Ilustrasi: Muslimah berlesung pipi |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Sebuah mobil AVP silver memasuki halaman rumah Rina. Orang
yang mengemudi adalah Gunawan, sahabat mabuk Fito. Sisiran rambutnya begitu
rapi ke belakang, karena rambut gondrongnya diikat satu di belakang. Bibir
berkumisnya itu memiliki setitik tahi lalat di bawah sudut kiri bibir. Ia
mengenakan kemeja putih lengan panjang.
Sejenak Gunawan berkaca
dahulu ke kaca spion. Setelah terlihat sempurna, ia pun turun keluar dari
mobil. Ia langsung menuju ke pintu.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Gunawan agak kencang, wajahnya
menunjukkan cuaca optimis.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab satu suara perempuan dari dalam.
Pintu dibuka, tampaklah
wajah dan sosok Iyut Nirmala yang cantik. Masih tetap berseragam sekolah.
“Mas Gunawan, ya?”
tanya Iyut menerka.
“Benar sekali!” jawab
Gunawan antusias penuh senyum manis.
“Ah, sudah lama ditunggu-tunggu,
akhirnya datang juga,” kata Iyut lalu seenaknya saja meraih pergelangan tangan
Gunawan dan menariknya masuk. “Ayo!”
Tarikan Iyut yang cukup
kuat dan langkahnya yang cepat, membuat Gunawan mau tidak mau ikut seperti
kambing piaraan.
“Janjinya mau datang
tepat waktu, tapi ini sudah telat berapa jam. Sampai-sampai kopi yang dibuat
khusus untuk Mas Gunawan keburu dingin, malah keburu habis gua minum. Kak Rani
sampai kesal nungguin. Seandainya setengah jam lagi enggak datang-datang, kita
enggak bakalan lagi pakai Mas Gunawan. Memang macet parah di jalan, Mas?”
Iyut berbicara tanpa
titik koma lagi sambil terus menarik Gunawan masuk ke dalam.
“Cuma macet sedikit
kok, tapi gua enggak telat kok,” jawab Gunawan.
“Ini memang jadi
masalah besar kalau dibiarkan begini saja,” kata Iyut.
Tahu-tahu Iyut dan
Gunawan sudah berada di dalam sebuah ruang toilet yang cukup besar dibandingkan
ukuran kamar toilet pada umumnya. Keduanya memang sudah berada di toilet khusus
tamu.
“Tunggu di sini dulu,
gua panggil Kak Rani dulu!” kata Iyut lalu meninggalkan Gunawan begitu saja di
dalam toilet.
“Tapi,....” ucap
Gunawan jadi bingung, kenapa ia dibawa ke toilet.
Perkataannya putus,
karena Iyut sudah menutup pintu toilet.
Ceklek!
Mendelik Gunawan saat
mendengar suara seperti pintu toilet dikunci dari luar. Buru-buru Gunawan ke
pintu dan segera meraih gagang pintu dan memutar tarik.
“Kekunci!” teriak
Gunawan terkejut, tapi dalam hati.
Tok tok tok!
“Dek?” panggil Gunawan
setelah mengetok pintu toilet.
Gunawan menunggu
sejenak, tapi tidak ada jawaban dari luar sana.
Tok tok tok!
Gunawan mengetuk pintu
lebih kencang lagi. Lalu ia berteriak.
“Hallo! Ada orang di
luar?!”
Lagi-lagi tidak sahutan
atau jawaban orang dari luar toilet tamu itu.
“Rani!” teriak Gunawan
lebih kencang lagi.
Namun, hasilnya sama.
Gunawan sejenak terdiam
sambil memandang ke atas, mencari jendela yang mungkin bisa dipakai untuk
keluar, tapi tidak ada jalan.
Tok tok tok!
Tiba-tiba seseorang
mengetuk pintu toilet dari luar.
“Siapa di dalam?” tanya
seorang perempuan, tapi suaranya berbeda dari suara Iyut.
“Gua, gua Gunawan!”
jawab Gunawan setengah berteriak.
“Heh! Elu siapa?!”
bentak perempuan di luar. “Di rumah ini enggak ada laki-laki!”
“Gua Gunawan teman
Rani!” teriak Gunawan pula.
“Elu maling ya?! Buka
pintunya!” teriak perempuan di luar, terdengar marah.
Gunawan jadi gusar dan
bingung. Dia yang merasa dikuncikan pintu dari luar, tapi dia yang disuruh buka
pintu. Terlebih ia dituding maling.
“Woi! Pintunya dikunci
dari luar. Elu dong yang bukain gua pintu!” teriak Gunawan mulai sewot.
Brak brak brak!
Perempuan di luar
menggebrak-gebrak pintu lebih kencang, membuat Gunawan terkejut.
“Buka pintunya! Gua
kebelet, tahu! Kalau enggak dibuka, gua panggil polisi nih!” teriak perempuan
di luar, mengancam.
“Gila!” maki Gunawan
dalam hati, wajahnya menunjukkan kemarahan. Dia jadi bingung sendiri.
“Pintunya dikunci dari
luar, Bodoh!” teriak Gunawan memaki, tidak sabar lagi.
“Awas! Jangan ke
mana-mana, lu! Gua panggilin keamanan kompleks!” teriak perempuan di luar
mengancam.
“Woi! Woi!” teriak
Gunawan jadi panik sendiri.
Ia menepuk-nepuk pintu
agak keras. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa masih ada orang di depan pintu
toilet. Jelas ia tidak mau berurusan dengan pihak keamanan.
“Kenapa jadi kacau
begini?” tanya Gunawan kepada dirinya sendiri. “Gua sudah ganteng habis begini,
malah dikurung di dalam wc.”
Beberapa menit
kemudian.
Tok tok tok!
“Siapa di dalam?” tanya
seorang perempuan lagi dari luar toilet. Suaranya berbeda dari dua perempuan
sebelumnya.
“Siapa lagi nih?
Jangan-jangan rumah Rani ada hantunya,” tanya hati Gunawan, mulai curiga. Namun
ia segera minta tolong, “Tolong bukain pintu! Pintunya dikunci dari luar!”
Ceklek!
Terdengar suara kunci
dibuka dari luar. Kemudian pintu pun bergerak terbuka.
“Wah!” jerit Gunawan
terkejut bukan main. Bahkan Gunawan sampai spontan jatuh terduduk.
Pintu yang sempat
terbuka sedikit saja, kembali ditutup dari luar.
Seketika wajah Gunawan
pucat berkeringat. Jantungnya berdetak cepat. Ia ketakutan.
Wajah yang dilihat
Gunawan bukanlah wajah seorang wanita, tapi wajah menyeramkan yang sedikit pun
tidak ia sangka. Sosok hitam berwajah menyeramkan.
Sementara itu, pesta
tawa terjadi di dalam kamar Rani. Sosok berjubah hitam panjang membuka topeng
setannya sambil tertawa terbahak-bahak memegangi perutnya. Sosok bertopeng
setan itu tidak lain adalah Novi Andria. Kesembilan wanita cantik itu
benar-benar “mengerjai” Gunawan.
“Haduh! Sakit lambung
gua!” keluh Novi sambil terus tertawa. “Gunawan ngejerit sampai jatuh duduk,
saking kagetnya.”
“Hahaha...!”
Kian meledaklah tawa
mereka.
Tring ninong ninong...!
Tiba-tiba nada dering
ponsel Rani berbunyi nyaring.
“Diam semuanya, Gunawan
telepon!” seru Rani yang masih cantik dengan busana muslimahnya.
Rina dan yang lainnya
pun mengerem tawanya, meski mereka masih harus cekikikan.
“Siapa yang mau
angkat?” tanya Rani menawarkan.
“Sini, biar gua,” kata
Indah Pertiwi.
Rani memberikan ponselnya
kepada Indah. Indah sejenak memberi isyarat agar yang lainnya diam.
“Hallo, Pijat Plus-Plus
Tante Girang siap melayani Anda?” kata Indah dengan nada seperti operator di
telepon.
“Hah! Kok pijat
plus-plus?” Terdengar keterkejutan dan keterheranan dari suara Gunawan di dalam
ponsel yang speaker-nya diaktifkan.
Semuanya terpaksa harus
menahan tawa. Tampak Barada duduk bersender di rak boneka sambil memegangi
perutnya. Ia adalah gadis yang sangat mudah tertawa. Meski sebenarnya ia kurang
setuju dengan usulan menjahili Gunawan, tapi mau tidak mau ia pun harus
menikmati kelucuan itu. Dalam rencana mereka, nanti Barada akan memainkan perannya
sendiri.
“Rani!” panggil Gunawan
dari dalam telepon.
“Maaf, Om. Wanita
pemijat kami tidak ada yang bernama Rani, jika Rina ada,” kata Indah, tetap
bernada sebagai operator sebuah layanan pijat.
“Ini nomor Rani, kan?!”
tanya Gunawan agak teriak.
“Maaf, Om salah
sambung. Harap cek ulang nomor yang Anda transfer!” kata Indah lalu mematikan
sambungannya.
“Hahaha!” Indah yang
lebih dulu mengencangkan tawanya.
Yang lain, yang sejak
tadi menahan tawanya, melepas tawa mereka sebebas-bebasnya. Seolah-olah tanpa
beban dan dosa.
“Hik! Huhuhu...!”
Tiba-tiba di sela tawa
yang membahak itu terdengar tangis. Tangis itu dari Rani. Indah segera memberi
tanda kepada teman-temannya agar berhenti tertawa. Seketika mereka pun berhenti
tertawa seiring mereka mendengar suara tangis Rani yang kencang.
Rina jadi teringat
ketika ia menangis dahsyat di rumah Barada pada suatu malam, ibunya Barada
segera memeluknya. Maka hal itu pun ia lakukan kepada kakaknya saat ini.
Rani dan Rina adalah
kakak adik yang sebelumnya sering bertengkar kata-kata disebabkan banyak hal.
Tapi sejak musibah menimpa Rani, yaitu hamil sebelum menikah, Rina berubah
begitu sayang kepada kakaknya tersebut.
Rani menumpahkan
tangisnya dalam pelukan adiknya.
Tidak ada suara tawa
lagi yang keluar dan terdengar. Yang lainnya hanya bisa saling pandang,
bingung.
“Kenapa, Kak?” tanya
Indah dengan suara lembut.
“Bagaimana bisa, gua
tertawa padahal gua dalam status berdosa besar? Haaa... haaa...!” jawab Rani
terpatah-patah lalu menangis lepas. Lalu ucapnya yang membuat semuanya
tersentuh sedih, “Gua takut, ya Allah! Gua takut....!”
Rina yang merasakan
begitu hebatnya guncangan yang melanda perasaan Rani, jadi turut menangis tanpa
berkata sepatah kata pun.
Tampak Iyut Nirmala,
Windi Anggita dan Ade Irma turut menangis tanpa suara. Ketiga gadis belia itu
termasuk gadis yang mudah terbawa emosi.
“Badar, tolong urus
Bang Gunawan,” kata Rina kepada Barada.
“Siap!” sahut Barada.
Gadis manis itu lalu
keluar dari kamar dan menuju ke toilet tamu.
Tok tok tok!
Ketuk Barada terhadap
pintu toilet yang tertutup. Lalu tanyanya, “Siapa yang di dalam?”
“Siapa itu? Manusia
atau hantu?” Gunawan yang di dalam toilet justru bertanya balik, suaranya
terdengar bergetar tidak normal, seolah mengandung sedikit ketakutan.
“Manusia,” jawab Barada
seraya tersenyum sendiri, membuat lesung pipi manisnya terlihat jelas.
“Tolong bukain
pintunya! Pintunya dikunci dari luar!” teriak Gunawan.
Ceklek!
Barada membuka kunci
lalu perlahan membuka pintu. Namun, Barada segera bergerak ke samping
berlindung di balik tembok, sebab Gunawan ternyata telah siap dengan segayung
air di tangannya.
Namun, air itu tidak
Gunawan siramkan karena melihat sosok cantik berjilbab yang membuka pintu
untuknya.
Gunawan segera keluar
dengan wajah mengerenyit lelah hati dan perasaan. Ia langsung celingak-celinguk
mencari sesuatu. Gayung plastik masih terpegang di tangannya. Barada hanya
memandangi sambil waspada jika tiba-tiba Gunawan melempar air di gayung itu
kepadanya. Sebab tidak menemukan orang yang dicarinya, Gunawan lalu beralih
memandang Barada dengan wajah menyisakan raut kemarahan bercampur was-was.
“Pak Gunawan dari servis toilet ya?” tanya Barada,
berpura-pura.
“Bukan!” jawab Gunawan
setengah berteriak kepada Barada. “Gua Gunawan teman dekatnya Rani. Gua datang
mau ngelamar Rani, eh malah dikurung di toilet! Hadduh!”
“Oooh!” desah Barada
manggut-manggut. “Lalu kenapa datangnya dari dalam toilet?”
“Itu, gua ditarik masuk
sama cewek berseragam kayak elu, tapi enggak pakai jilbab!” jelas Gunawan masih
terbawa emosi.
“Oooh!” desah Barada
lagi. Lalu katanya, “Kalau demikian, silakan Om Gunawan duduk di kursi tamu.
Tapi, tolong gayungnya ditaruh kembali di dalam.”
Gunawan tidak mau masuk
lagi ke dalam kamar toilet. Gayung yang dipegangnya hanya diletakkan di dekat
pintu. Ia curiga, jika ia masuk lagi, ia pasti akan dikuncikan lagi dari luar.
“Mari!”
Dengan ramahnya Barada
menuntun Gunawan ke ruang tamu dan mempersilakannya duduk.
Seduduknya Gunawan,
Barada melangkah ke ruang dalam, sebentar kemudian muncul lagi dengan senyum
manis. Barada pun duduk untuk melayani tamu rumah itu.
“Maaf, Om, tujuan Om
Gunawan datang ke mari jelasnya apa?” tanya Barada.
“Jelasnya begini, gua
mau ketemu orang tua Rani dan Rani sendiri. Tapi, lu siapanya Rani?” kata
Gunawan lalu bertanya.
“Saya Barada, Om. Orang
yang bertanggung jawab saat ini untuk masalah ini. Jadi, silakan disampaikan
maksud Om kepada saya, karena Kak Rani telah mengamanahkan kepada saya untuk menerima
kedatangan Om.”
“Oh. Tapi, siapa tadi
yang ngerjain gua di toilet?” tanya Gunawan, masih kurang berkenan dengan
perlakuan terhadapnya.
“Mungkin itu hanya
perasaan Om. Mungkin itu pengaruh mabuknya Om,” kata Barada dengan tetap
tersenyum.
Sebutan “pengaruh
mabuk” itu membuat Gunawan sedikit tercekat, seolah muslimah di depannya itu
tahu bahwa tadi malam ia usai mabuk.
“Ya, mungkin gua
kebanyakan nonton film horor,” kata Gunawan memilih mengalah. “Jadi begini,
Dik. Nama Adik siapa?”
“Badar.”
“Jadi begini, Badar.
Gua rasa kita semua tahu status Rani sekarang. Gua rasa Badar pun tahu gua ini
siapa. Jadi langsung saja, gua ingin melamar dan menikahi Rani dan bersedia
menjadi bapak dari anaknya yang sekarang sedang dikandungnya,” ujar Gunawan.
“Baik, saya mengerti.
Sesuai amanat yang diberikan kepada saya, ada beberapa hal yang harus saya
tanyakan dan harus dijawab jujur oleh Om Gunawan. Jika tidak setuju, berarti
cukup sampai di sini dan Om dipersilakan kembali. Bagaimana?”
Gunawan jadi kerutkan
kening, berpikir sejenak.
Dari ruang dalam muncul
Mbak Lina, pembantu perempuan berusia tiga puluhan yang membawa segelas besar
air putih dan semangkuk kacang goreng. Setelah meletakkan hidangan itu di atas
meja, Mbak Lina segera pergi.
“Silakan diminum, Om!” kata
Barada.
Gunawan yang memang
perlu air putih segera minum seperti unta kehausan. Air itu segera habis.
“Baik, setuju. Silakan,” kata Gunawan.
“Pertama, Om tidak
boleh lagi cerita aib ini kepada siapa pun lagi. Bagaimana?”
“Baik.”
“Om agamanya Islam?”
tanya Barada memulai wawancaranya.
“Jelas Islam. I am a muslim,” jawab Gunawan mantap.
“Om melaksanakan salat
lima waktu?” tanya Barada.
“Belum,” jawab Gunawan
seraya sedikit senyum malu.
“Saya dengar dari Kak
Rani bahwa Om Gunawan suka sekali mabuk. Benar?”
“Oh, gua jagonya,”
jawab Gunawan bangga.
“Maaf, Om. Dengan dua
jawaban itu saja, Om Gunawan dinyatakan kami tolak, karena Kak Rani
menginginkan calon suami yang baik agamanya, bukan seorang yang tidak salat
atau seorang pemabuk,” kata Barada dengan nada santun.
“Tapi,” kata Gunawan,
tapi terputus. Lalu ucapnya pelan, “Kenapa jadi begini?”
“Karena jalan inilah
yang dianggap terbaik untuk Kak Rani. Sebelumnya Om Fito pun telah kami tolak,
tapi kami beri kesempatan selama dua minggu untuk memperbaiki agama dan
perilakunya. Sebab, akan ada pelamar lain yang akan meminang Kak Rani. Jika Om
Gunawan benar-benar serius, kami akan beri waktu dua minggu untuk berbenah
diri, tapi itu pun belum tentu akan diterima.”
Gunawan terdiam sejenak
seraya menatap Barada. Otaknya sedang berpikir keras.
“Baik, demi cinta gua
kepada Rani, mabuk sampai mati pun gua lakoni!” kata Gunawan laksana seorang
mujahid tersesat.
“Ingat, target Om
adalah menjadi pemuda yang salih, baik agamanya dan bagus akhlaknya, bukan lagi
seorang pemabuk!” kata Barada mengingatkan.
“Gua akan tunjukkan
kepada Rani bahwa gua adalah lelaki terbaiknya!” kata Gunawan optimis.
“Jika sudah selesai,
kami perkenankan Om Gunawan untuk pulang dan mulai membenahi diri. Apa perlu
kacangnya dibungkus untuk dibawa pulang, Om?” kata Barada.
“Gak perlu. Itukan cuma
kacang, hahaha!” kata Gunawan sambil dipaksakan tertawa. Lalu gumamnya pelan
kepada dirinya sendiri, “Jadi orang salih, ya.”
Barada lalu berdiri
terlebih dahulu. Berlakon sebagai tuan rumah, Barada merasa berhak untuk
meminta tamunya pergi jika tidak ada keperluan lagi. Gunawan pun turut berdiri,
tapi gerak tubuhnya seolah masih ada yang ingin ditanyakan.
“Masih ada yang ingin
disampaikan, Om?” tanya Barada, tetap dengan senyum kecilnya.
“Jadi gua gak bisa
ketemu Rani sekarang?” tanya Gunawan.
“Kak Rani masih dalam
masa peralihan batin menuju pertobatan
untuk menjadi wanita yang bersih dari dosa, jadi tidak bisa diganggu,” jawab
Barada.
“Kalau orang tuanya
juga enggak bisa ketemu sama gua?” tanya Gunawan lagi.
“Tidak, keduanya masih
dalam kondisi sibuk,” jawab Barada. Lalu mempersilakan Gunawan pergi dengan halus, “Silakan!”
Mau tidak mau, Gunawan
pun akhirnya melangkah menuju pintu.
“Assalamu ‘alaikum,” salam Gunawan, sebagai awal dirinya mulai
berubah religius.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab Barada yang berhenti di
ambang pintu. Ia lalu membungkuk ojigi,
menghormat cara orang Jepang. (RH)
Berlanjut: Cincin yang Pulang (10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar