Awang Amir Khan (14)

Ilustrasi: bintang Bollywood India, Aamir Khan. (Foto: dok. Ummid)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:
Fastabiqul Khaerat Sepasang Naga Pemabuk (12)
Geng Muslimah Bintang Tujuh (13)

“Wahai saudaraku, muslimin dan muslimat! Kalian semua telah tahu, Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam, saat ini berada di bawah kangkangan kaki-kaki kotor kaum Yahudi laknatullah (yang dilaknat Allah). Al-Quds, tanah wakaf bagi umat Islam kini dijajah oleh Bangsa Kera itu. Pemukim ilegal Yahudi dan para tentaranya selalu menyerbu ke dalam kompleks Masjid Al-Aqsha kapan pun mereka inginkan. Tidak jarang mereka masuk ke dalam masjid dengan sepatu-sepatu kotornya, dengan alasan mengejar pemuda Palestina dan menembakkan gas air mata ke dalam masjid. Ini nyata-nyata penodaan terhadap tempat ibadah suci kita. Ingat, wahai para ikhwan (saudara), Masjid Al-Aqsha bukanlah milik Muslimin di Al-Quds saja, bukanlah milik Muslimin di Palestina saja, tapi milik Muslimin seluruh dunia. Al-Aqsha adalah milik kita, Al-Aqsha haqquna (Al-Aqsha hak kita)!”


Al-Aqsha haqquna!

Orasi Ustaz Omar Harun yang berapi-api di atas podium kayu sederhana berwarna cokelat itu pada akhirnya disambut pekikan “Al-Aqsha haqquna” oleh puluhan ribu jamaah yang memenuhi masjid lantai bawah, lantai kedua, hingga meluber di luar masjid yang duduk di ribuan kursi.

“Hingga kini, otoritas Israel tanpa henti menggali terowongan-terowongan di bawah masjid. Mereka memiliki rencana licik untuk merobohkan Al-Aqsha dengan cara terlihat alami. Ketika pada suatu waktu bom mereka ledakkan dan terjadi gempa, maka mereka berharap masjid suci ketiga umat Islam itu roboh. Dan nantinya mereka akan berdalih bahwa masjid roboh oleh guncangan gempa, padahal merekalah yang telah membuat rongga kosong tepat di bawah masjid. Dan para ikhwan fillah, untuk membuat Muslimin dunia tidak fokus memperhatikan kondisi sekarat Masjid Al-Aqsha, untuk membuat Muslimin internasional lupa akan Al-Aqsha, maka Zionis internasional menciptakan konspirasi global di berbagai negara Muslim. Telah tercipta perang yang menghancurkan Afghanistan dan Irak. Kini Suriah hancur lebur dengan jumlah korban yang jauh lebih dahsyat dari Palestina, Libya pun dikoyak-koyak dengan perang saudara, menyusul perang saudara di Yaman yang juga mengancam Arab Saudi. Selain untuk melemahkan kekuatan muslimin dunia, semuanya juga bertujuan untuk mengalihkan perhatian muslimin terhadap Masjid Al-Aqsha. Sebenarnya tipu daya yang mereka ciptakan laksana belalai gurita atau sarang laba-laba yang hakekatnya adalah lemah. Ingat, lemah. Tapi karena lebih lemahnya kaum muslimin itu sendiri, sehingga konspirasi yang Zionis ciptakan jadi terlihat seolah-olah kuat, seolah-olah tidak mungkin terkalahkan.”

مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا ۖ وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ ۖ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut [29] ayat 41).
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُقَـٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَـٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱلطَّـٰغُوتِ فَقَـٰتِلُوٓاْ أَوۡلِيَآءَ ٱلشَّيۡطَـٰنِۖ إِنَّ كَيۡدَ ٱلشَّيۡطَـٰنِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (QS. An-Nisaa’ [4] ayat 76).

“Muslimin di Palestina dibuat sibuk dalam pertikaian politik antara faksi-faksi yang sulit menyepakati satu kata perjuangan. Muslimin di negara-negara Islam di sekeliling Palestina dibuat sibuk oleh perang saudara dengan isu sekterian dan diikat dengan hubungan diplomatik oleh Israel. Muslimin di negara-negara nun jauh di sana, seperti di Indonesia ini, dibuat sibuk oleh konflik politik memperebutkan kekuasaan dan mempertahankan jabatan, serta dibuat jadi centang perenang di ramainya partai, golongan dan ormas. Kondisi ini sangat jelas membuat muslimin yang jumlahnya luar biasa menjadi umat yang lemah tanpa ada wibawa di mata para musuh-musuh Allah dan Islam. Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya ada di dalam Al-Quran yang selalu terbuka di depan kita sehari-hari.”

وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَعۡضُہُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍۚ إِلَّا تَفۡعَلُوهُ تَكُن فِتۡنَةٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَفَسَادٌ۬ ڪَبِيرٌ۬
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal [8] ayat 73).

“Muslimin yang satu harus menjadi pelindung Muslimin yang lain. Namun, karena faktor kepentingan yang didorong oleh nafsu cinta dunia, itu tidak bisa terwujud. Sehingga, masjid yang menjadi tempat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengimami seluruh nabi dan rasul di malam isra’ dan mi’raj, hanya dijaga oleh para pengurus masjid yang sudah lanjut usianya, para pemuda yang tidak bersenjata, dan para wanita yang hanya bisa bermodal suara teriakan. Tidak ada jalan lain, wahai saudaraku seiman, berjuang dan melaksanakan Islam di bawah satu kepemimpinan Muslimin seluruh dunia adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan Masjid Al-Aqsha. Karena itu adalah sunnatullah yang akan terus berulang. Maka serulah kaum muslimin seluruh dunia untuk bersatu di bawah satu komando ke-amir-an. Sangat banyak yang harus kita persiapkan menjadi matang untuk pembebasan Masjid Al-Aqsha. Dan ini membutuhkan waktu yang panjang, para ikhwan. Bisa jadi berpuluh tahun dan bahkan bisa jadi beratus tahun. Karena waktu perjuangan ini akan lama, maka kewajiban kita untuk melahirkan generasi salih, generasi Qurani yang bertauhid sebagai generasi yang kita harapkan, merekalah yang akan membebaskan Al-Aqsha kelak. Oleh sebab itu, bagi para pemuda, janganlah kalian terhanyut oleh bujuk rayu setan yang menyuguhkan kenikmatan pergaulan bebas dengan orang-orang yang lupa kepada Allah dan agama. Nikahilah gadis-gadis yang beriman, karena Allah telah menentukan aturan yang demikian.”

ٱلزَّانِى لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةً۬ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٌ۬ۚ وَحُرِّمَ ذَٲلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur [24] ayat 3).

“Mari, kita berjihad dengan kemampuan masing-masing dalam upaya pembebasan Masjid Al-Aqsha di bawah satu komando kepemimpinan.”

Ustaz Omar Harun kemudian mengakhir ceramahnya dengan pekikan takbir yang kemudian diikuti oleh puluhan ribu jemaah yang hadir, membuat bulu kuduk mereka berdiri merinding terbakar oleh semangat jihad yang bergolak.

Allaaahuakbar!” pekik Ustaz Omar Harun.

Allaaahuakbar!” pekik ribuan jemaah menyahut.

“Al-Aqsha!” pekik sang ustaz lagi sambil hentakkan kepal tangan kanan ke atas.

Haqquna!” jawab para jemaah.

Suasana pekikan keras puluhan ribu jemaah tablig akbar itu membuat Rina Viona dan sahabat-sahabat cantiknya yang lain, yang duduk dikursi dekat tangga utama sisi depan masjid, merasa merinding. Mereka dan ribuan kaum muslimah yang duduk di luar masjid tidak bisa melihat langsung pembicara di dalam masjid, tapi mereka melihat melalui sebuah monitor besar yang dipasang di tembok luar masjid. Panitia memang memasang beberapa monitor besar di luar masjid agar jemaah yang kebagian tempat di luar masjid bisa melihat para pembicara yang tampil dari pagi hingga menjelang waktu Zuhur nanti.

“Gua merinding,” kata Rina berbisik kepada teman-temannya seraya menyingkap sedikit tangan kanan bajunya, memperlihatkan rambut halus tangannya yang berdiri dengan pori-pori bertonjolan di permukaan kulit putihnya.

“Iya, seperti mau perang saja,” kata Iyut dengan wajah mengerenyit.

“Tapi seru, membakar semangat gua!” timpal Ristana.

“Gua lebih sepakat sama Iis,” kata Novi pula. “Seharusnya ada pasukan drumer. Seharusnya setelah takbir seperti tadi, tabuh genderang berbunyi, tambah terompet perang seperti film India jaman kerajaan mau perang.”

“Eh, lu semua dengar gak tadi, arti ayat terakhir yang ustaz itu baca?” kata Indah.

“Yang mana?” tanya Rina dan Novi bersamaan.

“Yang berzina enggak boleh kawin kecuali sama pezina, terus ...,” kata Indah dengan pandangan mata ke atas menunjukkan ia sedang berpikir mencoba mengingat-ingat.

“Lelaki yang berzina tidak boleh kawin kecuali sama perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini kecuali sama laki-laki yang berzina atau yang musyrik. Itu diharamkan untuk orang-orang yang beriman,” kata Barada menyempurnakan kata-kata Indah.

“Nah itu, intinya. Kak Rani enggak bisa dapat cowok yang beriman,” kata Indah.

“Elu enggak bisa nafsirin sendiri gitu dong, Iwi. Kalau memang enggak bisa, gak mungkin lah Abang Gazza mau bantu nyari cowok yang bagus,” kata Rani. Lalu tanyanya kepada Barada, “Badar, kapan kita ketemu cowok yang mau dikenalin itu?”

Barada tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecut memperlihatkan lesung pipi manisnya seraya angkat bahu.

“Badar kan enggak punya hp, elu telepon aja calon suami elu itu, Rin,” kata Novi.

“Pastilah dia sibuk mengejar narasumber atau membuat berita,” kata Rina. “Coba, Badar, elu yang telepon, kalau Abang Gazza memang masih sibuk, ya terpaksa kita tunggu.”

Rina lalu memberikan ponselnya kepada Barada. Barada pun kemudian menelepon nama Gazza. Barada menunggu sejenak, hingga akhirnya ia menurunkan ponsel dari telinganya.

“Enggak diangkat,” kata Barada. Ia menelepon kembali. Kemudian katanya, “Assalamu ‘alaikum, Daeng!”

Wa ‘alaikum salam. Badar, ya?” jawab suara pemuda di dalam ponsel.

“Nih, para bidadari sudah enggak sabar mau tahu cowok yang Daeng rekomendasikan buat kakaknya Rina,” kata Barada.

“Sampaikan saja permintaan maaf Daeng ke mereka, masalahnya Daeng enggak bisa tinggalin tugas. Bahkan setelah acara ba’da (setelah) salat Zuhur, Daeng ada wawancara khusus dengan tamu dari Inggris. Kamu ajak saja mereka ke stan biro jodoh. Pas di depan stan biro jodoh ada stan buku dan parfum. Pemiliknya bernama Awang Setiawan. Daeng sudah bicara sama dia tadi malam, tanggapannya sudah Daeng kantongi. Kamu ke sana saja, Awang nanti kenal kamu kok, insya Allah. Sudah ya, jangan lupa ketemu Umi sama Puang sebelum pulang. Assalamu ‘alaikum!

Wa ‘alaikum salam,” jawab Barada lalu menurunkan ponsel dari telinganya.

“Apa kata Abang Gazza?” tanya Rina cepat.

“Daeng Gazza mengucapkan permintaan maaf kepada kalian, karena terlalu sibuk jadi tidak bisa bertemu,” jawab Barada.

Tampak ada guratan kekecewaan yang tercipta di wajah Rina.

“Rina pasti mood-nya raib,” kata Indah menggoda seraya tersenyum memandang wajah Rina.

Mereka hanya tertawa kecil.

“Ayo kita ke stan biro jodoh, sebab Daeng Gazza memberi petunjuk seperti itu!” ajak Barada seraya mengembalikan ponsel Rina.

Barada bangkit berdiri dari duduknya.

“Tapi, enggak apa-apa kita tinggalin tempat?” tanya Indah, karena jika mereka pergi berdelapan, maka otomatis mereka akan menjadi perhatian jemaah muslimah yang lainnya.

Insya Allah enggak, kita kan ada perlu. Mungkin ibu-ibu akan bertanya-tanya, anak gadis siapa tuh cantik-cantik, cocok buat anak laki saya. Hahaha!” kata Barada lalu tertawa dengan suara khasnya yang agak serak.

Mereka pun bangkit semua, keluar dari saf kursi kaum muslimah. Memang benar dugaan Barada, mereka pun menjadi pusat perhatian kaum wanita lain karena mereka memang seperti sekumpulan mutiara yang bercahaya, meski pada hakikatnya tidak demikian sehari-harinya. Sebab, dari kedelapan gadis belia itu, hanya Barada dan Rina yang benar-benar menjalani hidupnya sebagai muslimah yang mengerti kewajibannya, seperti salat lima waktu dan menutup aurat.

Untuk sampai ke tujuan, mereka harus meninggalkan kawasan area duduk jemaah tablig dan masuk ke area pasar bazar yang membentang sepanjang jalan depan pondok pesantren tersebut.

“Yang benar? Kita ke biro jodoh?” tanya Novi.

“Bagaimana kalau kita daftar semua ke biro jodoh?” usul Iyut.

“Hahaha!” tertawalah mereka, tapi tidak berani keras-keras, karena itu wilayah ramai yang padat oleh manusia.

“Ngawur!” rutuk Rina sambil tertawa kecil.

“Masalahnya, kalau tidak sekarang, nanti ribuan orang ini akan menyerbu pasar. Sekarang jemaah sedang fokus ke acara,” ujar Barada.

Memang saat itu, meski banyak jemaah yang memilih berbelanja di pasar dari pada fokus mendengarkan ceramah, tapi tidak terlalu ramai, karena sebagaian besar jemaah memilih fokus terlebih dahulu ke acara tablig akbar.

“Kenapa sih di acara begini ada biro jodoh?” tanya Rina.

“Sepengetahuan saya, tujuannya untuk memudahkan para pemuda dan gadis yang menjaga dirinya dari berpacaran agar mendapat pasangan yang baik,” jawab Barada.

“Berarti kakak gua mau elu daftarin di biro jodoh itu, Badar?” tanya Rina lagi.

Barada tertawa kecil, lalu jawabnya, “Enggak.”

“Sepertinya gua belum layak daftar di biro jodoh,” kata Novi.

“Benar, kita juga,” sambung Windi yang berjalan bergandengan dengan Ade Irma.

Mereka yang sedari tadi melalui barisan stan yang menjual berbagai dagangan, dari makanan, minuman, pakaian, hingga produk-produk herbal, akhirnya tiba di depan stan yang memiliki banner bertuliskan “Biro Jodoh Hasanah”. Stan itu dijaga oleh dua orang Muslimah yang duduk di belakang meja. Di atas meja tersedia tumpukan brosur dan kertas yang mirip formulir.

Ketika mereka hendak mengerumuni stan biro jodoh, Barada justru pergi ke stan di seberang jalan, tepat di depan stan biro jodoh. Stan yang didatangi Barada menjual berbagai macam buku hingga kitab Al-Quran dan kitab-kitab tebal lainnya. Stan itu juga menjual berbagai macam parfum, sehingga nyaman jika berada di dekatnya, lantaran aroma wanginya yang memanjakan hidung.

Stan itu dijaga oleh dua orang pemuda dan dikunjungi oleh tiga orang lelaki yang sedang melihat-lihat di rak buku dan meja yang dipenuhi tumpukan berbagai buku.

Pemuda pertama penjaga stan adalah seorang remaja dengan usia 14 tahun. Ia memakai kaos putih lengan panjang yang memiliki sablonan tulisan berbunyi “Sedekah = Hakikat Hartamu”. Ia memakai peci putih yang menutupi kepala botaknya.

Pemuda kedua penjaga stan itu adalah seorang pemuda berkulit putih dengan sepasang mata bulat agak lebar. Memiliki sepasang alis yang tebal. Rambutnya ditutup dengan peci rajutan warna biru terang. Dagunya memiliki jenggot pendek yang agak lebat.  Ia mengenakan baju koko hitam yang agak ketat, sehingga tubuh kekarnya cukup tergambar. Celananya pun hitam. Ia tampan meski ada warna hitam di jidatnya sebagai tanda bekas sujud.

Ketika kedua penjaga stan itu memandang Barada, gadis manis itu membungkuk menghormat seperti orang Jepang kepada keduanya.

Assalamu ‘alaikum!” salam Barada.

Wa ‘alaikum salam!” jawab mereka, termasuk tiga pembeli yang ada di stan sederhana itu.

Melihat Barada justru berada di stan buku dan minyak wangi, Rina dan yang lainnya segera ikut berkumpul di sana.

“Badar, ya?” terka pemuda berkoko hitam seraya tersenyum kepada Barada.

“Betul. Bang Awang Setiawan?” jawab Barada tersenyum lalu balik menerka.

“Iya,” jawab pemuda itu lalu berdiri dari duduknya, sehingga terlihat ketinggian tubuhnya.

Melihat sosok pemuda yang bernama Awang Setiawan, Indah seketika teringat kepada seseorang, karenanya ia segera berbisik kepada Novi yang berdiri di sisinya, “Amir Khan!”

Novi jadi tersenyum seraya mengangguk membenarkan.

Benar, wajah dan postur tubuh Awang yang agak pendek tapi kekar, mirip sosok superstar Bollywood India, yaitu Amir Khan.

Sekilas Awang memandang kepada para gadis cantik-cantik yang bersama Barada. Ketika memandang wajah Rina, Awang berhenti sejenak.

“Maaf, Ukhti (saudara perempuanku yang seiman) yang bernama Rani?” tanya Awang kepada Rina, karena Awang sebelumnya telah ditunjukkan foto Rani yang memang mirip dengan Rina.

“Oh, bu... bukan,” jawab Rina agak tergagap. “Gua, eh saya, adiknya. Nama saya Rina.”

“Hahaha!” meledaklah tawa para gadis yang lain mendengar jawaban Rina. Rina seketika menyikut perut Iyut seraya tersenyum malu.

Gadis-gadis itu tertawa karena mendengar Rina mengganti kata “gua” yang biasa dipakainya menjadi “saya”.

“Oh iya,” ucap Awang seraya tersenyum. Lalu ia beralih fokus kepada Barada. “Gazza sudah bicara cukup banyak sama ana (saya) tadi malam. Sikap ana sudah ana sampaikan kepada Gazza. Nanti beliau yang menyampaikan kepada kakaknya ukhti Rina. Jadi ana tidak mau jabarkan lagi kepada kalian. Jika kalian ingin mengenal ana sekilas, ya seperti inilah ana, hanya seorang pedagang seperti ini di perantauan.”

Awang berbicara sambil lebih banyak memandang ke area lain. Tampak bahasa tubuhnya menunjukkan ia seolah-olah tidak berani memandang lama-lama wajah para gadis di depannya, termasuk Barada.

“Iya, senang bisa mengenal Abang Awang. Ini teman-teman saya, satu sekolah. Ini pertama kali mereka ke sini,” kata Barada.

Alhamdulillah,” ucap Awang.

“Saya rasa cukup, Bang. Jazakallahu khairan (semoga Allah membalasmu lebih baik). Saya mau kembali ke taklim,” kata Barada.

“Eh, entar dulu, Badar!” kata Indah cepat. “Mumpung lagi sepi nih, siapa tahu di antara kita masih ada yang belum wangi.”

“Iya, mungkin ada buku resep cari jodoh 24 jam,” sahut Ade Irma pula.

“Oh, ya udah, kalau cari saya hingga sebelum salat Zuhur, di kursi tadi ya,” kata Barada kepada teman-temannya. “Tapi ingat, jangan genit!”

“Hahaha!” mereka hanya tertawa.

Barada lalu membungkuk hormat kepada Awang, membuat pemuda itu hanya tersenyum. Sebelumnya ia sudah mendapat cerita dari Gazza bahwa Barada memiliki adat khusus ojigi, yaitu menghormat kepada orang lain dengan cara membungkuk, seperti adat Jepang.

Assalamu ‘alaikum!

Wa ‘alaikum salam,” jawab Awang.

Ade Irma, Windi dan Iyut sudah bergerak ke sekitar buku yang dijual.

“Lihat-lihat boleh kan, Bang?” tanya Indah kepada Awang.

“Silakan, silakan, semoga ada yang cocok!” jawab Awang penuh ramah.

“Ada aroma mawar yang lembut gak, Bang?” tanya Rina.

“Ada.” (RH)



Berlanjut: Mencari Jawaban Zina (15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar