Ilustrasi: dua muslimah. |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Senin pagi yang cerah. Barada mengayuh sepeda cewek miliknya dengan
kecepatan sedang. Tidak seperti biasanya, gadis belia berjilbab putih
berseragam baju dan rok putih ini kini memakai masker bergambar kodok di
wajahnya. Tasnya ia taruh di keranjang depan sepeda. Meski rok panjangnya
terangkat sedikit, tapi Barada masih memakai celana longgar untuk menutupi
aurat kakinya.
Sementara kendaraan mobil dan motor melaluinya, tapi ia tetap tenang
meluncur dengan santai bersama sepedanya.
Setibanya di satu pertigaan, dari arah lain meluncur seorang Muslimah
lain dengan sepedanya. Ia berpakaian sama dengan Barada, yang berbeda hanya
sepeda, masker dan letak tasnya. Jika Barada memakai sepeda keranjang berwarna
merah, sepeda siswi ini model fixie
yang berban tipis berwarna biru. Jika Barada maskernya berwarna kuning dan
bergambar kodok, siswi ini maskernya berwarna merah bergambar sepasang mata penyanyi
internasional, Adele. Jika Barada meletakkan tas ransel merahnya di keranjang
depan, siswi ini tetap memakai tas selempang putihnya di tubuh. Siswi ini tidak
lain adalah Rina Viona.
“Assalamu ‘alaikum!” salam
Rina agak berteriak sambil lambaikan tangan kepada Barada.
“Hahaha!” Barada justru tertawa melihat kedatangan Rina yang mulai hari
ini akan memakai sepeda ke sekolah. Lalu jawabnya, “Wa ‘alaikum salam!”
Mendengar Barada tertawa, Rina pun ikut tertawa.
Dengan penuh riang dan semangat dalam perasaan, kedua sahabat itu pergi
ke sekolah. Meski Barada kini tambah semangat dengan adanya teman seperjalanan,
tapi mereka tetap menggoes dengan santai. Agar tidak mengganggu pengguna jalan
yang lain, mereka memilih tidak bercakap-cakap dan bersepeda dengan satu garis,
Rina di depan dan Barada di belakang.
Hingga akhirnya mereka memasuki gerbang sekolah di kawasan pasar di
Cengkareng, Jakarta Barat.
Sekolah swasta itu memiliki gedung tiga lantai. Lantai dan dindingnya
semua dilapisi keramik putih. Di gedung itu ada dua sekolah, yaitu SMU di
lantai satu dan dua, serta SMK hanya di lantai tiga.
Sekolah itu memiliki lapangan yang hanya seluas lapangan basket.
Lapangan basket merangkap lapangan voli dan futsal. Di sepanjang sisi selatan
lapangan adalah area parkir motor dan sepeda. Adapun parkiran mobil ada di
lahan sebelah gedung dengan pintu yang berbeda.
Sama seperti dua hari sekolah sebelumnya, kedatangan Barada dan Rina
menjadi sorot perhatian siswa-siswi yang sudah datang ke sekolah lebih dulu dan
bersantai di pinggir lapangan maupun di sepanjang teras lantai dua dan tiga.
Yang menjadi magnet perhatian adalah Rina.
Ada tiga alasan sehingga Rina masih menjadi perhatian. Pertama, jilbab
Rina masih hangat, karena usianya baru lima hari. Kedua, sepeda Rina, karena
ini hari pertama ia bersepeda setelah selama ini diantar dengan sedan. Dan
ketiga, karena Rina masih yang terpopuler kecantikannya sejak kelas satu,
terlebih kecantikannya kini lebih sejuk dengan nuansa religius, meski pagi ini
tertutup masker.
Kedatangan Rina dengan bersepeda mengejutkan keenam siswi cantik yang
berkumpul di bawah tiang keranjang lapangan basket. Saat melihat keberadaan
keenam siswi berok pendek di ujung lapangan itu, Rina melambaikan tangan kepada
mereka.
Rina dan Barada memarkirkan sepedanya. Tak lupa Barada memakai tas
ranselnya. Keduanya pun melepas masker di wajahnya dan menyimpannya.
Ciuuuit!
Satu suitan kencang melengking membahana di lapangan itu. Hampir semua
mata siswa dan siswi, terutama Rina dan Barada, beralih memandang ke sumber
pelepas suitan yang berasal dari tempat parkir.
Suitan itu berasal dari seorang siswa berperawakan tinggi besar dengan
lengan yang cukup kekar bagi seorang pelajar. Kepalanya berambut model botak
tumbuh. Dua lengan bajunya sedikit di gulung agar terlihat lebih macho maksudnya. Ujung bajunya dibiarkan
berada di luar celana. Semua siswa yang bersekolah di gedung itu sangat
mengenalnya. Ia bernama Edo Gundala, siswa kelas tiga IPA yang lebih dikenal
sebagai Ketua Geng Anak Monster (Amos).
Bersama Edo yang duduk santai di atas motor, ada pula lima siswa SMU
lainnya yang sama-sama berstatus anggota Geng Amos.
“Assalamu ‘alaikum!” ucap
keenam siswa itu serentak kepada Rina dan Barada yang hanya berjarak beberapa
meter dari mereka. Wajah mereka serentak cengengesan.
“Wa ‘alaikum salam!”
Yang menjawab salam itu hanya Barada seraya tersenyum ramah kepada
keenam siswa SMU itu. Barada lalu membungkuk kepada mereka seperti orang
Jepang, membuat keenamnya kian tertawa. Sementara Rina menunjukkan wajah tidak
suka, tapi ia melangkah mendekati kelompok itu.
“Anak Amos sudah bertaruh. Kalau gua terus pakai jilbab, anak Amos harus
lari keliling lapangan ini 20 putaran tanpa baju. Tapi karena gua lagi bahagia,
cukup sepuluh putaran saja, tetap enggak pakai baju!” ujar Rina kepada Edo dan
teman-temannya.
“Tenang saja, Rin. Anak Amos kagak bakal ingkar janji. Demi apa, anak
Amos?” kata Edo lalu bertanya kepada teman-temannya.
“Demi Rina sayang!” jawab anak Geng Amos bersamaan lalu tertawa
cengengesan.
“Dasar Anak Cecak!” rutuk Rina lalu berlalu pergi meninggalkan para
siswa yang terus tertawa.
“Hahaha!” Barada yang mendampingi Rina hanya tertawa.
“Rinaaa!” teriak tiga orang siswi cantik setengah histeris karena begitu
gembiranya, mereka berlari menyerbu Rina.
Siswi cantik pertama bernama Iyut Nirmala, panggilannya Ala. Ia berambut
ikal sebahu. Ada tahi lalat kecil di pipi kirinya. Ia paling terdepan berlari.
Siswi cantik kedua rambutnya dikepang samping kanan dan kiri, bertabur
ikat rambut karet warna-warni. Ia bernama Windi Anggita, panggilannya Windi.
Siswi ketiga berambut panjang yang di sisi kanannya hanya dihiasi satu
jepit rambut warna putih terang dan berbentuk cantik model kupu-kupu bentangkan
sayap. Ia bernama Ade Irma, panggilannya Adel.
Windi dan Ade juga dikenal dengan nama Duo K, karena mereka begitu
maniak menyukai industri hiburan Korea Selatan. Dan ketiganya adalah sebagian
dari keenam siswi berparas cantik yang tadi duduk di bawah tiang keranjang
lapangan basket.
Iyut yang lebih dulu menubruk peluk tubuh Rina, sehingga siswi berjilbab
itu nyaris terdorong jatuh. Menyusul Windi dan Ade juga memeluk, sehingga
ketiganya memeluk Rina. Rina hanya bisa gelagapan dan tertawa.
Tiga siswi cantik lainnya datang pula mendekati Rina dengan berjalan
seraya tertawa kecil dan tersenyum.
Siswi berparas cantik pertama bernama Indah Pertiwi bernama panggilan
Iwi. Gadis ini hanya mengikat rambut sebahunya dengan ikat rambut besar
bermodel bulu kucing loreng. Anting emasnya tampak berkilau di kedua telinganya
yang bersih.
Siswi cantik kedua berperawakan lebih tinggi dari yang lainnya.
Rambutnya panjang sepunggung. Ia bernama Novi Andria, panggilannya Ofi.
Dan yang siswi cantik terakhir berpenampilan cenderung tomboy dengan
model rambut pendek seperti lelaki. Tapi tepian matanya berhias maskara hitam,
membuatnya terlihat tajam memandang. Ia bernama Ristana, panggilan akrabnya
Iis.
Keenam siswi cantik itu tergabung dalam geng perempuan yang bernama Geng
Bintang Tujuh. Hingga Minggu pagi kemarin, geng itu masih diketuai oleh Rina
Viona yang kemudian secara sepihak menyatakan mengundurkan diri sebagai ketua
dan keluar dari kelompok.
“Giliran, dong!” kata Indah kepada ketiga gadis yang memeluk begitu
heboh.
Iyut dan Duo K pun melepaskan pelukannya. Giliran Indah Pertiwi yang
memeluk Rina dengan begitu bersahabat. Selanjutnya Novi dan terakhir Ristana.
Semuanya tertawa kecil dan tersenyum dalam pertemuan yang penuh dengan
rasa persahabatan dan persaudaraan. Barada pun tak hentinya tersenyum melihat
keakraban ketujuh anggota geng perempuan itu.
Bahkan nuansa persahabatan yang kental membuat para siswa yang
menyaksikan dari berbagai sisi lapangan dan dari atas lantai dua dan tiga,
turut tersenyum. Padahal mereka mengenal Geng Bintang Tujuh sebagai geng
perempuan yang tidak sungkan menyakiti siswi lain di sekolah itu. Geng Bintang
Tujuh ditakuti oleh adik kelas dan seangkatan kelas dua, serta disegani oleh
kakak kelas.
Pertemuan antara keenam siswi cantik berok pendek itu dengan Rina
seperti pertemuan antara sahabat karib yang telah terpisah bertahun lamanya.
Padahal, baru kemarin pagi Rina dan keenam sahabatnya itu bertengkar dan saling
tangis.
Mereka tidak peduli bahwa saat itu mereka menjadi pusat perhatian para
siswa lainnya.
“Oke, Cantik!” kata Rina kepada keenam sahabat gengnya. “Badar sekarang
sahabat gua dan juga sahabat kalian!”
Pengumuman itu membuat keenam gadis tak berjilbab itu respek mundur
bersama dengan wajah menyiratkan sedikit ketakutan saat melihat keberadaan
Barada yang tersenyum ramah. Seolah mereka tidak mau berada dalam jangkauan Barada.
Fenomena itu membuat Barada berhenti tersenyum karena heran, termasuk Rina.
“Kenapa?” tanya Rina heran.
“Kalau Badar balas dendam, mati kita,” jawab Ade Irma dengan wajah
mengerenyit.
“Benar,” kata Windi pula.
“Memangnya saya bisa kalau dikeroyok?” tanya Barada.
Akhirnya Rina tertawa kecil. Lalu katanya kepada Barada, “Mereka tahu
tentang elu menghajar Roy Jumat kemarin, Badar.”
“Oh, kamu cerita, Rin?” tanya Barada.
“Ofi sama Ala ngelihat langsung,” jawab Rina.
“Oh enggak kok, saya enggak akan berkelahi dengan teman sekolah!” kata
Barada cepat dan agak keras kepada keenam siswi di depannya, mencoba
meyakinkan. “Insya Allah janji!”
Barada lalu mengulurkan tangan kanannya dengan maksud bersalaman damai.
“Lu janji lho, Badar!” kata Indah sambil maju menjabat tangan Barada.
“Insya Allah,” tandas Barada
lagi seraya tersenyum dan cipika-cipiki.
Akhirnya Novi, Iyut, Windi, Ade dan Ristana turut bersalaman damai dan
cipika-cipiki.
“Gua naruh tas dulu ya. Nanti gua curhat deh ke kalian,” kata Rina.
“Janji ya?” kata Iyut.
“Iya,” jawab Rina seraya tertawa kecil. “Ayo, Badar!”
Sebelum mengikuti Rina, Barada lebih dulu membungkuk kepada keenam siswi
itu lalu seraya tersenyum ia pergi mengikuti Rina untuk naik ke lantai tiga,
karena kelas mereka berada di lantai tiga.
Di jam istirahat, Rina kembali berbaur dengan keenam sahabatnya makan di
kantin sekolah. Rina yang sekelas dengan keenam sahabat satu gengnya, bercerita
tentang kebersamaannya dengan Barada. Mereka kini kelas dua SMK jurusan
sekretaris A, sedangkan Barada kelas dua jurusan akuntansi.
Rina sebenarnya ingin Barada bersama mereka saat istirahat, makan
bareng. Namun, setiap Senin dan Kamis, Barada kemungkinan besar dalam kondisi
puasa.
Pada jam istirahat, Barada rutin berada di dapur sekolah untuk membuatkan
teh dan kopi untuk guru-guru yang mengajar di kelasnya. Setelah itu ia akan
berada di perpustakaan untuk membaca. Seperti itulah kebiasaan Barada setiap
jam istirahat. Ia adalah siswi yang hampir tidak pernah jajan makanan di
sekolah.
Sehubungan Rina hari ini punya rencana khusus kepada Barada, maka
sebelum ke kantin ia segera menemui Barada sebelum turun ke ruang guru yang ada
di lantai bawah.
“Badar, lu puasa ya? Gua mau musyawarah sama elu,” ujar Rina.
“Kalau sekarang tidak bisa. Bagaimana kalau besok?” kata Barada.
“Penting dan harus hari ini!” tandas Rina.
“Kamu ke rumah saya, bagaimana?” tawar Barada.
“Enggak bisa, sebab anak Bintang Tujuh mau ikut nimbrung,” kilah Rina.
“Pulang sekolah dan tidak boleh lebih satu jam,” kata Barada.
“Oke, di kelas gua, ya?”
“Sip!” sahut Barada.
Teeet! Teeet! Teeet!
Hingga akhirnya tiga kali bel listrik berbunyi yang menjadi tanda
berakhir sudah jam pelajaran di hari itu.
Guru-guru yang mengajar menutup sementara pembahasannya dan
memerintahkan pembacaan doa pulang.
“Beri salam!” seru ketua kelas dua akuntansi yang adalah seorang
perempuan.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi
wa barakatuhu!” ucap murid-murid serentak yang dijawab secara lengkap pula
oleh guru.
Guru keluar, murid pun bubar. Demikian pula kelas-kelas lainnya.
Barada tidak pergi ke tangga sebagaimana siswa lainnya, tapi ia pergi ke
kelas Rina yang ada di ujung.
Di kelas dua sekretaris A yang sudah sepi, ada Rina dan keenam anggota
Geng Bintang Tujuh yang menunggu. Mereka tersenyum melihat kemunculan Barada.
Lagi-lagi Barada membungkuk ojigi seperti
orang Jepang.
“Silakan dimulai,” kata Barada.
“Sehubungan Badar waktunya cuma satu jam enggak bisa ditawar, langsung
gua mulai aja,” kata Rina. “Gua belum cerita sebelumnya, tapi Badar sudah tahu
sebagian ceritanya. Ini tentang kakak gua.”
“Rani?” tanya Indah.
“Iya,” Rina membenarkan. “Badar semalam di rumah gua dan dia sudah tahu
apa yang terjadi sama kakak gua. Kakak gua hamil duluan.”
“Hah!” kejut Indah, Iyut, Windi dan Ade bersamaan.
“Naasnya lagi, pacar yang menghamili dan yang berencana datang semalam
ke rumah, keburu meninggal ditembak begal,” lanjut Rina.
“Hah!” kali ini Novi dan Ristana ikut terkejut pula.
“Sebegitu apes nasib Kak Rani,” kata Windi.
“Iya!” tambah Ade Irma.
“Kerudung yang kita beliin buat Mama itu, Badar, akhirnya berguna karena
dipakai hari ini ke pemakaman Sando, pacar Rani. Mama nemanin Rani ke pemakaman
hari ini,” kata Rina kepada Barada.
“Tapi, Rin, gua rasa enggak sulit buat cari gantinya. Walaupun Kak Rani
mengandung anak orang, tapi cantiknya Kak Rani dan kayanya keluarga elu, gua
rasa banyak cowok yang mau jadi penyelamat,” kata Indah.
“Gua sepaham sama Iwi,” timpal Novi.
“Gua juga berpikiran kayak gitu, Ofi. Walaupun kakak gua hamil duluan,
tapi gua enggak mau dia dapat laki yang cuma ngincer cantik dan uangnya doang.
Gua mau kakak gua dapat laki yang baik dan beragama,” ujar Rina.
“Ya berat, Rin,” kata Iyut. “Pak Mukhtar kan pernah menyampaikan, kalau
muslim yang begituan sebelum nikah, namanya zina. Terus, kalau zina, hukumannya
cambuk. Kalau elu mau Kak Rani dapat lelaki yang ngerti agama, pastilah enggak
mau.”
“Kecuali yang agamanya separuh jadi,” kata Novi pula.
“Badar, lu punya kenalan orang salih yang mau sama cewek hamil duluan?”
tanya Indah.
“Emm...,” dengung Barada berlagak berpikir, karena ia memang sedang
berpikir. “Setahu saya sih ini masuk dosa besar. Biasanya, kalau mau taubat
dari yang besar-besar begini ada aturan khususnya, tapi saya enggak tahu
banyak. Dan, kemungkinan besar, laki-laki alim enggak mau ngambil yang ada dosa
besarnya. Kenalan orang yang menurut saya salih sih ada, hanya semuanya udah
nikah dan kebanyakan perempuan.”
“Terus gimana dong?” tanya Rina.
“Elu maunya Kak Rani dapat laki apa aja asal laki, atau benar-benar yang
salih?” tanya Indah.
“Kalau asal laki sih gua enggak perlu meeting begini, cukup tempel pengumuman di depan rumah gua,
selesai,” jawab Rina.
“Yang setengah juga enggak mau?” tanya Windi. “Kalau yang setengah sih
gua banyak, hahaha!”
“Enggak,” jawab Rina.
“Seperti yang pernah saya katakan, rumusannya itu perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik, perempuan buruk untuk laki-laki yang buruk. Jadi kalau kamu mau Kak
Rani dapat lelaki yang baik, jalan pertamanya yaaa jadi perempuan yang baik
dulu,” ujar Barada.
“Bagaimana mau jadi perempuan baik kalau sudah ngisi begitu?” tanya
Rina.
“Ya tobat dulu, Rin,” kata Indah.
“Berarti dicambuk dulu dong,” kata Novi pula.
“Ih, serem banget kalau harus cambuk dulu,” ucap Windi tergidik.
“Iya, apa lagi kalau sampai pakai dilempar-lempar batu gitu sampai mati.
Apa namanya?” kata Ade Irma pula.
“Ragam?” sebut Iyut.
“Bukan ragam, tapi garam!” kata Windi, yang membuat mereka mulai tertawa
kembali.
“Bukan garam, tapi kejam!” sahut Ade Irma pula memperkeruh permainan
salah kata itu.
“Ah, sudahlah. Gua ngerti,” kata Rina seraya tersenyum samar.
“Daeng Gazza bagaimana, Rin?” tanya Barada memberi pintu solusi baru.
“Abang Gazza?!” pekik Rina terkejut dengan disebutnya nama itu, nama
pemuda tampan yang sepertinya alim dan salih yang belakangan mengusik masa kesendirian
cinta Rina.
“Iya,” kata Barada seraya tertawa melihat ekspresi Rina.
“Enggak enggak enggak!” kata Rina ngotot setengah teriak.
Keenam anggota Geng Bintang Tujuh lainnya jadi heran melihat reaksi Rina
yang tidak wajar.
“Siapa Abang Gazza itu?” tanya Indah.
“Cowok baru Rina!” yang menjawab justru Ristana, menerka.
“Bukan cowok gua!” bantah Rina cepat.
“Kalau bukan cowok baru elu, kenapa reaksi elu enggak wajar gitu?” tanya
Indah mengejar.
“Lu masih punya rahasia sama kita ya?” tanya Iyut menebak.
“Bukan, sumpah! Dia abangnya Badar, bukan cowok gua!” tegas Rina.
Barada hanya tertawa melihat Rina mati-matian membantah tudingan
teman-temannya.
“Tapi, jangan-jangan elu udah keburu naksir ya?” tuding Novi.
“Ah, itu mah lain cerita,” kata Rina tidak bisa menyangkal lagi.
“Cieee!” sorak keenam siswi tidak berjilbab itu bersamaan lalu tertawa.
“Sepertinya perlu kita selidiki tuh yang namanya Abang Gazza,” kata
Novi.
“Betul betul betul!” celetuk Iyut mengikuti kalimat khas tokoh kartun
Malaysia, Upin dan Ipin.
Mereka kembali tertawa bersama.
“Udah ah, jangan dibahas. Kembali ke topik dong,” kata Rina, ada rona
malu-malu di wajah cantiknya. “Bagaimana, Badar?”
“Saya tidak begitu mengerti mencari solusi kasus Kak Rani ini. Namun,
kalau kamu mau tanya Bang Gazza, mungkin ada solusi, sebab lingkungan pergaulan
Abang kan dengan kaum lelaki yang akrab dengan ustaz-ustaz, dunia pesantren dan
aktivis agama. Kamu kan pegang nomor Abang Gazza, Rin,” ujar Barada.
“Elu enggak bisa nyangkal lagi, Rin!” seru Windi cepat, saat mendengar
bahwa Rina menyimpan nomor pria bernama Gazza yang adalah kakak Barada.
Yang lain jadi tertawa lagi.
“Iya, saya memang menyimpan nomor Abang Gazza, tapi itu enggak seperti
yang kalian bayangin,” kata Rina.
Rina lalu mengeluarkan ponselnya. Setelah melakukan beberapa sentuhan,
Rina kemudian memberikan posel itu kepada Barada.
“Elu yang telepon dan ngomong,” kata Rina kepada Barada.
Sambil tertawa kecil, Barada menerima ponsel yang sudah aktif menelepon
nomor atas nama Gazza.
“Assalamu ‘alaikum, Daeng!”
salam Barada dengan memakai sebutan kehormatan bagi orang suku Bugis Sulawesi
Selatan. Barada sekeluarga adalah etnis Bugis.
“Wa ‘alaikum salam. Badar?”
jawab pria di dalam telepon dan bertanya.
Semua mendengar, karena speaker
ponsel diaktifkan oleh Barada.
“Iya, Daeng. Daeng, tahu kan ini nomor siapa?” jawab Barada dan balik
bertanya.
“Nomor teman kamu yang cantik itu kan?” terka pria itu.
“Aaa!” pekik para anggota Geng Bintang Tujuh histeris lalu tertawa
ramai, karena Rina disebut cantik.
“Suara apa itu, Badar, berisik sekali?” tanya pria di dalam telepon yang
memang bernama Gazza, lengkapnya Fath Gazza.
“Badar, jangan bicara yang macam-macam!” desis Rina panik.
Barada hanya manggut-manggut sambil tersenyum geli, sementara yang
lainnya terus tertawa heboh dan juga serius mendengarkan komunikasi Barada
dengan kakaknya.
“Ini lagi di kelas, jadi ramai, Daeng. Maklum cewek semua, hahaha!” kata
Barada lalu tertawa. Kemudian lanjutnya, “Daeng, punya stok teman laki yang
siap nikah sama gadis cantik dan kaya?”
“Muslimah?” tanya Gazza.
“Iya.”
“Banyak. Kirim aja foto Muslimahnya, Badar,” kata Gazza yang tidak tahu
bahwa omongannya didengar oleh orang banyak.
“Biro jodoh!” bisik Windi kepada Ade lalu keduanya tertawa cekikikan,
memancing yang lain ikut tertawa, tapi tidak sekeras tadi.
“Tapi sudah hamil, Daeng,” kata Barada.
“Inna lillahi!” ucap Gazza
agak terkejut. “Memang ditinggal kabur?”
“Dipisah sama Malaikat Izrail,” jawab Barada.
“Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un!” ucap Gazza lagi. “Ya udah, muslimahnya mau laki-laki biasa atau
yang bagaimana?”
“Yang salih,” jawab Badar.
“Kamu minta aja foto muslimahnya, nanti saya ambil. Tapi mungkin saya
perlu konsultasi dulu sama ustaz, sepertinya kasusnya enggak gampang. Suruh muslimah
itu ngomong ke Allah, semoga dibantu sama Allah,” ujar Gazza.
“Iya, Daeng. Jazakallah!” kata
Barada.
“Aamiin!” ucap Gazza.
“Daeng, jangan lupa nomor ini disimpan.”
“Oh sudah, sejak Rina kirim pesan pertama ke saya,” kata Gazza yang
membuat Barada tertawa tanpa suara dan kembali membuat keenam anggota Geng
Bintang Tujuh heboh lagi dengan tawanya.
“Ya udah, Daeng. Assalamu ‘alaikum!”
salam Barada mengakhiri.
“Wa ‘alaikum salam!” balas
Gazza.
“Hahaha...!”
Meledaklah tawa Barada dan yang lainnya, kecuali Rina yang hanya
tersenyum merengut bercampur setengah tersipu. Meski ditertawai seperti itu,
tapi ada rasa berbunga-bunga dan indah di hati Rina, meski hanya mendengar
suara seorang Gazza yang sempat menyebutnya “cantik”.
“Oke, urusan beres,” kata Barada sambil memberikan ponsel kepada Rina.
“Apa maksudnya ‘suruh ngomong ke Allah’?” tanya Rina.
“Maksudnya suruh Kak Rani curhat ke Allah, berdoa. Sebab, Allah yang
punya segala urusan. Maksudnya, walaupun kita kerja sampai setengah mati, kalau
yang punya urusan enggak mengizinkan, alamat gagal,” jelas Barada.
“Jatuh cinta, berbunga rasanya,....” Windi mendadak bernyanyi dangdut
lagu Eyang Titiek Puspa.
Ade Irma jadi ikut bernyanyi yang disusul tertawa ramai mereka.
“Ayo pulang!” kata Rina sambil lebih dulu berdiri.
Sambil tertawa-tawa, mereka pun bubar dan bersama-sama ke luar kelas.
Suasana di lantai tiga itu sudah sepi.
“Badar, lu belajar silat ya?” tanya Indah.
“Iya. Enggak jauh dari rumah ada perguruan silat,” jawab Barada.
“Olah raga gitu kan bagusnya buat cowok, kok elu mau sih?” tanya Iyut.
“Tidak hanya laki-laki, perempuan juga harus bisa jaga diri, Ala. Zaman
sekarang ini sangat berbahaya, Ala. Kalian mungkin dengar berita tentang
kematian Yuyun di Bengkulu?” kata Barada.
“Gua nonton,” sahut Windi.
“Atau berita serangan misterius di Yogya yang menyayat lengan siswi
dengan pisau cutter. Mungkin akan
berbeda ceritanya jika para siswi itu, baik Yuyun atau para siswi di Yogya,
belajar pertahanan diri. Ketika ada gelagat mengancam, maka calon korban bisa
langsung bereaksi. Di sebuah negara kecil di Benua Afrika bernama Malawi, dari
hasil survei terhadap lebih 11.000 anak perempuan di bawah usia 18 tahun,
menunjukkan bahwa rata-rata satu dari lima anak perempuan telah diperkosa,”
tutur Barada.
“Wow!” pekik Ade Irma.
“Banyak faktor yang membuat tingginya jumlah pelecehan seksual di negara
miskin itu. Kondisi itu membuat sebuah lembaga amal asal Kenya menawarkan
programnya kepada 46 sekolah di Malawi. Mereka mengajarkan kepada sekitar
25.000 siswi perempuan bagaimana cara untuk mempertahankan diri dari pelaku
penyerangan seksual. Dan hasil dari program itu, 50 persen angka pemerkosaan
bisa menurun.”
“Lu kok bisa tahu cerita-cerita dari Afrika segala, Badar?” tanya Indah.
“Dari Abang Gazza,” jawab Barada.
“Cie cieee! Dari Abang Gazza lagi!” kata Novi kepada Rina, menggoda.
“Jangan godain gua terus, ah!” hardik Rina seraya tersenyum simpul.
“Nanti gua telepon lagi nih!”
“Hahaha!”
Tertawalah mereka.
“Abang Gazza kuliah ya, Badar?” tanya Iyut.
“Iya, rangkap wartawan,” jawab Barada.
“Wiiih! Mantap banget pilihan Rina!” kata Indah, lagi-lagi menggoda
Rina.
“Dengar kan tadi di telepon, orangnya enak, enggak nyusahin,” kata Iyut.
(RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar