Ilustrasi |
Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Kaki kanan Lidya sudah menginjak
landasan hampa saat Marli melihat ke arahnya. Tubuh Lidya pun bergerak miring
perlahan menuju posisi luncuran.
Posisi Marli yang cukup pas, bisa
membuatnya langsung bertolak berlari, lalu melompat seiring jatuhnya tubuh
Lidya. Lompatan kucing Marli mendarat tepat di bibir atap gedung. Separuh badan
Marli keluar batas.
Tap!
Berhasil. Marli berhasil menangkap
pergelangan tangan Lidya. Namun, upaya penyelamatan itu belum berhasil, sebab
tangkapan itu justru membuat tubuh Marli ikut tertarik ke bawah.
“Lai ...!” pekik Arya terkejut dan
cepat berlari ke pinggir.
Setibanya di pinggir, Arya melongok.
Dilihatnya Marli bergantung dengan satu tangan di pinggiran atap. Sementara
tangan kanan kanannya menahan tangan Lidya agar tidak lepas sehingga bisa jatuh
ke bawah.
Lidya tidak menjerit lagi. Ia sudah
tidak sadarkan diri. Sementara di bawah sana, suasana begitu sepi.
“Anbi! Cepat tarik saya!” teriak Marli
yang mulai kelelahan bergantung dengan satu tangan, ditambah beban yang
beratnya hampir dua kali lipat berat badannya.
Zerzzz!
Ketika Arya menyentuh lengan kanannya
dengan tangan kiri, tiba-tiba tubuhnya diselimuti oleh sinar kuning api. Sinar
yang memercik itu keluar dari bawah telapak kaki lalu naik menyelimuti seluruh
tubuh. Hal itu terjadi sangat singkat, hanya sekejap.
Usai itu, lenyaplah sosok Arya Kalanbi.
Kini yang berdiri di atap itu adalah sosok pemuda tampan berambut kaku
lancip-lancip berwarna putih semua. Tubuhnya tinggi besar tidak berbaju,
memperlihatkan dada yang bidang, perut berotot kotak-kotak, lengan besar
berlekuk-lekuk, dan berleher beton. Pemuda besar bertubuh kekar itu mengenakan
celana merah dengan sabuk dari tali berwarna kuning. Sepatunya berwarna hitam
bertali sampai ke betis turut mengikat ujung celana.
Sosok itu adalah tokoh Harzai yang bernama Sov, jelmaan Arya
Kalanbi. Dengan memiliki Permata Harzai, Arya bisa merubah sosoknya menjadi
Harzai seperti yang tampil sekarang ini.
Sososk Sov lalu bergerak meraih tangan
Marli. Tenaganya yang besar, membuat Sov dengan mudah menarik beban dua tubuh perempuan
itu ke atas. Sebentar saja, Marli sudah berhasil naik. Sov ambil alih menarik
tubuh Lidya.
Perubahan sosok Arya Kalanbi ke sosok
Sov, tidak membuat Marli terkejut, seolah ia sudah kenal sosok aneh itu.
“Padahal, saya pernah mimpi jadi pacar
dia,” kata Sov dengan suara Arya.
“Memang kamu kenal dia?” tanya Marli
seraya pergi duduk ke kursi semen.
“Tidak, kan hanya mimpi. Sayang betul
jika orang cantik harus mati.”
“Sudah, baringkan di situ saja, nanti
juga bangun sendiri. Untung tidak ada yang melihat,” kata Marli seraya
hempaskan napas kelegaan.
Sov lalu membaringkan tubuh Lidya
begitu saja di lantai atap bersiram cahaya matahari. Kejap berikutnya, Sov
telah malih rupa kembali menjadi sosok Arya Kalanbi lengkap dengan seragamnya
tanpa kurang satu apa pun. Arya menatap sejenak wajah Lidya yang terpejam.
“Hei! Jangan mikir jorok!” hardik Marli
yang mengejutkan Arya.
Arya jadi salah tingkah dituding
seperti itu. Ia hanya menyengir kuda sambil garuk kepala yang tidak gatal. Akhirnya
ia memilih memungut kantong plastik yang berisi gorengan hangat. Kemudian ia
duduk berhadapan dengan Marli di kursi batu. Marli meraih kantong itu dan
mengambil satu gorengan.
“Kamu kenal dia, Lai?” tanya Arya
kepada Marli.
“Namanya Lidya, primadonanya 11B.
Hidupnya sumpek oleh masalah. Makanya, dia mau tenang dengan cara mati.”
“Allah masih sayang sama dia, Lai. Kita
datang tepat waktu. Jam segini seharusnya kita ada di kelas, tapi Allah
mengatur semuanya, Lai,” kata Arya.
“Benar itu, Pak Ustaz,” kata Marli
mengangguk, membuat Arya jadi tertawa kecil disebut “Pak Ustaz”.
Marli dan Arya seharusnya memang berada
di kelas pada jam itu. Sehubungan karena guru biologi tidak masuk, Marli dan
Arya memilih pergi bersantai di markas besar tongkrongan mereka, yaitu di
tempat itu. Padahal, tugas guru biologi digantikan oleh Ibu Daniya, guru
biologi kelas 11.
Marli Sisilia, Arya Kalanbi dan
Baharuddin adalah tiga sahabat yang menamakan dirinya Hunter Z. Biasanya mereka
bertiga. Namun pada hari ini, Baharuddin absen.
“Nanti pulang kamu jenguk Udin Goplax,
saya mau urus Lidya,” kata Marli.
“Sebaiknya serahkan saja ke Dewan Guru,
Lai,” saran Arya.
“Saya rasa masalah Lidya terlalu buruk
untuk dipublikasikan ke kalangan para guru. Masalahnya terlalu komplit.”
Marli lalu mengeluarkan selembar uang
seratus ribuan dari dompet kecilnya. Uang itu ia berikan kepada Arya.
“Lebihnya buat kamu,” kata Marli.
Marli adalah orang yang royal
memberikan uang untuk keperluan teman-temannya. Uang yang diberikan kepada Arya
bermaksud membelikan buah tangan untuk Baharuddin yang sedang sakit.
Marli segera menghampiri tubuh Lidya
ketika melihatnya mulai bergerak siuman. Marli menepuk-nepuk pipi gadis itu.
Lidya membuka matanya. Wajah pertama yang dilihatnya adalah wajah cantik Marli,
selanjutnya wajah Arya di belakang kepala Marli. Sadar dirinya belum mati,
meledaklah tangis Lidya.
“Saya mau mati! Saya mau mati menyusul
Alvin!” ratap Lidya.
Pak!
Satu tamparan keras diberikan oleh
Marli ke wajah Lidya. Sontak Lidya terdiam sesegukan.
“Kamu kira gampang mau mati?!” bentak
Marli keras. “Ayo bangun!”
Marli menarik bangun tangan Lidya.
Lidya hanya menurut, tapi tetap menangis.
“Kalau kamu minta mati lagi, saya
lempar kamu ke bawah!” ancam Marli. Lalu katanya kepada Arya, “Bi, tolong air
minum.”
Tanpa ba bi bu lagi, Arya bergegas
menuju tangga. Ia harus turun ke kantin untuk minta air minum.
“Nih, makan!” Marli sodorkan plastik
gorengannya.
Sambil sesegukan, Lidya mengambil satu
gorengan lalu memakannya.
“Siapa pacar kamu?” tanya Marli.
“Alvin.”
“Oh ya, saya kenal mukanya. Kenapa
dia?”
“Ditembak polisi.”
“Narkoba?”
Lidya menjawab dengan anggukan.
“Memang sudah telat?”
“Iya.”
“Berapa bulan?”
“Tiga.”
“Alvin tahu kamu sudah ngisi?”
“Tahu.”
“Siapa lagi?”
“Kamu.”
“Saya beruntung dong,” kata Marli lalu
tertawa kecil. “Kamu juga beruntung, bakal punya anak di usia muda.”
Perkataan Marli itu membuat Lidya
berhenti mengunyah dan menatap gadis cantik di depannya. Lima hitungan terdiam,
meledak kembali tangis Lidya, sehingga gorengan di mulutnya berjatuhan. Marli
membuka kedua tangannya, menawarkan pelukan pelipu lara. Lidya pun
menenggelamkan tangisnya dalam pelukan Marli.
Marli berkata demikian bukan berarti
Marli tidak memahami perasaan Lidya yang remuk hancur lebur seperti botol
dilindas buldoser. Marli hanya bermaksud menghibur dengan sedikit candaan yang
nyatanya gagal.
“Tenangkan dirimu. Setiap manusia
pernah mengalami saat-saat masa krisis pijakan dan pegangan. Jangan memilih
mati, itu hal terbodoh yang akan pernah dipilih oleh manusia,” bisik Marli di
belakang kepala Lidya, mencoba menenangkan. “Jika kamu tidak sanggup melalui
ini seorang diri, maka ajaklah saya untuk membantumu lewati masa-masa burukmu.”
Lidya melepaskan pelukannya. Tangisnya
mulai reda.
“Saya punya sahabat, punya orang-orang
terdekat, tapi semuanya jauh bagi saya meski mereka ada di sekitar saya.
Keluargaku keluarga berantakan, semua berjalan masing-masing. Hanya satu orang
yang baik kepada saya, Mar ....”
“Siapa?” tanya Marli memotong.
“Bibi saya. Bibi begitu baik kepada
saya. Dari kecil sampai sekarang dia membiayai sekolah saya. Ia begitu
memperhatikan saya. Kebanyakan saya tumbuh besar bersama Bibi. Tapi, kalau saya
terus hidup, sasya sama saja akan melempar wajah bibi saya dengan kotoran
hewan. Saya hanya parasit busuk, Mar!”
“Kamu terlalu berpikiran negatif. Saya
rasa tidak seburuk itu,” hibur Marli.
“Enggak, saya terlalu buruk, Mar.
sampai-sampai malaikat maut tidak mau menerima kematian saya.”
“Itu pasti cuma perasaan kamu yang
berlebihan. Saya yakin, bibi kamu tidak pernah meminta sesuatu yang berlebihan
dari kamu. Jika yang lainnya kamu anggap telah tidak berarti dalam hidup kamu,
setidaknya ada sesuatu yang harus kamu pertahankan untuk tidak kamu sia-siakan,
yaitu perasaan bibi kamu. Mengetahui kondisi kamu yang sudah tercebur, jelas
satu pukulan telak bagi bibi kamu. Tapi itu akan menjadi tikaman yang lebih
menyakitkan bila bibi kamu mengetahui hal yang lebih buruk lagi. Orang yang
salah jalan, masih memiliki kesempatan untuk kembali ke jalan yang lurus selagi
raganya masih bernapas. Bagimu bunuh diri adalah akhir dari penderitaanmu. Dan
itulah egoisnya kamu. Bunuh dirimu akan jadi beban besar bagi banyak orang.
Kita ini terlalu lemah, tidak mampu menalar hal-hal yang tersembunyi dari
kehidupan kita ....”
“Air dataaang!” teriak Arya yang muncul
dari tangga dengan senyum jenakanya. Ia membawa segelas besar air putih,
lengkap dengan penutup gelasnya.
“Namanya Arya Kalanbi. Dia mengaku
pernah mimpi jadi pacarmu,” kata Marli.
“Wuahahaha!” teriak Arya lalu tertawa
malu. “Itukan hanya mimpi, hahaha. Jadi malu pakai dikenalkan, seperti bintang
jatuh saja, hahaha!”
Namun, Lidya tidak tertawa ataupun
tersenyum dengan sikap salah tingkah Arya. Justru Marli yang tertawa melihat
sikap dingin yang diberikan Lidya.
Habis. Air putih segelas besar itu
habis seketika diminum oleh Lidya.
“Alhamdulillah.
Tidak sia-sia saya lari-lari naik turun tangga ambil air,” ucap Arya mencoba
menghibur. Lalu katanya serius, “Aduh, Eneng! Jangan bunuh diri, jangan ....
Kalau karena cinta yang bocor, Abang siap jadi penambal lubang. Kalau karena
cinta diambil orang, Abang siap jadi serepnya. Kalau karena banyak utang, Abang
jelas tidak bisa bayarkan.”
Tersedak napas Lidya hendak tertawa
oleh ulah Arya. Arya dan Marli jadi tertawa.
“Sehubung karena kamu masih labil, jadi
untuk hari ini dan beberapa hari ke depan, kamu jadi urusan saya. Ikuti
instruktur dan arahan saya. Oke?” kata Marli serius kepada Lidya.
Lidya mengangguk.
“Bersihkan wajahmu. Saya antar ke wali
kelas untuk izin pulang. Setelah itu, ikuti saja saya. Oke?” kata Marli lagi.
“Oke,” Lidya setuju.
“Mbi, ini adalah aib, jadi jangan
sampai bocor dan luber ke mana-mana,” kata Marli kepada sahabatnya. “Yaaa,
berharaplah, semoga Lidya mau memilihmu jadi pengganti Alvin-nya yang mati.”
“Hah?!” pekik Arya terkejut, mendelik
serius memandang kedua siswi itu. “Alvin anak pengusaha furnitur itu sudah
mati? Yang katanya pengedar itu?”
“Kamu tahu dari mana kalau Alvin
mengedar?” tanya Marli.
“Ujang saja beli ganja ke Alvin. Sudah
rahasia umum bagi pelajar di sini,” kata Arya.
“Alvin memang pengedar,” kata Lidya
membenarkan. “Kalian berdua sedang apa di atas sini?”
“Ini adalah markas Hunter Z. Hunter Z
ada tiga personel, yaitu saya, Arya dan Udin Goplax. Udin sedang sakit
meriang. Setiap pagi, istirahat, jam
kosong, bahkan terkadang jam pulang, kami bersantai dan bermusyawarah di sini,”
jelas Marli. “Ayo kita izin pulang!”
Marli menarik pergi tangan Lidya yang
hanya menurut, meninggalkan Arya yang duduk mengunyah gorengan. (RH)
Berlanjut: Prajurit Tiong Hua di Pesantren (3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar