Ilustrasi: siswi SMA. (Foto: Instagram) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Memang, 15 menit
kemudian, seorang pemuda datang bertamu ke rumah itu. Pria itu tidak lain
adalah Fito. Yang membukakan pintu pagar dan pintu rumah adalah Lina, pembantu
perempuan di rumah itu.
“Assalamu ‘alaikum!” ucap Fito saat dibukakan pintu rumah.
“Wa ‘alaikum salam!”
Yang menjawab salam
terdengar ramai, karena yang menjawab adalah keenam anggota Geng Bintang Tujuh
yang duduk di satu set sofa di ruang tamu.
Di ruang tamu itu ada
tiga set sofa, satu set tidak diduduki oleh siapa-siapa dan satu set lagi di
depan lemari yang ada televisi besarnya.
Fito cukup terkejut
dengan keberadaan keenam gadis-gadis belia nan cantik-cantik tersebut. Mereka
semua memandangnya dan tersenyum kepadanya. Sambutan yang membuat hati seorang
pemuda dar der dor dan sar sir sur.
“Silahkan masuk, Om!”
seru Duo K Ade Irma dan Windi bersamaan.
“Iya, iya,” kata Fito
seraya tersenyum malu-malu. Ia datang dengan berpenampilan rapi dan terkesan
baru saja selesai mandi.
“Langsung duduk saja, Om!”
seru Iyut pula yang diiringi tawa mereka.
“Iya!” sahut Fito agak
keras dengan wajah tetap tersenyum, padahal dalam hatinya menggerutu, “Masih
muda begini disebut Om!”
Fito lalu duduk di
kursi sofa yang kosong.
Novi Andria bangun dari
duduknya dan berjalan menghampiri posisi Fito. Si pemuda hanya diam memandangi
kedatangan Novi.
“Om, mau ketemu Kak
Rani, ya?” tanya Novi sambil berdiri bersender di punggung kursi sofa sebelah
Fito. Senyum Novi mengembang menggoda.
“Oh, iya,” jawab Fito
agak canggung dengan mimik muka yang salah tingkah.
“Di kita banyak pilihan
lho, Om. Dari pada nyariin Kak Rani yang enggak mau ketemu, mending ngejahit
sama kita-kita. Kita cantik-cantik, lho,” goda Novi sambil memainkan alisnya
saat berbicara.
Sementara di sisi lain,
Indah Pertiwi, Iyut Nirmala, Ristana, Windi Anggita dan Ade Irma hanya
tertawa-tawa genit melihat dan mendengar Novi menggoda Fito.
“Kalian kan masih pada
sekolah, jangan suka menggoda begitu. Abang kan jadi malu,” kata Fito
menasehati, meski omongannya terdengar kikuk.
“Namanya siapa, Om?”
tanya Novi dengan posisi masih berdiri.
“Fito. Jangan panggil
Om dong, tapi Abang saja,” jawab Fito.
“Woi! Namanya Fito!”
teriak Novi kepada teman-temannya, padahal mereka semua mendengar percakapan
antara Novi dan Fito.
“Oooh, Fito!” sebut
ulang kelima gadis berseragam sekolah itu bersamaan, tapi tidak disertai
tertawa.
“Biasanya om-om seperti
Om Fito, doyan sama cewek-cewek prematur, asal mulus,” kata Novi, tetap
menyebut Fito dengan sebutan “Om”.
Kata-kata Novi itu
membuat kelima temannya tertawa terbahak.
“Eh, Ofi! Cantik-cantik
begini dibilang cewek prematur!” sahut Iyut setelah selesai tertawa.
“Yang kebagian nunggu
diam aja, ini lagi usaha!” timpal Novi yang nama panggilannya “Ofi”.
Di saat merasa tidak
enak digoda begitu, tiba-tiba ....
“Om Fito!”
Tiba ada dua suara
perempuan yang memanggilnya begitu dekat di telinganya. Hal itu membuat Fito
cukup terkejut dan spontan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ternyata tidak jauh
dari sisi kanan dan kiri kepala Fito, tahu-tahu telah bertengger wajah Windi
Anggita dan Ade Irma. Tangan kedua gadis belia itu diletakkan di atas sandaran
kursi dan tubuh mereka berdiri di balakang sofa panjang yang di duduki oleh
Fito. Meski dalam dunia pekerjaannya, Fito biasa bergaul dengan berbagai jenis
wanita muda dan cantik, tapi tingkah gadis-gadis sekolah ini cukup membuat
perasaannya tidak tenang. Godaan itu cukup memancing adrenalin kelelakiannya.
Karena memang anggota-anggota Geng Bintang Tujuh memiliki kecantikan paras yang
putih, bersih dan tidak bernoda jerawat, terlebih jika wajah mereka dipandang
dari dekat, jelas akan terasa bahwa di sekitar wajah-wajah mereka ada banyak
setan penebar energi syahwat.
Windi dan Ade hanya
tertawa cekikikan melihat reaksi Fito. Meski ada rasa sar sir sur, tapi Fito
tetap merasa godaan gadis-gadis belia itu membuatnya tidak nyaman, apa lagi itu
di rumah Rani. Fito sendiri sebelumnya tidak pernah kenal dan bertemu dengan
sekelompok gadis cantik ini.
“Siapa, Fi?” tanya
seorang perempuan lain dari tangga.
Semuanya pun segera
alihkan pandangan ke tangga yang menuju lantai dua. Di tangga, melangkah turun
dua orang gadis berjilbab. Gadis pertama berseragam sekolah seperti lainnya,
tapi seragam ini berlengan dan berok panjang. Ia tidak lain adalah Barada,
gadis cantik yang kulitnya sedikit lebih hitam jika dibandingkan dengan yang
lainnya.
Gadis kedua mengenakan
busana Muslimah yang anggun berwarna merah muda dengan jilbab berwarna kuning.
Ia tidak lain adalah Rina, si pemilik rumah. Ia baru saja menyalin pakaian
seragamnya.
Melihat Rina, Fito jadi
tertegun bengong, tapi otaknya berpikir. Ia merasa kenal dengan Rina.
“Namanya Om Fito!”
sahut Novi menjawab.
Rina dan Barada
berjalan mendekati posisi Novi. Sementara Fito sangat jelas terus memandangi
Rina, tapi Rina bersikap biasa saja, tidak merasa terusik.
“Rani kan?” tanya Fito
menerka kepada Rina.
Terkaan Fito itu justru
membuat semua gadis jadi tertawa, membuat Fito merasa malu sendiri dan terpaksa
senyum kecut sendiri.
“Gua Rina, bukan Rani,
Om. Gua adiknya Rani,” kata Rina menjawab setelah tawanya berhenti.
Wajah Rani dan Rina
memang memiliki kemiripan sebagai kakak dan adik.
“Oh. Kenalkan, Khalid
Abdulatif, panggilannya Fito, teman dekat Rani!” kata Fito memperkenalkan diri
sambil berdiri dan ulurkan tangan kepada Rina untuk bersalaman.
Namun, Rina tidak
menyambut niat baik tangan Fito. Ia hanya tersenyum seraya mempertemukan kedua
telapak tangannya di depan dada menolak menyentuh tangan Fito. Hal itu membuat
Fito merasa agak kecewa, tapi terpaksa senyum, karena ia tahu maksud tindakan
Rina itu.
“Aduh, solehah banget!”
kata Novi yang ditujukan kepada Rina, membuat gadis lainnya tertawa, termasuk
Barada.
“Iwi, tolong ambilkan
Om Fito minum dong!” kata Rina kepada Indah Pertiwi yang duduk di set sofa
lainnya.
“Siap, Ketua!” sahut
Indah Pertiwi yang biasa dipanggil “Iwi”.
Iyut Nirmala ikut
beranjak dari duduknya menemani Indah ke ruang dapur. Sementara Ristana jadi
duduk sendirian sibuk menikmati buah kelengkeng sambil mengamati pembicaraan di
sofa tetangga.
“Silahkan duduk, Om!”
kata Rina yang sudah lebih dulu duduk berseberangan meja dengan Fito. Barada
mendampingi Rina. Novi memilih tetap berdiri. Windi dan Ade Irma tetap berdiri
di belakang sofa panjang yang diduduki
Fito.
Fito pun kembali duduk.
Dalam hati ia menggerutu habis-habisan.
“Apes banget gua,
dikerjain begini sama cewek-cewek kemarin pagi.”
“Om Fito mau ketemu Kak
Rani?” tanya Rina, berlaku sebagai tuan rumah yang baik, tidak mau mengikuti
kejahilan sahabat-sahabatnya, meskipun gangguan dari awal sudah direncanakan
oleh Rina sendiri sebagai pemimpin di antara mereka.
“Sebut Abang Fito saja,
agar terdengar lebih muda,” kata Fito, mencoba bersikap cair dengan kondisi
yang menekan isi kepalanya.
Mereka pun sama-sama
tertawa.
“Sebenarnya mau bertemu
dengan kedua orang tua Rina,” ujar Fito.
“Maaf, keduanya sibuk
sebagai pengusaha,” jawab Rina santun.
“Kalau Rani sendiri
ada?” tanya Fito.
“Ada, tapi belum bisa
ditemui. Masih masa berkabung. Tadi Kakak berpesan ke gua, agar menemui tamu
yang akan datang. Gua diminta untuk bertanya, apa keperluan Abang Fito datang
ke mari,” ujar Rina, terkesan dewasa sekali.
Windi dan Ade Irma
hanya senyum-senyum melihat gaya komunikasi Rina, sangat berbeda dari biasanya.
“Aduh, bagaimana ya?”
ucap Fito menunjukkan sikap bingungnya. Dalam hati ia berkata, “Ini kan urusan
bersifat pribadi banget, mana bisa diungkapkan kepada cewek-cewek prematur
begini?”
Barada lalu berbisik
kepada Rina agar membuka jalan terlebih dahulu setelah melihat kebingungan
Fito.
“Seperti ini, Bang
Fito. Sebenarnya kami semua sudah tahu kondisi yang dialami Kak Rani. Dan kami
semua juga sudah dapat bocoran dari Kak Rani tentang niat kedatangan Bang Fito
hari ini. Jadi, gua selaku yang mewakili Kak Rani dan keluarga besar, memberi
kesempatan kepada Bang Fito untuk sampaikan niat. Jika tidak mau, gua tidak
jamin ada kesempatan kedua,” ujar Rina.
“Busyet! Rupanya gua
sudah kejebur duluan,” rutuk Fito dalam hati, tapi wajahnya mengekspresikan
tawa kecil. Lalu katanya kepada Rina, “Yaaa, apa boleh buat. Dari pada pulang
tanpa penyampaian dan jawaban, mau tidak mau Abang harus ungkapkan kepada Dik
Rina.”
“Silahkan, Bang. Insya Allah kami mendengarkan,” kata
Rina.
“Langsung saja. Abang
adalah orang yang juga sebenarnya senang kepada Rani. Sangat cinta, meski
bertepuk sebelah kaki....”
“Sebelah tangan, Om!”
celetuk Windi meluruskan, memotong kata-kata Fito.
“Benar, sebelah hati,
Om!” timpal Ade Irma pula.
Fito hanya tertawa
jadinya, disertai tawa Rina, Barada dan Novi.
“Iya, itu maksud
Abang,” kata Fito. Lalu lanjutnya, “Jadi, karena Sando telah meninggal, Abang
secara ikhlas dan demi cinta, berniat melamar Rani. Dan mau menjadi ayah dari
anaknya nanti. Abang berjanji akan menjadi suami yang baik buat Rani.”
“Baik, insya Allah kami sudah menangkap dan
mengerti maksud dari Abang Fito. Kami mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya, setinggi-tingginya dan sebesar-besarnya, atas kepedulian dan
cinta sejati yang Abang ungkapkan, terkhusus untuk Kak Rani. Namun, ada hal
penting dan harus diketahui oleh Abang Fito. Yaitu, saat ini, kak Rani dalam
masa pertobatan dan
berniat hanya ingin menikah dengan lelaki yang baik dan beragama bagus. Jadi
maaf, jika Abang Fito langsung kami tolak,” tutur Rina.
Perasaan Fito langsung
tersentak mendengar kata “kami tolak” dari Rina. Wajahnya seketika menunjukkan
pertanyaan.
“Kenapa gua langsung
ditolak?” tanya Fito akhirnya, sebutan “Abang” untuk dirinya sendiri telah
berubah menjadi “gua”.
“Untuk mengetahui itu,
kita sangat berharap, Abang Fito menjawab dengan sejujurnya pertanyaan gua.
Bagaimana?” kata Rina menawarkan.
“Baik,” kata Fito
setuju. “Dalam hati ia kembali menggerutu, “Rani belagu banget. Status sudah
hancur begitu, masih jual mahal dan pilih-pilih.”
Dari ruang dalam muncul
Indah dan Iyut yang membawa sejumlah gelas minuman dan semangkuk kacang bawang.
Sejenak pembicaraan mereka jedah saat Indah meletakkan lima gelas minuman yang
airnya semua berbeda, yaitu warna putih air susu, hitam air kopi, merah air
teh, kuning air sirup rasa mangga, dan bening air putih.
“Silahkan dipilih, Om. Setiap
minuman punya maksud tersendiri, Om. Mudah-mudahan pilihannya tepat. Pilih satu
saja, lho,” kata Iyut.
“Dipilih dulu, Om, baru
nanti dilanjutkan lagi pembicaraannya,” kata Indah.
“Aduh, apa lagi ini?
Air putih pasti sebagai simbol hati yang bersih dan bening,” pikir Fito. Ia
akhirnya memilih gelas yang berisi air putih bening.
“Yap! Tamu kita sudah
memilih minumannya!” kata Iyut seperti seorang pembawa acara kuis.
Indah lalu
mengembalikan empat gelas lainnya yang tidak dipilih ke nampan, lalu dibawa ke
meja di set sofa lainnya, tempat Ristana duduk sendiri.
“Hahaha!” tertawalah
para gadis itu melihat perbuatan Indah dan Iyut.
“Baik, Abang Fito, kita
lanjutkan pembicaraan penting kita. Abang Fito agamanya apa?” tanya Rina.
“Jelas Islam dong!”
jawab Fito mantap, tapi dalam hati berkata, “Gila, gua diinterogasi.”
“Abang selama ini solat
lima waktu, nggak?” tanya Rina lagi.
“Ah, kena gua. Apa
boleh buat, ikutin aja maunya calon adik ipar,” rutuk Fito dalam hati. Lalu
jawabnya, “Tidak.”
“Oooh!” desah Novi, Indah,
Iyut, Ristana, Windi dan Ade Irma bersamaan, menunjukkan keprihatinan mereka.
Padahal, mereka sendiri pun tidak pernah salat lima waktu, berbeda dengan Rina
yang sudah beberapa hari belakangan salat lima waktunya full.
Reaksi keenam sahabat
berokpendeknya itu sebenarnya membuat Rina mau tertawa, tapi ditahan.
“Abang Fito juga suka
minum dan mabuk?”
“Dor! Jidat gua dia
tembak,” ucap hati Fito mendapat pertanyaan seperti itu. Jelas ia tidak bisa
ingkar dari pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu, sebab Rani sangat tahu
bahwa ia adalah jago mabuk. Lalu kata hatinya lagi, “Gunawan bakal senasib sama
gua.”
“Benarkah, Bang?” tanya
Rina lagi.
“Iya,” jawab Fito
pelan, terkesan malu terpaksa menjawabnya.
“Jadi sudah sangat
jelas, Abang Fito. Abang dengan berat hati kami tolak demi kebaikan Kak Rani,”
tandas Rina.
“Tunggu, tunggu,
tunggu!” tolak Fito cepat. “Kalau gua enggak diberi kesempatan, ini tidak adil
dong. Sebab, demi cinta gua kepada Rani, gua bisa kok jadi orang baik dan
menjadi lelaki soleh seperti yang dimaui Rani. Sepulang hari ini, gua bisa
berhenti minum, gua bisa solat lima waktu, demi diterima oleh Rani.”
“Emmm...!”
Mulut Rina mendengung
tanda sedang berpikir, tapi akhirnya dia bertanya kepada Barada, “Bagaimana,
Badar? Apakah Abang Fito bisa diberi peluang?”
“Saya sangat berharap
kamu memberi Abang Fito kesempatan untuk menjadi orang baik dan salih,
sebagaimana kita akan memberi kesempatan para pelamar yang lain. Tinggal
memberinya batas waktu. Sebab, masih banyak pertanyaan kita yang akan kita
ajukan. Tapi karena dua jawaban tadi sudah sangat jelas, sementara ini cukup
dua pertanyaan,” kata Barada.
“Bagaimana, para
sahabatku?” tanya Rina kepada para sahabatnya yang lain.
“Setuju!” sahut Indah.
“Ya, beri kesempatan.
Jika nanti jadi pemuda baik dan soleh, tapi masih ditolak, siapa tahu jodoh
gua,” timpal Novi tanpa sungkan kepada Fito.
“Huuu!” Windi dan Ade
menyoraki Novi lalu tertawa ramai.
“Baik. Abang Fito saya
beri waktu dua minggu untuk berubah, silahkan dalami agama. Setelah merasa
sudah menjadi lelaki baik dan bukan pemabuk lagi, silahkan datang lagi.
Tentunya Abang Fito memiliki pesaing dalam hal ini,” ujar Rina.
“Baik, setuju!” kata
Fito seraya tersenyum lebar.
“Tapi ada hal penting
lain yang harus Abang lakukan,” kata Barada yang membuat Fito serius
memandangnya. “Abang harus janji tidak akan menceritakan dan menyebarkan aib
Kak Rani kepada orang yang sebelumnya tidak mengetahui dosa Kak Rani.”
“Ya, gua janji!” tegas
Fito.
“Om Fito!” panggil
Indah dari kursi yang lain.
Fito pun menengok
kepada Indah.
“Karena Om sudah
memilih air putih, maksud filosofinya adalah, jika urusan sudah selesai,
silahkan pulang,” kata Indah. “Kalau seandainya tadi memilih kopi, maksudnya
agar Om menginap. Kalau memilih susu, maksudnya bisa menyusu.”
“Hahaha!”
Meledaklah tawa mereka
semua.
Fito lalu meminum habis
air putihnya.
“Baiklah, jika
demikian, Abang izin pulang. Abang pasti penuhi keinginan Rani,” kata Fito
kepada Rina setelah tawa mereka reda.
“Baik,” kata Rina
seraya tersenyum.
Fito pun bangun berdiri,
diikuti berdirinya Rina dan Barada.
“Kacangnya kok enggak
disentuh, Om?” tanya Novi.
“Om, kacangnya
dibungkusin, ya?” kata Windi menawarkan.
“Enggak, enggak usah!”
tolak Fito cepat seraya tertawa kecil.
“Kirain enggak nolak,”
celetuk Ade yang disusul tawa yang lainnya.
Fito hendak mengulurkan
tangannya untuk salaman, tapi ia cepat ingat dengan kejadian tadi. Sambil
senyum-senyum, Fito hanya rapatkan tapak tangannya di depan dada seperti salam
Abang dan None Jakarte. Rina membalasnya dengan hal yang sama. Sementara Barada
membungkuk seperti hormat orang Jepang.
Dengan perasaan kacau,
Fito berjalan menuju pintu, diiringi oleh Rina dan Barada. Sementara yang
lainnya hanya tertawa-tawa.
Sebelum Fito keluar
pintu, Novi berteriak memanggil dan bertanya, “Om Fito! Enggak tertarik ama
nomor telepon gua?”
“Terima kasih, terima
kasih!” jawab Fito sambil terpaksa senyum-senyum dan bergerak mundur ke arah
pintu.
Ketika Fito berbalik,
ternyata posisinya sudah merapat di pintu dan hampir saja menabrak daun pintu
yang masih tertutup. Meski tidak sampai terbentur, tapi hal itu membuat para
gadis itu pun tertawa ramai.
“Benar-benar apes bin
sial gua,” rutuk Fito dalam hati.
Rina dan Barada hanya
mengantar sebatas teras lalu masuk kembali. Sementara Fito mengenakan jaket dan
helmnya, lalu pergi dengan motor Byson miliknya. Pembantu bernama Iwan melayani
dengan membukakan pintu gerbang.
Sementara di dalam,
ramailah para gadis itu tertawa. Namun ada yang berbeda, bersama mereka kini
ada tiga gadis cantik yang berjilbab. Satu tambahannya adalah Rani.
Rani sejak awal
mendengarkan dari ruang dalam tanpa sedikit pun keluar atau bersuara. Ia masih
mengenakan pakaian Muslimah yang dihadiahkan oleh adiknya.
“Nanti akan datang
cowok yang bernama Gunawan. Dia sahabat Fito dan juga jago mabuk sama seperti
Fito. Niatnya sama,” kata Rani kepada mereka.
“Kita akan urus juga
yang satu ini,” kata Indah.
“Yuk, kita atur
rencana!” ajak Rina. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar