Ilustrasi (Foto: Yummymummyclub.ca) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Pesan singkat yang
dibaca oleh Dedy Sirana di ponselnya membuat pengusaha perhotelan itu pulang
tiga jam lebih awal.
Sejak ia membaca pesan kiriman
istrinya, kemarahan bercokol di hati dan otaknya, membuat wajahnya sangat tidak
sedap dipandang. Wajah berkulit putih bersih itu tampak menegang dengan sorot
mata yang galak. Saraf-saraf senyumnya seakan semuanya membeku.
“Rani sudah hamil.”
Itulah bunyi pesan dari
Irma teruntuk suaminya. Hanya tiga kata, tapi membuat Dedy merasa wajahnya
tercoreng oleh arang penggorengan yang dibakar di atas kompor minyak.
Kondisi jiwa Dedy
berpengaruh pada cara ia membawa mobil. Sering kali ia membunyikan klakson
kepada kendaraan di depannya yang dianggap menghalangi atau bergerak lambat.
Rasa tidak sabarnya begitu tinggi.
Teeet!
“Mau mati lu!” maki
Dedy saat sebuah sepeda motor menyalip lalu masuk ke depan mobilnya, membuat ia
harus sedikit tiba-tiba mengerem. Padahal makiannya pun tidak terdengar hingga
ke luar mobil.
Beruntung hari itu
adalah Ahad, hari libur bagi kebanyakan penduduk Jakarta, sehingga kemacetan
hanya terjadi di lampu merah ketika lampunya menyala merah.
Dedy yang
sehari-harinya lebih banyak diam dan bersikap dingin, kali ini benar-benar
seperti pecandu yang kehabisan stok narkoba.
Teet teet teet teet!
Setibanya di gerbang
rumahnya yang mewah, klakson yang ia bunyikan melebihi porsi yang biasa ia
bunyikan. Biasanya hanya sekali tekan saja.
Jumlah suara klakson
yang tidak biasa itu membuat Iwan, pembantu lelaki di rumah itu berlari lebih
kencang ke gerbang, hingga-hingga sendal jepitnya putus di leher.
Semasuknya mobil merek
Rush biru tua itu ke depan garasi, Dedy langsung keluar dari mobil tanpa
membawa lagi tas kerjanya. Pria berkemeja putih itu tidak lagi melepas sepatu
kantornya masuk ke dalam rumah.
Kedatangan Dedy langsung
disambut oleh Irma, istrinya yang tetap tampil cantik dengan dandanannya, meski
di hari libur.
“Mana anak itu?” tanya
Dedy dengan ekspresi wajah yang keras, menunjukkan bahwa kemarahannya tinggi.
“Papa!” sebut Irma
sambil berusaha menahan langkah suaminya yang langsung menuju ke kamar Rani.
Dedy justru menepis
tangan istrinya yang memegang tangannya mencoba menghentikannya.
Ternyata pintu kamar
Rani tidak dikunci, sehingga Dedy bisa langsung masuk. Hal itu mengejutkan Rani
yang sedang duduk daring (online) di
kasurnya menghadapi laptop.
Plak!
Langkah Dedy yang cepat
membuat Rani tidak bisa berkutik ketika tangan tua itu berkelebat menampar
wajah putihnya.
“Papa!” pekik Irma melihat
suaminya menampar putri mereka.
“Kamu pikir, semua yang
diberikan oleh Papa Mama selama ini hanya untuk kamu hamil di luar nikah,
hah?!” bentak Dedy dengan sepasang mata tuanya yang memerah. “Papa pikir kamu
sudah berpikiran dewasa. Pelacur saja yang setiap hari melayani banyak lelaki,
bisa tidak hamil. Papa tidak mau tahu, sebelum aib ini tersebar jadi bau
bangkai, gugurkan anak itu!”
“Enggak! Rani enggak
mau, apa lagi Sando sudah mau tanggung jawab!” teriak Rani yang seketika
menangis setelah mendapat tamparan dari ayahnya.
“Papa maunya janin itu
digugurkan dan Papa akan bunuh pemuda keparat itu!” tandas Dedy.
“Lebih baik Rani yang
mati dari pada anak Rani dan ayahnya dibunuh!” teriak Rani.
Dengan cukup
mengerahkan tenaga, Irma berjuang menarik suaminya agar keluar dari kamar.
Seberhasilnya membawa suaminya hingga ke luar kamar, Irma berbisik serius
seraya menatap fokus ke wajah suaminya.
“Papa tidak bisa
berpikiran buta seperti itu. Bukankah ini yang dulu juga terjadi pada kita
berdua? Papa dulu yang membela mati-matian untuk tidak menggugurkan kandungan
Mama saat Rani dikandung di luar nikah. Bagaimana mungkin Papa bisa tidak
memahami ketika kondisi yang sama terjadi kepada Rani?” kata Irma.
Dedy terdiam. Seketika
itu juga ia teringat ke masa lalunya, saat ia harus benar-benar dituntut menjadi seorang pria yang bertanggung jawab
karena telah menghamili Irma muda di luar ikatan pernikahan. Bahkan ia harus
menentang keinginan keras orang tuanya dan orang tua Irma yang sepakat untuk
menggugurkan janin di kandungan Irma. Sehingga, ia dan Irma memutuskan untuk
kabur ke Tangerang meninggalkan pulau Kalimantan.
“Biarkan bayi itu lahir
ya, Pa?” bujuk Irma. “Apa lagi Sando mau bertanggung jawab. Sore ini Sando mau
datang dan bicara kepada kita.”
Dedy menghempaskan
napas berat.
“Papa enggak mau ketemu
dengan pemuda berengsek itu. Bilang ke dia, kalau Papa enggak mau ada
pernikahan yang mengundang banyak tamu. Setelah itu pergi jauh dari pandangan
Papa!” ujar Dedy lalu melangkah pergi meninggalkan istrinya. Ia lalu berteriak
kepada pembantu perempuannya, “Lina! Bawakan bir ke kamar!”
Irma segera menemui
Rani dan memberitahukan keberhasilannya membujuk suaminya. Berita itu bisa
meredakan tangis Rani.
Rani segera menelepon
Sando, ayah dari janin di perutnya. Sementara Irma memilih pergi untuk menemani
suaminya di kamar mereka.
Beberapa hari yang
lalu, ketika Rani memberitahukan kehamilannya kepada Sando, pemuda itu awalnya
tidak percaya bahwa Rani mengandung anak hasil dari hubungan mereka berdua.
Setelah Rani tidak mengangkat teleponnya yang berulang-ulang, Sando akhirnya
mengirim pesan yang menyatakan siap bertanggung jawab dan akan menikahi Rani
sesegera mungkin.
“Ya, Honey?” kata cinta langsung menjawab
telepon Rani.
“Di mana, San?” tanya
Rani.
“Suara elu kok serak
begitu? Lagi nangis ya?” Sando yang ada di ujung telepon balik bertanya.
“Enggak, sedikit sedih
aja,” jawab Rani.
“Tenang, Honey, gua nanti malam datang kok.
Ole-ole Sumbawa sudah siap untuk meluluhkan calon mertua, hahaha!” kata Sando.
Rani merasa sedikit
terhibur dengan rencana kekasihnya itu.
“Pokoknya lu dandan
yang cantik malam ini, yang perfect for
me. Habis bicara sama mama papa lu, kita dinner, special for you.
Oke?”
“Ee,” jawab Rani.
“Lu jangan mikir yang
macam-macam. Gua akan datang sebagai pangeran berkuda elu nanti malam. I love you, Honey,” kata Sando untuk
terakhir kalinya kepada Rani, setelah itu Sando menutup teleponnya.
Sando yang dalam
perjalanan pulang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, kembali duduk
tenang di dalam mobil.
Sando memang seorang
pemuda tampan berambut pendek yang ujung-ujungnya mengumpul membentuk duri-duri
yang kaku oleh olesan putih telur, resep rambut anak-anak punk. Ia mengenakan T-Shirt
kuning berpola salur hitam biru di bagian perut baju. Dari perawakan ototnya,
menunjukkan bahwa pemuda berkulit putih itu suka membentuk ototnya di tempat fitness, meski ototnya tidak begitu
kekar.
Sementara itu, seorang
pemuda yang terhitung tampan juga dengan sepasang alis tipis tapi panjang,
duduk di sisi kanan Sando. Sambil memegangi lingkaran stir mobil Honda Rush
hitam itu, pandangannya fokus ke jalan raya. Pemuda berkulit putih tersebut
memiliki rambut lurus yang lemas, tapi rambut di kedua sisi kepalanya dicukur
tipis. Ia hanya mengenakan kaos oblong merah yang di dada kanannya ada sablonan
bertulis “billabong”. Ia mengenakan
celana jeans hitam longgar yang ujungnya hanya lewat selutut dikit. Ia adalah
Fito, nama aslinya Khalid Abdulatif. Ia mendampingi Sando sama-sama ke Sumbawa
untuk melihat tanah dekat pantai yang perusahaan akan beli.
Tampak di kursi
belakang, menumpuk tas dan berbagai barang sebagai buah tangan keduanya untuk
keluarga.
“Jadi, positif lu mau
nikahin Rani?” tanya Fito.
“Yaaa, walau masih ada
keraguan kalau itu anak gua, tapi gua harus benar-benar tanggung jawab. Gua cinta
sama Rani,” jawab Sando. “To, mampir dulu di depan, gua mau beli minuman!”
Fito lalu melambatkan mobilnya dan lampu sen kiri dinyalakan. Mobil
berbadan besar dan lebar itu memasuki area parkir sebuah minimarket. Di
parkiran hanya ada deretan beberapa jenis motor milik konsumen. Sebuah plang
seng menempel di tiang depan minimarket. Pesan yang tertulis di plang itu
berbunyi “Kunci kendaraan Anda! Kehilangan di luar tanggung jawab kami!”. Plang
peringatan seperti itu menunjukkan, di minimarket itu tidak ada satpam dan
tukang parkir. Parkiran memang terpantau jelas dari petugas minimarket yang ada
di dalam. Di sisi pinggir kanan parkiran ada pedagang jus buah dan gorengan
gerobak. Keamanan pun mengandalkan kamera cctv.
Sando bergerak turun dari mobil, sementara Fito memilih menunggu.
Seturunnya dari mobil, terlihatlah bahwa Sando seorang pemuda yang memiliki
tinggi tubuh agak pendek. Namun, otot tubuhnya yang berisi membuatnya terlihat
cukup gagah.
Ia langsung menuju pintu kaca. Seiring itu, seorang ibu berjilbab hijau
keluar dari minimarket sambil mengambil kunci motor dari dompetnya yang baru
diisi beberapa lembar uang ratusan. Ia tidak membawa plastik belanjaan, menunjukkan
ia hanya mengambil uang di atm.
Baru saja Sando masuk ke minimarket, Sando berhenti ketika melihat
seorang lelaki berjaket hitam berlari dari pinggir jalan ke parkiran minimarket
mengarah ibu berjilbab itu.
Ibu bertubuh agak gemuk berjilbab hijau sangat terkejut, ketika
tiba-tiba dari belakang seseorang merampas kunci motornya dengan kasar. Ibu
yang baru mau menaiki jok motornya tersebut, didorong keras hingga terjengkang
di lantai batu parkiran.
“Hei!” teriak Sando yang seketika mengejutkan seluruh orang di dalam
minimarket.
Sando langsung bergerak keluar dari minimarket dan berlari ke arah
lelaki berusia 30-an yang mencoba merampas motor si ibu. Kejadian itu juga
mengejutkan Fito yang berada di dalam mobil dan sangat dekat dengan titik
serangan. Namun, Fito hanya bereaksi di tempat duduknya tanpa ada tindakan
keluar dari zona amannya.
“Hei!” teriak Sando lagi.
Dor!
Baik orang-orang yang ada di dalam minimarket, di parkiran, pedagang,
hingga mereka yang sedang melintas di jalan raya, terkejut mendengar suara satu
tembakan. Bahkan beberapa orang sekitar segera merunduk dan berlindung di balik
sesuatu yang bisa dipakai berlindung.
Pelaku perampasan motor yang ternyata membawa senjata api, dengan
cekatan memutar balik posisi motor yang sudah ia kendalikan. Sebelum melesat
pergi meninggalkan parkiran, begal itu kembali todongkan pistolnya.
Dor! Bremr!
Ibu berjilbab pemilik motor, tidak berdaya dalam ketakutan bercampur
keterkejutan. Posisinya tetap berbaring di lantai parkiran yang berdebu tebal.
Seperginya begal itu, Fito buru-buru keluar dari mobilnya. Ia langsung
berlari mendapati tubuh Sando yang terkapar bersimbah darah. Darah mengalir
deras keluar dari dua lubang yang tercipta di sekitar dadanya.
“Sando! Sando!” teriak Fito panik bukan main sambil memeluk tubuh Sando
yang meregang nyawa oleh dua peluru dari begal itu. “Tolong...!”
Di saat yang bersamaan, Rani sudah kembali ceria, kesedihannya telah
sirna di wajahnya, meski penyesalan dan duka itu masih ada yang bercokol di
sudut hatinya. Namun, nasib telah menjadi bubur, ia harus menikah dalam kondisi
hamil. Ia harus mengakui, ia dan Sando bukanlah sepasang insan yang baik,
terbukti mereka berhubungan badan beberapa kali sebelum menikah.
“Jika waktu bisa kembali diulang, gua janji akan mencari pria yang
baik,” kata hati kecil Rani.
Namun, waktu tidak mungkin diputar ulang. Ia harus terima kenyataannya
bahwa hari ini seperti itulah keadaannya. Tiada jalan lain, selain menikah
dengan Sando. Tidak mungkin ia menikah dengann pria lain yang bukan ayah dari
bayinya, padahal Sando masih ada dan hidup.
Rani menemui mamanya di
dapur untuk memberi tahu tentang kepastian dari kedatangan Sando nanti malam.
Di sisi lain di dalam
rumah itu, di dalam sebuah kamar besar nan mewah, seorang Dedy duduk di kursi
sofa menghadapi meja kaca yang di atasnya berdiri gagah dua botol bir dan
sebuah gelas putih ukuran sedang yang penuh oleh air bir.
Sementara air bir
tergenang diam di dalam gelas, Dedy pun diam termenung. Tidak ada sedikit pun
cahaya gairah di guratan wajah tuanya.
Setelah belasan menit
lamanya diam termenung dengan pikiran sekalut benang layangan, mimik wajah Dedy
tiba-tiba berganti mengekspresikan tangisan seorang ayah. Tidak ada air mata
yang meluncur di kulit wajah tuanya, air bening hanya sebatas menggenang di
pinggiran mata. Ekspresi tangis itu kemudian berubah sedih belaka.
Kehamilan Rani menjadi
pukulan sangat keras baginya. Ia harus mengakui, hal itu juga tidak lepas dari
kesalahan dan kelalaiannya sebagai seorang ayah, yang seharusnya bisa
melindungi anak perempuannya hingga ke ijab kabul yang sangat sakral dalam
pernikahan.
“Ya Allah....” ucap
Dedy lirih.
Lama sudah ia tidak
menyebut nama suci itu. Lebih lama dari tidaknya ia meneguk bir. Terakhir ia
meneguk bir adalah empat bulan lalu. Entah, kapan ia terakhir menyebut nama Zat
Yang Mahaagung.
“Baru saja Engkau
membuatku gembira melihat Rina berubah baik dengan jilbabnya, tiba-tiba hari
ini Kau seolah menghukumku atas dosa masa laluku. Aku tidak rela jika pemuda
bajingan itu memiliki anakku, menjadi ayah dari cucuku, aku tidak rela, ya
Allah,” kata Dedy dalam hati.
Ia lalu mengangkat
tubuhnya dari sandaran sofa. Tangan kanannya meraih gelas berisi minuman haram
itu. Gelas itu ia angkat tinggi hingga sejajar dengan wajahnya. Ditatapnya bir
dalam gelas dengan tatapan yang tajam dan dingin.
Lalu Dedy berkata
dengan suara keras, “Aku bersumpah di depan bir ini, ya Allah! Andaikan Engkau
memberikan Rani suami yang salih, memberiku menantu yang baik agamanya, maka
aku akan membangun sebuah masjidmu!”
Bukannya meminum bir
yang sudah terlanjur ada di gelas, tetapi Dedy justru menumpahkan bir di gelas
ke lantai, di antara kedua sepatu mengkilapnya yang masih ia kenakan.
“Aaa!” teriaknya seraya
melempar keras gelas bir itu ke dinding kamar.
Prakr!
Gelas hancur berantakan
dan serpihan tajamnya bertebaran di lantai.
“Aaakr!”” teriak Dedy
penuh emosi sambil melempar botol bir di atas meja ke cermin besar lemari
pakaian.
Botol bir dan cermin
bernasib sama, sama-sama pecah berantakan. Dan botol kedua pun dilempar ke
tempat yang sama.
Sembilan jam kemudian.
Cukup jauh dari tempat
kediaman Dedy, sama-sama di depan tegaknya botol-botol bir.
Delapan botol bir
berdiri di atas meja di teras sebuah rumah yang halamannya bertaman. Kedelapan
botol bir itu dihadapi oleh dua pemuda yang sudah menghabiskan satu botol bir
untuk berdua. Salah satu pemuda itu adalah Fito, yang baru saja kehilangan
seorang teman akrabnya untuk selamanya.
Pemuda yang bersamanya
juga termasuk tampan dengan wajah yang dihiasi setitik tahi lalat di bawah
sudut kiri bibirnya. Ia memelihara kumis tipis. Rambutnya yang gondrong ia ikat
dengan karet gelang di belakang. Ia mengenakan kaos oblong kuning dan bercelana
jeans biru yang pada bagian kedua pahanya sudah robek-robek, seperti memang
sengaja dirobek. Ia bernama Gunawan, usianya 26 tahun, dua tahun lebih tua dari
Fito.
“Lu harus tahu, To,”
kata Gunawan yang belum ada tanda-tanda mabuk, sama seperti Fito. “Bukan elu
doang yang cinta jatuh hati berat sama Rani, gua juga. Jadi, gua kagak bakalan
ngebiarin elu jalan tenang sendirian buat meminang Rani.”
“Wah! Kejutan buat gua
nih! Hahaha!” teriak Fito berlagak kaget. “Gua juga tahu elu naksir berat sama
Rani, makanya elu ngejauh dari Sando sejak dia orang jadian. Tapi kita berdua,
sebagai Sepasang Naga Pemabuk, harus fair.
Apakah gua, atau elu, yang nantinya diterima oleh Rani, enggak ada dendam di
antara kita. Kita tetap akan satu meja dan satu botol dalam menikmati nikmat
minuman surga ini.”
Gunawan lalu mengambil
sebotol bir yang masih tertutup. Dengan giginya dia membuka tutup botol itu.
“Ayo, kita deklarasikan
perjanjian antara kita berdua!” kata Gunawan seraya mengangkat tinggi-tinggi
botol di depan wajahnya.
Fito lalu mengambil
pula satu botol baru. Dengan giginya ia membuka tutup botol.
“Kita sepakat, siapa
pun yang berhasil mendapatkan Rani, enggak ada dendam di antara kita. Dan
dengan ini pula, kita berkabung atas meninggalnya Sando!” teriak Fito.
Tang!
Keduanya mengetos botol
yang masing-masing mereka pegang. Setelah itu keduanya menyumbat mulut mereka
dengan mulut botol.
Glek glek glek!
Air bir mengalir turun
non-stop melalui tenggorokan keduanya, seolah yang mereka tenggak adalah air kelapa
segar.
Kedua sahabat ini
memang terkenal jago mabuk. Di kalangan teman-teman sepergaulan, mereka dikenal
dengan julukan “Sepasang Naga Pemabuk”. Sebotol dua botol bir tidak bisa
membuat mereka mabuk.
“Hahaha...!”
Keduanya tertawa
panjang setelah masing-masing berhasil menghabiskan satu botol.
“Siapa yang nanti pagi
bangun di dalam ember, harus datang ke rumah Rani belakangan,” kata Gunawan.
“Setuju!” teriak Fito
lalu kembali ambil botol baru.
Demikian pula dengan
Gunawan. (RH)
Berlanjut: Kejutan di Sore Hari (4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar