Persahabatan Dua Gadis SMA (2)

Ilustrasi

Novel: Ratu Suku Lix
Tahun 2017

Bab Sebelumnya:


Kaki kanan Lidya sudah menginjak landasan hampa saat Marli melihat ke arahnya. Tubuh Lidya pun bergerak miring perlahan menuju posisi luncuran.


Posisi Marli yang cukup pas, bisa membuatnya langsung bertolak berlari, lalu melompat seiring jatuhnya tubuh Lidya. Lompatan kucing Marli mendarat tepat di bibir atap gedung. Separuh badan Marli keluar batas.

Tap!

Berhasil. Marli berhasil menangkap pergelangan tangan Lidya. Namun, upaya penyelamatan itu belum berhasil, sebab tangkapan itu justru membuat tubuh Marli ikut tertarik ke bawah.

“Lai ...!” pekik Arya terkejut dan cepat berlari ke pinggir.

Setibanya di pinggir, Arya melongok. Dilihatnya Marli bergantung dengan satu tangan di pinggiran atap. Sementara tangan kanan kanannya menahan tangan Lidya agar tidak lepas sehingga bisa jatuh ke bawah.

Lidya tidak menjerit lagi. Ia sudah tidak sadarkan diri. Sementara di bawah sana, suasana begitu sepi.
“Anbi! Cepat tarik saya!” teriak Marli yang mulai kelelahan bergantung dengan satu tangan, ditambah beban yang beratnya hampir dua kali lipat berat badannya.

Zerzzz!

Ketika Arya menyentuh lengan kanannya dengan tangan kiri, tiba-tiba tubuhnya diselimuti oleh sinar kuning api. Sinar yang memercik itu keluar dari bawah telapak kaki lalu naik menyelimuti seluruh tubuh. Hal itu terjadi sangat singkat, hanya sekejap.

Usai itu, lenyaplah sosok Arya Kalanbi. Kini yang berdiri di atap itu adalah sosok pemuda tampan berambut kaku lancip-lancip berwarna putih semua. Tubuhnya tinggi besar tidak berbaju, memperlihatkan dada yang bidang, perut berotot kotak-kotak, lengan besar berlekuk-lekuk, dan berleher beton. Pemuda besar bertubuh kekar itu mengenakan celana merah dengan sabuk dari tali berwarna kuning. Sepatunya berwarna hitam bertali sampai ke betis turut mengikat ujung celana.

Sosok itu adalah  tokoh Harzai yang bernama Sov, jelmaan Arya Kalanbi. Dengan memiliki Permata Harzai, Arya bisa merubah sosoknya menjadi Harzai seperti yang tampil sekarang ini.

Sososk Sov lalu bergerak meraih tangan Marli. Tenaganya yang besar, membuat Sov dengan mudah menarik beban dua tubuh perempuan itu ke atas. Sebentar saja, Marli sudah berhasil naik. Sov ambil alih menarik tubuh Lidya.

Perubahan sosok Arya Kalanbi ke sosok Sov, tidak membuat Marli terkejut, seolah ia sudah kenal sosok aneh itu.

“Padahal, saya pernah mimpi jadi pacar dia,” kata Sov dengan suara Arya.

“Memang kamu kenal dia?” tanya Marli seraya pergi duduk ke kursi semen.

“Tidak, kan hanya mimpi. Sayang betul jika orang cantik harus mati.”

“Sudah, baringkan di situ saja, nanti juga bangun sendiri. Untung tidak ada yang melihat,” kata Marli seraya hempaskan napas kelegaan.

Sov lalu membaringkan tubuh Lidya begitu saja di lantai atap bersiram cahaya matahari. Kejap berikutnya, Sov telah malih rupa kembali menjadi sosok Arya Kalanbi lengkap dengan seragamnya tanpa kurang satu apa pun. Arya menatap sejenak wajah Lidya yang terpejam.

“Hei! Jangan mikir jorok!” hardik Marli yang mengejutkan Arya.

Arya jadi salah tingkah dituding seperti itu. Ia hanya menyengir kuda sambil garuk kepala yang tidak gatal. Akhirnya ia memilih memungut kantong plastik yang berisi gorengan hangat. Kemudian ia duduk berhadapan dengan Marli di kursi batu. Marli meraih kantong itu dan mengambil satu gorengan.

“Kamu kenal dia, Lai?” tanya Arya kepada Marli.

“Namanya Lidya, primadonanya 11B. Hidupnya sumpek oleh masalah. Makanya, dia mau tenang dengan cara mati.”

“Allah masih sayang sama dia, Lai. Kita datang tepat waktu. Jam segini seharusnya kita ada di kelas, tapi Allah mengatur semuanya, Lai,” kata Arya.

“Benar itu, Pak Ustaz,” kata Marli mengangguk, membuat Arya jadi tertawa kecil disebut “Pak Ustaz”.

Marli dan Arya seharusnya memang berada di kelas pada jam itu. Sehubungan karena guru biologi tidak masuk, Marli dan Arya memilih pergi bersantai di markas besar tongkrongan mereka, yaitu di tempat itu. Padahal, tugas guru biologi digantikan oleh Ibu Daniya, guru biologi kelas 11.

Marli Sisilia, Arya Kalanbi dan Baharuddin adalah tiga sahabat yang menamakan dirinya Hunter Z. Biasanya mereka bertiga. Namun pada hari ini, Baharuddin absen.

“Nanti pulang kamu jenguk Udin Goplax, saya mau urus Lidya,” kata Marli.

“Sebaiknya serahkan saja ke Dewan Guru, Lai,” saran Arya.

“Saya rasa masalah Lidya terlalu buruk untuk dipublikasikan ke kalangan para guru. Masalahnya terlalu komplit.”

Marli lalu mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dompet kecilnya. Uang itu ia berikan kepada Arya.

“Lebihnya buat kamu,” kata Marli.

Marli adalah orang yang royal memberikan uang untuk keperluan teman-temannya. Uang yang diberikan kepada Arya bermaksud membelikan buah tangan untuk Baharuddin yang sedang sakit.

Marli segera menghampiri tubuh Lidya ketika melihatnya mulai bergerak siuman. Marli menepuk-nepuk pipi gadis itu. Lidya membuka matanya. Wajah pertama yang dilihatnya adalah wajah cantik Marli, selanjutnya wajah Arya di belakang kepala Marli. Sadar dirinya belum mati, meledaklah tangis Lidya.

“Saya mau mati! Saya mau mati menyusul Alvin!” ratap Lidya.

Pak!

Satu tamparan keras diberikan oleh Marli ke wajah Lidya. Sontak Lidya terdiam sesegukan.

“Kamu kira gampang mau mati?!” bentak Marli keras. “Ayo bangun!”

Marli menarik bangun tangan Lidya. Lidya hanya menurut, tapi tetap menangis.

“Kalau kamu minta mati lagi, saya lempar kamu ke bawah!” ancam Marli. Lalu katanya kepada Arya, “Bi, tolong air minum.”

Tanpa ba bi bu lagi, Arya bergegas menuju tangga. Ia harus turun ke kantin untuk minta air minum.

“Nih, makan!” Marli sodorkan plastik gorengannya.

Sambil sesegukan, Lidya mengambil satu gorengan lalu memakannya.

“Siapa pacar kamu?” tanya Marli.

“Alvin.”

“Oh ya, saya kenal mukanya. Kenapa dia?”

“Ditembak polisi.”

“Narkoba?”

Lidya menjawab dengan anggukan.

“Memang sudah telat?”

“Iya.”

“Berapa bulan?”

“Tiga.”

“Alvin tahu kamu sudah ngisi?”

“Tahu.”

“Siapa lagi?”

“Kamu.”

“Saya beruntung dong,” kata Marli lalu tertawa kecil. “Kamu juga beruntung, bakal punya anak di usia muda.”

Perkataan Marli itu membuat Lidya berhenti mengunyah dan menatap gadis cantik di depannya. Lima hitungan terdiam, meledak kembali tangis Lidya, sehingga gorengan di mulutnya berjatuhan. Marli membuka kedua tangannya, menawarkan pelukan pelipu lara. Lidya pun menenggelamkan tangisnya dalam pelukan Marli.

Marli berkata demikian bukan berarti Marli tidak memahami perasaan Lidya yang remuk hancur lebur seperti botol dilindas buldoser. Marli hanya bermaksud menghibur dengan sedikit candaan yang nyatanya gagal.

“Tenangkan dirimu. Setiap manusia pernah mengalami saat-saat masa krisis pijakan dan pegangan. Jangan memilih mati, itu hal terbodoh yang akan pernah dipilih oleh manusia,” bisik Marli di belakang kepala Lidya, mencoba menenangkan. “Jika kamu tidak sanggup melalui ini seorang diri, maka ajaklah saya untuk membantumu lewati masa-masa burukmu.”

Lidya melepaskan pelukannya. Tangisnya mulai reda.

“Saya punya sahabat, punya orang-orang terdekat, tapi semuanya jauh bagi saya meski mereka ada di sekitar saya. Keluargaku keluarga berantakan, semua berjalan masing-masing. Hanya satu orang yang baik kepada saya, Mar ....”

“Siapa?” tanya Marli memotong.

“Bibi saya. Bibi begitu baik kepada saya. Dari kecil sampai sekarang dia membiayai sekolah saya. Ia begitu memperhatikan saya. Kebanyakan saya tumbuh besar bersama Bibi. Tapi, kalau saya terus hidup, sasya sama saja akan melempar wajah bibi saya dengan kotoran hewan. Saya hanya parasit busuk, Mar!”

“Kamu terlalu berpikiran negatif. Saya rasa tidak seburuk itu,” hibur Marli.

“Enggak, saya terlalu buruk, Mar. sampai-sampai malaikat maut tidak mau menerima kematian saya.”

“Itu pasti cuma perasaan kamu yang berlebihan. Saya yakin, bibi kamu tidak pernah meminta sesuatu yang berlebihan dari kamu. Jika yang lainnya kamu anggap telah tidak berarti dalam hidup kamu, setidaknya ada sesuatu yang harus kamu pertahankan untuk tidak kamu sia-siakan, yaitu perasaan bibi kamu. Mengetahui kondisi kamu yang sudah tercebur, jelas satu pukulan telak bagi bibi kamu. Tapi itu akan menjadi tikaman yang lebih menyakitkan bila bibi kamu mengetahui hal yang lebih buruk lagi. Orang yang salah jalan, masih memiliki kesempatan untuk kembali ke jalan yang lurus selagi raganya masih bernapas. Bagimu bunuh diri adalah akhir dari penderitaanmu. Dan itulah egoisnya kamu. Bunuh dirimu akan jadi beban besar bagi banyak orang. Kita ini terlalu lemah, tidak mampu menalar hal-hal yang tersembunyi dari kehidupan kita ....”

“Air dataaang!” teriak Arya yang muncul dari tangga dengan senyum jenakanya. Ia membawa segelas besar air putih, lengkap dengan penutup gelasnya.

“Namanya Arya Kalanbi. Dia mengaku pernah mimpi  jadi pacarmu,” kata Marli.

“Wuahahaha!” teriak Arya lalu tertawa malu. “Itukan hanya mimpi, hahaha. Jadi malu pakai dikenalkan, seperti bintang jatuh saja, hahaha!”

Namun, Lidya tidak tertawa ataupun tersenyum dengan sikap salah tingkah Arya. Justru Marli yang tertawa melihat sikap dingin yang diberikan Lidya.

Habis. Air putih segelas besar itu habis seketika diminum oleh Lidya.

Alhamdulillah. Tidak sia-sia saya lari-lari naik turun tangga ambil air,” ucap Arya mencoba menghibur. Lalu katanya serius, “Aduh, Eneng! Jangan bunuh diri, jangan .... Kalau karena cinta yang bocor, Abang siap jadi penambal lubang. Kalau karena cinta diambil orang, Abang siap jadi serepnya. Kalau karena banyak utang, Abang jelas tidak bisa bayarkan.”

Tersedak napas Lidya hendak tertawa oleh ulah Arya. Arya dan Marli jadi tertawa.

“Sehubung karena kamu masih labil, jadi untuk hari ini dan beberapa hari ke depan, kamu jadi urusan saya. Ikuti instruktur dan arahan saya. Oke?” kata Marli serius kepada Lidya.

Lidya mengangguk.

“Bersihkan wajahmu. Saya antar ke wali kelas untuk izin pulang. Setelah itu, ikuti saja saya. Oke?” kata Marli lagi.

“Oke,” Lidya setuju.

“Mbi, ini adalah aib, jadi jangan sampai bocor dan luber ke mana-mana,” kata Marli kepada sahabatnya. “Yaaa, berharaplah, semoga Lidya mau memilihmu jadi pengganti Alvin-nya yang mati.”
“Hah?!” pekik Arya terkejut, mendelik serius memandang kedua siswi itu. “Alvin anak pengusaha furnitur itu sudah mati? Yang katanya pengedar itu?”

“Kamu tahu dari mana kalau Alvin mengedar?” tanya Marli.

“Ujang saja beli ganja ke Alvin. Sudah rahasia umum bagi pelajar di sini,” kata Arya.

“Alvin memang pengedar,” kata Lidya membenarkan. “Kalian berdua sedang apa di atas sini?”

“Ini adalah markas Hunter Z. Hunter Z ada tiga personel, yaitu saya, Arya dan Udin Goplax. Udin sedang sakit meriang.  Setiap pagi, istirahat, jam kosong, bahkan terkadang jam pulang, kami bersantai dan bermusyawarah di sini,” jelas Marli. “Ayo kita izin pulang!”

Marli menarik pergi tangan Lidya yang hanya menurut, meninggalkan Arya yang duduk mengunyah gorengan. (RH)

Berlanjut: Prajurit Tiong Hua di Pesantren (3)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar