Dari Resleting Hingga Wawasan Konflik Dunia (2)

Ilustrasi: anggota Paskibra berjilbab. (Foto: Putri Khairusa'diah/2012)
BINTANG TURUN KE LANGIT

2016

Bab Sebelumnya:




Beberapa hari sebelumnya.

Senin yang cerah. Di lapangan IP YAKIN berbaris semua siswa melaksanakan rutinitas wajib, yaitu upacara bendera. Kali ini SMK jurusan akuntansi yang mendapat giliran sebagai petugas upacara. Semua sudah siap. 

Dewan Guru sudah berjejer rapih di belakang podium Pembina Upacara yang masih kosong. Semua murid pun sudah berbaris rapih. Barisan depan adalah murid-murid yang memang siap berdiri tegap sepanjang upacara. Sementara di barisan belakang adalah langganan murid yang tidak mau berdiri tegak sempurna dalam upacara, termasuk ketujuh personil Geng Bintang Tujuh yang diketuai oleh Rina Viona dan dibawahi oleh Iyut Nirmala (Ala), Novi Andria (Ofi), Indah Pertiwi (Iwi), Ristana (Iis), Windi Anggita (Windi), dan Ade Irma (Adel). Mereka berdiri santai, bahkan bercanda.

“Pemimpin Upacara memasuki lapangan upacara!” seru siswi petugas pembawa acara, lantang dari sudut lapangan.

Tak!

Hentakan langkah pertama sang Pemimpin Upacara cukup keras hingga suaranya terdengar sampai ke sudut terjauh lapangan. Selanjutnya ia melangkah tegap layaknya seorang pemimpin militer dengan seragam Paskibra.

Yang menjadi Pemimpin Upacara kali ini dipercayakan kepada seorang siswi berjilbab. Dan siswi berjilbab di sekolah itu, baik di SMU ataupun di SMK, hanya ada lima orang. Di kelas dua akuntansi hanya ada dua, satu di antaranya adalah Barada.

Sampailah Barada beberapa meter di depan podium Pembina Upacara. Kemudian dia menghadap kepada barisan para siswa dengan wajah lurus tegak, tapi pandangan menyapu luas.

Sementara itu, Rina yang tidak biasanya serius mengikuti jalannya upacara, kali ini serius memperhatikan ke depan. Ia tidak memperdulikan teman-teman satu gengnya yang terkadang tertawa tertahan dan sibuk sendiri. Meski ia berdiri di belakang barisan, tapi fokus pandangannya tertuju kepada sosok Barada selaku Pemimpin Upacara Bendera.

“Badar tampil gagah,” membatin Rina.

Suasana hening dan khidmat, meski di belakang barisan ketidaktertiban bisa diredam oleh para pelakunya sendiri.

Namun, ada yang aneh. Meski tanpa suara, terjadi sedikit ketidakelokan di jajaran Dewan Guru. Dengan tetap berdiri tertib, tetapi bibir mereka berbicara satu per satu. Bahkan beberapa guru tampak tersenyum geli. 

“Astaghfirullah!” kejut Barada, tapi hanya dalam hati. Sikapnya tetap sempurna.

Barisan yang satu garis lurus dengan posisi Barada selaku Pemimpin Upacara adalah barisan siswa pria SMU kelas tiga. Salah satu siswa yang berdiri di barisan paling depan adalah Supoyo, anak kelahiran Surabaya, Jawa Timur. Barada hanya kenal tampang tanpa kenal nama. Yang membuat Barada beristighfar dalam hati bukanlah disebabkan oleh wajah Supoyo yang sekeren penyanyi Didi Kempot, tapi karena resleting celana abu-abunya tidak ditarik ke atas, alias terbuka lebar. Tak ayal lagi, selain ujung baju yang dimasukkan terlihat, warna celana dalam yang sekuning buah pisang pun tampak dari jauh. Namun demikian, Supoyo masih beruntung karena masih memakai celana dalam.

Resleting celana Supoyo itulah yang menjadi sumber kegaduhan di jajaran Dewan Guru. 

“Pembina Upacara memasuki lapangan upacara!” seru pembawa acara dengan lantang.

Pembina Upacara yang kali ini dilakoni oleh Kepala Sekolah SMK IP YAKIN, Drs. Didi Sudrajat, MM, melangkah memasuki lapangan upacara dan naik ke podium pembina, dikawal ketat oleh petugas pembawa teks Pancasila.

Barada yang seharusnya balik kanan menghadap ke arah pembina, justeru melangkah tegak maju lurus mendatangi posisi berdiri Supoyo. Para siswa pun berubah riuh, sebagian bahkan tertawa, karena mereka menduga Barada telah salah jalan.

“Lihat lihat lihat!” seru Indah Geng Bintang Tujuh kepada teman-temannya sambil menunjuk ke depan. Badar salah jurusan, hahaha!”

Rina menunjukkan wajah heran yang serius, karena sejak tadi dia fokus memperhatikan Barada yang biasa dipanggil dengan nama Badar.

Memang para siswa tidak tahu apa alasan Barada justeru mendatangi Supoyo dengan langkah formal, bukan mendatangi Pembina Upacara. Pak Didi pun heran, karena dia sendiri belum sempat melihat resleting celana Supoyo, terlebih sekarang terhalangi oleh punggung Barada.

Barada berhenti tepat satu jangkauan dari Supoyo yang heran tiada aral dan rintangan. 

“Apakah Badar ingin menyatakan cintanya di saat upacara seperti ini?” bertanya batin Supoyo dengan wajah tegang, sementara di atas ubun-ubunya terbayang ilusi Barada mengumumkan cinta kepadanya di depan seluruh siswa dan guru yang kemudian disambut sorakan meriah dan tepuk tangan.

“Resleting celana kamu tolong naikkan,” kata Barada pelan berbisik kepada Supoyo.

Jleggarr!

Petir seketika menyambar tepat di atas ubun-ubun Supoyo mendengar kalimat bisikan itu. Itu bukan bisikan cinta, tapi bisikan yang menyetrum seluruh saraf malu. Wajah seganteng Didi Kempot itu seketika mendelik hebat dan memerah kelam menahan rasa malu. Sepasang tangannya yang sejak tadi mengepal siap lurus di sisi badan, dengan begitu cepat berkelebat menemukan resleting celananya. Dan memang benar, resleting itu masih terbuka lebar. Cepat pula Supoyo menarik tutup resletingnya.

“Hihihik!” siswa yang berdiri di sisi kanan dan kiri Supoyo segera membekap mulutnya dengan tangannya sendiri, menahan tawa agar tidak keluar terbahak. Hanya kedua siswa itu yang mengerti apa yang dibisikkan oleh Barada dan yang dialami Supoyo.

Barada sendiri dengan mantap balik kanan kembali ke posisinya semula, tapi masih menghadap ke arah barisan siswa dan siswi, membelakangi Pembina Upacara. 

Sebenarnya Barada adalah gadis yang gampang tertawa, tapi ketika ia memutuskan untuk memberi tahu Supoyo, ia sudah mempersiapkan diri untuk menahan tawanya.

“Seluruhnya, siaaap, grak!” teriak Barada lantang dengan suara khasnya yang sedikit serak.

Komando Pemimpin Upacara itu seketika meredakan gemuruh kebisingan yang sempat tercipta karena keputusan Barada untuk mendatangi Supoyo.

Barada lalu balik kanan menghadap kepada Pembina Upacara, Bapak Didi Sudrajat.

“Kepada, Pembina Upacara, hormaaat, grak!” 

Setelah kejadian unik tersebut, upacara Senin itu pun kembali berlangsung secara normal hingga akhir.

Rina jadi penasaran dengan apa yang terjadi di lapangan upacara tadi, ia ingin tahu, sebab kejadian itu melibatkan Barada. Karenanya, Rina tidak langsung masuk ke kelas usai upacara, tapi berdiri menunggu di bibir tangga lantai tiga. 

Lantai tiga memang adalah kawasan SMK. Lantai dua adalah SMU. Lantai satu beberapa ruang kelas SMU dan ruangan guru, kepala sekolah, perpustakaan, lab, komputer, kantin, dan ruangan lainnya.

Akhirnya Barada muncul dari bawah menaiki tangga ke lantai tiga. Ia sudah tidak mengenakan pakaian Paskibra lagi. Tampak Barada senyum-senyum sendiri. Bukan tanpa sebab ia terus tersenyum, itu karena ia masih mengingat jelas ekspresi Supoyo ketika ia tahu bahwa resleting celananya belum dinaikkan.

“Untung masih pakai sempak,” pikir Barada yang membuatnya tertawa lepas, karena mau tidak mau terlintas gambaran porno di pikirannya. “Hahaha!”

“Badar!” panggil Rina sambil menghadang Barada yang seketika memperkecil volume tawanya.

“Ye?” tanya Barada seraya tersenyum kepada Rina, bukan tersenyum karena kejadian di upacara tadi.

“Gua pengen tahu, kenapa lu ngedatangin anak bawah di upacara tadi,” ujar Rina.

“Oh itu,” ucap Barada lalu tertawa kecil. “Aduh, maaf, Rin. Bukannya saya pelit, tapi itu tidak boleh disebarkan. Jika pun nanti hal itu tersebar ceritanya, tetap saya tidak mau jadi bagian dari para penyebar itu. Maaf, ya.”

Barada lalu membungkuk seperti kebiasaan orang Jepang, lalu berlalu pergi.

Rina hanya terdiam kecewa, tapi ia memang tidak bisa memaksa Barada, meskipun ia biasanya suka memaksakan kehendak kepada orang lain.

Rina akhirnya melangkah ke arah pintu kelasnya, tapi ia berhenti ketika mendengar percakapan dua siswi kelas dua akuntansi lainnya yang menaiki tangga.

“Yani, tunggu!” panggil Rina cepat, lalu segera mendatangi siswi berambut kepang satu dan temannya.

Kedua siswi itu berhenti. Melihat siapa yang memanggil, wajah keduanya menunjukkan kadataran, karena keduanya tahu Rina adalah Ketua Geng Bintang Tujuh. Dan mereka tidak suka dengan geng itu.

“Yani, lu kan tadi bertugas bawa map Pancasila. Lu pasti tahu kejadian aneh di lapangan tadi?” tanya Rina.

“Gua cuma lihat Badar mendekati Supoyo, tapi gak lihat waktu resleting Supoyo kebuka,” jawab Yani. 

“Jadi, Badar ngedatangin anak bawah itu cuma mau ngasih tahu kalau resletingnya kebuka?” tanya Rina memastikan. 

“Iya, gua juga lihat kalau celana Supoyo kebuka waktu upacara,” timpal Ita, teman Yani yang saat upacara berdiri di barisan depan paduan suara.

“Oke, terima kasih,” ucap Rina lalu berbalik pergi.

Sambil berjalan ke kelasnya, Rina berpikir, “Meski pakai jilbab, tapi Badar tidak sungkan menegur resleting cowok. Dan dia tidak mau menceritakan kejadian memalukan itu....”

Di waktu istirahat, hampir semua siswa SMK bergegas ke kantin di lantai bawah. Di sekolah itu ada dua kantin, satu kantin besar seperti restoran mini, dan yang lainnya kantin sederhana begitu adanya. Namun perlu diketahui, pemilik kedua kantin tidak terlibat dalam persaingan.

Di sekolah itu, waktu istrahat antara SMU dan SMK berbeda. Kebijakan itu ditetapkan untuk menghindari terjadinya pembludakan di kantin.

Di kantin besar yang dimiliki oleh keluarga yayasan sekolah itu, dikenal dengan sebutan Kantin Latah, karena dua lelaki pelayannya mengidap penyakit latah. Tapi sangat beruntungnya, latah keduanya bukan latah jorok.

Adapun kantin kecil populer di kalangan siswa dan guru dengan nama Kantin Cantik. 

Dipimpin oleh Rina, Geng Bintang Tujuh berjalan bergerombol sepanjang koridor menuju Kantin Latah. Meski pembeli membludak di Kantin Latah, satu set meja dari sepuluh set meja makan yang ada pasti kosong, selama Geng Bintang Tujuh belum duduk di sana. Dan semua siswa SMK dan SMU tahu bahwa satu set meja adalah meja makan yang dimonopoli oleh geng perempuan itu.

Ketika Geng Bintang Tujuh masuk ke Kantin Latah, semua meja penuh, kecuali satu yang masih kosong. Dan meja itu memiliki tujuh kursi, sedangkan meja selainnya memiliki empat kursi. Ketujuh gadis itu langsung duduk di tujuh kursi yang masih kosong.

“Mas Budi!” teriak Novi sebagaimana biasanya memanggil seorang pelayan, meski semua pelayan sibuk. 

Memang terkadang tingkah anak-anak Geng Bintang Tujuh membuat siswa-siswi yang lain merasa muak, tapi rasa muak itu hanya bisa mereka telan sendiri. Mereka sedikit pun tidak mau berurusan dengan anak geng yang mereka anggap gadis-gadis sombong yang sok jagoan.

Pelayan kantin yang bernama Mas Budi segera menyahut dari balik meja pelayanan sambil tetap melayani siswa lainnya yang sedang mengantri memesan, “Iya, Neng Ofi!”

Tapi Mas Budi tidak segera datang, dia malah mencolek pria lain di sebelahnya yang juga sibuk melayani membungkus dan memplastikkan makanan.

“Eh, brondong Afrika!” pekik pria yang dicolek, terkejut latah. Lalu menoleh kepada Mas Budi setelah tersadar dari latahnya.

“Layanin dulu tuh anak-anak mama,” kata Mas Budi berbisik kepada Mas Afrika, pria manis berkulit hitam dengan usia 27 tahun. “Nanti aku beri, deh.”

“Jangan ingkar kau, ya,” kata Mas Afrika seraya setengah menunjuk hidung Mas Budi. 

Dengan sedikit gemulai Mas Afrika meninggalkan layanannya menuju meja Geng Bintang Tujuh. Dengan wajah ceria manisnya dan gigi berderet rapih dan putih, Mas Afrika menyapa ketujuh gadis cantik itu. Perlu diketahui, untuk menjadi personil Geng Bintang Tujuh, salah satu syarat utamanya adalah cantik.

“Hello, dewi-dewi bintang!” sapa Mas Afrika yang nama aslinya adalah Muhammad Aziz. Suaranya mengalun manja, bawaan pergaulan. “Mau pesan apa, Neng Rina?”

“Heh!” sentak Novi sambil menepuk lengan Mas Afrika. 

“Terong Afrika! Eh, Afrika-Afrika, terong Afrika!” latah Mas Afrika dengan mimik gelagapan. Lalu katanya setelah tersadar, “Ih, Neng Ofi galak betul, ah.”

“Lagian, gua manggil Mas Budi, eh yang datang kijang Afrika!” protes Novi.

Yang lain hanya tertawa.

“Kita pesan soto sama nasi aja, Mas,” kata Iyut.

“Buat Duo K, jangan lupa, Mas Afrika, sotonya pakai bakso,” kata Windi sambil kedipkan mata genit.

“Aduh, Neng Windi bikin syuuur ajah,” ucap Mas Afrika sambil senyum-senyum malu tidak layak. Lalu tiba-tiba latah lagi, “Banci Afrika! Eh, lu banci Afrika!”

“Buruan, ah. Gak ada waktu buat naksir kita-kita. Laper nih,” hardik Novi yang tadi mencolek pinggang Mas Afrika, karena si mas itu beriri di sebelah Novi.

“Tapi minumnya apa?” tanya Mas Afrika belum beranjak.

“Semua es kelapa, kecuali Duo K, teh hangat,” jawab Indah.

“Gua enggak usah, Mas,” kata Rina yang membuat keenam sohibnya memandangnya dengan pertanyaan.

“Kenapa, Rin?” tanya Novi.

Rina justeru berdiri, lalu katanya, “Lu semua makan aja, gua ada urusan sebentar.”

“Oke deh!” sahut Windi dan Ade Irma bersamaan.

“Tunggu sebentar ya, dewi-dewi cantik,” kata Mas Afrika lalu segera pergi.

Rina lalu melangkah ke luar kantin. Tidak ada yang tahu bahwa sejak masuk ke kantin itu, Rina mencari-cari seseorang, tapi tidak ia temukan.

Rina pergi ke Kantin Cantik di sebelah Kantin Latah. Dia hanya berdiri diam sebentar, sementara matanya mencari, karena untuk melihat orang yang dicarinya akan mudah, sebab orang yang dicarinya memakai jilbab.

“To, lu lihat Badar?” tanya Rina kepada Wanto, siswa sekelas Barada.

“Enggak, Rin,” jawab Wanto.

Tidak menemukan Barada di area kantin, Rina memutuskan naik ke lantai tiga dan pergi ke kelas dua akuntansi. Namun, di kelas itu hanya ada dua siswi yang asik ngobrol. Obrolan keduanya berhenti ketika melihat Rina masuk mendatangi mereka.

“Lu berdua tahu di mana Badar?” tanya Rina kepada kedua siswi yang ia tidak hapal namanya.

“Kalau istirahat, kemungkinan besar Badar ada di dua tempat, Rin. Kalau gak ada di dapur sekolah, dia ada di perpustakaan,” ujar siswi yang rambutnya digelung dan ditusuk konde mirip emak-emak.

“Oke, thank’s,” ucap Rina lalu kembali pergi. 

Dapur sekolah dan perpustakaan ada di lantai satu. 

“Kalau ke dapur sekolah, berarti gua harus lewat ruang guru, ah gua gak bisa masuk ke ruang guru. Gua cari di perpustakaan aja,” batin Rina.

Setibanya di depan perpustakaan, Rina pun langsung masuk, tapi dia tidak langsung melihat keberadaan siswi berjilbab yang dicarinya. Selain staf penjaga perpustakaan, hanya ada beberapa pelajar di dalam ruangan yang cukup besar itu.

Rina berjalan sambil melihat ke gang-gang antara rak buku. Dan nun jauh di sudut, di rak paling ujung, tampak Barada sedang duduk bersender tembok sambil membaca buku. Namun Rina tidak langsung mendatanginya, ia berlagak mencari buku yang tidak dicarinya.

Rina masuk dari gang rak yang lain lalu berbelok hingga tiba di rak yang sama dengan Barada. Namun, lagi-lagi Rina berpura-pura mencari buku tanpa memandang atau menegur Barada.

Karena ada kehadiran orang tidak jauh darinya, Barada pun menghentikan bacanya dan beralih memandang untuk tahu siapa gerangan.

“Eh, Rin,” sapa Barada akrab sambil berdiri, padahal mereka berdua tidak akrab. “Nyari buku apa? Di rak ini khusus buku-buku sejarah dunia.”

“Buku belajar gitar pro,” jawab Rina tanpa senyum.

“Di rak ujung satunya,” kata Barada sambil berjalan pergi ke rak yang ia maksud. 

Rina mengikuti.

“Lu baca apa?” tanya Rina.

“Sejarah Yaman. Saat ini perang berlangsung di Yaman. Tapi yang buat saya heran, sebuah kelompok minoritas bisa dengan cepat merebut ibukota Sanaa dan menggulingkan pemerintahan pimpinan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi. Dan hebatnya lagi, pemberontak ini bisa dengan cepat merebut berbagai wilayah lain di Yaman. Setahun koalisi negara-negara Arab pimpinan Arab Saudi menggunakan serangan udara, tidak mampu mengalahkan para pemberontak. Hingga sekarang. Perkembangan terbaru, akan diadakan gencatan senjata dan perundingan damai antara pemberontak Yaman dengan Arab Saudi,” tutur Barada yang memang sedang memegang buku sejarah negara-negara Arab.

“Busyet, nih anak wawasannya daerah konflik dunia,” membatin Rina. 

“Saya bantu cari,” kata Barada setibanya di rak yang menyimpan buku-buku yang berkaitan dengan dunia musik.

Barada mulai melihat judul buku satu per satu di rak itu. Rina mencari di sisi rak sebelahnya.

“Istirahat begini lu gak makan?” tanya Rina.

“Senin dan Kamis saya puasa, jadi gak makan. Selasa, Rabu, Jumat saya di dapur sekolah.

Rina terdiam sejenak mendengar jawaban Barada dari seberang rak. Lalu tanyanya lagi, “Ngapain lu di dapur sekolah?”

“Khusus membuatkan teh dan kopi untuk guru-guru yang mengajar di kelas akuntansi.”

“Disuruh guru?” tanya Rina lagi.

“Tidak. Kalau dikatakan berlebihan, orang lain mungkin menganggapnya iya. Tapi bagi saya, itu wujud bakti dan terima kasih saya kepada para guru yang memberikan ilmunya kepada saya,” jawab Barada.

Rina kembali terdiam mendengar jawaban itu. Lalu katanya, “Gua udah dapat bukunya. Thank’s, ya.”

“Sama-sama,” ucap Barada sambil membungkuk seperti orang Jepang kepada Rina.

Sebenarnya Rina ingin tertawa jika melihat Barada membungkuk seperti itu. Menurutnya lucu.

Rina melangkah pergi sambil membawa sebuah buku yang sebenarnya tidak dia perlukan. 

“Setiap gua ngobrol sama Badar, selalu ada sesuatu yang baru gua dapat. Dia cewek yang aktif, gagah, tidak sungkan menegur resleting terbuka, berani mengambil keputusan saat di upacara tadi, tidak menceritakan keburukan orang, berwawasan dunia, berbakti kepada guru, puasa Senin-Kamis. Apakah dia itu cewek sempurna?” pikir Rina.

Figur Barada ternyata membuat Rina sangat penasaran. Secara diam-diam dia memperhatikan prilaku Barada di sekolah dalam beberapa hari terakhir, tanpa sepengetahuan keenam personil Geng Bintang Tujuh lainnya.

Meski demikian, Barada bukanlah sosok gadis pendiam layaknya Muslimah yang sangat menjaga pandangan dan suaranya. Rina seringkali melihat Barada tertawa ketika berkomunikasi langsung dengan teman sekelasnya. Beberapa kali Rina mendengarnya tertawa keras, yang seharusnya tabu bagi gadis yang tahu ilmu agama.

Tapi itulah Barada. 

“Badar!” sebut Ustad Mukhtar Abdulghani saat lewat dan mendengar Barada tertawa terkakak-kakak bersama Eka Fitriyani, Ketua OSIS SMK yang juga Ketua Kelas 2 Akuntansi.

Teguran itu seketika membuat Barada membekap mulutnya sendiri lalu membungkuk seperti orang Jepang kepada guru agama Islam itu.

“Iya, Ustad!” sahut Barada.

Ustad Mukhtar pun berlalu menuju tangga.

Tingkah Barada itu membuat Rina tertawa sendiri di depan pintu kelasnya. 

“Lu ngetawain apa, Rin?” tanya Novi di sebelahnya.

“Noh, si anak pesantren, seperti orang Jepang,” jawab Rina, membuat Novi jadi memandang jauh ke depan kelas akuntansi. (RH)

Berlanjut: Kesumat Cinta di Atas Jembatan (3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar