Ilustrasi (Foto: dok. Hipwee.com) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Motor bebek merah itu berhenti di teras sebuah rumah sederhana. Lampu di
dalam rumah sudah padam, tapi lampu di langit-langit teras menyala terang.
Pintu pun tertutup rapat. Sepi di sekitar rumah, termasuk di rumah tetangga kanan
dan kiri.
Malam itu memang sudah pukul 23.45 WIB.
Seturunnya dari motor, si pengendara melepas helmnya dan diletakkan di
meja yang ada di teras. Ia adalah seorang pemuda tampan berusia 20 tahun.
Sepasang alisnya cukup tebal, tapi ada bekas luka kecil di alis kirinya,
sedikit mengusik tatanan rambut alisnya. Ia mengenakan jaket hitam dan
bercelana jeans hitam. Sepatunya pun hitam. Termasuk tas ransel yang disandang
punggungnya, juga hitam dan terlihat berat. Ia adalah Fath Gazza, seorang wartawan muda di sebuah kantor berita
Islam.
Ia letakkan tasnya di meja, lalu ia henyakkan pantatnya ke kursi kayu
yang ada. Rona wajahnya menunjukkan bahwa tubuhnya lelah.
“Assalamu ‘alaikum, Daeng!”
“Astaghfirullah!” pekik Gazza
terkejut dan spontan berdiri lalu berbalik, melihat siapa yang memberi salam
tiba-tiba tepat di belakang telinganya. Lalu jawabnya dengan melotot, “Wa ‘alaikum salam!”
Tampak di sela-sela kaca jendela yang terbuka, sebuah wajah perempuan
cantik berjilbab putih tertawa cekikikan, sehingga memunculkan lesung pipi yang
manis. Gadis belia itu tidak lain adalah Barada, yang biasa dipanggil dengan
nama Badar. Ia menahan tawanya agar tidak membangunkan bapak dan ibu yang sudah
tidur di dalam.
Barada lalu bergerak ke pintu, membukanya dan keluar sambil masih
cekikikan. Ia mengenakan pakaian tidur dan bercelana panjang gombrong. Jilbab
putihnya besar hingga menutupi ke perut.
“Untung saya enggak bacain Ayat Kursi,” kata Gazza, meredakan dongkolnya
terhadap si adik. “Kenapa belum tidur?”
Sambil masih terkekeh-kekeh, Barada menjawab, “Tungguin Daeng pulang.
Mau menyampaikan salam.”
“Siapa?” tanya Gazza dengan tatapan curiga sambil membuka resleting
jaketnya.
“Rina,” jawab Barada sambil tersenyum dan ingin melihat reaksi abangnya.
“Rina? Rina siapa? Sepertinya tidak kenal,” kata Gazza seraya kerutkan
kening seolah berpikir mengingat-ingat.
“Daeng nyebelin jadi kura-kura di perahu!” gerutuh Barada sedikit
merengut.
“Hahaha!” Gazza tertawa. “Iya. ‘Alaika
wa ‘alaihissalam (Bagi kamu dan baginya keselamatan). Bagaimana kabar
sahabat barumu itu? Sehat?”
“Sekarang Rina berjilbab seperti saya lho, Daeng,” kata Barada.
“Subhanallah!” tasbih Gazza
cukup takjub. “Rupanya adikku ini calon ustazah handal.”
“Gara-gara bertemu Daeng, Rina jadi jatuh cinta,” kata Barada setengah
berbisik, membuat Gazza agak mendelik.
“Wah bahaya!” ucap Gazza dengan ekspresi terkejut setengah panik.
“Iya, jatuh cinta untuk pakai jilbab maksudnya,” kata Barada lalu
tertawa agak kencang karena lucu melihat ekspresi kakaknya.
“Sudah, berhenti bercandain Daeng!” hardik Gazza. “Kalau ada perlu
penting, langsung sampaikan, kalau tidak ada, Daeng mau bobo cantik.”
“Nih!”
Barada menyodorkan tangan kanannya yang memegang selembar foto ukuran
3R. Gazza mengambilnya lalu melihat gambar di dalam kertas itu. Foto seorang
wanita cantik berambut pendek yang tersenyum begitu cantik untuk ukuran mata
lelaki. Foto itu adalah wajah Rani, kakaknya Rina.
“Seperti artis,” kata Gazza mengomentari. “Tapi, kalau fotonya begini, insya Allah sulit dapat lelaki yang
salih, kecuali lelaki salih yang keblinger.”
“Terus bagaimana, Daeng?” tanya Barada.
“Ini kan aib besar karena dosa besar. Jadi, cerita tentang kehamilannya harus
ditutup rapat-rapat. Minta semua orang yang tahu cerita ini, tidak lagi
bercerita kepada orang lain yang belum tahu. Jadi jaga aibnya. Jika muslimat
itu serius mau mendapat lelaki yang baik dan salih, suruh dia tobat kepada
Allah. Salah satu bukti bahwa dia itu berusaha bertobat adalah menutup aurat.
Jadi, foto yang saya minta adalah yang pakai jilbab,” jelas Gazza. “Dia salat?”
“Emm, tidak tahu,” jawab Barada.
“Kalau dia tidak salat, bagaimana bisa saya tawarkan barang jelek?
Walaupun ngakunya muslim, tapi jika tidak salat, ya sama dengan nonmuslim.
Kasarnya seperti itu.”
Gazza mengembalikan foto Rani kepada Barada.
“Kalau masih jahiliyah, saya tidak bisa upayakan,” kata Gazza.
“Iya deh, nanti saya sampaikan ke Rina,” kata Barada.
“Kalau Rina salat?” tanya Gazza.
“Alhamdulillah sudah salat
lima waktu,” jawab Barada.
“Pakai jilbabnya syar’i?”
“Insya Allah, Daeng.”
Mendengar akhir cerita Barada ketika berdialog dengan Gazza tadi malam,
membuat Rina senyum-senyum. Sebab, ada yang berbunga-bunga di hatinya.
Meski tidak pernah mengakui secara terang-terangan bahwa dirinya suka
kepada Gazza, tapi Rina pada faktanya selalu senang jika Barada bercerita
tentang Gazza.
Saat itu, Barada dan Rina sedang berada di parkiran sekolah. Mereka baru
saja tiba setelah bersama-sama ke sekolah menggunakan sepeda.
“Lu enggak ngarang kan, Badar?” tanya Rina curiga.
Barada justru tertawa, sambil katanya, “Saya dosa kalau bohong!”
Akhirnya Rina tersenyum lagi. Dalam hati ia berkata, “Semoga Abang Gazza
mulai menaruh perhatian ke gua.”
“Oh iya, Rin. Abang juga ngundang kita ke Ta’lim Sya’ban di Cileungsi, Bogor, 21 Mei, Ahad,” kata Barada.
“Acara apaan tuh?” tanya Rina tidak paham.
“Pengajian tahunan. Yang hadir ribuan orang dari berbagai daerah
se-Indonesia,” jawab Barada.
“Boleh, hitung-hitung wisata religi,” kata Rina.
Berdasarkan cerita Barada tentang nasehat Gazza tadi malam untuk Rani,
Rina pun mengajak Barada untuk membeli sesuatu sebagai hadiah untuk Rani. Tidak
hanya mengajak belanja di mall, Rina
juga mengajak Barada mampir ke rumahnya. Karena urusan kali ini dianggap penting,
Barada harus menggunakan ponsel Rina menelepon ke rumah untuk mendapat izin
orang tua. Sebab, ada aturan bagi Barada, sepulang sekolah, ia harus tiba di
rumah paling lambat satu jam dari waktu yang semestinya.
Barada adalah gadis yang memilih tidak mau mempunyai ponsel. Meski
demikian, hal itu tidak membuatnya gagap teknologi.
Ternyata, anggota Geng Bintang Tujuh memaksa ikut main ke rumah Rina.
Jika Rina dan Barada menggunakan sepeda sepulang sekolah, keenam personel Geng Bintang
Tujuh menggunakan mobil milik Indah Pertiwi.
Main di rumah Rina adalah hal yang dulu sering dilakukan oleh Geng
Bintang Tujuh. Jika tidak ada kedua orangtua Rina, maka mereka akan bersikap
seperti di rumah sendiri.
Namun, saat pergi menemui Rani di kamarnya, Rina tidak ditemani oleh
seorang pun temannya. Sudah dua hari lamanya Rani mengurung diri di kamar pasca-pemakaman
Sando.
“Assalamu ‘alaikum!” salam
Rina seraya longokkan kepalanya ke dalam kamar yang tidak dikunci pintunya.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab
Rani yang duduk meringkuk di sudut kamar di atas kasur, sambil memeluk boneka
bantal babi warna merah jambunya. Sepasang kelopak matanya agak bengkak karena
kebanyakan menangis. “Kayak orang asing aja pakai salam.”
“Biar berkah,” kata Rina seraya tersenyum.
“Tambah fanatik aja,” kata Rani lagi.
“Biar masuk surga dan dapat jodoh orang soleh,” tandas Rina. Ia lalu
memberikan paper bag bawaannya. “Ini
hadiah buat elu.”
“Apaan nih?” tanya Rani tanpa senyum kepada adiknya.
“Pakaian bidadari, sebagai syarat supaya elu dapat suami yang baik dan
soleh,” jawab Rina. “Langsung dicobain. Kalau enggak pas, bisa ditukar.”
“Sejak elu pakai jilbab, elu kok baik banget sama semua?” tanya Rani
yang hanya dijawab dengan tawa kecil Rina.
Rani mengambil isi dalam tas dan membukanya. Sebuah pakaian gamis
berwarna putih cemerlang yang memiliki motif bordiran berwarna kuning di area
roknya.
“Wow! Pasti mahal,” kata Rani kagum dengan kecantikan gamis panjang itu.
Rani yang hanya berbaju kaos oblong kuning, langsung saja memasukkan
tubuhnya ke dalam baju gamis itu. Sosok Rani seketika berubah menjadi wanita
yang terkesan feminim, religius dan lebih cantik.
“Gila!” ucap Rina seraya geleng-geleng kepala.
“Kenapa?” tanya Rani mendelik kepada adiknya.
“Seharusnya elu dari dulu pakai baju model begini. Benar-benar cantik.
Enggak percuma gua beliin elu baju!” kata Rina memuji.
“Ember!” rutuk Rani, tapi tersenyum tersipu, senang dalam hati.
“Sekarang elu cobain juga jilbabnya!” suruh Rina.
“Elu mau nyuruh saya berjilbab kayak elu?” tanya Rani menuding.
“Kata calon suami gua....” kata Rina, tapi kata-katanya langsung diputus
oleh kakaknya.
“Masih ingusan sudah ngomongin calon suami!” hardik Rani.
“Kan masih calon. Nanti pas lulus, tinggal nikah. Hahaha!” kilah Rina
lalu tertawa agak keras. Katanya lagi, “Elu mau nikah sama cowok yang seperti
apa sih, Ran?”
“Cowok yang benar, baik, ngerti agama, soleh, syukur-syukur kalau
ganteng,” jawab Rani.
“Kata calon suami gua, kalau elu mau dapat cowok yang baik dan soleh, elu
harus tobat dulu dari dosa besar elu. Bagaimana cowok soleh mau sama elu kalau
elu masih punya dosa zina?” ujar Rina.
Tiba-tiba wajah Rani mengerut hendak menangis, tapi pada akhirnya ia
menangis juga. Itu terjadi karena mendengar kata-kata terakhir Rina.
“Yah, malah nangis!” keluh Rina.
Rani segera mencoba berhenti menangis. Ia lalu duduk di pinggir kasurnya.
Ia memandang kosong ke tembok kamar.
“Gua sudah hancur, Rin. Gua enggak pantas lagi memilih,” ucap Rani
sedih. “Enggak mungkin gua bisa dapat cowok yang benar-benar baik kelakuannya,
apalagi yang oke agamanya. Cowok baik mana sih yang mau sama bekas orang?”
“Oh enggak, Ran. Kalau elu mau, elu bisa dapat cowok yang terbaik. Gua
sama Badar yakin seratus persen elu bisa dapat!” kata Rina optimis.
Kata-kata adiknya seolah membangunkan harapan Rani yang sudah mati.
“Yang jadi masalahnya, elu mau kagak dapat cowok yang terbaik?” tanya
Rina.
“Gua mau banget, Rin. Dan gua mau nanti anak gua jadi anak yang soleh.”
“Kalau elu mau, elu ikutin arahan gua yang gua dapat dari calon suami
gua!” tandas Rina.
“Iya.”
“Nah, sekarang elu pakai dulu jilbab itu!” perintah Rina.
Akhirnya Rani menurut. Ia lalu memakai jilbab warna putih pasangan
pakaian gamis itu.
“Subhanallah!” ucap Rina
setelah melihat wajah putih bersih kakaknya dalam balutan jilbab putih. “Tapi
perlu sedikit polesan gara-gara elu kebanyakan nangis.”
Rina segera mengambil kotak perlengkapan make-up.
“Lu diam. Ini proses untuk dapat cowok yang terbaik!” kata Rina sambil
bergerak cekatan merias wajah kakaknya dengan dandanan yang sederhana. “Sip!”
Rina lalu mengeluarkan ponselnya dan memposisikan dirinya agak jauh di depan
Rani. Ia arahkan kamera ponselnya untuk memotret Rani.
“Senyum sedikit!”
Rani pun menurut.
“Sip!” seru Rina merasa puas dengan hasil jepretannya. Sejenak ia menatapi
wajah cantik kakaknya di ponselnya. “Subhanallah!
Subhanallah! Subhanallah!”
Rina lalu menunjukkan foto itu kepada kakaknya. Rani hanya tersenyum.
Cup!
Tiba-tiba Rina mencium pipi Rani lalu pergi meninggalkan Rani sendiri di
kamar. Rani hanya mendelik kaget sebab ciuman itu.
Rani kemudian bangkit dan berdiri di depan cermin. Ia mematut dirinya.
Ia tersenyum melihat kecantikannya sendiri. Seolah ia baru tahu bahwa dengan
berhijab ia terlihat begitu cantik dan anggun.
“Ran!”
Rani terkejut ketika tiba-tiba Rina kembali muncul di pintu kamar dan
memanggilnya.
“Mulai sekarang elu harus solat, ngomong ke Allah, berdoa, tobat. Insya Allah nanti jodoh elu didatangin
Allah. Kalau bisa mulai hari ini elu pakai jilbab!” kata Rina dari pintu kamar.
Rani hanya terdiam mendengar arahan adiknya. Rina berbalik dan pergi.
Namun, Rani buru-buru berteriak memanggil adiknya karena ia teringat sesuatu.
“Rina!”
Rina pun muncul lagi di pintu seperti jin yang dipanggil Aladin.
“Nanti ada dua orang cowok yang mau datang, teman gua. Elu aja yang
terima ya?” kata Rani.
“Jam berapa?” tanya Rina.
“Sebentar lagi kok.”
“Mau ngapain?”
“Mau ketemu Papa atau Mama. Yang satunya bilang mau jadi bapak anak
gua.”
“Wah, ada serangan fajar nih,” kata Rina agak terkejut. “Terus, elu
mau?”
“Enggak, dia tukang minum.”
“Biar gua sama teman-teman gua yang urus,” kata Rina, lalu pesannya.
“Tapi ingat, solat, tobat, berdoa, dan berjilbab!”
“Iya!” sahut Rani.
Rina pun akhirnya pergi meninggalkan kamar kakaknya dengan membawa
senyum. Ia segera menemui teman-temannya dan memberitahukan kabar tentang akan
datangnya dua orang tamu. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar