Kejutan di Sore Hari (4)

Ilustrasi. (Foto: Tempo.co)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:

Berbeda dengan suasana siang hari sebelumnya. Menjelang waktu Magrib ini, suasana ruangan tamu begitu rapi dan bersih. Aroma harum pewangi ruangan kelas mahal tercium menenteramkan hidung di seluruh seantero ruangan yang ada di rumah mewah tersebut.


Di atas dua meja tamu yang terpisah di ruangan tamu yang luas, tersedia beberapa toples bagus berisi kue-kue kering dan cokelat bungkus. Lampu-lampu di seluruh sudut dalam dan luar rumah telah menyala setengah jam lebih awal dari sebelumnya.

Sebagai nyonya besar yang sangat memperhatikan penampilan yang sempurna, Irma Lulubana telah tampil cantik sempurna untuk kacamata dunia mode. Beberapa kali dua pembantu perempuan dan satu pembantu lelakinya harus bekerja untuk merubah tata letak benda yang menurut sudut pandang Irma tidak pas di hati dan mengganjal di mata.

Di meja makan pun telah penuh berbagai macam hidangan santap malam. Meski Rani telah memberi tahu ibunya bahwa Sando mengajaknya makan malam di luar, tetap saja sang ibu berniat memaksa calon menantunya makan malam bersama di rumah itu.

Urusan ruang tamu dan meja makan, mutlak seratus persen wewenang Irma selaku nyonya di rumah itu. Rani Liota hanya perlu berhias diri dan tampil sempurna di malam ini. Karena itulah, sejak siang ia belum keluar-keluar dari kamarnya. Hanya Irma yang sesekali masuk ke kamarnya mengecek kondisi putri sulungnya itu. Ternyata, perkembangan suasana hati Rani sedang bagus, setelah harus melalui masa-masa tangisan, sehingga kelopak matanya sedikit bengkak.

Teet!

Terdengar suara klakson mobil dari depan pintu gerbang halaman rumah. Pembantu lelaki yang masih muda bernama Iwan segera keluar untuk membukakan pintu gerbang yang memang selalu dikunci.

Meski mengenal suara klakson mobil itu, tetapi Irma tetap bergerak mengintip lewat kaca jendela. Mungkin saja mobil lain yang datang, bukan mobil anak keduanya.

Setelah gerbang dibuka, sebuah mobil sedan Honda City warna merah terang segera masuk ke halaman dan parkir di samping mobil Rush biru tua milik Dedy Sirana.

Seorang gadis belia nan cantik turun dari pintu kiri mobil. Ia memakai pakaian serba hijau dengan jilbab besar warna hijau lebih mudah. Bahu kanannya menyandang tas kain tebal hitam. Tangan kanannya juga membawa beberapa paper bag hasil belanja. Ia adalah Barada.

Dari pintu kanan mobil turunlah dua kaki bersepatu model sneakers cokelat dari bahan kulit mahal. Kaki itu pun berkaos kaki putih. Kedua kaki itu dibalut oleh celana gombrong warna biru laut, sama dengan warna baju longgarnya yang berlengan panjang. Ia mengenakan jilbab longgar warna putih, serasi sekali dengan putihnya kulit si gadis yang tidak lain adalah Rina Viona. Ia tampil tidak hanya cantik, tapi juga anggun dan sejuk di mata.

“Mas Iwan!” panggil Rina kepada pembantu laki-lakinya.

Iwan segera berlari kecil datang mendekat.

“Ini buat Mas Iwan,” kata Rina sambil menyerahkan plastik bening yang membungkus lipatan sebuah baju batik biru muda.

“Ada angin dari arah mana nih, Neng Rina?” tanya Iwan sambil cengengesan, tapi tetap tangannya menerima pemberian itu.

“Jangan ngejek gua, Mas. Anggap aja gua lagi dapat wangsit,” kata Rina tanpa senyum, tapi justru membuat Barada tertawa kecil, membuat lesung pipinya muncul manis.

Rina lalu melangkah menuju pintu utama rumah. Tangannya juga menjinjing beberapa paper bag hasil belanjaan. Barada mengikuti.

Assalamu ‘alaikum!” salam Rina setelah membuka pintu.

Wa ‘alaikum salam!” jawab Irma yang menunggu di dalam.

Ketika melihat keberadaan ibunya Rina, Barada pun mengucapkan salam kepada Irma. Suara agak seraknya khas terdengar. Setelah itu Barada membungkuk melakukan ojigi, budaya hormat orang Jepang. Irma hanya tersenyum. Kemudian Barada menghampiri Irma dan mencium tangannya.

Meski sudah beberapa hari ini Rina selalu mengucapkan salam saat ia memasuki pintu rumah, tapi ini kali pertama Irma mendengar dan melihat putrinya itu mengucapkan salam.

“Mama cantik sekali,” puji Rina sambil menghampiri ibunya, lalu mencium pipi kanan dan kiri.

Mendapat pujian dan perlakuan kasih seperti itu dari Rina, Irma hanya mendelik terpukau.

“Ada bencana di mana ini? Tumben-tumben anak ini pakai cium gua,” membatin Irma heran. Lain kata hatinya, lain pula kata lisannya, “Tentu, mamamu ini kan yang tercantik di rumah ini. Tapi sejak kamu pakai jilbab, sepertinya Mama kala saing.”

Mereka pun tertawa bersama, termasuk kedua pembantu yang masih siap siaga menerima perintah suatu waktu.

“Rina beli hadiah untuk Mama. Suprise!” kata Rina dengan senang.

“Oh ya? Suprise banget bagi Mama!” kata Irma begitu senang, seolah tidak percaya.

Rina kemudian memberikan satu paper bag bawaannya kepada ibunya. Dengan begitu bahagia, Irma menerima dan bahkan segera mengeluarkan isinya. Namun, setelah dibuka-buka, senyum Irma berubah hilang berganti kerutan kening. Di tangannya kini ada selembar kain hitam saja yang ada hiasan bordiran benang emas di sepanjang tepiannya.

“Apa ini, Rin? Selendang?” tanya Irma, heran diberi hadiah hanya selembar kain selendang.

Rina pun tertawa, kemudian katanya, “Itu kerudung buat Mama. Saat ini memang belum bisa dipakai, tapi Rina yakin, nanti bulan puasa bisa dipakai.”

“Ah, kamu ini. Tapi Mama benar-benar terima kasih sudah diperhatikan,” kata Irma dengan senyum bahagia.

“Mbak Lina, Bu Diyah, ada hadiah juga nih dari Rina!” panggil Rina kepada kedua pembantunya.

“Ah?” sahut pembantu yang berusia 30-an, seakan tidak jelas mendengar perkataan Rina. Inti sebenarnya adalah mereka tidak percaya bahwa Rina membelikan mereka hadiah. Ingatannya masih jelas ketika wajahnya dilempar buku oleh Rina dua pekan yang lalu.

“Iya, sini!” tandas Rina. “Anggap saja sebagai sogokan permintaan maaf Rina kepada kalian berdua.”

Sambil senyum-senyum, Mbak Lina dan Bu Diyah yang berusia 40-an datang mendekati Rina. Rina memberikan masing-masing pembantu perempuannya itu sebungkus pakaian baru.

“Terima kasih, Neng Rina!” ucap keduanya, benar-benar merasa bersyukur. Mereka berharap Rina benar-benar berubah menjadi baik, apalagi jika sudah berjilbab yang seolah menjadi penyimpulan bahwa pemakainya adalah wanita yang baik dan salihah.

“Aroma rumah segar betul, mau ada tamu besar ya, Ma?” tanya Rina.

“Calon kakak iparmu,” jawab Irma berbisik, tapi tetap didengar oleh semuanya.

“Kakak ipar?” ucap ulang Rina dengan wajah merengut berpikir.

“Siapa, Ma?” tanya seseorang dari sisi lain.

Semuanya segera beralih memandang kepada sumber suara.

Seorang gadis cantik berkulit putih bersih berambut pendek sebatang leher datang menghampiri mereka. Mengenakan baju merah cerah semerah lipstiknya, berlengan pendek yang memberi efek ceria di mata orang yang memandang. Ia mengenakan rok merah pula sepanjang betis, tapi ada belahan di kanan kiri setinggi atas lutut. Gadis itu tidak lain adalah Rani, kakak Rina.

“Astaga!” pekik Rani terkejut saat mengenali wajah gadis berjilbab putih. “Rina? Mau ke acara apa lu pakai jilbab begitu?”

Meski Rina telah berhijab selama empat hari, tapi baru kali ini Rani melihat Rina dengan versi barunya, terlebih tidak ada yang memberitahukan kepadanya bahwa adiknya itu telah merubah gaya hidupnya.

Pertanyaan Rani itu membuat semua tertawa, kecuali Rani sendiri.

“Kenapa sih?” tanya Rani jadi merengut heran, karena ditertawakan.

Irma lalu merangkul belakang bahu Rani dan berkata, “Rina itu sekarang berjilbab, sejak Kamis lalu.”

“Hah! Gak salah?” Rani kembali terkejut.

“Iya, enggak salah!” sahut Rina agak ketus. “Makanya, gua kalau dapat calon kakak ipar enggak benar, gua enggak setuju lu nikah!”

Perkataan adiknya itu cukup mengena di hati Rani. Namun, Rani mencoba menutupinya dengan mengatakan, “Tentu yang terbaik dong, Rin.”

“Kalau gitu, hadiah buat elu gua tunda,” kata Rina kepada Rani.

“Memang lu mau ngasih gua hadiah?” tanya Rani, seolah tidak percaya. Sebab, sejak kecil Rina tidak pernah memberikannya hadiah, justru ia yang pernah memberikan hadiah ke adiknya itu, meski itu sudah beberapa tahun yang lalu.

“Kalau enggak mau gak masalah,” kata Rina, lalu beralih kepada ibunya, “Papa di mana, Ma?”

“Di kamar,” jawab Irma.

“Oh ya, Ran, ini sahabat gua, Badar namanya,” kata Rina memperkenalkan Barada yang nama panggilannya Badar.

Barada dengan tersenyum membungkuk lagi seperti orang Jepang kepada Rani yang lebih tua usianya. Rani hanya agak mendelik melihat adat Barada, lalu ia tertawa kecil. Irma juga tertawa kecil.
“Mbak Lina, tolong antar Badar ke kamar gua!” perintah Rina kepada pembantu perempuannya. Lalu izinnya kepada Barada, “Gua ke Papa dulu ya, Badar.”

“Ya,” jawab Barada singkat.

Rina segera pergi meninggalkan ruang tamu itu dengan membawa sebuah paper bag. Setibanya di depan sebuah pintu, Rina mengetuk.

Assalamu ‘alaikum, Pa!” ucap Rina.

Salam itu mengejutkan Dedy yang memilih sibuk dengan pekerjaannya di depan komputer. Baru kali ini ada ketukan di pintu kamarnya yang disusul dengan ucapan salam, tapi ia kenal pemilik suara salam itu.

Tampak lemari besar di kamar luas itu rusak pada bagian cerminnya. Beberapa jam yang lalu, pecahan-pecahan kaca yang berserakan di mana-mana sudah dibersihkan oleh pembantu.

Wa ‘alaikum salam!” jawab Dedy tanpa beranjak dari duduknya. “Masuk!”

Rina lalu membuka pintu kamar yang memang tidak terkunci. Dilihatnya sang ayah sudah menengok memandang kepadanya.

Rina langsung lemparkan senyum, membuat perasaan Dedy langsung terasa nyaman, meski wajahnya tetap menunjukkan kedinginan tanpa senyum.

“Kenapa, Rin?” tanya Dedy dingin.

Dengan ekspresi senang, Rina menghampiri ayahnya, sambil katanya, “Suprise untuk Papa, ini hadiah pertama dari Rina untuk Papa.”

“Hadiah?” ucap ulang Dedy, sama dengan yang lainnya. Wajahnya menunjukkan keheranan, meski Rina telah menyodorkan paper bag di tangannya kepada ayahnya itu.

“Iya, makanya suprise, Pa!” tandas Rina dengan senyum cantiknya.

Meski sikapnya masih terlihat dingin menyikapi suprise dari putrinya itu, tapi dalam hati Dedy ada seuntai kebahagiaan yang muncul. Kebahagiaan itu hadir di saat kedukaan dan kemarahan sedang mengeram di dasar perasaannya oleh sebab kehamilan Rani sebelum menikah.

Seraya menatap curiga kepada Rina, Dedy bangkit dari duduknya dan menerima hadiah putrinya yang untuk pertama kali baginya.

“Ya Allah, anak nakal ini memberiku hadiah, pertanda apa ini?” tanya batin Dedy seraya tajam menatap wajah anaknya.

Dedy mengeluarkan isi tas itu, sementara Rina berdiri seraya terus tersenyum, meski wajah ayahnya begitu dingin.

Setelah dibuka, ternyata ada tiga item di dalam tas itu. Sebuah sarung, sebuah baju dan sebuah peci berwarna putih. Mengetahui Rina memberikan hadiah berupa seperangkat pakaian salat, satu rasa yang begitu mengharu biru melanda perasaan hati terdalam Dedy.

Dedy memilih membuka bungkusan baju. Ternyata sebuah baju koko putih berbahan tebal dan berhiasan bordiran yang bagus di sepanjang tepian kancingnya.

Allaaahuakbar Allaaahuakbar!

Tiba-tiba suara lantunan azan Magrib masuk terdengar ke dalam kamar itu. Hadiah pakaian salat di waktu azan Magrib sangat membuat jiwa Dedy terguncang. Ia tidak bisa lagi menahan emosinya.

“Huuk huuk!”

Pria dingin itu akhirnya menangis dan memeluk puterinya. Rina yang sejak awal begitu gembira, berubah heran, hingga akhirnya ia pun terbawa dalam kesedihan ayahnya. Rina pun menangis. Ia balas memeluk erat ayahnya.

Inilah “keajaiban” bagi Dedy dan Rina.

Selama ini, keluarga kaya raya ini hidup dalam kehampaan, tidak ada keakraban selain hanya sapa dan dialog seperlunya. Dedy dan istrinya adalah pengusaha yang sibuk. Sejak menginjak sekolah SMP, Rani dan Rina sudah tidak terkendali dan tumbuh menjadi gadis-gadis yang hidup bebas tidak mau diatur oleh orang tua. Apa yang kedua gadis ini mau dan suka, maka itu yang mereka lakukan.

Rani memilih kuliah sambil bekerja di sebuah manajemen rumah produksi di bidang hiburan yang banyak bergaul dengan orang-orang entertainment dan akrab dengan artis-artis. Hingga akhirnya ia memetik hasil berupa kehamilan di masa pacaran sebelum menikah.

Rina hidup dengan kebanggaan kekayaan orang tua dan menjadi siswi terpopuler dengan kecantikannya di sekolah. Selain seorang pelajar kelas dua di SMK, Rina juga memegang status ketua sebuah geng siswi perempuan, meski pagi tadi ia telah menyatakan mundur dan keluar dari kelompok gengnya.

Sejak empat hari lalu, tiba-tiba Rina memutuskan untuk berhijab dan mulai merubah gaya hidup materialistis untuk menuju kepada gaya hidup yang religius.

Dedy melepaskan pelukannya. Ia memegang kedua bahu putrinya dan menatapnya dalam tangisan.

“Papa akan mulai salat, Papa akan mulai salat!” kata Dedy dalam sesegukan tangisnya. Ia merasa benar-benar bersyukur. Jenis hadiah yang putrinya berikan, sangat jelas maksudnya apa.

Suasana mengharu biru yang diiringi lantunan azan Magrib tampak begitu indah. Dua hati antara ayah dan anak perempuannya menyatu dalam satu rasa. Keduanya merasa, ada hidayah dan rahmat Allah yang turun kepada mereka.

“Terima kasih, Pa,” ucap Rina, lalu kembali memeluk tubuh ayahnya. Kali ini, justru tangis Rina yang meledak. Meski ia membelikan hadiah untuk ayahnya sejak siang tadi, tapi justru saat ini seolah ia baru menemukan rasa cinta yang begitu dalam kepada ayahnya. Sekarang ia merasa sangat mencintai ayahnya.

“Kamu harus terus bersahabat dengan temanmu yang berjilbab itu,” bisik Dedy, merujuk pada sosok Barada.

Memang, sosok Barada lah yang sangat mempengaruhi perubahan diri Rina. Teman sekolah beda kelas yang Rina akrabi sejak sepekan yang lalu.

Sementara itu, di ruang tamu.

“Orang iseng mana sih yang ngirimin gua foto beginian?!” rutuk Rani kesal sambil duduk di sofa. Di tangannya terpegang ponsel bagus dan mahal.

“Kenapa, Rin?” tanya Irma.

“Coba lihat, masa gua dikirimin gambar beginian, Ma!” kata Rani sambil menyodorkan ponselnya kepada ibunya yang dalam dua hari ini serasa begitu dekat dengannya, sejak ia mengaku hamil.

Irma lalu melihat gambar yang ada di layar ponsel itu. Gambar wajah mayat seorang lelaki yang dua lubang hidungnya disumbat dengan kapas.

“Hih, orang iseng kali, Ran,” kata Irma lalu memberikan kembali ponsel itu.

Tring ninong ninong...!

Seiring Rani menerima kembali ponsel miliknya, ponsel itu berbunyi nyaring, tanda ada yang menelepon. Di layarnya tertulis nama Fito, teman Rani dan Sando.

“Ya, To?” tanya Rani menjawab telepon tersebut.

“Lu sudah lihat foto yang gua kirim?” tanya Fito di ujung sambungan.

“Jadi elu yang kirimin gua foto begituan?!” tanya Rani dengan setengah berteriak, karena memang foto itu dikirim oleh nomor yang tidak terdaftar di ponsel Rani.

“Iya, Ran. Itu foto Sando,” kata Fito dengan nada pelan.

Deg!

Seketika serasa sebuah bola besi menghantam jantung Rani, membuat ekspresi wajahnya beku. Tapi ekspresi tanpa nyawa itu hanya sebentar, karena sambil tertawa kecil ia berkata kepada Fito, “Jangan ngejek gua, lu!”

Sementara Irma serius memperhatikan putrinya itu.

“Gua enggak bercanda, Ran. Sando meninggal siang tadi,” tandas Fito.

“Lu jadi cowok jangan berengsek deh, To!” teriak Rani marah. “Siang tadi gua teleponan sama Sando!”

“Iya gua tahu. Gua bareng Sando waktu elu telepon dia. Setelah itu kita mampir mau beli minuman, ada begal motor. Sando mau menolong, tapi dia ditembak dua kali sama begalnya,” ujar Fito.

Barulah penjelasan Fito kali ini menjadi ledakan petir di atas kepala Rani. Kemarahan Rani seketika hilang, nyawanya serasa melayang, pikirannya seketika gelap.

“Kalau lu masih enggak percaya, lu bisa datang ke Rumah Sakit Cengkareng, mayatnya masih di sini,” tegas Fito di telinga Rani.

Dengan wajah seperti tanpa aliran darah, Rani menatap kosong, membuat Irma menjadi merinding.
“Kamu kenapa, Rani?” tanya Irma sedikit ketakutan.

“Sando mati, Ma,” jawab Rani lemah, seiring itu ponsel yang menempel di telinganya lepas dari tangan dan meluncur jatuh, seiring air mata yang tumpah mengikis lapisan bedak di wajah cantik itu.

“Maksud kamu apa, Ran?” tanya Irma tidak mengerti, meski kalimat Rani jelas artinya.

“Sando mati ditembak begal tadi siang,” jawab Rani sesegukan lalu berubah meraung keras, “Aaa...!”

Kedua tangan Rani bergerak mencengkeram rambutnya yang sudah tersisir rapi, lalu diacak-acaknya.

Prangkr!

Tepian meja kaca di depannya ia angkat dengan kuat dan menghempaskannya hingga terbalik. Meja itu pun pecah dan toples-toples kaca berisi kue kering hancur menghantam lantai.

Usai itu, Rani bangkit dan berlari kencang ke ruang dalam.

“Rani!” teriak Irma lalu segera mengejar.

“Aaa...!” teriak Rani panjang.

Prangkr!

Rani mengamuk di meja makan. Hidangan makan malam yang padat tersaji di atas meja yang cukup besar ia sapu dengan kibasan kedua tangannya. Beberapa piring, mangkok dan gelas berjatuhan pecah dan menumpahkan makanan yang ada.

Tidak hanya sekali, Rani sepertinya tidak mau berhenti. Kedua pembantu jadi panik dan bingung harus berbuat apa.

Irma segera mendapati Rani dan memeluknya dari belakang. Rani akhirnya berhenti mengamuk, tapi tangisnya tetap mengamuk. Mau tidak mau, Irma pun turut menangis melihat nasib putri sulungnya yang pernah ia kandung sebelum pernikahannya dengan Dedy.

Rani menjatuhkan tubuhnya yang serasa lemas. Ibu dan anak itu pun tenggelam dalam lautan tangis. Kedua pembantu yang ada akhirnya turut menangis.

Keributan yang tercipta membuat Rina yang mendengar dari kamar ayahnya, segera datang untuk mencari tahu.

Sementara sang ayah memilih tetap di kamar untuk melaksanakan salat Magrib yang pertama setelah belasan tahun lamanya. Ia tidak mau peduli lagi dengan keributan yang ditimbulkan oleh masalah Rani. Masalah yang membuatnya sangat terpukul. (RH)



Berlanjut: Rencana Penyelamatan (5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar