Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
“Alvin...!” teriak Lidya.
Lidya berteriak memanggil nama kekasihnya yang sudah mati. Itu mengejutkan Venus yang sedang berbicara dengan seorang pemuda tampan lainnya di dalam gedung, dekat mobilnya.
Venus menengok ke belakang dengan wajah kening
berkerut. Ia segera berbalik lalu berjalan ke luar, ke arah Lidya dan Toyib
yang dibekuk kedua tangannya. Pemuda yang bersama Venus mengikuti di belakang.
Pemuda itu tidak lain adalah Afrizal. Ia sudah mulai bekerja sebagai orangnya
Garda Prabowo.
“Alvin!” panggil Lidya lagi saat melihat Venus
berjalan ke arahnya.
Dengan tenang Venus mendatangi para anak buahnya
yang menyandera Lidya dan Toyib.
“Lepaskan perempuan ini!” perintah Venus kepada para
anak buahnya.
“Alvin! Jadi kamu membohongi saya?!” tanya Lidya
dengan marah dan mata berkaca-kaca oleh genangan air mata.
Selepas dari cekalan tangan-tangan anak buah Venus.
Lidya langsung menghambur hendak menyerang wajah pemuda tampan yang ia kenal
bernama Alvin itu. Namun, dengan mudahnya Venus menangkap tangan perempuan
cantik itu dan langsung menariknya dengan paksa. Venus terus menarik paksa
Lidya pergi ke arah kantor. Lidya mencoba melepaskan tangannya seraya menangis.
Venus tidak berkata apa-apa, ia hanya terus menarik
Lidya hingga masuk ke dalam ruangan berukuran 10 x 7 meter. Ruangan itu
terlihat cukup mewah untuk model sebuah kantor.
“Keluar!” perintah Venus kepada seorang perempuan
muda yang ada di ruangan itu. Ia adalah sekretaris di pabrik milik Garda
Prabowo itu.
Sekretaris tersebut segera keluar, hingga tinggallah
Venus dan Lidya di ruangan itu. Venus mendorong paksa Lidya duduk di kursi
sofa.
“Alvin sudah mati. Yang ada adalah Venus bandar
narkoba!” kata Venus kepada Lidya.
“Karena kebohongan kamu, saya hampir mati konyol
bunuh diri!” teriak Lidya berurai air mata.
“Lalu kenapa? Kenapa tidak jadi mati?” tanya Venus
dengan wajah dingin. Ia berdiri bersandar pada sudut meja sekretaris kantor
itu.
Pertanyaan Venus itu sangat membelalakkan mata
Lidya, karena begitu memukul ruh perempuannya. Seketika ia tidak mampu berucap,
bibirnya saja yang bergetar. Lidahnya keluh lantaran bingung harus berkata apa.
Ia kini merasa benar-benar seperti ludah. Siapa yang peduli? Jika ada yang
peduli, ludah itu pasti dilenyapkan?
Venus tidak lain adalah Alvin, kekasih Lidya. Alvin
dikabarkan telah tewas oleh timah panas polisi.
“Bukankah jika kamu mati, kamu tidak perlu menangis
menderita seperti saat ini?” kata Venus lagi, tanpa memiliki perasaan iba
kepada kondisi Lidya.
“Vin,” sebut Lidya lirih dengan isak tangisnya.
“Saya begitu cinta kamu. Saya pun ikhlas melepas keperawanan saya. Sekarang
saya mengandung anak kamu, Vin.”
“Saya tidak butuh cinta kamu. Saya tidak pernah
cinta kamu, sama seperti dengan wanita lain. Kamu tidak ada istimewanya.
Bukankah kamu suka saat kamu saya pakai. Lalu apa masalahnya? Saya tidak ada
urusan jika kamu sampai hamil,” kata Venus dengan tatap minus rasa kasih.
“Biadab!” teriak Lidya benar-benar murka sambil
menyambar asbak kristal di meja lalu melemparnya ke arah wajah Venus.
Prang!
Sigap Venus mengelakkan kepalanya dari celaka.
Akhirnya, dinding kaca tebal kantor itu pecah berantakan dihantam asbak.
Orang-orang yang ada di luar hanya terkejut dan bisa memandang, termasuk
Afrizal yang berdiri menunggu, karena masih ada hal yang perlu ia bicarakan dengan
Venus.
“Saya bunuh kamu!” pekik Lidya histeris sambil
menyambar sebuah boks speaker berbahan kayu lalu diayunkan untuk menyerang
Venus.
Pak!
“Akk!” jerit Lidya dengan tubuh terhempas ke meja.
Tamparan Venus yang begitu keras membatalkan
serangan Lidya. Bibir Lidya pecah dan berdarah.
Buk!
“Hakh!” pekik Lidya tinggi saat perutnya ditendang
keras oleh Venus.
“Saya tidak butuh anak, tidak butuh cinta, dan tidak
butuh tubuh kamu!” bentak Venus.
Tok tok!
Kemarahan Venus terganggu oleh suara ketukan di pintu
kaca ruangan itu. Venus memandang ke pintu. Joy sudah berdiri di sana. Joy
melihat wajah Venus benar-benar marah.
“Kata Afrizal, barang kita yang hilang dicuri
perempuan itu dan temannya!” lapor Joy sebelum Venus bertanya.
Mendengar laporan itu, Venus sejenak diam dan
memandang Lidya yang sedang kesakitan.
“Nday tahu rumah pelacur ini. Habisi semuanya!”
perintah Venus kepada Joy.
“Oke, Bos!”
Joy pun segera pergi dengan penuh semangat. Ia
menghampiri Nday. Lalu mengajak tujuh orang lelaki lainnya. Nday membuka sebuah
peti kayu agak panjang. Setelah dibuka, ternyata peti kayu itu berisi senjata
api jenis AK-47. Sementara Nday dan Joy memilih pistol. Joy dan Nday bersama
ketujuh lainnya segera naik ke mobil Carry merah yang terparkir. Setelah itu
pergi.
Melihat tempat itu ternyata menyimpan senjata
militer, Afrizal cukup terkejut. Namun, sebagai orang baru di tempat itu, ia
tidak bisa berbuat banyak. Hari ini, ia mendapat perintah dari bos barunya
untuk datang ke tempat itu dan menemui orang yang bernama Venus. Afrizal
membawa pesan dari Garda Prabowo. Namun, sebelum pesan itu tersampaikan,
masalah tentang Lidya tercipta. (RH)
Berlanjut: Pembelaan Seorang Lelaki (17)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar