Ilustrasi: Kim So-eun (Foto: ProfilBos.com) |
Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Marli memelankan
motor barunya ketika mulai memasuki area parkiran gedung Gelora Merdeka. Sepi,
tidak ada satpam penjaga yang bertugas. Kondisi itu dinilai aneh. Setahu Marli,
gedung seperti ini seharusnya ada keamanan, karena gedung ini sering disewa
untuk kegiatan olahraga. Beberapa lampu terang menerangi di beberapa sudut.
Akhirnya Marli
berhenti. Ia matikan mesin motor barunya. Pandangannya menyapu ke sekeliling.
Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda-tanda jika di tempat itu ada orang lain
selainnya.
“Pasti saya
dipermainkan...” duga Marli dengan mata tetap mencari.
Namun, pesan yang
diterima Marli berbunyi jelas, “Pukul 01.00 di parkiran Gelora Merdeka. Harus
datang!”
Pesan itu pun
sangat jauh dari kesan salah orang, karena sangat jelas diberikan ke tangannya.
Prakr!
Terkejut Marli.
Tiba-tiba dari atas jatuh satu set lampu gantung yang tadi ada di atas gerbang
utama gedung. Lampu itu hancur di lantai. Sontak Marli memandang ke atas.
Ada seorang
perempuan berdiri di pucuk atap gedung. Itu jelas tidak masuk akal, sebab untuk
bisa berada di sana tidak ada jalan. Terlebih dia berdiri gagah seperti wanita
yang ingin melompat bunuh diri. Waktunya pun tidak wajar di tengah malam
seperti itu.
Sosok itu adalah
seorang wanita bergaun hijau dan berambut panjang. Gaun dan rambutnya berkibar
tertiup angin malam Ibu Kota. Jarak dan cahaya yang tidak begitu menyorotnya,
membuat Marli tidak begitu bisa melihat jelas wajahnya.
“Kuntilanak?” ucap
Marli lirih. Namun, Marli tipe gadis yang tidak percaya seratus persen hal-hal
klenik seperti itu.
Marli pun
berteriak.
“Hei! Siapa yang di
atas?!”
“Aku menantangmu,
Shehree!” sahut perempuan di atas sana. Suaranya terdengar empuk di telinga,
tapi mengandung nada kewibawaan.
Terkejutlah Marli
mendengar nama “Shehree” disebut.
“Berubahlah ke
wujud Shehree!” seru perempuan di atas sana.
“Ternyata seorang
Harzai pemburu!” desis Marli geram.
Marli memilih tidak
menanggapi seruan perempuan di atas sana. Ia justru menyalakan motornya dan
langsung tancap gas. Ia langsung melesat kencang keluar dari parkiran.
Namun hebat, sosok
perempuan bergaun hijau di atas atap melesat melayang di udara seperti burung.
Ia mengejar Marli dari atas.
Marli sudah masuk
ke jalan raya yang lengang. Ia menengok ke belakang. Betapa terkejutnya Marli,
karena perempuan asing itu melesat terbang tidak jauh di belakangnya. Maka,
tanpa sungkan lagi, ia tarik gas lebih jauh. Motor itu pun melesat dua kali
lebih cepat dari sebelumnya. Seketika perempuan berambut panjang tertinggal di
belakang.
Wanita berwajah
putih seperti dari etnis Korea itu sangat cantik. Wajahnya halus tanpa cacat. Ketertinggalannya membuatnya berhenti. Namun kemudian....
Wust!
Laksana peluru
melesat, gadis jelita berpakaian klasik itu melesat terbang di atas jalan beraspal
memburu Marli dan tunggangannya.
Teeet...!
Sebuah mobil
minibus yang kemalaman, membunyikan klakson panjang saat motor Marli memotong
di depannya karena menerobos lampu merah. Namun, Marli masih selamat. Minibus
yang nyaris menabraknya terus berlalu menuju keluarganya. Sementara Marli terus
melesat.
Ciiit!
Kembali Marli
dikejutkan oleh lesatan bayangan hijau yang begitu cepat mendahuluinya dari
belakang. Spontan gadis SMA itu tarik dan injak rem secara penuh, membuat ban
motornya menggesek aspal dengan tajam, menimbulkan suara menjerit nyaring.
Warna hitam pun menggaris jelas di aspal hitam. Kaki kanan Marli sigap menahan
kemiringan tubuh motornya.
Beberapa puluh
meter di depan Marli, telah berdiri seorang gadis yang begitu cantik dan
terlihat begitu bersih, meski cahaya lampu jalanan menerangi dengan temaram.
Gadis itu mengenakan gaun hijau tipis transparan yang melapisi pakaian
putihnya.
Sudah menjadi
alamat yang jelas bahwa Marli tidak akan bisa kabur dari kejaran wanita super
di depannya.
“Kenapa kau lari
dariku, Shehree?” tanya gadis bergaun hijau itu kepada Marli.
“Karena kamu
memburu saya,” jawab Marli seadanya.
“Apakah seorang
Harzai harus lari seperti pengecut?” sindir wanita itu.
“Karena saya tidak
punya utang uang kepadamu,” jawab Marli seenaknya. “Kamu siapa?”
“Aku Haxi!” jawab
wanita bergaun hijau.
“Lalu apa urusan
kamu kepada saya?”
“Membalasmu karena
kelancanganmu di dunia Harzai....”
“Hai hai hai!”
teriak Marli memotong. “Omongan kamu ada yang tidak beres, Haxi. Kita tidak
pernah bertemu dan berurusan sebelumnya. Kenapa kamu tiba-tiba mau membalas
saya? Apakah saya telah menolak cintamu?”
“Jika aku
menjelaskan, kau pasti akan tertawa. Namun, aku benar-benar ingin membalasmu,
Shehree!” seru gadis yang mengaku bernama Haxi.
“Terserah kamu mau
membalas atau tidak. Bolehlah kamu tahu bahwa saya adalah seorang Harzai, tapi
aneh kalau kamu tahu nama Harzai saya,” kata Marli.
“Karena aku adalah
ratumu.”
Jawaban Haxi
membuat Marli diam berpikir, sementara tatapannya tak beralih dari sosok cantik
bersih di depannya.
Sejauh ini, Marli
mengetahui bahwa dirinya memiliki Permata Harzai yang membuatnya menjelma
menjadi seorang Harzai yang bernama Shehree dari Dinasti Ern. Dinasti Ern
memiliki 25 suku. Setiap suku memiliki Ratu Suku. Marli sendiri baru mengetahui
satu suku dari 25 suku itu, yaitu Suku Enn. Suku Enn adalah suku milik temannya
yang dikenalnya di Gunung Rajabasa, yaitu Alfiah Nayarani. Namun hingga kini,
Marli belum mengetahui suku asal Harzai yang bernama Shehree dan siapa Ratu
Suku-nya. Menurut keterangan Alfiah, setiap Ratu Suku mengenali semua prajuritnya.
Karenanya, bisa benar apa yang diakui oleh Haxi.
Dari pengalamannya
dalam bertarung dengan beberapa orang Harzai, Shehree tidak pernah langsung
mengenal identitas dan asal lawannya. Demikian sebaliknya. Pada umumnya,
karakter Harzai adalah berburu dan membunuh, karena dengan cara itulah mereka
bisa menjadi lebih kuat dengan memakan Permata Harzai lain.
“Saya seorang
independen, tidak punya junjungan. Saya tidak punya urusan dengan yang namanya
ratu. Saya harus pulang, karena saya besok mau sekolah. Oke?” ujar Marli lalu
tarik gas dan melesat berbelok.
Crekk!
Haxi tidak tinggal
diam. Ia menggerakkan tangannya. Tiba-tiba di aspal muncul lapisan es tebal
yang menjerat beku kedua ban motor Marli. Laju motor pun tertahan mendadak dan
tubuh Marli terlempar kencang ke depan, siap menabrak aspal.
Zerzzz!
Dari pada wajah
cantiknya harus rusak oleh aspal, Marli lebih dulu menyentuh lengan kirinya
dengan tangan kanan sebelum ia mencium kerasnya aspal jalanan. Maka dari kedua
telapak kaki Marli, muncullah sinar biru dan putih yang langsung menjalar
menyelimuti tubuhnya. Sehingga, ketika sosok Marli yang bersinar biru menghantam
aspal, ia langsung mencelat dan berputar salto beberapa kali di udara. Lalu
turun beberapa meter di depan Haxi.
Namun, sosok yang
kini berdiri di hadapan Haxi, bukanlah sosok berwajah Marli. Sosok bertubuh
mungil itu berpakaian biru dan putih. Bagian bawah bajunya panjang berbelah
empat dan bercelana biru. Sepatu bertalinya berwarna putih bersih. Pinggangnya
dililit sabuk kain berwarna putih. Gadis itu cantik itu berbibir dan berhidung
mancung mungil. Pupil matanya berwarna biru muda terang, cocok dengan warna
rambutnya yang seluruhnya biru muda terang. Rambutnya diikat empat dengan pita
putih. Itulah sosok Shehree, tokoh Harzai jelmaan Marli Sisilia.
Kini, dua gadis
cantik itu saling berhadapan.
Marli tidak
menyangka akan berurusan lagi dengan seorang Harzai. Padahal, belum lama ini ia
harus bertarung hebat melawan Harzai bernama Dragilla dari Dinasti Jrim di
Gunung Rajabasa, Lampung.
Kondisi sekarang
bermula dari kegagalan Marli dan Lidya dalam mencari alamat Alvin, pacar Lidya.
Toko Martabak Raja Rasa yang mereka datangi ternyata tutup. Hanya ada tulisan
pesan besar yang berbunyi “PINDAH TEMPAT”. Pemilik toko-toko sekitarnya tidak
ada yang tahu ke mana pindahnya kios martabak itu, padahal tutupnya baru
beberapa jam yang lalu.
Muncul dugaan Marli
dan Lidya bahwa ketika pemilik toko tahu martabaknya dicuri orang, toko
martabaknya langsung ditutup dan pindah lokasi.
Marli dan Lidya pun
gagal menuai hasil dari pencarian mereka di beberapa lokasi yang biasa jadi
tempat tongkrongan Alvin dan teman-temannya.
Akhirnya Marli
mengantar Lidya pulang ke rumah bibinya. Bibi Lidya yang bernama Hilwa Fadia
ternyata buka usaha bakso dan mie ayam yang cukup besar. Usaha itu dilaksanakan
oleh lima orang karyawan. Hilwa hanya mengawasi dan mengatur keuangan.
Marli sempat
berkenalan dengan Hilwa Fadia yang ternyata adalah seorang perempuan berusia 35
tahun yang cantik dengan paras dewasa. Ia memiliki aura kewibawaan selaku sosok
seorang atasan. Perkenalan mereka berlangsung sepintas jalan. Menurut cerita
Lidya, bibinya itu masih gadis.
Namun, ketika Marli
mengantar Lidya pulang untuk kedua kalinya, seorang karyawan Hilwa memberikan
secarik kertas kepada Marli. Ternyata kertas itu berisi pesan “Pukul 01.00 di
parkiran Gelora Merdeka. Harus datang!”
Padahal Marli tidak
pernah melihat adanya tanda-tanda keberadaan seorang Harzai di kediaman Hilwa.
Marli tidak pernah melihat ada orang yang lengan di balik bajunya bersinar
redup sebagai tanda keharzaiannya.
“Kamu ratu dari
suku apa?” tanya Shehree.
“Ratu Suku Lix. Kau
adalah Jenderal Perang VI Suku Lix. Suku Lix memiliki tujuh jenderal perang,”
jelas Haxi.
“Wah! Tinggi juga
pangkat saya,” ucap Shehree lalu tertawa kecil. “Tapi saya tidak peduli. Saya
hanya anak SMA yang ditumpangi permata aneh. Lagipula, jika kamu adalah ratuku,
lalu kenapa kamu justru mau menghajar saya? Seharusnya seorang ratu itu mengayomi
prajuritnya. Jelas kamu bukan ratu saya.”
“Shehree adalah
Jenderal Perang VI Suku Lix. Kau telah merebut kekasihku di dunia Harzai. Kau
mengkhianati ratumu!” tandas Haxi.
“Shehree hanya
jelmaan saya, Kawan!” teriak Shehree mulai terbawa emosi. “Dan yang berbicara
di depan kamu saat ini adalah hati, pikiran dan lisan Marli Sisilia. Tidak ada
sedikit pun memori kejadian dunia Harzai yang terekam di kepala saya, kecuali
identitas seorang Shehree!”
“Tapi kau, Shehree,
kau telah membuatku begitu murka. Aku sangat ingin menghajarmu, siapa pun
pribadi yang menjadi tuanmu!” teriak Haxi dengan wajah marah, yang justru
menambah tinggi kecantikannya.
Teeet! Tet tet
tet...!
Keduanya dikejutkan
dengan munculnya sebuah sedan biru yang memainkan klakson sedemikian rupa. Ada
empat orang pemuda mabuk di dalamnya yang tertawa-tawa tidak karuan. Mobil itu
berhenti 10 meter dari Shehree dan Haxi. Tiga pemuda mengeluarkan separuh
tubuhnya lewat jendela pintu mobil. Mereka berteriak-teriak kepada kedua gadis
Harzai itu, disertai tawa-tawa mereka yang tidak merdu.
“Hoi...!
Kuntilanak-kuntilanak! Ayo ikut kita, pesta sampai pagi! Hahaha...!”
“Dibayar mahal!
Dibayar mahal! Lima ribu perak, hahahak...!”
Teriakan-terikan
tidak senonoh para pemuda mabuk itu kian menambah murka Haxi. Kaki kanan Haxi
menjejak kecil ke depan menghadap posisi mobil.
Sesst! Blar!
Dari ujung kaki
Haxi yang menjejak melesat cepat sinar hijau di atas permukaan aspal lalu
menghantam sedan biru yang masih penuh oleh tawa kemabukan. Ledakan tanpa api
terjadi yang melenyapkan suara tawa yang ada.
Sedan itu hancur
berlesatan ke mana-mana. Empat pemuda mabuk itu berpentalan dan jatuh tidak
karuan tanpa hancur tubuhnya. Namun, keempatnya tidak ada yang bangun lagi,
entah mati atau pingsan.
Shehree terkejut.
Ia tidak menyangka Haxi bertindak kejam seperti itu. Ratu di depannya
benar-benar memendam emosi yang tinggi terhadapnya.
“Hei!” teriak
Shehree marah. “Layakkah seorang ratu bertindak brutal dan kejam seperti itu?
Kekanakan! Dewasalah sebagai seorang ratu!”
Terkesiap Haxi
mendengar hardikan Shehree. Kata-kata itu sangat jelas menjatuhkan martabat dan
wibawanya selaku seorang ratu suku.
Haxi terdiam
sejenak menatap sosok yang dibencinya.
“Baik!” ucap Haxi
akhirnya, mengendurkan tegangan syaraf wajah dan urat lehernya. Ia mencoba
melembutkan emosinya. Dalam hati ia membenarkan perkataan Shehree. Sebagai
seorang ratu, ia harus bijak dan menjaga martabat tingginya di mata sesama
Harzai. “Kita berdialog.”
“Alhamdulillah,” ucap Shehree lega. Ia
pun berubah santai, “Sambil makan bakso, bagaimana?”
Haxi tidak langsung
menjawab.
“Ayolah!” rajuk
Shehree. “Saya tidak akan kabur. Bukankah saya seorang jenderal perang?”
“Baik, besok aku
tunggu!” kata Haxi.
“Satu lagi
permintaan saya!” kata Shehree.
“Apa?”
“Motor baru saya.”
Haxi lalu
menggerakkan satu tangannya, maka lapisan es beku yang menjerat ban motor Marli
mencair begitu saja. Sebelum motornya jatuh, Shehree yang telah berubah kembali
ke wujud Marli, telah memegangnya. Ia segera menaiki lagi tunggangannya.
“Sampai besok,
ratuku!” teriak Marli senang lalu
melambai sambil melesat pergi.
Sementara sosok
Haxi melesat terbang ke arah lain seperti Superman. (RH)
Berlanjut: Hukuman Pancung Sha Gho (12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar