Ilustrasi: Muslimah. (Foto: Beautynesia.id) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Kedua jarum jam yang menempel di dinding ruangan itu menunjukkan pukul
16.15 WIB. Ruangan tamu itu tampak cukup lapang dengan lantai keramik putih
biasa dan dinding berlapis semen biasa yang kemudian ditutup dengan cat warna cream. Hanya ada satu set kursi sofa
semi kayu. Sederhana.
Di kursi itu duduklah Marni, gadis hitam manis berjilbab kuning berbaju
kuning. Ia sedang menemani tamunya, seorang pemuda yang memang masih sangat
muda, baru berusia 18 tahun, tapi semangat cintanya sudah setinggi jiwa kepala
tiga. Pemuda itu adalah Firman Barayuda.
Meski kedatangannya untuk membayar angsuran kredit sepatu kepada kakak
lelakinya Marni, tapi Firman datang dengan penampilan seperti eksekutif muda.
Kemeja putih lengan panjang yang ujung bawah baju dimasukkan ke dalam celana
panjang hitamnya. Gesper yang melingkar mengkilap pun kian mempersakral
pakaiannya. Wajahnya yang bersih tanpa debu dan rambut yang terlihat seolah
masih basah, menunjukkan bahwa Firman mandi lebih dulu sebelum berkunjung ke
rumah Marni. Aroma harum yang menyengat ke seantero ruangan sangat khas, aroma
yang biasa tercium di jalanan saat malam Minggu.
Segelas teh dan setoples biskuit kelapa tersaji di meja kaca di antara
kedua muda-mudi itu.
Firman memang jatuh hati kepada Marni, tapi sayang ia harus terjebak
oleh kredit sepatu dari kakak gadis yang ditaksirnya. Namun kemudian, alasan
bayar angsuran itulah yang ia pakai untuk datang berkunjung tanpa setangkai
bunga mawar.
Di salah satu sudut ruangan ada satu lemari kayu sederhana yang
menampung sebuah televisi berukuran sedang yang tidak sedang menyala.
Sekumpulan buku dan beberapa kitab agama tertata rapi di lemari terbuka
tersebut.
Keramaian justru tercipta dari tiga anak kecil yang sedang bermain lego
di lantai yang lapang. Seorang anak laki-laki bernama Aan (5 tahun) dan dua
anak perempuan bernama Ina (4 tahun) dan Aca (3 tahun). Ina adalah anak yang
paling banyak bicara, menunjukkan tingkat kecerdasannya di usia dini. Sementara
Aan terkadang berbicara lebih keras dan agak ngotot kepada adik-adiknya. Adapun
Aca lebih banyak tertawa tetapi juga lebih banyak merengek.
Kedatangan Firman ke rumah itu, ramahnya Marni dan keceriaan anak-anak
yang bermain, bukanlah pokok dari suasana di saat itu. Sebab, saat itu terjadi
pertarungan hati dan emosi di antara dua orang wanita di dalam salah satu kamar
di rumah besar tapi sederhana tersebut.
Di lantai kamar yang bersih tanpa alas, duduk berhadapan dua wanita
seumpama ibu dan anak. Wanita agak gemuk berjilbab biru gelap dan berusia 47
tahun, tidak lain adalah Nurrahmah, ibu dari Abduh dan Marni. Nurrahmah adalah
wanita yang beberapa hari lalu telah kehilangan motor karena dibegal oleh
seorang pria bersenjata api.
Di hadapannya duduk seorang wanita muda berjilbab pink dengan motif gambar bunga-bunga mawar merah. Serasi dengan
warna pink bajunya yang tidak begitu jauh selisih warnanya dengan jilbab
besarnya. Cantik. Selain cantik dalam penampilan, gadis itu juga memang cantik
dari sisi paras yang berwajah putih bersih tanpa bedak dan gincu. Sepasang mata
yang agak lebar tampak indah oleh hiasan alis yang tidak tebal tapi cukup
panjang. Ia duduk bersimpuh dengan kedua telapak tangan saling tindih di atas
pangkuan. Tampak sebuah cincin emas melingkar indah di jari manis kanannya. Ia
bernama Naina Fitrayuni, calon menantu Nurrahmah.
Tampak wajah Nurrahmah tergambar guratan kesedihan. Ia baru saja
bercerita tentang musibah yang dialaminya, yang berujung dengan dirampoknya
motornya dan meninggalnya seorang pemuda bernama Sando. Naina mendengarkan
dengan khusyuk dan serius.
Nurrahmah memang sengaja memanggil khusus tunangan anaknya itu agar
datang, sebab ada hal penting dan serius yang ingin ia sampaikan kepada gadis
yang ia sukai akhlak dan agamanya tersebut.
“Apakah cerita kejadian itu ada hubungannya dengan saya, Ummi?” tanya
Naina dengan lembut. Naina sangat bertanya-tanya. Sebelumnya, calon ibu
mertuanya itu mengatakan akan bicara penting terkait dirinya, tapi setelah
bertemu wanita gemuk itu justru mengawali dengan cerita pembegalan.
“Iya, Naina. Huhuhu...!” jawab Nurrahmah dengan suara berat, yang
kemudian, tiba-tiba menangis.
“Ummi, kenapa?” tanya Naina terkejut. Segera ia merangsek maju dan
memeluk wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri itu.
Nurrahmah segera berusaha berhenti menangis. Naina begitu membuatnya
nyaman.
“Ummi minta maaf, Naina. Ummi minta maaf yang sebesar-besarnya. Ummi
sangat bersalah kepada Naina,” kata Nurrahmah dengan suara agak serak dan
menahan gelombang sedih dan rasa bersalahnya.
“Tidak ada yang harus dimintamaafkan, Ummi. Saya merasa tidak pernah
dizalimi sama Ummi selama ini. Jika memang Ummi ingin bicara, utarakan saja.
Jika memang Ummi khawatir membuat saya tersinggung, insya Allah saya tidak akan marah sedikit pun, meski itu akan
menyakitkan,” kata Naina setelah melepas pelukannya.
Nurrahmah berusaha mengendalikan emosi dan gejolak di dadanya. Sejenak
ia menatap lekat wajah cantik di depannya.
“Huk!” Nurrahmah kembali tersentak tubuhnya karena tangisnya mendesak
keluar, tapi ia berusaha menahannya sekuat batin.
“Coba Ummi berzikir dulu hingga terasa tenang. Saya akan siap menerima
penyampaian Ummi,” kata Naina, tetap lembut.
Akhirnya Nurrahmah memilih menunduk diam, hatinya berzikir untuk
menenangkan gejolak perasaannya.
Semenit lebih berlalu. Nurrahmah menarik napas lalu mengucapkan
istighfar. Ditatapnya Naina, gadis itu tersenyum kecil tapi menyejukkan mata.
“Perasaan dan pikiran Ummi begitu terbebani dengan meninggalnya pemuda
bernama Sando itu. Sebab, karena hendak menolong Ummi, ia justru harus kehilangan
nyawa. Yang lebih membuat Ummi sangat iba, pacarnya dalam kondisi hamil sebelum
menikah. Jadi....”
Nurrahmah memutuskan kalimatnya ketika hendak mengatakan inti dari
pembicaraannya. Naina menunggu dengan sabar, meski sebenarnya jantungnya mulai
berdetak tidak teratur.
“Jadi Ummi ingin menyelamatkan pacar pemuda itu dan anaknya. Jadi, Ummi
meminta Abduh untuk pergi melamarnya. Jadi....”
Terdiam Naina mendengarnya, seolah tidak terpengaruh oleh ungkapan niat
Nurrahmah tersebut. Naina duduk dengan tegar, meski samar senyumnya telah hilang
di sudut bibirnya. Namun hakikatnya, berita dari mulut Nurrahmah tersebut
sedang berusaha menghancurkan lapisan dinding hati Naina yang memang telah
terbekal oleh didikan ilmu dan zikir kepada Allah.
Memang berita itu menghancurkan perasaan Naina. Memang, niatan Nurrahmah
itu menyakiti hati Naina. Memang itu menodai jalinan cinta yang terjalin antara
Abduh dan Naina, terlebih telah tersimpul dalam status tunangan. Namun, Naina
bertahan untuk tidak menunjukkan reaksi terkejut, terlebih sampai harus
menangis.
Jika Nurrahmah meminta anaknya yang adalah tunangan Naina untuk pergi
melamar mantan pacar Sando, maka akan ada dua kemungkinan. Antara Naina akan
dipertahankan dan cintanya diduakan, atau pertunangan yang telah disepakati
oleh dua keluarga harus dibatalkan.
Namun, pertanyaan itu segera terjawab oleh lanjutan perkataan Nurrahmah,
“Jadi, pertunangan kalian berdua terpaksa Ummi dan Abduh batalkan.”
Kehancuran hati dan terkoyaknya perasaan, ternyata tetap Naina bungkus
dengan sehelai senyuman halus. Senyum yang seolah justru ingin menghibur
seorang ibu yang duduk di depannya dan sedang menahan rasa ingin menangis.
Ketulusan hati dan perasaan yang terluka, Naina ekspresikan dengan
bergerak kembali memeluk tubuh gemuk di depannya.
“Naina terima keputusan Ummi, Naina ikhlas melepas Abang demi menolong
wanita lain,” kata Naina lirih di telinga Nurrahmah, sementara tatapannya lurus
mencoba menembus tembok kamar.
Nurrahmah kembali menangis. Begitu berat rasa beban yang ditanggung
hatinya saat itu.
“Maafkan Ummi, Naina. Ummi sudah berbuat jahat sama kamu. Ummi terpaksa
tega mengorbankan wanita baik dan salihah seperti kamu. Ummi juga tidak tahu,
semarah apa orangtuamu jika mendengar keputusan Ummi ini,” ujar Nurrahmah di
dalam pelukan itu.
“Biar Naina yang bicara kepada mereka dengan baik-baik,” kata Naina kian
mengurangi gundah Nurrahmah. “Tapi, Naina masih boleh silaturahmi ke mari kan,
Ummi?”
“Tentu, tentu, anakku!” jawab Nurrahmah cepat seraya menarik wajahnya ke
belakang dari pelukan Naina. Lalu dengan penuh rasa haru ia mencium pipi kanan
dan kiri Naina, juga mengecup keningnya. “Ummi sangat menyayangi kamu, Naina.”
“Agar Ummi bisa lebih tenang perasaannya, lebih baik Ummi salat dua
rakaat. Dan Naina izin pamit,” kata Naina.
Tidak ada air yang keluar dari sepasang mata Naina. Gadis cantik itu
benar-benar menunjukkan ketegarannya, ketika ia merasa separuh dari nyawanya
telah direnggut.
Naina lalu meraih tangan kanan Nurrahmah dan menciumnya. Selanjutnya ia
mencium pipi kanan-kiri dan keningnya. Selembar senyuman sejuk ia siramkan ke
mata wanita yang kini berstatus mantan calon ibu mertua itu.
“Sampaikan salam Naina untuk Abang, Ummi,” kata Naina.
Gadis itu lalu bergerak berdiri. Sementara Nurrahmah tetap duduk
terkulai menjadi orang yang penuh rasa bersalah. Ia hanya mengangguk kecil
menjawab titipan lisan Naina.
“Assalamu ‘alaikum, Ummi,”
ucap Naina lembut.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullah,”
jawab Nurrahmah pelan. Lalu ia pun beristighfar berulang-ulang sebagai wujud
rasa bersalahnya.
Naina keluar dari kamar itu. Ia pun mendengar jelas Nurrahmah
beristighfar terus-menerus, menyesali keputusan yang harus diambilnya.
“Ummi Naina cantik sudah keluar!” teriak anak perempuan bernama Ina,
saat melihat Naina keluar dari kamar.
Teriakan suara bening dan nyaring itu seketika membuyarkan kekalutan
pikiran Naina. Seketika pula ia lempar senyum lebar saat melihat Ina bangkit
lebih dulu dan berlari pendek ke depannya. Anak lelaki bernama Aan dan adiknya
Aca segera bangkit dan datang pula kepada Naina. Ketiganya membawa hasil
susunan mainan lego mereka.
“Ummi, Ina buat perahu Nabi Nuh!” kata
Ina setengah berteriak seraya mengangkat tinggi susunan legonya yang
memang menyerupai sebuah perahu besar.
“Aca buat istana!” teriak Aca pula tidak mau kalah, menunjukkan susunan
lego yang hanya membentuk segitiga piramida.
“Kalau Aan buat benteng Jepang!” Aan tidak kalah jumawanya.
Naina pun tertawa melihat keceriaan dan antusias ketiga anak itu.
“Waaah! Ummi Naina terkejut sekali kalian menjadi insinyur hebat semua.
Bagus sekali!” kata Naina penuh gembira. Ia lalu turun berjongkok. “Sebagai
hadiah untuk kalian, boleh dong kalau Ummi Naina minta cium pipi?”
Maka dengan semangat dan senang, satu per satu anak kecil itu mencium
pipi Naina.
“Sekarang, kalian bongkar lagi lalu buat bangunan yang lain. Setelah
selesai, tunjukkan kepada Nenek Baik Hati,” kata Naina yang merujuk pada
sebutan anak-anak itu kepada Nurrahmah.
“Ayo ayo ayo!” teriak Aan lalu berbalik pergi kembali ke tempat
bermainnya.
“Ayo ayo ayo!” teriak Ina dan Aca pula mengikuti.
Naina bangkit dengan perasaan terhibur. Ia melanjutkan langkahnya menuju
pintu, tapi langkahnya terhenti oleh keberadaan Marni yang terkesan berdiri
menghadangnya tidak jauh dari pintu. Wajah hitam manisnya menunjukkan kesedihan.
Seolah Marni tahu apa yang menimpa Naina saat itu.
Tiba-tiba Marni menangis dan bergerak menubruk peluk tubuh Naina. Hanya
tangis yang ia ungkapkan, tanpa kata. Naina dan Marni hanya berselisih usia dua
tahun. Keduanya mulai bersahabat dekat sejak Abduh memperkenalkan Naina kepada
keluarga besar itu.
“Naina gak apa-apa kok, kenapa nangis sih, Mar?” kata Naina.
Tapi Marni tidak menjawab. Ia begitu erat memeluk Naina. Marni tidak
kuasa untuk mengucapkan sepatah kata pun di saat ia menangis.
Marni menangis karena ia tahu apa yang telah ibunya bicarakan kepada
Naina. Marni tahu bahwa saat itu sebenarnya Naina lebih menangis di dalam hati.
Namun, ia juga tahu bahwa Naina adalah gadis cantik salihah yang kuat menahan
emosi.
Tiga usapan belaian Naina berikan di kepala Marni.
“Naina masih akan ke mari kok, Mar. Besok kita jalan, yuk?” kata Naina,
menghibur Marni.
Marni akhirnya melepas pelukannya. Lalu ia mengangguk kepada Naina. Ia
seka air matanya dengan kain jilbabnya. Namun, ia tetap tidak akan bisa bicara.
Jika ia mencoba untuk bicara, maka pasti ia akan menangis lagi.
Sementara itu, Firman yang duduk di kursi tamu, hanya diam menjadi saksi
bisu. Hati lelakinya merasa terharu juga, tapi tidak sampai memancingnya untuk
ikut-ikutan kucurkan air mata.
Naina lalu melangkah menuju pintu, meninggalkan Marni.
Deg!
Bersamaan dengan tersentaknya jantung Naina, langkahnya pun terhenti.
Naina terpaku menatap lurus ke ambang pintu.
Di saat yang bersamaan, melangkah masuk sesosok tubuh yang menyandang
tas ransel dan menenteng sebuah helm. Pria itu pun berhenti melangkah saat
pandangannya bertemu dengan mata Naina.
Meski akrab, tetapi pertemuan pandangan kali ini membuat Naina sejenak
terasa melayang hilang pijakan. Serangkum desiran aneh mengalir di tubuh
belakangnya yang membuatnya merinding. Dan satu rasa “nyus” menusuk jantungnya.
Sosok pemuda yang baru masuk dan berdiri diam menatap Naina di dekat
pintu adalah Abduh, pemuda yang beberapa menit lalu secara resmi putus status
tunangannya dengan Naina.
Meski Naina sering datang, tapi kali ini keberadaan Naina di rumah itu
cukup mengejutkan Abduh. Pemuda tampan berambut agak gondrong itu seketika
merasakan gelagat buruk. Ia yang baru pulang dari pekerjaannya, tidak tahu
tentang rencana ibunya untuk memanggil Naina.
“Astaghfirullah, Ummi pasti
sudah menyampaikannya,” membatin Abduh dalam keterdiamannya. “Tapi kenapa Naina
biasa saja?”
“Assalamu ‘alaikum, Abang!”
salam Naina seraya lepaskan selembar senyum manis, mempercantik keindahan
wajahnya. Kembali Naina menunjukkan kepiawaiannya dalam mengendalikan emosi dan
perasaan. Seharusnya, Naina menangis dan langsung memeluk pemuda yang sangat
disayanginya itu, pemuda yang seharusnya sebentar lagi menjadi suaminya.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab
Abduh lemah, nyaris tidak terdengar. Wajahnya dingin tanpa senyum. Matanya
tidak berkedip menatap Naina.
Saat itu, gejolak batin Abduh sedang berproses mencoba melumpuhkan
saraf-saraf kehidupan si pemuda. Dan terbukti, pada akhirnya sepasang mata
pemuda itu dilapisi air bening yang menggenang di pinggirannya, seiring munculnya
warna kemerahan. Sepasang bibirnya terbuka kecil dan bergetar. Persendian kaki
pun tiba-tiba melemah goyah.
Abduh memang seorang lelaki, tetapi di dalam dadanya tetap ada segumpal
hati. Uluran tangan Naina kepadanya saat itu sungguh menghancurkan perasaannya.
Di jari tangan kanan yang putih lentik terpegang sebuah cincin. Cincin yang
beberapa pekan lalu Abduh sematkan ke jari manis Naina sebagai tanda bahwa
mereka telah menyimpul ikatan awal untuk menuju akad nikah.
Naina mengulurkan tangannya untuk mengembalikan cincin tunangan miliknya
kepada Abduh. Tindakan itu sangat memperjelas apa yang telah terjadi.
“Dengan penuh keikhlasan dan memahami bahwa ini semua atas kehendak
Allah, maka cincin tunangan kita, Naina kembalikan kepada Abang,” kata Naina
lembut.
“Naina...” sebut Abduh bergetar, seraya ada gelengan samar oleh
kepalanya.
“Terimalah, Bang. Naina tahu, Abang mengerti tentang takdir dan Allah
Maha Berkehendak,” kata Naina lagi, karena Abduh belum mau mengangkat tangannya
untuk menerima cincin itu.
Kata-kata Naina itu membuat Abduh berpikir bahwa ia memang harus
bersikap ikhlas dan dewasa dalam menghadapi apa yang telah Allah tetapkan.
Maka, tangan kanan Abduh pun perlahan terangkat dengan telapak menadah, siap
menerima pemulangan cincin pertunangan itu.
Dan, cincin emas itu pun akhirnya jatuh ke telapak tangan Abduh.
“Semoga Abang bahagia dengan wanita pilihan Ummi. Assalamu ‘alaikum,” ucap Naina seraya tersenyum lembut lalu berlalu
melewati Abduh dan melangkah ke luar rumah.
Jatuhlah air mata Abduh tanpa suara dari tepian lingkar matanya. Ia
terpaku di tempat dengan bibir bergetar.
Melihat adegan menyedihkan itu, Marni pun kian menangis. Sementara
Firman bingung di tempat duduknya.
Naina melangkah pergi meninggalkan rumah yang ternyata di depannya ada
depot air PAM. Gadis anggun itu menundukkan wajahnya, tangisnya ingin mendobrak
keluar, tapi masih bisa ia tahan. Naina pergi ke sebuah tanah kosong yang hanya
berjarak beberapa puluh meter, tempat ia memarkir mobil Honda Freed warna
kuningnya.
Ketika ia pergi bersama mobilnya, akhirnya air matanya jatuh jua.
Sementara itu, dari dalam rumah, Abduh muncul berlari dan berusaha
menyusul kepergian Naina.
Namun, Naina telah pergi. Naina pergi dengan status
bukan lagi sebagai calon istrinya atau kekasihnya.
Setelah bergerak pelan di jalan gang yang cukup terbatas kelebarannya,
mobil Naina keluar ke jalan besar.
Naina tetap berusaha menahan tangisnya, tapi tetap saja air matanya
mengalir. Pikirannya kacau dan tidak tenang. Rasa sakit itu begitu ia rasakan
di hati, meski ia telah berusaha seikhlas mungkin menyikapi keputusan
Nurrahmah.
Hingga sekian belas menit mengemudi, tiba-tiba....
Brakr!
Entah bagaimana, tiba-tiba moncong mobil Naina telah menabrak bagian
belakang sebuah truk besar di depannya. Mobilnya ringsek di bagian depan. Kaca
depan dan pintu depan pecah.
Tampak darah mengucur dari balik jilbab di sisi atas kepala Naina. Wajah
cantik itu mengerenyit kesakitan. Sementara itu, ia merasakan sakit yang tinggi
di kaki kirinya yang terjepit.
Di saat itu pula, sopir dan kernet truk turun untuk melihat apa yang terjadi,
beberapa warga berlari menghampiri mobil kuning itu, Naina masih bisa meraih
ponselnya dan menelepon.
“Kak, Naina kecelakaan nabrak truk di Veteran Barat,” kata Naina di
telepon. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar