Ilustrasi: bintang Bollywood India, Aamir Khan. (Foto: dok. Ummid) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Fastabiqul Khaerat Sepasang Naga Pemabuk (12)
Geng Muslimah Bintang Tujuh (13)
“Wahai saudaraku, muslimin
dan muslimat! Kalian semua telah tahu, Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat
Islam, saat ini berada di bawah kangkangan kaki-kaki kotor kaum Yahudi laknatullah
(yang dilaknat Allah). Al-Quds, tanah wakaf bagi umat Islam kini dijajah oleh
Bangsa Kera itu. Pemukim ilegal Yahudi dan para tentaranya selalu menyerbu ke
dalam kompleks Masjid Al-Aqsha kapan pun mereka inginkan. Tidak jarang mereka
masuk ke dalam masjid dengan sepatu-sepatu kotornya, dengan alasan mengejar
pemuda Palestina dan menembakkan gas air mata ke dalam masjid. Ini nyata-nyata
penodaan terhadap tempat ibadah suci kita. Ingat, wahai para ikhwan
(saudara), Masjid Al-Aqsha bukanlah milik Muslimin di Al-Quds saja, bukanlah
milik Muslimin di Palestina saja, tapi milik Muslimin seluruh dunia. Al-Aqsha
adalah milik kita, Al-Aqsha haqquna (Al-Aqsha hak kita)!”
“Al-Aqsha haqquna!”
Orasi Ustaz Omar Harun yang
berapi-api di atas podium kayu sederhana berwarna cokelat itu pada akhirnya
disambut pekikan “Al-Aqsha haqquna” oleh puluhan ribu jamaah yang
memenuhi masjid lantai bawah, lantai kedua, hingga meluber di luar masjid yang
duduk di ribuan kursi.
“Hingga kini, otoritas
Israel tanpa henti menggali terowongan-terowongan di bawah masjid. Mereka
memiliki rencana licik untuk merobohkan Al-Aqsha dengan cara terlihat alami.
Ketika pada suatu waktu bom mereka ledakkan dan terjadi gempa, maka mereka
berharap masjid suci ketiga umat Islam itu roboh. Dan nantinya mereka akan
berdalih bahwa masjid roboh oleh guncangan gempa, padahal merekalah yang telah
membuat rongga kosong tepat di bawah masjid. Dan para ikhwan fillah,
untuk membuat Muslimin dunia tidak fokus memperhatikan kondisi sekarat Masjid
Al-Aqsha, untuk membuat Muslimin internasional lupa akan Al-Aqsha, maka Zionis
internasional menciptakan konspirasi global di berbagai negara Muslim. Telah
tercipta perang yang menghancurkan Afghanistan dan Irak. Kini Suriah hancur
lebur dengan jumlah korban yang jauh lebih dahsyat dari Palestina, Libya pun
dikoyak-koyak dengan perang saudara, menyusul perang saudara di Yaman yang juga
mengancam Arab Saudi. Selain untuk melemahkan kekuatan muslimin dunia, semuanya
juga bertujuan untuk mengalihkan perhatian muslimin terhadap Masjid Al-Aqsha.
Sebenarnya tipu daya yang mereka ciptakan laksana belalai gurita atau sarang
laba-laba yang hakekatnya adalah lemah. Ingat, lemah. Tapi karena lebih
lemahnya kaum muslimin itu sendiri, sehingga konspirasi yang Zionis ciptakan
jadi terlihat seolah-olah kuat, seolah-olah tidak mungkin terkalahkan.”
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ
كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا ۖ وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ
لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ ۖ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Perumpamaan
orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti
laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah
rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut [29] ayat 41).
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُقَـٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ يُقَـٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱلطَّـٰغُوتِ فَقَـٰتِلُوٓاْ أَوۡلِيَآءَ ٱلشَّيۡطَـٰنِۖ
إِنَّ كَيۡدَ ٱلشَّيۡطَـٰنِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman
berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut,
sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan
itu adalah lemah.” (QS. An-Nisaa’ [4] ayat 76).
“Muslimin di Palestina
dibuat sibuk dalam pertikaian politik antara faksi-faksi yang sulit menyepakati
satu kata perjuangan. Muslimin di negara-negara Islam di sekeliling Palestina
dibuat sibuk oleh perang saudara dengan isu sekterian dan diikat dengan
hubungan diplomatik oleh Israel. Muslimin di negara-negara nun jauh di sana,
seperti di Indonesia ini, dibuat sibuk oleh konflik politik memperebutkan
kekuasaan dan mempertahankan jabatan, serta dibuat jadi centang perenang di
ramainya partai, golongan dan ormas. Kondisi ini sangat jelas membuat muslimin
yang jumlahnya luar biasa menjadi umat yang lemah tanpa ada wibawa di mata para
musuh-musuh Allah dan Islam. Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya ada di dalam
Al-Quran yang selalu terbuka di depan kita sehari-hari.”
وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَعۡضُہُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍۚ إِلَّا تَفۡعَلُوهُ
تَكُن فِتۡنَةٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَفَسَادٌ۬ ڪَبِيرٌ۬
“Adapun orang-orang yang
kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu
(hai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu,
niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS.
Al-Anfal [8] ayat 73).
“Muslimin yang satu harus
menjadi pelindung Muslimin yang lain. Namun, karena faktor kepentingan yang
didorong oleh nafsu cinta dunia, itu tidak bisa terwujud. Sehingga, masjid yang
menjadi tempat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengimami seluruh
nabi dan rasul di malam isra’ dan mi’raj, hanya dijaga oleh para
pengurus masjid yang sudah lanjut usianya, para pemuda yang tidak bersenjata,
dan para wanita yang hanya bisa bermodal suara teriakan. Tidak ada jalan lain,
wahai saudaraku seiman, berjuang dan melaksanakan Islam di bawah satu
kepemimpinan Muslimin seluruh dunia adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan
Masjid Al-Aqsha. Karena itu adalah sunnatullah yang akan terus berulang.
Maka serulah kaum muslimin seluruh dunia untuk bersatu di bawah satu komando
ke-amir-an. Sangat banyak yang harus kita persiapkan menjadi matang
untuk pembebasan Masjid Al-Aqsha. Dan ini membutuhkan waktu yang panjang, para ikhwan.
Bisa jadi berpuluh tahun dan bahkan bisa jadi beratus tahun. Karena waktu
perjuangan ini akan lama, maka kewajiban kita untuk melahirkan generasi salih,
generasi Qurani yang bertauhid sebagai generasi yang kita harapkan, merekalah
yang akan membebaskan Al-Aqsha kelak. Oleh sebab itu, bagi para pemuda,
janganlah kalian terhanyut oleh bujuk rayu setan yang menyuguhkan kenikmatan
pergaulan bebas dengan orang-orang yang lupa kepada Allah dan agama. Nikahilah
gadis-gadis yang beriman, karena Allah telah menentukan aturan yang demikian.”
ٱلزَّانِى لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةً۬ وَٱلزَّانِيَةُ
لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٌ۬ۚ وَحُرِّمَ ذَٲلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina
tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik.
Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
beriman.” (QS. An-Nuur [24] ayat 3).
“Mari, kita berjihad dengan
kemampuan masing-masing dalam upaya pembebasan Masjid Al-Aqsha di bawah satu
komando kepemimpinan.”
Ustaz Omar Harun kemudian
mengakhir ceramahnya dengan pekikan takbir yang kemudian diikuti oleh puluhan
ribu jemaah yang hadir, membuat bulu kuduk mereka berdiri merinding terbakar
oleh semangat jihad yang bergolak.
“Allaaahuakbar!”
pekik Ustaz Omar Harun.
“Allaaahuakbar!”
pekik ribuan jemaah menyahut.
“Al-Aqsha!” pekik sang ustaz
lagi sambil hentakkan kepal tangan kanan ke atas.
“Haqquna!” jawab para
jemaah.
Suasana pekikan keras
puluhan ribu jemaah tablig akbar itu membuat Rina Viona dan sahabat-sahabat
cantiknya yang lain, yang duduk dikursi dekat tangga utama sisi depan masjid,
merasa merinding. Mereka dan ribuan kaum muslimah yang duduk di luar masjid
tidak bisa melihat langsung pembicara di dalam masjid, tapi mereka melihat
melalui sebuah monitor besar yang dipasang di tembok luar masjid. Panitia
memang memasang beberapa monitor besar di luar masjid agar jemaah yang kebagian
tempat di luar masjid bisa melihat para pembicara yang tampil dari pagi hingga
menjelang waktu Zuhur nanti.
“Gua merinding,” kata Rina
berbisik kepada teman-temannya seraya menyingkap sedikit tangan kanan bajunya,
memperlihatkan rambut halus tangannya yang berdiri dengan pori-pori bertonjolan
di permukaan kulit putihnya.
“Iya, seperti mau perang
saja,” kata Iyut dengan wajah mengerenyit.
“Tapi seru, membakar
semangat gua!” timpal Ristana.
“Gua lebih sepakat sama
Iis,” kata Novi pula. “Seharusnya ada pasukan drumer. Seharusnya setelah takbir
seperti tadi, tabuh genderang berbunyi, tambah terompet perang seperti film
India jaman kerajaan mau perang.”
“Eh, lu semua dengar gak
tadi, arti ayat terakhir yang ustaz itu baca?” kata Indah.
“Yang mana?” tanya Rina dan
Novi bersamaan.
“Yang berzina enggak boleh
kawin kecuali sama pezina, terus ...,” kata Indah dengan pandangan mata ke atas
menunjukkan ia sedang berpikir mencoba mengingat-ingat.
“Lelaki yang berzina tidak
boleh kawin kecuali sama perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik.
Dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini kecuali sama laki-laki yang
berzina atau yang musyrik. Itu diharamkan untuk orang-orang yang beriman,” kata
Barada menyempurnakan kata-kata Indah.
“Nah itu, intinya. Kak Rani
enggak bisa dapat cowok yang beriman,” kata Indah.
“Elu enggak bisa nafsirin
sendiri gitu dong, Iwi. Kalau memang enggak bisa, gak mungkin lah Abang Gazza
mau bantu nyari cowok yang bagus,” kata Rani. Lalu tanyanya kepada Barada,
“Badar, kapan kita ketemu cowok yang mau dikenalin itu?”
Barada tidak menjawab, ia
hanya tersenyum kecut memperlihatkan lesung pipi manisnya seraya angkat bahu.
“Badar kan enggak punya hp,
elu telepon aja calon suami elu itu, Rin,” kata Novi.
“Pastilah dia sibuk mengejar
narasumber atau membuat berita,” kata Rina. “Coba, Badar, elu yang telepon,
kalau Abang Gazza memang masih sibuk, ya terpaksa kita tunggu.”
Rina lalu memberikan
ponselnya kepada Barada. Barada pun kemudian menelepon nama Gazza. Barada
menunggu sejenak, hingga akhirnya ia menurunkan ponsel dari telinganya.
“Enggak diangkat,” kata
Barada. Ia menelepon kembali. Kemudian katanya, “Assalamu ‘alaikum,
Daeng!”
“Wa ‘alaikum salam.
Badar, ya?” jawab suara pemuda di dalam ponsel.
“Nih, para bidadari sudah
enggak sabar mau tahu cowok yang Daeng rekomendasikan buat kakaknya Rina,” kata
Barada.
“Sampaikan saja permintaan
maaf Daeng ke mereka, masalahnya Daeng enggak bisa tinggalin tugas. Bahkan
setelah acara ba’da (setelah) salat Zuhur, Daeng ada wawancara khusus
dengan tamu dari Inggris. Kamu ajak saja mereka ke stan biro jodoh. Pas di
depan stan biro jodoh ada stan buku dan parfum. Pemiliknya bernama Awang
Setiawan. Daeng sudah bicara sama dia tadi malam, tanggapannya sudah Daeng
kantongi. Kamu ke sana saja, Awang nanti kenal kamu kok, insya Allah.
Sudah ya, jangan lupa ketemu Umi sama Puang sebelum pulang. Assalamu
‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam,”
jawab Barada lalu menurunkan ponsel dari telinganya.
“Apa kata Abang Gazza?”
tanya Rina cepat.
“Daeng Gazza mengucapkan
permintaan maaf kepada kalian, karena terlalu sibuk jadi tidak bisa bertemu,”
jawab Barada.
Tampak ada guratan
kekecewaan yang tercipta di wajah Rina.
“Rina pasti mood-nya
raib,” kata Indah menggoda seraya tersenyum memandang wajah Rina.
Mereka hanya tertawa kecil.
“Ayo kita ke stan biro
jodoh, sebab Daeng Gazza memberi petunjuk seperti itu!” ajak Barada seraya
mengembalikan ponsel Rina.
Barada bangkit berdiri dari
duduknya.
“Tapi, enggak apa-apa kita
tinggalin tempat?” tanya Indah, karena jika mereka pergi berdelapan, maka
otomatis mereka akan menjadi perhatian jemaah muslimah yang lainnya.
“Insya Allah enggak,
kita kan ada perlu. Mungkin ibu-ibu akan bertanya-tanya, anak gadis siapa tuh
cantik-cantik, cocok buat anak laki saya. Hahaha!” kata Barada lalu tertawa
dengan suara khasnya yang agak serak.
Mereka pun bangkit semua,
keluar dari saf kursi kaum muslimah. Memang benar dugaan Barada, mereka pun
menjadi pusat perhatian kaum wanita lain karena mereka memang seperti
sekumpulan mutiara yang bercahaya, meski pada hakikatnya tidak demikian
sehari-harinya. Sebab, dari kedelapan gadis belia itu, hanya Barada dan Rina
yang benar-benar menjalani hidupnya sebagai muslimah yang mengerti
kewajibannya, seperti salat lima waktu dan menutup aurat.
Untuk sampai ke tujuan,
mereka harus meninggalkan kawasan area duduk jemaah tablig dan masuk ke area
pasar bazar yang membentang sepanjang jalan depan pondok pesantren tersebut.
“Yang benar? Kita ke biro
jodoh?” tanya Novi.
“Bagaimana kalau kita daftar
semua ke biro jodoh?” usul Iyut.
“Hahaha!” tertawalah mereka,
tapi tidak berani keras-keras, karena itu wilayah ramai yang padat oleh
manusia.
“Ngawur!” rutuk Rina sambil
tertawa kecil.
“Masalahnya, kalau tidak
sekarang, nanti ribuan orang ini akan menyerbu pasar. Sekarang jemaah sedang
fokus ke acara,” ujar Barada.
Memang saat itu, meski
banyak jemaah yang memilih berbelanja di pasar dari pada fokus mendengarkan
ceramah, tapi tidak terlalu ramai, karena sebagaian besar jemaah memilih fokus
terlebih dahulu ke acara tablig akbar.
“Kenapa sih di acara begini
ada biro jodoh?” tanya Rina.
“Sepengetahuan saya,
tujuannya untuk memudahkan para pemuda dan gadis yang menjaga dirinya dari
berpacaran agar mendapat pasangan yang baik,” jawab Barada.
“Berarti kakak gua mau elu
daftarin di biro jodoh itu, Badar?” tanya Rina lagi.
Barada tertawa kecil, lalu
jawabnya, “Enggak.”
“Sepertinya gua belum layak
daftar di biro jodoh,” kata Novi.
“Benar, kita juga,” sambung
Windi yang berjalan bergandengan dengan Ade Irma.
Mereka yang sedari tadi
melalui barisan stan yang menjual berbagai dagangan, dari makanan, minuman,
pakaian, hingga produk-produk herbal, akhirnya tiba di depan stan yang memiliki
banner bertuliskan “Biro Jodoh Hasanah”. Stan itu dijaga oleh dua orang
Muslimah yang duduk di belakang meja. Di atas meja tersedia tumpukan brosur dan
kertas yang mirip formulir.
Ketika mereka hendak
mengerumuni stan biro jodoh, Barada justru pergi ke stan di seberang jalan,
tepat di depan stan biro jodoh. Stan yang didatangi Barada menjual berbagai
macam buku hingga kitab Al-Quran dan kitab-kitab tebal lainnya. Stan itu juga
menjual berbagai macam parfum, sehingga nyaman jika berada di dekatnya,
lantaran aroma wanginya yang memanjakan hidung.
Stan itu dijaga oleh dua
orang pemuda dan dikunjungi oleh tiga orang lelaki yang sedang melihat-lihat di
rak buku dan meja yang dipenuhi tumpukan berbagai buku.
Pemuda pertama penjaga stan
adalah seorang remaja dengan usia 14 tahun. Ia memakai kaos putih lengan panjang
yang memiliki sablonan tulisan berbunyi “Sedekah = Hakikat Hartamu”. Ia memakai
peci putih yang menutupi kepala botaknya.
Pemuda kedua penjaga stan
itu adalah seorang pemuda berkulit putih dengan sepasang mata bulat agak lebar.
Memiliki sepasang alis yang tebal. Rambutnya ditutup dengan peci rajutan warna
biru terang. Dagunya memiliki jenggot pendek yang agak lebat. Ia mengenakan baju koko hitam yang agak
ketat, sehingga tubuh kekarnya cukup tergambar. Celananya pun hitam. Ia tampan
meski ada warna hitam di jidatnya sebagai tanda bekas sujud.
Ketika kedua penjaga stan
itu memandang Barada, gadis manis itu membungkuk menghormat seperti orang
Jepang kepada keduanya.
“Assalamu ‘alaikum!”
salam Barada.
“Wa ‘alaikum salam!”
jawab mereka, termasuk tiga pembeli yang ada di stan sederhana itu.
Melihat Barada justru berada
di stan buku dan minyak wangi, Rina dan yang lainnya segera ikut berkumpul di
sana.
“Badar, ya?” terka pemuda
berkoko hitam seraya tersenyum kepada Barada.
“Betul. Bang Awang
Setiawan?” jawab Barada tersenyum lalu balik menerka.
“Iya,” jawab pemuda itu lalu
berdiri dari duduknya, sehingga terlihat ketinggian tubuhnya.
Melihat sosok pemuda yang
bernama Awang Setiawan, Indah seketika teringat kepada seseorang, karenanya ia
segera berbisik kepada Novi yang berdiri di sisinya, “Amir Khan!”
Novi jadi tersenyum seraya
mengangguk membenarkan.
Benar, wajah dan postur
tubuh Awang yang agak pendek tapi kekar, mirip sosok superstar Bollywood
India, yaitu Amir Khan.
Sekilas Awang memandang
kepada para gadis cantik-cantik yang bersama Barada. Ketika memandang wajah
Rina, Awang berhenti sejenak.
“Maaf, Ukhti (saudara
perempuanku yang seiman) yang bernama Rani?” tanya Awang kepada Rina, karena
Awang sebelumnya telah ditunjukkan foto Rani yang memang mirip dengan Rina.
“Oh, bu... bukan,” jawab
Rina agak tergagap. “Gua, eh saya, adiknya. Nama saya Rina.”
“Hahaha!” meledaklah tawa
para gadis yang lain mendengar jawaban Rina. Rina seketika menyikut perut Iyut
seraya tersenyum malu.
Gadis-gadis itu tertawa
karena mendengar Rina mengganti kata “gua” yang biasa dipakainya menjadi
“saya”.
“Oh iya,” ucap Awang seraya
tersenyum. Lalu ia beralih fokus kepada Barada. “Gazza sudah bicara cukup
banyak sama ana (saya) tadi malam. Sikap ana sudah ana
sampaikan kepada Gazza. Nanti beliau yang menyampaikan kepada kakaknya ukhti
Rina. Jadi ana tidak mau jabarkan lagi kepada kalian. Jika kalian ingin
mengenal ana sekilas, ya seperti inilah ana, hanya seorang
pedagang seperti ini di perantauan.”
Awang berbicara sambil lebih
banyak memandang ke area lain. Tampak bahasa tubuhnya menunjukkan ia
seolah-olah tidak berani memandang lama-lama wajah para gadis di depannya,
termasuk Barada.
“Iya, senang bisa mengenal
Abang Awang. Ini teman-teman saya, satu sekolah. Ini pertama kali mereka ke
sini,” kata Barada.
“Alhamdulillah,” ucap
Awang.
“Saya rasa cukup, Bang. Jazakallahu
khairan (semoga Allah membalasmu lebih baik). Saya mau kembali ke taklim,”
kata Barada.
“Eh, entar dulu, Badar!”
kata Indah cepat. “Mumpung lagi sepi nih, siapa tahu di antara kita masih ada
yang belum wangi.”
“Iya, mungkin ada buku resep
cari jodoh 24 jam,” sahut Ade Irma pula.
“Oh, ya udah, kalau cari
saya hingga sebelum salat Zuhur, di kursi tadi ya,” kata Barada kepada
teman-temannya. “Tapi ingat, jangan genit!”
“Hahaha!” mereka hanya
tertawa.
Barada lalu membungkuk
hormat kepada Awang, membuat pemuda itu hanya tersenyum. Sebelumnya ia sudah
mendapat cerita dari Gazza bahwa Barada memiliki adat khusus ojigi,
yaitu menghormat kepada orang lain dengan cara membungkuk, seperti adat Jepang.
“Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam,”
jawab Awang.
Ade Irma, Windi dan Iyut
sudah bergerak ke sekitar buku yang dijual.
“Lihat-lihat boleh kan,
Bang?” tanya Indah kepada Awang.
“Silakan, silakan, semoga ada
yang cocok!” jawab Awang penuh ramah.
“Ada aroma mawar yang lembut
gak, Bang?” tanya Rina.
“Ada.” (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar