Emosi Sang Ratu (11)

Ilustrasi: Kim So-eun (Foto: ProfilBos.com)
Novel: Ratu Suku Lix

Tahun 2017

Bab Sebelumnya:

 
Marli memelankan motor barunya ketika mulai memasuki area parkiran gedung Gelora Merdeka. Sepi, tidak ada satpam penjaga yang bertugas. Kondisi itu dinilai aneh. Setahu Marli, gedung seperti ini seharusnya ada keamanan, karena gedung ini sering disewa untuk kegiatan olahraga. Beberapa lampu terang menerangi di beberapa sudut.


Akhirnya Marli berhenti. Ia matikan mesin motor barunya. Pandangannya menyapu ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda-tanda jika di tempat itu ada orang lain selainnya.

“Pasti saya dipermainkan...” duga Marli dengan mata tetap mencari.
Namun, pesan yang diterima Marli berbunyi jelas, “Pukul 01.00 di parkiran Gelora Merdeka. Harus datang!”
Pesan itu pun sangat jauh dari kesan salah orang, karena sangat jelas diberikan ke tangannya.
Prakr!
Terkejut Marli. Tiba-tiba dari atas jatuh satu set lampu gantung yang tadi ada di atas gerbang utama gedung. Lampu itu hancur di lantai. Sontak Marli memandang ke atas.
Ada seorang perempuan berdiri di pucuk atap gedung. Itu jelas tidak masuk akal, sebab untuk bisa berada di sana tidak ada jalan. Terlebih dia berdiri gagah seperti wanita yang ingin melompat bunuh diri. Waktunya pun tidak wajar di tengah malam seperti itu.
Sosok itu adalah seorang wanita bergaun hijau dan berambut panjang. Gaun dan rambutnya berkibar tertiup angin malam Ibu Kota. Jarak dan cahaya yang tidak begitu menyorotnya, membuat Marli tidak begitu bisa melihat jelas wajahnya.
“Kuntilanak?” ucap Marli lirih. Namun, Marli tipe gadis yang tidak percaya seratus persen hal-hal klenik seperti itu.
Marli pun berteriak.
“Hei! Siapa yang di atas?!”
“Aku menantangmu, Shehree!” sahut perempuan di atas sana. Suaranya terdengar empuk di telinga, tapi mengandung nada kewibawaan.
Terkejutlah Marli mendengar nama “Shehree” disebut.
“Berubahlah ke wujud Shehree!” seru perempuan di atas sana.
“Ternyata seorang Harzai pemburu!” desis Marli geram.
Marli memilih tidak menanggapi seruan perempuan di atas sana. Ia justru menyalakan motornya dan langsung tancap gas. Ia langsung melesat kencang keluar dari parkiran.
Namun hebat, sosok perempuan bergaun hijau di atas atap melesat melayang di udara seperti burung. Ia mengejar Marli dari atas.
Marli sudah masuk ke jalan raya yang lengang. Ia menengok ke belakang. Betapa terkejutnya Marli, karena perempuan asing itu melesat terbang tidak jauh di belakangnya. Maka, tanpa sungkan lagi, ia tarik gas lebih jauh. Motor itu pun melesat dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Seketika perempuan berambut panjang tertinggal di belakang.
Wanita berwajah putih seperti dari etnis Korea itu sangat cantik. Wajahnya halus tanpa cacat. Ketertinggalannya membuatnya berhenti. Namun kemudian....
Wust!
Laksana peluru melesat, gadis jelita berpakaian klasik itu melesat terbang di atas jalan beraspal memburu Marli dan tunggangannya.
Teeet...!
Sebuah mobil minibus yang kemalaman, membunyikan klakson panjang saat motor Marli memotong di depannya karena menerobos lampu merah. Namun, Marli masih selamat. Minibus yang nyaris menabraknya terus berlalu menuju keluarganya. Sementara Marli terus melesat.
Ciiit!
Kembali Marli dikejutkan oleh lesatan bayangan hijau yang begitu cepat mendahuluinya dari belakang. Spontan gadis SMA itu tarik dan injak rem secara penuh, membuat ban motornya menggesek aspal dengan tajam, menimbulkan suara menjerit nyaring. Warna hitam pun menggaris jelas di aspal hitam. Kaki kanan Marli sigap menahan kemiringan tubuh motornya.
Beberapa puluh meter di depan Marli, telah berdiri seorang gadis yang begitu cantik dan terlihat begitu bersih, meski cahaya lampu jalanan menerangi dengan temaram. Gadis itu mengenakan gaun hijau tipis transparan yang melapisi pakaian putihnya.
Sudah menjadi alamat yang jelas bahwa Marli tidak akan bisa kabur dari kejaran wanita super di depannya.
“Kenapa kau lari dariku, Shehree?” tanya gadis bergaun hijau itu kepada Marli.
“Karena kamu memburu saya,” jawab Marli seadanya.
“Apakah seorang Harzai harus lari seperti pengecut?” sindir wanita itu.
“Karena saya tidak punya utang uang kepadamu,” jawab Marli seenaknya. “Kamu siapa?”
“Aku Haxi!” jawab wanita bergaun hijau.
“Lalu apa urusan kamu kepada saya?”

“Membalasmu karena kelancanganmu di dunia Harzai....”

“Hai hai hai!” teriak Marli memotong. “Omongan kamu ada yang tidak beres, Haxi. Kita tidak pernah bertemu dan berurusan sebelumnya. Kenapa kamu tiba-tiba mau membalas saya? Apakah saya telah menolak cintamu?”

“Jika aku menjelaskan, kau pasti akan tertawa. Namun, aku benar-benar ingin membalasmu, Shehree!” seru gadis yang mengaku bernama Haxi.

“Terserah kamu mau membalas atau tidak. Bolehlah kamu tahu bahwa saya adalah seorang Harzai, tapi aneh kalau kamu tahu nama Harzai saya,” kata Marli.

“Karena aku adalah ratumu.”

Jawaban Haxi membuat Marli diam berpikir, sementara tatapannya tak beralih dari sosok cantik bersih di depannya.

Sejauh ini, Marli mengetahui bahwa dirinya memiliki Permata Harzai yang membuatnya menjelma menjadi seorang Harzai yang bernama Shehree dari Dinasti Ern. Dinasti Ern memiliki 25 suku. Setiap suku memiliki Ratu Suku. Marli sendiri baru mengetahui satu suku dari 25 suku itu, yaitu Suku Enn. Suku Enn adalah suku milik temannya yang dikenalnya di Gunung Rajabasa, yaitu Alfiah Nayarani. Namun hingga kini, Marli belum mengetahui suku asal Harzai yang bernama Shehree dan siapa Ratu Suku-nya. Menurut keterangan Alfiah, setiap Ratu Suku mengenali semua prajuritnya. Karenanya, bisa benar apa yang diakui oleh Haxi. 

Dari pengalamannya dalam bertarung dengan beberapa orang Harzai, Shehree tidak pernah langsung mengenal identitas dan asal lawannya. Demikian sebaliknya. Pada umumnya, karakter Harzai adalah berburu dan membunuh, karena dengan cara itulah mereka bisa menjadi lebih kuat dengan memakan Permata Harzai lain.

“Saya seorang independen, tidak punya junjungan. Saya tidak punya urusan dengan yang namanya ratu. Saya harus pulang, karena saya besok mau sekolah. Oke?” ujar Marli lalu tarik gas dan melesat berbelok.

Crekk!

Haxi tidak tinggal diam. Ia menggerakkan tangannya. Tiba-tiba di aspal muncul lapisan es tebal yang menjerat beku kedua ban motor Marli. Laju motor pun tertahan mendadak dan tubuh Marli terlempar kencang ke depan, siap menabrak aspal.

Zerzzz!

Dari pada wajah cantiknya harus rusak oleh aspal, Marli lebih dulu menyentuh lengan kirinya dengan tangan kanan sebelum ia mencium kerasnya aspal jalanan. Maka dari kedua telapak kaki Marli, muncullah sinar biru dan putih yang langsung menjalar menyelimuti tubuhnya. Sehingga, ketika sosok Marli yang bersinar biru menghantam aspal, ia langsung mencelat dan berputar salto beberapa kali di udara. Lalu turun beberapa meter di depan Haxi.

Namun, sosok yang kini berdiri di hadapan Haxi, bukanlah sosok berwajah Marli. Sosok bertubuh mungil itu berpakaian biru dan putih. Bagian bawah bajunya panjang berbelah empat dan bercelana biru. Sepatu bertalinya berwarna putih bersih. Pinggangnya dililit sabuk kain berwarna putih. Gadis itu cantik itu berbibir dan berhidung mancung mungil. Pupil matanya berwarna biru muda terang, cocok dengan warna rambutnya yang seluruhnya biru muda terang. Rambutnya diikat empat dengan pita putih. Itulah sosok Shehree, tokoh Harzai jelmaan Marli Sisilia.

Kini, dua gadis cantik itu saling berhadapan.

Marli tidak menyangka akan berurusan lagi dengan seorang Harzai. Padahal, belum lama ini ia harus bertarung hebat melawan Harzai bernama Dragilla dari Dinasti Jrim di Gunung Rajabasa, Lampung.
Kondisi sekarang bermula dari kegagalan Marli dan Lidya dalam mencari alamat Alvin, pacar Lidya. Toko Martabak Raja Rasa yang mereka datangi ternyata tutup. Hanya ada tulisan pesan besar yang berbunyi “PINDAH TEMPAT”. Pemilik toko-toko sekitarnya tidak ada yang tahu ke mana pindahnya kios martabak itu, padahal tutupnya baru beberapa jam yang lalu.

Muncul dugaan Marli dan Lidya bahwa ketika pemilik toko tahu martabaknya dicuri orang, toko martabaknya langsung ditutup dan pindah lokasi.

Marli dan Lidya pun gagal menuai hasil dari pencarian mereka di beberapa lokasi yang biasa jadi tempat tongkrongan Alvin dan teman-temannya.

Akhirnya Marli mengantar Lidya pulang ke rumah bibinya. Bibi Lidya yang bernama Hilwa Fadia ternyata buka usaha bakso dan mie ayam yang cukup besar. Usaha itu dilaksanakan oleh lima orang karyawan. Hilwa hanya mengawasi dan mengatur keuangan.

Marli sempat berkenalan dengan Hilwa Fadia yang ternyata adalah seorang perempuan berusia 35 tahun yang cantik dengan paras dewasa. Ia memiliki aura kewibawaan selaku sosok seorang atasan. Perkenalan mereka berlangsung sepintas jalan. Menurut cerita Lidya, bibinya itu masih gadis.

Namun, ketika Marli mengantar Lidya pulang untuk kedua kalinya, seorang karyawan Hilwa memberikan secarik kertas kepada Marli. Ternyata kertas itu berisi pesan “Pukul 01.00 di parkiran Gelora Merdeka. Harus datang!”

Padahal Marli tidak pernah melihat adanya tanda-tanda keberadaan seorang Harzai di kediaman Hilwa. Marli tidak pernah melihat ada orang yang lengan di balik bajunya bersinar redup sebagai tanda keharzaiannya.

“Kamu ratu dari suku apa?” tanya Shehree.

“Ratu Suku Lix. Kau adalah Jenderal Perang VI Suku Lix. Suku Lix memiliki tujuh jenderal perang,” jelas Haxi.

“Wah! Tinggi juga pangkat saya,” ucap Shehree lalu tertawa kecil. “Tapi saya tidak peduli. Saya hanya anak SMA yang ditumpangi permata aneh. Lagipula, jika kamu adalah ratuku, lalu kenapa kamu justru mau menghajar saya? Seharusnya seorang ratu itu mengayomi prajuritnya. Jelas kamu bukan ratu saya.”

“Shehree adalah Jenderal Perang VI Suku Lix. Kau telah merebut kekasihku di dunia Harzai. Kau mengkhianati ratumu!” tandas Haxi.

“Shehree hanya jelmaan saya, Kawan!” teriak Shehree mulai terbawa emosi. “Dan yang berbicara di depan kamu saat ini adalah hati, pikiran dan lisan Marli Sisilia. Tidak ada sedikit pun memori kejadian dunia Harzai yang terekam di kepala saya, kecuali identitas seorang Shehree!”

“Tapi kau, Shehree, kau telah membuatku begitu murka. Aku sangat ingin menghajarmu, siapa pun pribadi yang menjadi tuanmu!” teriak Haxi dengan wajah marah, yang justru menambah tinggi kecantikannya.

Teeet! Tet tet tet...!

Keduanya dikejutkan dengan munculnya sebuah sedan biru yang memainkan klakson sedemikian rupa. Ada empat orang pemuda mabuk di dalamnya yang tertawa-tawa tidak karuan. Mobil itu berhenti 10 meter dari Shehree dan Haxi. Tiga pemuda mengeluarkan separuh tubuhnya lewat jendela pintu mobil. Mereka berteriak-teriak kepada kedua gadis Harzai itu, disertai tawa-tawa mereka yang tidak merdu.

“Hoi...! Kuntilanak-kuntilanak! Ayo ikut kita, pesta sampai pagi! Hahaha...!”

“Dibayar mahal! Dibayar mahal! Lima ribu perak, hahahak...!”

Teriakan-terikan tidak senonoh para pemuda mabuk itu kian menambah murka Haxi. Kaki kanan Haxi menjejak kecil ke depan menghadap posisi mobil.

Sesst! Blar!

Dari ujung kaki Haxi yang menjejak melesat cepat sinar hijau di atas permukaan aspal lalu menghantam sedan biru yang masih penuh oleh tawa kemabukan. Ledakan tanpa api terjadi yang melenyapkan suara tawa yang ada.

Sedan itu hancur berlesatan ke mana-mana. Empat pemuda mabuk itu berpentalan dan jatuh tidak karuan tanpa hancur tubuhnya. Namun, keempatnya tidak ada yang bangun lagi, entah mati atau pingsan.

Shehree terkejut. Ia tidak menyangka Haxi bertindak kejam seperti itu. Ratu di depannya benar-benar memendam emosi yang tinggi terhadapnya.

“Hei!” teriak Shehree marah. “Layakkah seorang ratu bertindak brutal dan kejam seperti itu? Kekanakan! Dewasalah sebagai seorang ratu!”

Terkesiap Haxi mendengar hardikan Shehree. Kata-kata itu sangat jelas menjatuhkan martabat dan wibawanya selaku seorang ratu suku.

Haxi terdiam sejenak menatap sosok yang dibencinya.

“Baik!” ucap Haxi akhirnya, mengendurkan tegangan syaraf wajah dan urat lehernya. Ia mencoba melembutkan emosinya. Dalam hati ia membenarkan perkataan Shehree. Sebagai seorang ratu, ia harus bijak dan menjaga martabat tingginya di mata sesama Harzai. “Kita berdialog.”

Alhamdulillah,” ucap Shehree lega. Ia pun berubah santai, “Sambil makan bakso, bagaimana?”

Haxi tidak langsung menjawab.

“Ayolah!” rajuk Shehree. “Saya tidak akan kabur. Bukankah saya seorang jenderal perang?”

“Baik, besok aku tunggu!” kata Haxi.
 
“Satu lagi permintaan saya!” kata Shehree.

“Apa?”

“Motor baru saya.”

Haxi lalu menggerakkan satu tangannya, maka lapisan es beku yang menjerat ban motor Marli mencair begitu saja. Sebelum motornya jatuh, Shehree yang telah berubah kembali ke wujud Marli, telah memegangnya. Ia segera menaiki lagi tunggangannya.

“Sampai besok, ratuku!”  teriak Marli senang lalu melambai sambil melesat pergi.
Sementara sosok Haxi melesat terbang ke arah lain seperti Superman. (RH)


Berlanjut:  Hukuman Pancung Sha Gho (12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar