Menangis Dalam Tawa (9)



Ilustrasi: Muslimah berlesung pipi
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:



Sebuah mobil AVP silver memasuki halaman rumah Rina. Orang yang mengemudi adalah Gunawan, sahabat mabuk Fito. Sisiran rambutnya begitu rapi ke belakang, karena rambut gondrongnya diikat satu di belakang. Bibir berkumisnya itu memiliki setitik tahi lalat di bawah sudut kiri bibir. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang. 

Sejenak Gunawan berkaca dahulu ke kaca spion. Setelah terlihat sempurna, ia pun turun keluar dari mobil. Ia langsung menuju ke pintu.


Assalamu ‘alaikum!” salam Gunawan agak kencang, wajahnya menunjukkan cuaca optimis. 

Wa ‘alaikum salam!” jawab satu suara perempuan dari dalam.

Pintu dibuka, tampaklah wajah dan sosok Iyut Nirmala yang cantik. Masih tetap berseragam sekolah.
“Mas Gunawan, ya?” tanya Iyut menerka.

“Benar sekali!” jawab Gunawan antusias penuh senyum manis.

“Ah, sudah lama ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga,” kata Iyut lalu seenaknya saja meraih pergelangan tangan Gunawan dan menariknya masuk. “Ayo!”

Tarikan Iyut yang cukup kuat dan langkahnya yang cepat, membuat Gunawan mau tidak mau ikut seperti kambing piaraan.

“Janjinya mau datang tepat waktu, tapi ini sudah telat berapa jam. Sampai-sampai kopi yang dibuat khusus untuk Mas Gunawan keburu dingin, malah keburu habis gua minum. Kak Rani sampai kesal nungguin. Seandainya setengah jam lagi enggak datang-datang, kita enggak bakalan lagi pakai Mas Gunawan. Memang macet parah di jalan, Mas?” 

Iyut berbicara tanpa titik koma lagi sambil terus menarik Gunawan masuk ke dalam.

“Cuma macet sedikit kok, tapi gua enggak telat kok,” jawab Gunawan.

“Ini memang jadi masalah besar kalau dibiarkan begini saja,” kata Iyut.

Tahu-tahu Iyut dan Gunawan sudah berada di dalam sebuah ruang toilet yang cukup besar dibandingkan ukuran kamar toilet pada umumnya. Keduanya memang sudah berada di toilet khusus tamu.

“Tunggu di sini dulu, gua panggil Kak Rani dulu!” kata Iyut lalu meninggalkan Gunawan begitu saja di dalam toilet.

“Tapi,....” ucap Gunawan jadi bingung, kenapa ia dibawa ke toilet.

Perkataannya putus, karena Iyut sudah menutup pintu toilet.

Ceklek!

Mendelik Gunawan saat mendengar suara seperti pintu toilet dikunci dari luar. Buru-buru Gunawan ke pintu dan segera meraih gagang pintu dan memutar tarik.

“Kekunci!” teriak Gunawan terkejut, tapi dalam hati.

Tok tok tok!

“Dek?” panggil Gunawan setelah mengetok pintu toilet.

Gunawan menunggu sejenak, tapi tidak ada jawaban dari luar sana.

Tok tok tok! 

Gunawan mengetuk pintu lebih kencang lagi. Lalu ia berteriak.

“Hallo! Ada orang di luar?!”

Lagi-lagi tidak sahutan atau jawaban orang dari luar toilet tamu itu.

“Rani!” teriak Gunawan lebih kencang lagi.

Namun, hasilnya sama.

Gunawan sejenak terdiam sambil memandang ke atas, mencari jendela yang mungkin bisa dipakai untuk keluar, tapi tidak ada jalan.

Tok tok tok!

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu toilet dari luar.

“Siapa di dalam?” tanya seorang perempuan, tapi suaranya berbeda dari suara Iyut.

“Gua, gua Gunawan!” jawab Gunawan setengah berteriak.

“Heh! Elu siapa?!” bentak perempuan di luar. “Di rumah ini enggak ada laki-laki!”

“Gua Gunawan teman Rani!” teriak Gunawan pula.

“Elu maling ya?! Buka pintunya!” teriak perempuan di luar, terdengar marah.

Gunawan jadi gusar dan bingung. Dia yang merasa dikuncikan pintu dari luar, tapi dia yang disuruh buka pintu. Terlebih ia dituding maling.

“Woi! Pintunya dikunci dari luar. Elu dong yang bukain gua pintu!” teriak Gunawan mulai sewot.

Brak brak brak!

Perempuan di luar menggebrak-gebrak pintu lebih kencang, membuat Gunawan terkejut.

“Buka pintunya! Gua kebelet, tahu! Kalau enggak dibuka, gua panggil polisi nih!” teriak perempuan di luar, mengancam.

“Gila!” maki Gunawan dalam hati, wajahnya menunjukkan kemarahan. Dia jadi bingung sendiri.

“Pintunya dikunci dari luar, Bodoh!” teriak Gunawan memaki, tidak sabar lagi.

“Awas! Jangan ke mana-mana, lu! Gua panggilin keamanan kompleks!” teriak perempuan di luar mengancam.

“Woi! Woi!” teriak Gunawan jadi panik sendiri.

Ia menepuk-nepuk pintu agak keras. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa masih ada orang di depan pintu toilet. Jelas ia tidak mau berurusan dengan pihak keamanan.

“Kenapa jadi kacau begini?” tanya Gunawan kepada dirinya sendiri. “Gua sudah ganteng habis begini, malah dikurung di dalam wc.”

Beberapa menit kemudian.

Tok tok tok!

“Siapa di dalam?” tanya seorang perempuan lagi dari luar toilet. Suaranya berbeda dari dua perempuan sebelumnya.

“Siapa lagi nih? Jangan-jangan rumah Rani ada hantunya,” tanya hati Gunawan, mulai curiga. Namun ia segera minta tolong, “Tolong bukain pintu! Pintunya dikunci dari luar!”

Ceklek!

Terdengar suara kunci dibuka dari luar. Kemudian pintu pun bergerak terbuka.

“Wah!” jerit Gunawan terkejut bukan main. Bahkan Gunawan sampai spontan jatuh terduduk.

Pintu yang sempat terbuka sedikit saja, kembali ditutup dari luar.

Seketika wajah Gunawan pucat berkeringat. Jantungnya berdetak cepat. Ia ketakutan. 

Wajah yang dilihat Gunawan bukanlah wajah seorang wanita, tapi wajah menyeramkan yang sedikit pun tidak ia sangka. Sosok hitam berwajah menyeramkan.

Sementara itu, pesta tawa terjadi di dalam kamar Rani. Sosok berjubah hitam panjang membuka topeng setannya sambil tertawa terbahak-bahak memegangi perutnya. Sosok bertopeng setan itu tidak lain adalah Novi Andria. Kesembilan wanita cantik itu benar-benar “mengerjai” Gunawan.

“Haduh! Sakit lambung gua!” keluh Novi sambil terus tertawa. “Gunawan ngejerit sampai jatuh duduk, saking kagetnya.”

“Hahaha...!” 

Kian meledaklah tawa mereka.

Tring ninong ninong...!

Tiba-tiba nada dering ponsel Rani berbunyi nyaring. 

“Diam semuanya, Gunawan telepon!” seru Rani yang masih cantik dengan busana muslimahnya.

Rina dan yang lainnya pun mengerem tawanya, meski mereka masih harus cekikikan.

“Siapa yang mau angkat?” tanya Rani menawarkan.

“Sini, biar gua,” kata Indah Pertiwi.

Rani memberikan ponselnya kepada Indah. Indah sejenak memberi isyarat agar yang lainnya diam.

“Hallo, Pijat Plus-Plus Tante Girang siap melayani Anda?” kata Indah dengan nada seperti operator di telepon.

“Hah! Kok pijat plus-plus?” Terdengar keterkejutan dan keterheranan dari suara Gunawan di dalam ponsel yang speaker-nya diaktifkan.

Semuanya terpaksa harus menahan tawa. Tampak Barada duduk bersender di rak boneka sambil memegangi perutnya. Ia adalah gadis yang sangat mudah tertawa. Meski sebenarnya ia kurang setuju dengan usulan menjahili Gunawan, tapi mau tidak mau ia pun harus menikmati kelucuan itu. Dalam rencana mereka, nanti Barada akan memainkan perannya sendiri.

“Rani!” panggil Gunawan dari dalam telepon.

“Maaf, Om. Wanita pemijat kami tidak ada yang bernama Rani, jika Rina ada,” kata Indah, tetap bernada sebagai operator sebuah layanan pijat.

“Ini nomor Rani, kan?!” tanya Gunawan agak teriak.

“Maaf, Om salah sambung. Harap cek ulang nomor yang Anda transfer!” kata Indah lalu mematikan sambungannya.

“Hahaha!” Indah yang lebih dulu mengencangkan tawanya.

Yang lain, yang sejak tadi menahan tawanya, melepas tawa mereka sebebas-bebasnya. Seolah-olah tanpa beban dan dosa.

“Hik! Huhuhu...!”

Tiba-tiba di sela tawa yang membahak itu terdengar tangis. Tangis itu dari Rani. Indah segera memberi tanda kepada teman-temannya agar berhenti tertawa. Seketika mereka pun berhenti tertawa seiring mereka mendengar suara tangis Rani yang kencang.

Rina jadi teringat ketika ia menangis dahsyat di rumah Barada pada suatu malam, ibunya Barada segera memeluknya. Maka hal itu pun ia lakukan kepada kakaknya saat ini.

Rani dan Rina adalah kakak adik yang sebelumnya sering bertengkar kata-kata disebabkan banyak hal. Tapi sejak musibah menimpa Rani, yaitu hamil sebelum menikah, Rina berubah begitu sayang kepada kakaknya tersebut.

Rani menumpahkan tangisnya dalam pelukan adiknya.

Tidak ada suara tawa lagi yang keluar dan terdengar. Yang lainnya hanya bisa saling pandang, bingung.

“Kenapa, Kak?” tanya Indah dengan suara lembut.

“Bagaimana bisa, gua tertawa padahal gua dalam status berdosa besar? Haaa... haaa...!” jawab Rani terpatah-patah lalu menangis lepas. Lalu ucapnya yang membuat semuanya tersentuh sedih, “Gua takut, ya Allah! Gua takut....!”

Rina yang merasakan begitu hebatnya guncangan yang melanda perasaan Rani, jadi turut menangis tanpa berkata sepatah kata pun.

Tampak Iyut Nirmala, Windi Anggita dan Ade Irma turut menangis tanpa suara. Ketiga gadis belia itu termasuk gadis yang mudah terbawa emosi.

“Badar, tolong urus Bang Gunawan,” kata Rina kepada Barada.

“Siap!” sahut Barada.

Gadis manis itu lalu keluar dari kamar dan menuju ke toilet tamu.

Tok tok tok!

Ketuk Barada terhadap pintu toilet yang tertutup. Lalu tanyanya, “Siapa yang di dalam?”

“Siapa itu? Manusia atau hantu?” Gunawan yang di dalam toilet justru bertanya balik, suaranya terdengar bergetar tidak normal, seolah mengandung sedikit ketakutan.

“Manusia,” jawab Barada seraya tersenyum sendiri, membuat lesung pipi manisnya terlihat jelas.

“Tolong bukain pintunya! Pintunya dikunci dari luar!” teriak Gunawan.

Ceklek!

Barada membuka kunci lalu perlahan membuka pintu. Namun, Barada segera bergerak ke samping berlindung di balik tembok, sebab Gunawan ternyata telah siap dengan segayung air di tangannya.

Namun, air itu tidak Gunawan siramkan karena melihat sosok cantik berjilbab yang membuka pintu untuknya.

Gunawan segera keluar dengan wajah mengerenyit lelah hati dan perasaan. Ia langsung celingak-celinguk mencari sesuatu. Gayung plastik masih terpegang di tangannya. Barada hanya memandangi sambil waspada jika tiba-tiba Gunawan melempar air di gayung itu kepadanya. Sebab tidak menemukan orang yang dicarinya, Gunawan lalu beralih memandang Barada dengan wajah menyisakan raut kemarahan bercampur was-was.

“Pak Gunawan dari servis toilet ya?” tanya Barada, berpura-pura.

“Bukan!” jawab Gunawan setengah berteriak kepada Barada. “Gua Gunawan teman dekatnya Rani. Gua datang mau ngelamar Rani, eh malah dikurung di toilet! Hadduh!”

“Oooh!” desah Barada manggut-manggut. “Lalu kenapa datangnya dari dalam toilet?”

“Itu, gua ditarik masuk sama cewek berseragam kayak elu, tapi enggak pakai jilbab!” jelas Gunawan masih terbawa emosi.

“Oooh!” desah Barada lagi. Lalu katanya, “Kalau demikian, silakan Om Gunawan duduk di kursi tamu. Tapi, tolong gayungnya ditaruh kembali di dalam.”

Gunawan tidak mau masuk lagi ke dalam kamar toilet. Gayung yang dipegangnya hanya diletakkan di dekat pintu. Ia curiga, jika ia masuk lagi, ia pasti akan dikuncikan lagi dari luar.

“Mari!” 

Dengan ramahnya Barada menuntun Gunawan ke ruang tamu dan mempersilakannya duduk. 

Seduduknya Gunawan, Barada melangkah ke ruang dalam, sebentar kemudian muncul lagi dengan senyum manis. Barada pun duduk untuk melayani tamu rumah itu.

“Maaf, Om, tujuan Om Gunawan datang ke mari jelasnya apa?” tanya Barada.

“Jelasnya begini, gua mau ketemu orang tua Rani dan Rani sendiri. Tapi, lu siapanya Rani?” kata Gunawan lalu bertanya.

“Saya Barada, Om. Orang yang bertanggung jawab saat ini untuk masalah ini. Jadi, silakan disampaikan maksud Om kepada saya, karena Kak Rani telah mengamanahkan kepada saya untuk menerima kedatangan Om.”

“Oh. Tapi, siapa tadi yang ngerjain gua di toilet?” tanya Gunawan, masih kurang berkenan dengan perlakuan terhadapnya.

“Mungkin itu hanya perasaan Om. Mungkin itu pengaruh mabuknya Om,” kata Barada dengan tetap tersenyum.

Sebutan “pengaruh mabuk” itu membuat Gunawan sedikit tercekat, seolah muslimah di depannya itu tahu bahwa tadi malam ia usai mabuk.

“Ya, mungkin gua kebanyakan nonton film horor,” kata Gunawan memilih mengalah. “Jadi begini, Dik. Nama Adik siapa?”

“Badar.”

“Jadi begini, Badar. Gua rasa kita semua tahu status Rani sekarang. Gua rasa Badar pun tahu gua ini siapa. Jadi langsung saja, gua ingin melamar dan menikahi Rani dan bersedia menjadi bapak dari anaknya yang sekarang sedang dikandungnya,” ujar Gunawan.

“Baik, saya mengerti. Sesuai amanat yang diberikan kepada saya, ada beberapa hal yang harus saya tanyakan dan harus dijawab jujur oleh Om Gunawan. Jika tidak setuju, berarti cukup sampai di sini dan Om dipersilakan kembali. Bagaimana?”

Gunawan jadi kerutkan kening, berpikir sejenak. 

Dari ruang dalam muncul Mbak Lina, pembantu perempuan berusia tiga puluhan yang membawa segelas besar air putih dan semangkuk kacang goreng. Setelah meletakkan hidangan itu di atas meja, Mbak Lina segera pergi.

Silakan diminum, Om!” kata Barada.

Gunawan yang memang perlu air putih segera minum seperti unta kehausan. Air itu segera habis.
“Baik, setuju. Silakan,” kata Gunawan.

“Pertama, Om tidak boleh lagi cerita aib ini kepada siapa pun lagi. Bagaimana?”

“Baik.”

“Om agamanya Islam?” tanya Barada memulai wawancaranya.

“Jelas Islam. I am a muslim,” jawab Gunawan mantap.

“Om melaksanakan salat lima waktu?” tanya Barada.

“Belum,” jawab Gunawan seraya sedikit senyum malu.

“Saya dengar dari Kak Rani bahwa Om Gunawan suka sekali mabuk. Benar?” 

“Oh, gua jagonya,” jawab Gunawan bangga.

“Maaf, Om. Dengan dua jawaban itu saja, Om Gunawan dinyatakan kami tolak, karena Kak Rani menginginkan calon suami yang baik agamanya, bukan seorang yang tidak salat atau seorang pemabuk,” kata Barada dengan nada santun.

“Tapi,” kata Gunawan, tapi terputus. Lalu ucapnya pelan, “Kenapa jadi begini?”

“Karena jalan inilah yang dianggap terbaik untuk Kak Rani. Sebelumnya Om Fito pun telah kami tolak, tapi kami beri kesempatan selama dua minggu untuk memperbaiki agama dan perilakunya. Sebab, akan ada pelamar lain yang akan meminang Kak Rani. Jika Om Gunawan benar-benar serius, kami akan beri waktu dua minggu untuk berbenah diri, tapi itu pun belum tentu akan diterima.”

Gunawan terdiam sejenak seraya menatap Barada. Otaknya sedang berpikir keras.

“Baik, demi cinta gua kepada Rani, mabuk sampai mati pun gua lakoni!” kata Gunawan laksana seorang mujahid tersesat.

“Ingat, target Om adalah menjadi pemuda yang salih, baik agamanya dan bagus akhlaknya, bukan lagi seorang pemabuk!” kata Barada mengingatkan.

“Gua akan tunjukkan kepada Rani bahwa gua adalah lelaki terbaiknya!” kata Gunawan optimis.

“Jika sudah selesai, kami perkenankan Om Gunawan untuk pulang dan mulai membenahi diri. Apa perlu kacangnya dibungkus untuk dibawa pulang, Om?” kata Barada.

“Gak perlu. Itukan cuma kacang, hahaha!” kata Gunawan sambil dipaksakan tertawa. Lalu gumamnya pelan kepada dirinya sendiri, “Jadi orang salih, ya.”

Barada lalu berdiri terlebih dahulu. Berlakon sebagai tuan rumah, Barada merasa berhak untuk meminta tamunya pergi jika tidak ada keperluan lagi. Gunawan pun turut berdiri, tapi gerak tubuhnya seolah masih ada yang ingin ditanyakan.

“Masih ada yang ingin disampaikan, Om?” tanya Barada, tetap dengan senyum kecilnya.

“Jadi gua gak bisa ketemu Rani sekarang?” tanya Gunawan.

“Kak Rani masih dalam masa peralihan batin menuju pertobatan untuk menjadi wanita yang bersih dari dosa, jadi tidak bisa diganggu,” jawab Barada.

“Kalau orang tuanya juga enggak bisa ketemu sama gua?” tanya Gunawan lagi.

“Tidak, keduanya masih dalam kondisi sibuk,” jawab Barada. Lalu mempersilakan Gunawan pergi dengan halus, “Silakan!”

Mau tidak mau, Gunawan pun akhirnya melangkah menuju pintu.

Assalamu ‘alaikum,” salam Gunawan, sebagai awal dirinya mulai berubah religius.

Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab Barada yang berhenti di ambang pintu. Ia lalu membungkuk ojigi, menghormat cara orang Jepang. (RH)


Berlanjut: Cincin yang Pulang (10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar