Perjanjian di Depan Botol Bir (3)

Ilustrasi (Foto: Yummymummyclub.ca)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:

Pesan singkat yang dibaca oleh Dedy Sirana di ponselnya membuat pengusaha perhotelan itu pulang tiga jam lebih awal.

Sejak ia membaca pesan kiriman istrinya, kemarahan bercokol di hati dan otaknya, membuat wajahnya sangat tidak sedap dipandang. Wajah berkulit putih bersih itu tampak menegang dengan sorot mata yang galak. Saraf-saraf senyumnya seakan semuanya membeku.


“Rani sudah hamil.”

Itulah bunyi pesan dari Irma teruntuk suaminya. Hanya tiga kata, tapi membuat Dedy merasa wajahnya tercoreng oleh arang penggorengan yang dibakar di atas kompor minyak.

Kondisi jiwa Dedy berpengaruh pada cara ia membawa mobil. Sering kali ia membunyikan klakson kepada kendaraan di depannya yang dianggap menghalangi atau bergerak lambat. Rasa tidak sabarnya begitu tinggi.

Teeet!

“Mau mati lu!” maki Dedy saat sebuah sepeda motor menyalip lalu masuk ke depan mobilnya, membuat ia harus sedikit tiba-tiba mengerem. Padahal makiannya pun tidak terdengar hingga ke luar mobil.

Beruntung hari itu adalah Ahad, hari libur bagi kebanyakan penduduk Jakarta, sehingga kemacetan hanya terjadi di lampu merah ketika lampunya menyala merah.

Dedy yang sehari-harinya lebih banyak diam dan bersikap dingin, kali ini benar-benar seperti pecandu yang kehabisan stok narkoba.

Teet teet teet teet!

Setibanya di gerbang rumahnya yang mewah, klakson yang ia bunyikan melebihi porsi yang biasa ia bunyikan. Biasanya hanya sekali tekan saja.

Jumlah suara klakson yang tidak biasa itu membuat Iwan, pembantu lelaki di rumah itu berlari lebih kencang ke gerbang, hingga-hingga sendal jepitnya putus di leher.

Semasuknya mobil merek Rush biru tua itu ke depan garasi, Dedy langsung keluar dari mobil tanpa membawa lagi tas kerjanya. Pria berkemeja putih itu tidak lagi melepas sepatu kantornya masuk ke dalam rumah.

Kedatangan Dedy langsung disambut oleh Irma, istrinya yang tetap tampil cantik dengan dandanannya, meski di hari libur.

“Mana anak itu?” tanya Dedy dengan ekspresi wajah yang keras, menunjukkan bahwa kemarahannya tinggi.

“Papa!” sebut Irma sambil berusaha menahan langkah suaminya yang langsung menuju ke kamar Rani.

Dedy justru menepis tangan istrinya yang memegang tangannya mencoba menghentikannya.

Ternyata pintu kamar Rani tidak dikunci, sehingga Dedy bisa langsung masuk. Hal itu mengejutkan Rani yang sedang duduk daring (online) di kasurnya menghadapi laptop.

Plak!

Langkah Dedy yang cepat membuat Rani tidak bisa berkutik ketika tangan tua itu berkelebat menampar wajah putihnya.

“Papa!” pekik Irma melihat suaminya menampar putri mereka.

“Kamu pikir, semua yang diberikan oleh Papa Mama selama ini hanya untuk kamu hamil di luar nikah, hah?!” bentak Dedy dengan sepasang mata tuanya yang memerah. “Papa pikir kamu sudah berpikiran dewasa. Pelacur saja yang setiap hari melayani banyak lelaki, bisa tidak hamil. Papa tidak mau tahu, sebelum aib ini tersebar jadi bau bangkai, gugurkan anak itu!”

“Enggak! Rani enggak mau, apa lagi Sando sudah mau tanggung jawab!” teriak Rani yang seketika menangis setelah mendapat tamparan dari ayahnya.

“Papa maunya janin itu digugurkan dan Papa akan bunuh pemuda keparat itu!” tandas Dedy.

“Lebih baik Rani yang mati dari pada anak Rani dan ayahnya dibunuh!” teriak Rani.

Dengan cukup mengerahkan tenaga, Irma berjuang menarik suaminya agar keluar dari kamar. Seberhasilnya membawa suaminya hingga ke luar kamar, Irma berbisik serius seraya menatap fokus ke wajah suaminya.

“Papa tidak bisa berpikiran buta seperti itu. Bukankah ini yang dulu juga terjadi pada kita berdua? Papa dulu yang membela mati-matian untuk tidak menggugurkan kandungan Mama saat Rani dikandung di luar nikah. Bagaimana mungkin Papa bisa tidak memahami ketika kondisi yang sama terjadi kepada Rani?” kata Irma.

Dedy terdiam. Seketika itu juga ia teringat ke masa lalunya, saat ia harus benar-benar dituntut  menjadi seorang pria yang bertanggung jawab karena telah menghamili Irma muda di luar ikatan pernikahan. Bahkan ia harus menentang keinginan keras orang tuanya dan orang tua Irma yang sepakat untuk menggugurkan janin di kandungan Irma. Sehingga, ia dan Irma memutuskan untuk kabur ke Tangerang meninggalkan pulau Kalimantan.

“Biarkan bayi itu lahir ya, Pa?” bujuk Irma. “Apa lagi Sando mau bertanggung jawab. Sore ini Sando mau datang dan bicara kepada kita.”

Dedy menghempaskan napas berat.

“Papa enggak mau ketemu dengan pemuda berengsek itu. Bilang ke dia, kalau Papa enggak mau ada pernikahan yang mengundang banyak tamu. Setelah itu pergi jauh dari pandangan Papa!” ujar Dedy lalu melangkah pergi meninggalkan istrinya. Ia lalu berteriak kepada pembantu perempuannya, “Lina! Bawakan bir ke kamar!”

Irma segera menemui Rani dan memberitahukan keberhasilannya membujuk suaminya. Berita itu bisa meredakan tangis Rani.

Rani segera menelepon Sando, ayah dari janin di perutnya. Sementara Irma memilih pergi untuk menemani suaminya di kamar mereka.

Beberapa hari yang lalu, ketika Rani memberitahukan kehamilannya kepada Sando, pemuda itu awalnya tidak percaya bahwa Rani mengandung anak hasil dari hubungan mereka berdua. Setelah Rani tidak mengangkat teleponnya yang berulang-ulang, Sando akhirnya mengirim pesan yang menyatakan siap bertanggung jawab dan akan menikahi Rani sesegera mungkin.

“Ya, Honey?” kata cinta langsung menjawab telepon Rani.

“Di mana, San?” tanya Rani.

“Suara elu kok serak begitu? Lagi nangis ya?” Sando yang ada di ujung telepon balik bertanya.

“Enggak, sedikit sedih aja,” jawab Rani.

“Tenang, Honey, gua nanti malam datang kok. Ole-ole Sumbawa sudah siap untuk meluluhkan calon mertua, hahaha!” kata Sando.

Rani merasa sedikit terhibur dengan rencana kekasihnya itu.

“Pokoknya lu dandan yang cantik malam ini, yang perfect for me. Habis bicara sama mama papa lu, kita dinner, special for you. Oke?”

“Ee,” jawab Rani.

“Lu jangan mikir yang macam-macam. Gua akan datang sebagai pangeran berkuda elu nanti malam. I love you, Honey,” kata Sando untuk terakhir kalinya kepada Rani, setelah itu Sando menutup teleponnya.

Sando yang dalam perjalanan pulang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, kembali duduk tenang di dalam mobil.

Sando memang seorang pemuda tampan berambut pendek yang ujung-ujungnya mengumpul membentuk duri-duri yang kaku oleh olesan putih telur, resep rambut anak-anak punk. Ia mengenakan T-Shirt kuning berpola salur hitam biru di bagian perut baju. Dari perawakan ototnya, menunjukkan bahwa pemuda berkulit putih itu suka membentuk ototnya di tempat fitness, meski ototnya tidak begitu kekar.

Sementara itu, seorang pemuda yang terhitung tampan juga dengan sepasang alis tipis tapi panjang, duduk di sisi kanan Sando. Sambil memegangi lingkaran stir mobil Honda Rush hitam itu, pandangannya fokus ke jalan raya. Pemuda berkulit putih tersebut memiliki rambut lurus yang lemas, tapi rambut di kedua sisi kepalanya dicukur tipis. Ia hanya mengenakan kaos oblong merah yang di dada kanannya ada sablonan bertulis “billabong”. Ia mengenakan celana jeans hitam longgar yang ujungnya hanya lewat selutut dikit. Ia adalah Fito, nama aslinya Khalid Abdulatif. Ia mendampingi Sando sama-sama ke Sumbawa untuk melihat tanah dekat pantai yang perusahaan akan beli.

Tampak di kursi belakang, menumpuk tas dan berbagai barang sebagai buah tangan keduanya untuk keluarga.

“Jadi, positif lu mau nikahin Rani?” tanya Fito.

“Yaaa, walau masih ada keraguan kalau itu anak gua, tapi gua harus benar-benar tanggung jawab. Gua cinta sama Rani,” jawab Sando. “To, mampir dulu di depan, gua mau beli minuman!”

Fito lalu melambatkan mobilnya dan lampu sen kiri dinyalakan. Mobil berbadan besar dan lebar itu memasuki area parkir sebuah minimarket. Di parkiran hanya ada deretan beberapa jenis motor milik konsumen. Sebuah plang seng menempel di tiang depan minimarket. Pesan yang tertulis di plang itu berbunyi “Kunci kendaraan Anda! Kehilangan di luar tanggung jawab kami!”. Plang peringatan seperti itu menunjukkan, di minimarket itu tidak ada satpam dan tukang parkir. Parkiran memang terpantau jelas dari petugas minimarket yang ada di dalam. Di sisi pinggir kanan parkiran ada pedagang jus buah dan gorengan gerobak. Keamanan pun mengandalkan kamera cctv.

Sando bergerak turun dari mobil, sementara Fito memilih menunggu. Seturunnya dari mobil, terlihatlah bahwa Sando seorang pemuda yang memiliki tinggi tubuh agak pendek. Namun, otot tubuhnya yang berisi membuatnya terlihat cukup gagah.

Ia langsung menuju pintu kaca. Seiring itu, seorang ibu berjilbab hijau keluar dari minimarket sambil mengambil kunci motor dari dompetnya yang baru diisi beberapa lembar uang ratusan. Ia tidak membawa plastik belanjaan, menunjukkan ia hanya mengambil uang di atm.

Baru saja Sando masuk ke minimarket, Sando berhenti ketika melihat seorang lelaki berjaket hitam berlari dari pinggir jalan ke parkiran minimarket mengarah ibu berjilbab itu.

Ibu bertubuh agak gemuk berjilbab hijau sangat terkejut, ketika tiba-tiba dari belakang seseorang merampas kunci motornya dengan kasar. Ibu yang baru mau menaiki jok motornya tersebut, didorong keras hingga terjengkang di lantai batu parkiran.

“Hei!” teriak Sando yang seketika mengejutkan seluruh orang di dalam minimarket.

Sando langsung bergerak keluar dari minimarket dan berlari ke arah lelaki berusia 30-an yang mencoba merampas motor si ibu. Kejadian itu juga mengejutkan Fito yang berada di dalam mobil dan sangat dekat dengan titik serangan. Namun, Fito hanya bereaksi di tempat duduknya tanpa ada tindakan keluar dari zona amannya.

“Hei!” teriak Sando lagi.

Dor!

Baik orang-orang yang ada di dalam minimarket, di parkiran, pedagang, hingga mereka yang sedang melintas di jalan raya, terkejut mendengar suara satu tembakan. Bahkan beberapa orang sekitar segera merunduk dan berlindung di balik sesuatu yang bisa dipakai berlindung.

Pelaku perampasan motor yang ternyata membawa senjata api, dengan cekatan memutar balik posisi motor yang sudah ia kendalikan. Sebelum melesat pergi meninggalkan parkiran, begal itu kembali todongkan pistolnya.

Dor! Bremr!

Ibu berjilbab pemilik motor, tidak berdaya dalam ketakutan bercampur keterkejutan. Posisinya tetap berbaring di lantai parkiran yang berdebu tebal.

Seperginya begal itu, Fito buru-buru keluar dari mobilnya. Ia langsung berlari mendapati tubuh Sando yang terkapar bersimbah darah. Darah mengalir deras keluar dari dua lubang yang tercipta di sekitar dadanya.

“Sando! Sando!” teriak Fito panik bukan main sambil memeluk tubuh Sando yang meregang nyawa oleh dua peluru dari begal itu. “Tolong...!”

Di saat yang bersamaan, Rani sudah kembali ceria, kesedihannya telah sirna di wajahnya, meski penyesalan dan duka itu masih ada yang bercokol di sudut hatinya. Namun, nasib telah menjadi bubur, ia harus menikah dalam kondisi hamil. Ia harus mengakui, ia dan Sando bukanlah sepasang insan yang baik, terbukti mereka berhubungan badan beberapa kali sebelum menikah.

“Jika waktu bisa kembali diulang, gua janji akan mencari pria yang baik,” kata hati kecil Rani.

Namun, waktu tidak mungkin diputar ulang. Ia harus terima kenyataannya bahwa hari ini seperti itulah keadaannya. Tiada jalan lain, selain menikah dengan Sando. Tidak mungkin ia menikah dengann pria lain yang bukan ayah dari bayinya, padahal Sando masih ada dan hidup.

Rani menemui mamanya di dapur untuk memberi tahu tentang kepastian dari kedatangan Sando nanti malam.

Di sisi lain di dalam rumah itu, di dalam sebuah kamar besar nan mewah, seorang Dedy duduk di kursi sofa menghadapi meja kaca yang di atasnya berdiri gagah dua botol bir dan sebuah gelas putih ukuran sedang yang penuh oleh air bir.

Sementara air bir tergenang diam di dalam gelas, Dedy pun diam termenung. Tidak ada sedikit pun cahaya gairah di guratan wajah tuanya.

Setelah belasan menit lamanya diam termenung dengan pikiran sekalut benang layangan, mimik wajah Dedy tiba-tiba berganti mengekspresikan tangisan seorang ayah. Tidak ada air mata yang meluncur di kulit wajah tuanya, air bening hanya sebatas menggenang di pinggiran mata. Ekspresi tangis itu kemudian berubah sedih belaka.

Kehamilan Rani menjadi pukulan sangat keras baginya. Ia harus mengakui, hal itu juga tidak lepas dari kesalahan dan kelalaiannya sebagai seorang ayah, yang seharusnya bisa melindungi anak perempuannya hingga ke ijab kabul yang sangat sakral dalam pernikahan.

“Ya Allah....” ucap Dedy lirih.

Lama sudah ia tidak menyebut nama suci itu. Lebih lama dari tidaknya ia meneguk bir. Terakhir ia meneguk bir adalah empat bulan lalu. Entah, kapan ia terakhir menyebut nama Zat Yang Mahaagung.

“Baru saja Engkau membuatku gembira melihat Rina berubah baik dengan jilbabnya, tiba-tiba hari ini Kau seolah menghukumku atas dosa masa laluku. Aku tidak rela jika pemuda bajingan itu memiliki anakku, menjadi ayah dari cucuku, aku tidak rela, ya Allah,” kata Dedy dalam hati.

Ia lalu mengangkat tubuhnya dari sandaran sofa. Tangan kanannya meraih gelas berisi minuman haram itu. Gelas itu ia angkat tinggi hingga sejajar dengan wajahnya. Ditatapnya bir dalam gelas dengan tatapan yang tajam dan dingin.

Lalu Dedy berkata dengan suara keras, “Aku bersumpah di depan bir ini, ya Allah! Andaikan Engkau memberikan Rani suami yang salih, memberiku menantu yang baik agamanya, maka aku akan membangun sebuah masjidmu!”

Bukannya meminum bir yang sudah terlanjur ada di gelas, tetapi Dedy justru menumpahkan bir di gelas ke lantai, di antara kedua sepatu mengkilapnya yang masih ia kenakan.

“Aaa!” teriaknya seraya melempar keras gelas bir itu ke dinding kamar.

Prakr!

Gelas hancur berantakan dan serpihan tajamnya bertebaran di lantai.

“Aaakr!”” teriak Dedy penuh emosi sambil melempar botol bir di atas meja ke cermin besar lemari pakaian.

Botol bir dan cermin bernasib sama, sama-sama pecah berantakan. Dan botol kedua pun dilempar ke tempat yang sama.

Sembilan jam kemudian.

Cukup jauh dari tempat kediaman Dedy, sama-sama di depan tegaknya botol-botol bir.

Delapan botol bir berdiri di atas meja di teras sebuah rumah yang halamannya bertaman. Kedelapan botol bir itu dihadapi oleh dua pemuda yang sudah menghabiskan satu botol bir untuk berdua. Salah satu pemuda itu adalah Fito, yang baru saja kehilangan seorang teman akrabnya untuk selamanya.

Pemuda yang bersamanya juga termasuk tampan dengan wajah yang dihiasi setitik tahi lalat di bawah sudut kiri bibirnya. Ia memelihara kumis tipis. Rambutnya yang gondrong ia ikat dengan karet gelang di belakang. Ia mengenakan kaos oblong kuning dan bercelana jeans biru yang pada bagian kedua pahanya sudah robek-robek, seperti memang sengaja dirobek. Ia bernama Gunawan, usianya 26 tahun, dua tahun lebih tua dari Fito.

“Lu harus tahu, To,” kata Gunawan yang belum ada tanda-tanda mabuk, sama seperti Fito. “Bukan elu doang yang cinta jatuh hati berat sama Rani, gua juga. Jadi, gua kagak bakalan ngebiarin elu jalan tenang sendirian buat meminang Rani.”

“Wah! Kejutan buat gua nih! Hahaha!” teriak Fito berlagak kaget. “Gua juga tahu elu naksir berat sama Rani, makanya elu ngejauh dari Sando sejak dia orang jadian. Tapi kita berdua, sebagai Sepasang Naga Pemabuk, harus fair. Apakah gua, atau elu, yang nantinya diterima oleh Rani, enggak ada dendam di antara kita. Kita tetap akan satu meja dan satu botol dalam menikmati nikmat minuman surga ini.”

Gunawan lalu mengambil sebotol bir yang masih tertutup. Dengan giginya dia membuka tutup botol itu.

“Ayo, kita deklarasikan perjanjian antara kita berdua!” kata Gunawan seraya mengangkat tinggi-tinggi botol di depan wajahnya.

Fito lalu mengambil pula satu botol baru. Dengan giginya ia membuka tutup botol.

“Kita sepakat, siapa pun yang berhasil mendapatkan Rani, enggak ada dendam di antara kita. Dan dengan ini pula, kita berkabung atas meninggalnya Sando!” teriak Fito.

Tang!

Keduanya mengetos botol yang masing-masing mereka pegang. Setelah itu keduanya menyumbat mulut mereka dengan mulut botol.

Glek glek glek!

Air bir mengalir turun non-stop melalui tenggorokan keduanya, seolah yang mereka tenggak adalah air kelapa segar.

Kedua sahabat ini memang terkenal jago mabuk. Di kalangan teman-teman sepergaulan, mereka dikenal dengan julukan “Sepasang Naga Pemabuk”. Sebotol dua botol bir tidak bisa membuat mereka mabuk.

“Hahaha...!”

Keduanya tertawa panjang setelah masing-masing berhasil menghabiskan satu botol.

“Siapa yang nanti pagi bangun di dalam ember, harus datang ke rumah Rani belakangan,” kata Gunawan.

“Setuju!” teriak Fito lalu kembali ambil botol baru.

Demikian pula dengan Gunawan. (RH)


Berlanjut: Kejutan di Sore Hari (4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar