Cincin yang Pulang (10)

Ilustrasi: Muslimah. (Foto: Beautynesia.id)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:

Kedua jarum jam yang menempel di dinding ruangan itu menunjukkan pukul 16.15 WIB. Ruangan tamu itu tampak cukup lapang dengan lantai keramik putih biasa dan dinding berlapis semen biasa yang kemudian ditutup dengan cat warna cream. Hanya ada satu set kursi sofa semi kayu. Sederhana.
Di kursi itu duduklah Marni, gadis hitam manis berjilbab kuning berbaju kuning. Ia sedang menemani tamunya, seorang pemuda yang memang masih sangat muda, baru berusia 18 tahun, tapi semangat cintanya sudah setinggi jiwa kepala tiga. Pemuda itu adalah Firman Barayuda.


Meski kedatangannya untuk membayar angsuran kredit sepatu kepada kakak lelakinya Marni, tapi Firman datang dengan penampilan seperti eksekutif muda. Kemeja putih lengan panjang yang ujung bawah baju dimasukkan ke dalam celana panjang hitamnya. Gesper yang melingkar mengkilap pun kian mempersakral pakaiannya. Wajahnya yang bersih tanpa debu dan rambut yang terlihat seolah masih basah, menunjukkan bahwa Firman mandi lebih dulu sebelum berkunjung ke rumah Marni. Aroma harum yang menyengat ke seantero ruangan sangat khas, aroma yang biasa tercium di jalanan saat malam Minggu.

Segelas teh dan setoples biskuit kelapa tersaji di meja kaca di antara kedua muda-mudi itu.

Firman memang jatuh hati kepada Marni, tapi sayang ia harus terjebak oleh kredit sepatu dari kakak gadis yang ditaksirnya. Namun kemudian, alasan bayar angsuran itulah yang ia pakai untuk datang berkunjung tanpa setangkai bunga mawar.

Di salah satu sudut ruangan ada satu lemari kayu sederhana yang menampung sebuah televisi berukuran sedang yang tidak sedang menyala. Sekumpulan buku dan beberapa kitab agama tertata rapi di lemari terbuka tersebut.

Keramaian justru tercipta dari tiga anak kecil yang sedang bermain lego di lantai yang lapang. Seorang anak laki-laki bernama Aan (5 tahun) dan dua anak perempuan bernama Ina (4 tahun) dan Aca (3 tahun). Ina adalah anak yang paling banyak bicara, menunjukkan tingkat kecerdasannya di usia dini. Sementara Aan terkadang berbicara lebih keras dan agak ngotot kepada adik-adiknya. Adapun Aca lebih banyak tertawa tetapi juga lebih banyak merengek.

Kedatangan Firman ke rumah itu, ramahnya Marni dan keceriaan anak-anak yang bermain, bukanlah pokok dari suasana di saat itu. Sebab, saat itu terjadi pertarungan hati dan emosi di antara dua orang wanita di dalam salah satu kamar di rumah besar tapi sederhana tersebut.

Di lantai kamar yang bersih tanpa alas, duduk berhadapan dua wanita seumpama ibu dan anak. Wanita agak gemuk berjilbab biru gelap dan berusia 47 tahun, tidak lain adalah Nurrahmah, ibu dari Abduh dan Marni. Nurrahmah adalah wanita yang beberapa hari lalu telah kehilangan motor karena dibegal oleh seorang pria bersenjata api.

Di hadapannya duduk seorang wanita muda berjilbab pink dengan motif gambar bunga-bunga mawar merah. Serasi dengan warna pink bajunya yang tidak begitu jauh selisih warnanya dengan jilbab besarnya. Cantik. Selain cantik dalam penampilan, gadis itu juga memang cantik dari sisi paras yang berwajah putih bersih tanpa bedak dan gincu. Sepasang mata yang agak lebar tampak indah oleh hiasan alis yang tidak tebal tapi cukup panjang. Ia duduk bersimpuh dengan kedua telapak tangan saling tindih di atas pangkuan. Tampak sebuah cincin emas melingkar indah di jari manis kanannya. Ia bernama Naina Fitrayuni, calon menantu Nurrahmah.

Tampak wajah Nurrahmah tergambar guratan kesedihan. Ia baru saja bercerita tentang musibah yang dialaminya, yang berujung dengan dirampoknya motornya dan meninggalnya seorang pemuda bernama Sando. Naina mendengarkan dengan khusyuk dan serius.

Nurrahmah memang sengaja memanggil khusus tunangan anaknya itu agar datang, sebab ada hal penting dan serius yang ingin ia sampaikan kepada gadis yang ia sukai akhlak dan agamanya tersebut.

“Apakah cerita kejadian itu ada hubungannya dengan saya, Ummi?” tanya Naina dengan lembut. Naina sangat bertanya-tanya. Sebelumnya, calon ibu mertuanya itu mengatakan akan bicara penting terkait dirinya, tapi setelah bertemu wanita gemuk itu justru mengawali dengan cerita pembegalan.

“Iya, Naina. Huhuhu...!” jawab Nurrahmah dengan suara berat, yang kemudian, tiba-tiba  menangis.

“Ummi, kenapa?” tanya Naina terkejut. Segera ia merangsek maju dan memeluk wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri itu.

Nurrahmah segera berusaha berhenti menangis. Naina begitu membuatnya nyaman.

“Ummi minta maaf, Naina. Ummi minta maaf yang sebesar-besarnya. Ummi sangat bersalah kepada Naina,” kata Nurrahmah dengan suara agak serak dan menahan gelombang sedih dan rasa bersalahnya.

“Tidak ada yang harus dimintamaafkan, Ummi. Saya merasa tidak pernah dizalimi sama Ummi selama ini. Jika memang Ummi ingin bicara, utarakan saja. Jika memang Ummi khawatir membuat saya tersinggung, insya Allah saya tidak akan marah sedikit pun, meski itu akan menyakitkan,” kata Naina setelah melepas pelukannya.

Nurrahmah berusaha mengendalikan emosi dan gejolak di dadanya. Sejenak ia menatap lekat wajah cantik di depannya.

“Huk!” Nurrahmah kembali tersentak tubuhnya karena tangisnya mendesak keluar, tapi ia berusaha menahannya sekuat batin.

“Coba Ummi berzikir dulu hingga terasa tenang. Saya akan siap menerima penyampaian Ummi,” kata Naina, tetap lembut.

Akhirnya Nurrahmah memilih menunduk diam, hatinya berzikir untuk menenangkan gejolak perasaannya.

Semenit lebih berlalu. Nurrahmah menarik napas lalu mengucapkan istighfar. Ditatapnya Naina, gadis itu tersenyum kecil tapi menyejukkan mata.

“Perasaan dan pikiran Ummi begitu terbebani dengan meninggalnya pemuda bernama Sando itu. Sebab, karena hendak menolong Ummi, ia justru harus kehilangan nyawa. Yang lebih membuat Ummi sangat iba, pacarnya dalam kondisi hamil sebelum menikah. Jadi....”

Nurrahmah memutuskan kalimatnya ketika hendak mengatakan inti dari pembicaraannya. Naina menunggu dengan sabar, meski sebenarnya jantungnya mulai berdetak tidak teratur.

“Jadi Ummi ingin menyelamatkan pacar pemuda itu dan anaknya. Jadi, Ummi meminta Abduh untuk pergi melamarnya. Jadi....”

Terdiam Naina mendengarnya, seolah tidak terpengaruh oleh ungkapan niat Nurrahmah tersebut. Naina duduk dengan tegar, meski samar senyumnya telah hilang di sudut bibirnya. Namun hakikatnya, berita dari mulut Nurrahmah tersebut sedang berusaha menghancurkan lapisan dinding hati Naina yang memang telah terbekal oleh didikan ilmu dan zikir kepada Allah.

Memang berita itu menghancurkan perasaan Naina. Memang, niatan Nurrahmah itu menyakiti hati Naina. Memang itu menodai jalinan cinta yang terjalin antara Abduh dan Naina, terlebih telah tersimpul dalam status tunangan. Namun, Naina bertahan untuk tidak menunjukkan reaksi terkejut, terlebih sampai harus menangis.

Jika Nurrahmah meminta anaknya yang adalah tunangan Naina untuk pergi melamar mantan pacar Sando, maka akan ada dua kemungkinan. Antara Naina akan dipertahankan dan cintanya diduakan, atau pertunangan yang telah disepakati oleh dua keluarga harus dibatalkan.

Namun, pertanyaan itu segera terjawab oleh lanjutan perkataan Nurrahmah, “Jadi, pertunangan kalian berdua terpaksa Ummi dan Abduh batalkan.”

Kehancuran hati dan terkoyaknya perasaan, ternyata tetap Naina bungkus dengan sehelai senyuman halus. Senyum yang seolah justru ingin menghibur seorang ibu yang duduk di depannya dan sedang menahan rasa ingin menangis.

Ketulusan hati dan perasaan yang terluka, Naina ekspresikan dengan bergerak kembali memeluk tubuh gemuk di depannya.

“Naina terima keputusan Ummi, Naina ikhlas melepas Abang demi menolong wanita lain,” kata Naina lirih di telinga Nurrahmah, sementara tatapannya lurus mencoba menembus tembok kamar.

Nurrahmah kembali menangis. Begitu berat rasa beban yang ditanggung hatinya saat itu.

“Maafkan Ummi, Naina. Ummi sudah berbuat jahat sama kamu. Ummi terpaksa tega mengorbankan wanita baik dan salihah seperti kamu. Ummi juga tidak tahu, semarah apa orangtuamu jika mendengar keputusan Ummi ini,” ujar Nurrahmah di dalam pelukan itu.

“Biar Naina yang bicara kepada mereka dengan baik-baik,” kata Naina kian mengurangi gundah Nurrahmah. “Tapi, Naina masih boleh silaturahmi ke mari kan, Ummi?”

“Tentu, tentu, anakku!” jawab Nurrahmah cepat seraya menarik wajahnya ke belakang dari pelukan Naina. Lalu dengan penuh rasa haru ia mencium pipi kanan dan kiri Naina, juga mengecup keningnya. “Ummi sangat menyayangi kamu, Naina.”

“Agar Ummi bisa lebih tenang perasaannya, lebih baik Ummi salat dua rakaat. Dan Naina izin pamit,” kata Naina.

Tidak ada air yang keluar dari sepasang mata Naina. Gadis cantik itu benar-benar menunjukkan ketegarannya, ketika ia merasa separuh dari nyawanya telah direnggut.

Naina lalu meraih tangan kanan Nurrahmah dan menciumnya. Selanjutnya ia mencium pipi kanan-kiri dan keningnya. Selembar senyuman sejuk ia siramkan ke mata wanita yang kini berstatus mantan calon ibu mertua itu.

“Sampaikan salam Naina untuk Abang, Ummi,” kata Naina.

Gadis itu lalu bergerak berdiri. Sementara Nurrahmah tetap duduk terkulai menjadi orang yang penuh rasa bersalah. Ia hanya mengangguk kecil menjawab titipan lisan Naina.

Assalamu ‘alaikum, Ummi,” ucap Naina lembut.

Wa ‘alaikum salam warahmatullah,” jawab Nurrahmah pelan. Lalu ia pun beristighfar berulang-ulang sebagai wujud rasa bersalahnya.

Naina keluar dari kamar itu. Ia pun mendengar jelas Nurrahmah beristighfar terus-menerus, menyesali keputusan yang harus diambilnya.

“Ummi Naina cantik sudah keluar!” teriak anak perempuan bernama Ina, saat melihat Naina keluar dari kamar.

Teriakan suara bening dan nyaring itu seketika membuyarkan kekalutan pikiran Naina. Seketika pula ia lempar senyum lebar saat melihat Ina bangkit lebih dulu dan berlari pendek ke depannya. Anak lelaki bernama Aan dan adiknya Aca segera bangkit dan datang pula kepada Naina. Ketiganya membawa hasil susunan mainan lego mereka.

“Ummi, Ina buat perahu Nabi Nuh!” kata  Ina setengah berteriak seraya mengangkat tinggi susunan legonya yang memang menyerupai sebuah perahu besar.

“Aca buat istana!” teriak Aca pula tidak mau kalah, menunjukkan susunan lego yang hanya membentuk segitiga piramida.

“Kalau Aan buat benteng Jepang!” Aan tidak kalah jumawanya.

Naina pun tertawa melihat keceriaan dan antusias ketiga anak itu.

“Waaah! Ummi Naina terkejut sekali kalian menjadi insinyur hebat semua. Bagus sekali!” kata Naina penuh gembira. Ia lalu turun berjongkok. “Sebagai hadiah untuk kalian, boleh dong kalau Ummi Naina minta cium pipi?”

Maka dengan semangat dan senang, satu per satu anak kecil itu mencium pipi Naina.

“Sekarang, kalian bongkar lagi lalu buat bangunan yang lain. Setelah selesai, tunjukkan kepada Nenek Baik Hati,” kata Naina yang merujuk pada sebutan anak-anak itu kepada Nurrahmah.

“Ayo ayo ayo!” teriak Aan lalu berbalik pergi kembali ke tempat bermainnya.

“Ayo ayo ayo!” teriak Ina dan Aca pula mengikuti.

Naina bangkit dengan perasaan terhibur. Ia melanjutkan langkahnya menuju pintu, tapi langkahnya terhenti oleh keberadaan Marni yang terkesan berdiri menghadangnya tidak jauh dari pintu. Wajah hitam manisnya menunjukkan kesedihan. Seolah Marni tahu apa yang menimpa Naina saat itu.

Tiba-tiba Marni menangis dan bergerak menubruk peluk tubuh Naina. Hanya tangis yang ia ungkapkan, tanpa kata. Naina dan Marni hanya berselisih usia dua tahun. Keduanya mulai bersahabat dekat sejak Abduh memperkenalkan Naina kepada keluarga besar itu.

“Naina gak apa-apa kok, kenapa nangis sih, Mar?” kata Naina.

Tapi Marni tidak menjawab. Ia begitu erat memeluk Naina. Marni tidak kuasa untuk mengucapkan sepatah kata pun di saat ia menangis.

Marni menangis karena ia tahu apa yang telah ibunya bicarakan kepada Naina. Marni tahu bahwa saat itu sebenarnya Naina lebih menangis di dalam hati. Namun, ia juga tahu bahwa Naina adalah gadis cantik salihah yang kuat menahan emosi.

Tiga usapan belaian Naina berikan di kepala Marni.

“Naina masih akan ke mari kok, Mar. Besok kita jalan, yuk?” kata Naina, menghibur Marni.

Marni akhirnya melepas pelukannya. Lalu ia mengangguk kepada Naina. Ia seka air matanya dengan kain jilbabnya. Namun, ia tetap tidak akan bisa bicara. Jika ia mencoba untuk bicara, maka pasti ia akan menangis lagi.

Sementara itu, Firman yang duduk di kursi tamu, hanya diam menjadi saksi bisu. Hati lelakinya merasa terharu juga, tapi tidak sampai memancingnya untuk ikut-ikutan kucurkan air mata.

Naina lalu melangkah menuju pintu, meninggalkan Marni.

Deg!

Bersamaan dengan tersentaknya jantung Naina, langkahnya pun terhenti. Naina terpaku menatap lurus ke ambang pintu.

Di saat yang bersamaan, melangkah masuk sesosok tubuh yang menyandang tas ransel dan menenteng sebuah helm. Pria itu pun berhenti melangkah saat pandangannya bertemu dengan mata Naina.

Meski akrab, tetapi pertemuan pandangan kali ini membuat Naina sejenak terasa melayang hilang pijakan. Serangkum desiran aneh mengalir di tubuh belakangnya yang membuatnya merinding. Dan satu rasa “nyus” menusuk jantungnya.

Sosok pemuda yang baru masuk dan berdiri diam menatap Naina di dekat pintu adalah Abduh, pemuda yang beberapa menit lalu secara resmi putus status tunangannya dengan Naina.

Meski Naina sering datang, tapi kali ini keberadaan Naina di rumah itu cukup mengejutkan Abduh. Pemuda tampan berambut agak gondrong itu seketika merasakan gelagat buruk. Ia yang baru pulang dari pekerjaannya, tidak tahu tentang rencana ibunya untuk memanggil Naina.

Astaghfirullah, Ummi pasti sudah menyampaikannya,” membatin Abduh dalam keterdiamannya. “Tapi kenapa Naina biasa saja?”

Assalamu ‘alaikum, Abang!” salam Naina seraya lepaskan selembar senyum manis, mempercantik keindahan wajahnya. Kembali Naina menunjukkan kepiawaiannya dalam mengendalikan emosi dan perasaan. Seharusnya, Naina menangis dan langsung memeluk pemuda yang sangat disayanginya itu, pemuda yang seharusnya sebentar lagi menjadi suaminya.

Wa ‘alaikum salam,” jawab Abduh lemah, nyaris tidak terdengar. Wajahnya dingin tanpa senyum. Matanya tidak berkedip menatap Naina.

Saat itu, gejolak batin Abduh sedang berproses mencoba melumpuhkan saraf-saraf kehidupan si pemuda. Dan terbukti, pada akhirnya sepasang mata pemuda itu dilapisi air bening yang menggenang di pinggirannya, seiring munculnya warna kemerahan. Sepasang bibirnya terbuka kecil dan bergetar. Persendian kaki pun tiba-tiba melemah goyah.

Abduh memang seorang lelaki, tetapi di dalam dadanya tetap ada segumpal hati. Uluran tangan Naina kepadanya saat itu sungguh menghancurkan perasaannya. Di jari tangan kanan yang putih lentik terpegang sebuah cincin. Cincin yang beberapa pekan lalu Abduh sematkan ke jari manis Naina sebagai tanda bahwa mereka telah menyimpul ikatan awal untuk menuju akad nikah.

Naina mengulurkan tangannya untuk mengembalikan cincin tunangan miliknya kepada Abduh. Tindakan itu sangat memperjelas apa yang telah terjadi.

“Dengan penuh keikhlasan dan memahami bahwa ini semua atas kehendak Allah, maka cincin tunangan kita, Naina kembalikan kepada Abang,” kata Naina lembut.

“Naina...” sebut Abduh bergetar, seraya ada gelengan samar oleh kepalanya.

“Terimalah, Bang. Naina tahu, Abang mengerti tentang takdir dan Allah Maha Berkehendak,” kata Naina lagi, karena Abduh belum mau mengangkat tangannya untuk menerima cincin itu.

Kata-kata Naina itu membuat Abduh berpikir bahwa ia memang harus bersikap ikhlas dan dewasa dalam menghadapi apa yang telah Allah tetapkan. Maka, tangan kanan Abduh pun perlahan terangkat dengan telapak menadah, siap menerima pemulangan cincin pertunangan itu.

Dan, cincin emas itu pun akhirnya jatuh ke telapak tangan Abduh.

“Semoga Abang bahagia dengan wanita pilihan Ummi. Assalamu ‘alaikum,” ucap Naina seraya tersenyum lembut lalu berlalu melewati Abduh dan melangkah ke luar rumah.

Jatuhlah air mata Abduh tanpa suara dari tepian lingkar matanya. Ia terpaku di tempat dengan bibir bergetar.

Melihat adegan menyedihkan itu, Marni pun kian menangis. Sementara Firman bingung di tempat duduknya.

Naina melangkah pergi meninggalkan rumah yang ternyata di depannya ada depot air PAM. Gadis anggun itu menundukkan wajahnya, tangisnya ingin mendobrak keluar, tapi masih bisa ia tahan. Naina pergi ke sebuah tanah kosong yang hanya berjarak beberapa puluh meter, tempat ia memarkir mobil Honda Freed warna kuningnya.

Ketika ia pergi bersama mobilnya, akhirnya air matanya jatuh jua.

Sementara itu, dari dalam rumah, Abduh muncul berlari dan berusaha menyusul kepergian Naina. 

Namun, Naina telah pergi. Naina pergi dengan status bukan lagi sebagai calon istrinya atau kekasihnya.

Setelah bergerak pelan di jalan gang yang cukup terbatas kelebarannya, mobil Naina keluar ke jalan besar.

Naina tetap berusaha menahan tangisnya, tapi tetap saja air matanya mengalir. Pikirannya kacau dan tidak tenang. Rasa sakit itu begitu ia rasakan di hati, meski ia telah berusaha seikhlas mungkin menyikapi keputusan Nurrahmah.

Hingga sekian belas menit mengemudi, tiba-tiba....

Brakr!

Entah bagaimana, tiba-tiba moncong mobil Naina telah menabrak bagian belakang sebuah truk besar di depannya. Mobilnya ringsek di bagian depan. Kaca depan dan pintu depan pecah.

Tampak darah mengucur dari balik jilbab di sisi atas kepala Naina. Wajah cantik itu mengerenyit kesakitan. Sementara itu, ia merasakan sakit yang tinggi di kaki kirinya yang terjepit.

Di saat itu pula, sopir dan kernet truk turun untuk melihat apa yang terjadi, beberapa warga berlari menghampiri mobil kuning itu, Naina masih bisa meraih ponselnya dan menelepon.

“Kak, Naina kecelakaan nabrak truk di Veteran Barat,” kata Naina di telepon. (RH)



Berlanjut: Tobatnya Sepasang Naga Pemabuk (11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar