengar teriakan itu
berasal dari seorang siswi berjilbab lainnya yang berlari bersama tas ransel di
punggungnya di belakang Rina. Salam itu membuat Rina berhenti dan berpaling.
Didapatinya siswi berjilbab berlari melewati keberadaannya dan mendapati keenam
anggota Geng Bintang Tujuh yang masih menunjukkan wajah bingung dan
ketidakpercayaan.
“Ala, cepat pinjam hp-mu!” pinta
gadis cantik berwajah sedikit lebih hitam itu sambil menadahkan tangan kanannya
kepada Iyut Nirmala. Suaranya sedikit serak, tapi itu alami sebagai warna
suaranya.
Meski mereka tidak akrab dengan
siswi itu, tapi siswi itu bersikap begitu akrab. Tanpa mau bertanya “untuk
apa”, Iyut menyerahkan handphone-nya
kepada siswi itu.
Setelah menyentuh layar hp
beberapa kali, siswi itu segera bergerak ke depan Rina sambil tertawa-tawa
kecil, membuat lesung pipinya terlihat manis.
“Senyum!” seru siswi itu kepada
Rina sambil mengarahkan kamera hp di tangannya untuk memfoto Rina.
Crek!
Siswi itu mendapat gambar bagus.
Ia pun tertawa sendiri sambil berbalik memulangkan hp itu kepada Iyut.
“Jazakillah, Ala!” ucap siswi itu penuh senyum lalu membungkuk
layaknya orang Jepang menghormat.
Ia lalu berlari pergi sambil
tertawa dan melambaikan tangan kepada Rina yang hanya tersenyum, senyum
pertamanya dalam balutan hijab.
“Ayo ke kelas!” ajak Rina kepada
teman-temannya yang belum berhenti mematung.
Belum habis rasa syok yang mereka
rasakan, malah muncul Barada yang seenaknya saja meminjam hp lalu memotret Rina
dan pergi begitu saja. Padahal mereka tidak akrab dengan Barada, tapi memang
siswi kelas dua jurusan akuntansi itu punya kelebihan bisa mengakrabkan diri
dengan siapa pun. (RH)
Berlanjut: Dari Resleting Hingga Wawasan Konflik Dunia (2)
Berlanjut: Dari Resleting Hingga Wawasan Konflik Dunia (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar