Ilustrasi |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Fastabiqul Khaerat Sepasang Naga Pemabuk (12)
Geng Muslimah Bintang Tujuh (13)
Awang membelokkan motor yang ditungganginya ke jalan sempit yang diapit oleh aliran got besar dan dinding-dinding rumah penduduk. Meski merasakan lelah sepulang dari usahanya di tablig akbar, ia tetap harus pergi ke rumah seorang ustaz, karena sudah janji bertemu pascaisya.
Hanya beberapa puluh meter menyusuri jalan itu, Awang sudah sampai di depan sebuah rumah tembok berlantai dua sederhana yang didominasi warna hijau. Terasnya yang kecil hanya cukup untuk parkir beberapa motor. Tepat di depan rumah ada sebuah jembatan kecil di atas got besar.
Awang memperbaiki parkir motornya dan membuka helm merahnya.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Awang agak keras.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab satu suara lelaki dari dalam rumah yang pintu depannya masih tertutup, seolah pemilik rumah memang sudah menunggu kedatangan Awang.
Ketika pintu dibuka dan tampaklah seorang pria separuh baya, bersarung hijau berkoko putih. Wajahnya putih bersih bercahaya dengan rambut dan jenggot yang tersisir rapi. Ada tanda hitam bekas sujud di dahinya.
Awang langsung lemparkan senyum kepada pria agak gemuk itu.
Pria itu adalah Drs. Syamsuddin Ahmad, MM. Ia biasa dipanggil dengan sebutan “Ustaz Syamsuddin”.
Ustaz Syamsuddin membuka pintu gerbang teralis rumahnya. Awang masuk dan menjabat tangan beliau lalu saling tempel pipi kanan dan kiri. Begitu akrab.
Keduanya memang begitu akrab. Bagi Awang, Ustaz Syamsuddin adalah seorang guru sekaligus orangtua. Ia sering kali bertanya masalah agama kepada Ustaz Syamsuddin. Ulama yang satu ini memang terkenal kuat dalam mendakwahkan dan melaksanakan ajaran Islam yang benar-benar sesuai Al-Quran dan Sunnah, pantang takut harus berseberangan dengan adat atau budaya masyarakat umum.
Sebenarnya keduanya hadir pada acara tablig akbar tadi pagi di Cileungsi, Bogor, tapi kondisi di sana tidak memungkinkan bagi Awang yang ingin berkonsultasi serius.
Tampak di dalam terlihat istri Ustaz Syamsuddin yang berjilbab putih sibuk dengan seterikaannya.
Di meja sudah terhidang sekumpulan air gelas dan setoples kue kering.
“Ini, Ustaz,” kata Awang sambil menyodorkan dua botol minyak wangi ukuran tanggung. “Kasturi kijang.”
“Jazakallahu khairan!” ucap Ustaz Syamsuddin.
“Allahumma amin,” jawab Awang.
Setelah berbincang sedikit basa dan basi, Awang pun akhirnya masuk ke tahap konsultasinya. Ia menceritakan tentang kisah Rani tanpa menyebutkan nama atau tentang bahwa ia mendapat tawaran dari Gazza.
“Jadi gadis ini sehari-harinya tidak pernah salat sehingga ia berzina. Dan setelah musibah kematian pria yang menghamilinya, ia sudah bertobat melaksanakan salat, Ustaz,” ujar Awang.
“Masalah tidak pernah salat, secara hukum berdosa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian hal yang kedua, bahwasanya dia berdosa pula dalam hal berzina, yakni melakukan perbuatan hubungan badan di luar dari pernikahan. Jika dia bertobat dari meninggalkan salat, sebenarnya secara hukum syar’i harus mendapatkan hukuman fisik di dalam Islam di hadapan ulil amri (pemimpin Muslim). Namun, dalam hal ini, wanita yang sudah bertobat, kemudian melaksanakan salat sebagaimana pelaksanaan dalam syariat Islam, maka tentulah tobatnya insya Allah diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyangkut masalah hamil di luar nikah. Apabila wanita ini ingin dinikahkan, dengan laki-laki, baik dengan yang melakukan zina dengan dia, maupun yang bukan, karena dalam hal ini, laki-laki yang berzina dengan dia sudah meninggal dunia, yang sebenarnya di dalam Al-Quran, dalam Surah An-Nuur ayat yang ke-3, bahwasanya orang-orang yang beriman tidaklah pantas ia menikah, kecuali dengan orang yang beriman, dan orang yang berzina tidaklah pantas menikahi kecuali dengan orang yang berzina dengan dia. Kemudian, wujud tobat wanita ini setelah ia ditinggal mati oleh lelaki yang menghamilinya, pertama dia harus menunggu dulu sampai melahirkan bayinya. Dalam syariat Islam, tidak boleh orang yang dalam keadaan hamil, baik itu hamil secara sah oleh suaminya lalu diceraikan, kemudian dia mau menikah dengan orang lain dengan cara menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahimnya, maka itu tidak boleh, karena suaminya lebih berhak untuk kembali atau rujuk kepadanya. Terlebih dalam masalah gadis ini. Sekiranya laki-laki yang menghamilinya masih hidup, maka dia pun harus menunggu sampai bayi itu lahir, barulah dinikahi setelah proses tahkim atau hukuman dilangsungkan,” jawab Ustaz Syamsuddin agak panjang. “Ayo disambi, Wang!”
“Iya, Ustaz,” angguk Awang lalu menusuk gelas airnya dengan sedotan. “Lalu bagaimana teknis tahapan tobat dari zina bagi perempuan ini, Ustaz?”
“Setelah wanita ini melahirkan anaknya, kemudian dalam jangka tertentu sampai dia cukup kuat setelah selesai masa nifas, minimal kurang lebih 40 hari, maka seorang ibu biasanya sudah sedikit pulih kesehatannya dari melahirkan. Maka wanita ini pun harus menjalani hukum jilid, yaitu hukum sebagaimana dalam Surah An-Nuur ayat ke-2, hukum jilid ini yaitu hukum cambuk sebanyak 100 kali. Kemudian langkah kedua, setelah melakukan hukum jilid, maka barulah dia menjadi wanita yang bertobat, yang bersih dari perkara zina tadi.”
“Bagaimana kalau ada beberapa orang laki-laki, seorang mukmin, yang melamarnya di masa hamilnya?” tanya Awang.
“Para fuqaha mengatakan, apabila kehamilan itu atau terutama perceraian, antara suami dan istri, talaq ba’in, talak yang tidak memungkinkan suami itu kembali. Dalam kasus itu ditinggal mati, atau perceraian suami istri yang terjadi talak tiga, maka seorang wanita boleh menerima lamaran seorang laki-laki lain, tapi dengan cara siir (tidak boleh lamaran ini di umumkan secara luas). Barulah nanti setelah ia selesai dari melahirkan dan hukumannya, barulah diumumkan bahwa ia telah mendapat khitbah (lamaran) dari seorang laki-laki.”
“Lantas, bagaimana status anaknya, Ustaz?”
“Anak hasil dari perzinaan atau bukan dari zina, sang anak ini tidak tahu menahu tentang perilaku kedua orangtuanya. Apa yang dilakukan oleh orangtuanya adalah dosa bagi keduanya dan anak tidak menanggung beban dosa. Maka secara khusus anak yang lahir tanpa bapak dari hasil zina ini dipanggil dengan nama “bin ibunya” kalau dia lelaki, dan “binti ibunya” kalau dia perempuan. Jadi anak ini dalam keadaan bersih. Tiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah (suci).”
“Kapan tandanya bahwa tobatnya diterima, Ustaz?” tanya Awang.
“Tanda di sini ditunjukkan terlaksananya hukum jilid. Itu adalah tanda pertama bahwa mereka boleh menikah. Status orang yang berzina setelah itu, baik dengan orang yang berzina dengannya atau lelaki lain, maka orang ini secara hukum syar’i harus menanggung juga, yaitu harus dibuang ke luar daerah selama dua tahun. Setelah itu barulah keduanya boleh kembali ke kampung halaman tempat mereka berasal atau tempat mereka melakukan perbuatannya, tempat mereka melakukan pernikahannya.”
“Apakah dosa zinanya saja yang bersih atau termasuk dosa yang lain, Ustaz?” tanya Awang lagi.
“Karena wanita ini sudah berkedudukan sebagai wanita muslim, maka dalam hal ini, untuk dosa-dosa yang lain, belum, kecuali dia memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas dosa-dosa yang lainnya. Dosa salat kemudian dia melaksanakan salat, dosa zina kemudian dia melaksanakan hukum jilid dan pengasingan. Maka secara syariah ia sudah bersih dari dosa-dosanya. Berbeda dengan orang yang semula semata-mata tidak beragama Islam. Seberapa banyak pun dosanya, dengan ia taslim, masuk Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat, maka secara syar’i dihapuskan pula seluruh dosa-dosa masa jahiliyahnya.”
Demikianlah hasil dari konsultasi Awang kepada Ustaz Syamsuddin Ahmad. Tak lama setelah itu, Awang pun berpamitan.
Setibanya dikontrakannya di kawasan Tomang, Jakarta Barat, Awang tidak berhenti mencari petunjuk. Ia buka laptopnya dan mengakses internet. Ia buka YouTube dan mencari video dengan kata kunci “hukum menikahi wanita hamil karena zina”. Muncullah beberapa video pilihan, salah satunya adalah ustaz muda Abdurrahman Al-Amiry.
“Saat ini kita ingin membahas satu pertanyaan yang masuk dalam pesan inbox halaman facebook Abdurrahman Al-Amiry. Pertanyaan ini sangat penting sekali. Mohon diperhatikan, terutama untuk para pemuda dan pemudi. Di sini masuk pesannya. Assalamu ‘alaikum, Ustaz. Apa hukumnya nikah dengan perempuan yang lagi hamil karena zina. Apakah boleh atau tidak, Ustaz? Mohon penjelasannya. Terima kasih,” kata Ustaz Abdurrahman saat membaca pertanyaan di dalam video. Lalu lanjutnya, “Wa ‘alaikum salam untuk penanya. Sebelum membahas ini, hamil karena berzina, kita harus tahu dulu apa hukum menikahi wanita yang berzina. Ini dulu yang pertama. Perlu diketahui, bahwasanya menikahi wanita yang berzina itu enggak boleh, haram, enggak boleh. Jadi kalau ada wanita yang berzina, jangan nikah sama dia, jangan nikah sama dia, karena enggak boleh. Kenapa enggak boleh? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarangnya. Allah berfirman,
ٱلزَّانِى لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةً۬ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٌ۬ۚ وَحُرِّمَ ذَٲلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
Adapun lelaki yang berzina, maka enggak boleh dinikahi kecuali oleh wanita pezina pula, wanita yang sama-sama berzina, wanita pezina yang lain, atau wanita yang musyrik. Dan begitu pula wanita yang berzina, dia tidak boleh dinikahi kecuali oleh orang yang berzina pula atau laki-laki musyrik. Dan orang-orang mukmin diharamkan untuk menikahi para pezina. Enggak boleh, jadi itu yang pertama. Kalau ditanya, bagaimana, Ustaz, kalau dia sudah bertobat? Kalau dia sudah bertobat, nah di sini permasalahannya. Jika dia sudah bertobat, maka dia boleh dinikahi. Misalnya ada seorang yang dulunya dia berzina, istilahnya dulu dia punya perbuatan tidak bagus, tapi jatuh ke dalam fahisya, berzina, ketika dia sudah bertobat, maka boleh. Kenapa? Dan hal itu yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qudama rahimahullah dengan dalil, kata Rasul Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, orang yang telah bertobat dari dosanya yang lama, maka seakan-akan dia tidak memiliki dosa lagi. Nah itu dia. Kalau orang yang sudah bertobat, enggak bisa kita jelek-jelekkan lagi, enggak boleh kita hina dia, enggak boleh kita kucilkan, kalau dia sudah bertobat, kita terima. Itu boleh untuk dinikahi. Kalau ada wanita yang berzina dulunya, kemudian dia bertobat, bagus orangnya, maka dia boleh dinikahi. Sekarang, kalau dia hamil, bagaimana, Ustaz? Nah ini dia. Wanita yang hamil tidak boleh dinikahi. Kenapa alasannya? Alasannya itu karena wanita yang berzina itu masih dalam masa iddah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَٱلۡمُطَلَّقَـٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَـٰثَةَ قُرُوٓءٍ۬ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِۚ وَبُعُولَتُہُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٲلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَـٰحً۬اۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِى عَلَيۡہِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡہِنَّ دَرَجَةٌ۬ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang hamil, masa iddahnya, dia tidak boleh dinikahi, sampai dia itu melahirkan. Kalau dia belum lahir, enggak boleh dinikahi, karena dia masih masa iddah. Terlebih, itu adalah anak orang lain, janinnya orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang laki-laki yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menyiramkan air maninya di ladang orang lain’. Maksudnya di janin orang lain. Kalau di perut ada janin orang lain, enggak boleh, enggak halal, begitu. Jadi itu yang kita ketahui, wallahu ta’ala a‘lam. Semoga bermamfaat, jadi hati-hati. Oh iya, kemudian, anaknya, semisalnya sudah lahir. Lelaki yang menzinai perempuan tersebut, semisal mau nikah, keduanya rida, setelah lahiran, anaknya tetap dinasabkan kepada ibunya, bukan ke bapaknya yang menzinai. Ingat, maka hati-hati dari zina, malu dia. Itu buruknya zina seperti itu. Jadi jangan sampai, karena rusak nasab itu. Jangan sampai kita, para pemuda, terjatuh dalam perbuatan keji.”
Usai video itu, Awang memutuskan untuk menonton satu video lagi, video ustaz kondang yang beberapa tahun ini sering muncul di berbagai layar kaca, yaitu Buya Yahya.
“Orang hamil di luar nikah mau menikah. Mungkin maksud pertanyaannya begitu. Permasalahan ini bukan permasalahan sah dan tidak sahnya nikah, tapi ada hukum lain yang perlu dibahas. Kami ingatkan kepada para asatid (ustaz) yang biasa ditanya masalah ini, jangan buru-buru dijawab permasalahannya terlebih dahulu. Kalau memang ada kejadian, yang perlu disentuh adalah kesadaran seorang wanita yang terjerumus dalam zina, dia mau tobat atau tidak. Kalau belum kita beri solusi, tapi ternyata, habis melahirkan zina lagi. Bahkan, barangkali pertolongan yang diberi semacam dukungan bagi perzinaannya. Padahal hukumnya sederhana di dalam fikih itu. Di dalam Al-Quran disebutkan, jika wanita itu hamil maka masa penantiannya untuk iddah itu adalah kalau sudah melahirkan. Maka, seorang wanita yang hamil tidak boleh dinikahkan. Cuma wanita apa ini? Di dalam Al-Quran disebutkan adalah wanita yang bersuami. Namun, jika wanita tidak bersuami, tidak masuk dalam bab ini, cuman dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Di dalam menurut jumhur ulama, perzinaan itu tidak dianggap karena hina, jadi tidak akan merubah apa pun. Jadi nasab tidak akan nyambung kepada bapak yang menzinai. Sehingga kehamilan di luar nikah seolah-olah tidak ada bapaknya. Karena tidak ada bapak, maka wanita yang lagi hamil boleh dinikahkan. Ini menurut jumhur ulama seperti Imam Abu Hanifa, Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i radhiyallahu anhum. Adapun, menurut mazhab Imam Ahmad bin Hambali bahwa ini adalah umum, semua yang hamil tidak boleh dinikahkan kecuali sudah melahirkan. Cuman, kalau kita memberikan solusi kepada kejadian yang sesungguhnya harus hati-hati. Ini yang pertama.”
Awang mengeklik tanda pause di video hingga berhenti. Ia terdiam berpikir seraya memandang sudut kamar 4 x 3 meternya. Tampak di kasur tanpa ranjang telah tertidur seorang remaja laki-laki 14 tahun. Ia adalah keponakan Awang.
Tak berapa lama, Awang melanjutkan videonya.
“Zina adalah busuk dan hina. Yang namanya zina adalah sebab kehinaan. Ketahuilah, kalau ada aib, aibnya zina itu tidak sama dengan aibnya maksiat yang lainnya. Kalau ada orang suka mabuk, kemudian tobat, maka orang akan bisa merasa bangga. Dulu mah pemabuk, tapi sekarang, masya Allah. Tapi kalau urusan zina, yang namanya aib itu akan nempel di jidat anak keturunannya, tapi kenapa orang tidak takut dengan itu semua. Itu di dunia, belum lagi di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kehinaan ini luar biasa. Semoga Allah mengampuni semua orang yang terjerumus di dalam zina. Jangan sampai mendekati zina, begitu kotornya zina, bukan zinanya langsung yang dilarang oleh Allah di dalam Al-Quran, tapi mendekati zina dengan cara taaruf yang dizalimi. Taaruf itu kan bahasa Arab, dikira Al-Quran, haditsnya Nabi, ta’arrafu, salinglah engkau berkenalan, pacaran. Itu kan program orang-orang di luar Islam. Makanya kalau anak-anak kita kalau ikut program pacaran berarti ikut rombongannya orang di luar Islam. Nah, ini yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam zina. Apa pun bentuknya, kok tiba-tiba di masyarakat kita terjadi yang namanya perzinaan, maka hukumnya zina hina. Setelah itu adalah kewajiban kita bersama bil khusus para ustaz untuk menolong orang yang terjerumus itu untuk menjadi orang yang mulia. Gimana cara menolongnya? Ajari dia untuk menyesal. Yang kedua tutup aibnya. Cara menutup aib ini harus diajari. Makanya yang harus kita upayakan, agar tidak bercerita kepada siapa pun. Kadang ini masya Allah. Kalau kita katakan bodoh, dia juga sarjana kadang-kadang. Karena memang urusan zina urusan hawa nafsu, gak pandang orang cerdas atau orang pintar. Nafsunya yang nungganginya, sehingga orang berzina. Nah, kalau orang yang terjerumus demikian itu, harus kita arahkan kepada kemuliaan. Kalau sudah terlanjur hamil di luar nikah, masya Allah. Yuk kita ajari mereka untuk bisa menutup aibnya. Katakan, jangan kau bercerita kepada siapa pun, karena manusia tidak akan memberi maaf, yang memberi maaf itu Allah. Maka aib zina itu ditutup. Lalu bagaimana solusinya? Tentunya ada solusi. Apakah dia harus dinikahkan dengan orang yang menghamilinya? Jangan langsung begitu dong prosesnya.”
Pada kalimat itu, Awang menegakkan punggungnya, lepas dari sandaran. Perhatiannya lebih ia seriuskan.
“Iya kalau yang menghamilinya orang baik. Kalau yang menghamilinya orang yang kerjanya zina dan sengaja menjerat wanita tersebut untuk bisa dinikahi? Berarti kalau kita menikahkan wanita ini dengan lelaki tersebut, berarti kita menjerumuskan wanita tersebut kepada kehinaan. Terlebih laki-laki tersebut pezina, pemabuk, tidak salat, akankah kita menikahkan wanita dengan laki-laki itu? Kalau kita memaksa menikahkan, berarti kita masuk ke dalam kazaliman kepada orang lain. Lalu bagaimana? Kalau dia memang orang jahat gak benar, jangan bolehkan menikah dengan dia, dong. Lalu bagaimana dengan anaknya? Oh, itu masalah lain. Baru ini tugas. Bagaimana anak ini, tanpa harus menikah dengan dia, tapi tetap dalam posisi terhormat. Bisa saja, mungkin ya, harus kita ajak pindah atau hijrah ke tempat yang lain. Kan bisa kita setting. Jika ada yang menikahi lain, ini pembahasan lain. Jika dia laki-laki baik, baik kok berzina? Mungkin dia kepeleset karena mungkin nakalnya anak perempuan itu, sehingga terjadi kehamilan. Kalau kasusnya begitu, ya lain cerita. Tapi karena kebodohan si orang tua itu, ngaji enggak, kenal ulama enggak, giliran anaknya hamil di luar nikah, dikejar lelaki itu. (Katanya) kau yang berbuat kau yang bertanggung jawab. Bodoh nih. Kata laki-laki itu, ‘Nah dapat, kemarin kau kulamar tidak boleh, dengan begini mah tokcer resep saya’. Ketawa itu laki-laki. Ini harus diselesaikan dengan cara yang baik, tolong anak-anak kita. Jadi mendidik anak itu bukan hanya di saat sekolah, tapi mendidik anak itu mulai sebelum lahir, saat lahir, saat dewasa, sampai anak melanggar, orang tua harus ikut campur mendidik anak. Beri solusi yang baik untuk dia. Solusi yang bagaimana? Tidak usah beranda-andai, karena ini tidak ingin terjadi pada kita. Harus ada solusi, berkonsultasi kepada orang yang mengerti. Intinya satu, bagaimana agar aib ini tertutupi, sampai orang kampung tidak tahu kalau dia berzina. Sampai anaknya sendiri tidak mengerti kalau ibunya berzina. Kemudian masalah menikahkan. Tinggal tujuannya. Kalau tujuannya untuk menutup aib, ya bolehlah. Tapi ingat, kalau yang menikahinya lelaki yang menghamilinya, kemudian sempat merawat perutnya selama enam bulan, maka nasab anaknya langsung nyambung kepadanya secara otomatis. Tapi kalau baru tiga bulan lahir, meskipun lelaki itu adalah suami ibunya di saat ia lahir, karena bayi tidak pernah dirawat di dalam perut sang isteri lebih dari enam bulan, maka nasab anaknya tidak bisa nyambung. Biar pun dari air maninya. Tidak nyambung, tidak bisa saling mewarisi. Masalah mahram sih iya, karena anak isterinya, dan tidak bisa menjadi wali. Kalau yang menikahinya bukan lelaki yang menghamilinya, kalau ternyata orang yang menikahi wanita tersebut kemudian sempat setelah dikumpuli, baru enam bulan lebih kok lahir, maka nasab bayi ini nyambung kepada bapak yang menikahi, biarpun bukan dari air maninya. Ini problem loh, bukan air maninya nasabnya kok nyambung. Akan tetapi jika tidak sampai enam bulan lahir, maka tidak nyambung nasabnya. Mungkin ada bapak yang menyadari anaknya mulai hamil, tiba-tiba dinikahkan. Yang menikahi sempat merawat delapan atau tujuh bulan, maka otomatis nasabnya nyambung dengan yang menikahi ibunya. Tapi ini bermasalah, lah dia bukan dari air maninya. Dan kenapa wanita dihukumi semacam ini? Berarti gak adil dong, kasihan dong wanita menanggung beban seorang diri. Permasalahannya adalah, urusan nasab harus jelas. Sebab yang mau berzina sekali, mungkin akan mau berzina dua dan tiga kali. Yang mau dengan laki-laki satu, dan tidak takut kepada Allah, tidak mustahil bisa dengan dua, tiga atau empat lelaki. Ini adalah wanita hina rendah, kalau tidak segera kembali kepada Allah, ya begitu kerjaannya, hanya mencari laki-laki dan itu busuk. Dan dia yang punya kandungan di dalam perutnya tidak bisa dipastikan ini punya si A, karena mungkin dia dengan yang lainnya atau dengan yang lainnya. Meski dia berkata, saya tidak dengan yang lainnya hanya dengan si dia. Apa pun bentuknya, hukum seperti ini, agar wanita berhati-hati. Kenapa hukuman ditekankan kepada wanita, semua sebab jangan dianggap laki-laki. Ini semua bermula dari wanita sendiri, dimulai dari membuka auratnya, kemudian mau diajak berduaan, ini dari wanita. Kalau wanita itu menjaga diri, laki-laki itu bingung. Pemerkosaan terjadi sedikit sekali. Kalau kasus pemerkosaan di dalam Islam, kasusnya sama, tapi suaminya dibunuh itu, laki-lakinya dihukum. Jangan mengatakan tidak adil. Ada seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan sampai hamil, ya jangan dinikahkan dong. Jika dinikahkan bermasalah, musibah. Lalu bagaimana? Kita cari solusi, agar wanita ini tertutup aibnya. Lalu yang laki-laki bagaimana? Enak saja dia berbuat begitu. Kalau di dalam hukum Islam sedangkan dia punya isteri, bisa dirajam. Kalau tidak (punya isteri) dihukum cambuk karena dia memperkosa. Bahkan kalau memperkosa, bisa saja masuk bab orang yang boleh dipotong kedua tangan dan kedua kakinya. Bahkan ada yang boleh dibunuh menurut sebagian ulama, karena dia membuat kezaliman yang semacam ini. Ini adalah hukuman, kalau Islam itu tegak, adil, indah.”
Sampai di situ, Awang menghentikan videonya, meski masih tersisa sekitar enam menit lagi durasinya. Sepertinya Awang telah memiliki kesimpulan. Terlebih rasa lelah dan kantuk telah menguasai dirinya. (RH)
Berlanjut: Ketika Si Tomboy Berhijab (16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar