Rahasia Di Bawah Martabak (8)


Ilustrasi: contoh paket sabu-sabu. (Istimewa)
Novel: Ratu Suku Lix
Tahun 2017

Bab Sebelumnya:


 

Lidya menyuruh Marli untuk berbelok masuk ke kawasan pasar kecil. Motor Marli berhenti di depan sebuah toko mebel yang cukup besar. Setelah memberikan kotak martabak yang masih utuh kepada Marli, Lidya segera turun dan pergi menyelinap di antara kursi-kursi yang tersusun di toko.
Lidya langsung masuk ke dalam toko, menemui seorang wanita separuh baya yang duduk di belakang meja kerjanya.
“Selamat sore, Bu,” sapa Lidya santun.


“Sore, mencari apa, Dik?” tanya wanita bergiwang emas itu seraya tersenyum ramah selaku seorang pedagang.
“Saya hanya mau bertanya, Bu. Saya mau bertanya tentang Alvin,” ujar Lidya.
“Alvin?” ucap wanita itu mengulang nama yang disebut Lidya. “Alvin siapa ya, Dik?”
Pertanyaan balik itu membuat Lidya terkejut dalam hati. Keningnya berkerut, seolah bingung untuk menjawab. Lidya lalu memperjelas maksudnya.
“Alvin Nugraha, putra pemilik toko ini, Bu.”
“Maaf, Dik. Pemilik toko ini adalah suami saya, namanya Anto Budiman. Kami tidak memiliki putra yang bernama Alvin Nugraha. Kami tidak memiliki anak lelaki, semuanya perempuan. Dan, baru kali ini saya mendengar nama Alvin Nugraha.”
Kian terkejutlah Lidya mendengar kenyataan itu. Nyaris hilang pijakan dan pegangannya.
“Tapi, Bu.... Alvin mengatakan bahwa Toko Surya Harapan ini adalah milik ayahnya. Alvin selalu pakai mobil Corolla Altis warna biru,” kata Lidya lagi.
“Maaf, Dik. Anda salah toko. Mungkin Alvin-nya Adik hanya mengaku-aku saja,” kata wanita berpakaian kuning tersebut.
Lidya terdiam. Ingin rasanya ia menangis, tapi masih sanggup ditahannya. Benarkah Alvin telah berdusta kepadanya? Lidya tidak percaya.
“Maaf, Bu. Saya pasti salah toko. Permisi,” ucap Lidya tanpa senyum.
Wanita pemilik toko itu hanya mengangguk kecil dan menatap kepergian Lidya. Termasuk dua pegawainya.
“Bagaimana?” tanya Marli.
Lidya justru menjawab dengan tangisan dan langsung naik ke belakang Marli. Sementara Marli hanya bisa heran.
“Alvin membohongi saya, Lai. Toko ini bukan milik orangtuanya,” kata Lidya sambil menangis.
“Tidak perlu menangis!” hardik Marli.
“Ada satu toko lagi,” kata Lidya yang mulai meredakan tangisnya.
Mereka pun berangkat, kembali menyusuri keramaian jalan raya ibu kota yang penuh kemacetan, terlebih itu waktu sore, waktu di saat sebagian besar para pencari nafkah keluar ke jalan raya untuk menuju pulang.
Sejauh 15 menit perjalanan, Marli pun berhenti di depan sebuah toko mebel yang lebih besar dari sebelumnya. “Tahta Jaya”, itulah nama toko itu.
“Biar saya yang menanyakan,” kata Marli seraya lebih dulu turun dan meninggalkan Lidya yang duduk di motor sendirian.
Kedatangan Marli langsung disambut oleh seorang pelayan toko.
Lidya menunggu. Ia merasa telah ditipu oleh orang yang dicintainya. Meski ia tahu bahwa Alvin adalah seorang pengedar narkoba, tapi ia tidak menyangka jika orang yang telah ia berikan kesuciannya tega membohonginya. Setidak-tidaknya ia bisa melihat wajah terakhir ayah dari calon bayinya atau bertemu dengan calon kakek dan nenek calon bayinya.
Marli akhirnya keluar dari toko membawa wajah yang dingin.
“Bagaimana?” tanya Lidya cepat.
“Kamu dibohongi bulat-bulat oleh Alvin,” kata Marli sambil naik kembali ke motornya. “Toko ini yang punya orang Tiong Hua.
Kian terpukul isi dada Lidya.
“Jangan menangis!” hardik Marli agak keras saat mulai mendengar suara tangisan Lidya di belakangnya.
“Tidak, saya tidak menangis!” sanggah Lidya, tapi tetap menangis.
Mereka pun menjadi perhatian orang yang berlalu lalang.
Marli kembali membawa Lidya. Senja kota kian meremang. Lampu-lampu jalan dan kota mulai menyala, siap menggemerlapkan kota besar yang semrawut itu.
Marli akhirnya memutuskan berhenti di pinggir kali yang membelah ibu kota. Meski warna air sudah hitam, tapi kali itu bersih dari sampah sehingga cukup indah memantulkan bayangan langit senja dan lampu-lampu.
Air mata Lidya sudah kering kembali. Ia mengambil bungkusan martabak.
“Martabaknya sudah dingin,” katanya.
“Kamu pacaran sama orang yang tinggal di alam jin. Lalu, kamu diisi di mana? Bukan di rumahnya?” tanya Marli tanpa maksud menyalahkan Lidya. Ingin rasanya ia memarahi temannya itu karena begitu ceroboh berpacaran dengan orang yang tidak jelas rumah dan orangtuanya, tapi ia tidak mau menambah beban batin Lidya.
“Saya diisi di hotel,” jawab Lidya lemah, tapi tetap mengunyah martabak di mulutnya.
“Bagaimana dengan alamat rumah yang ada di data sekolah?” tanya Marli agak semangat, seolah menemukan jalan.
“Alvin pernah mengatakan bahwa itu alamat palsu,” jawab Lidya yang memutus harapan Marli.
“Bukankah kamu pernah bertemu dengan teman-teman seprofesinya?” tanya Marli lagi.
“Iya, di tempat tongkrongan. Tapi, tempat tongkrongannya acak, tidak terpaku di satu tempat, alasannya menghindari polisi. Tidak ada salahnya kita coba, Lai. Saya hanya tahu tiga tempat,” kata Lidya dengan semangat baru yang muncul.
“Makan dulu.”
Marli mengambil satu potong martabak.
“Martabak Raja Rasa,” ucap Lidya membaca tulisan di kotak martabak.
“Wangi benar,” kata Marli.
Martabak itu disusun dua tumpuk dalam potongan.
“Ini apaan, Lai?” tanya Lidya saat mengambil potongan pada tumpukan bawah.
Lidya melihat ada bungkusan plastik bening kecil-kecil di bawah tumpukan martabak paling dasar.
“Apaan?” Marli malah bertanya sambil memperhatikan temuan Lidya.
“Sabu-sabu, Lai!” pekik Lidya terkejut.
Plastik-plastik kecil itu ternyata berisi serbuk putih. Lidya yang berpacaran dengan seorang pengedar narkoba, pernah melihat benda seperti itu meski ia tidak pernah mau mencoba mengkonsumsinya. Marli pun terkejut mendapati hal seperti itu.
“Oh iya, Lai. Saya ingat, Alvin pernah menyinggung pembelian narkobanya di tukang martabak. Pasti yang ini, Lai!” tandas Lidya. “Tapi tidak ada alamatnya di kotak.”
“Saya tahu, tadi saya baca alamatnya di belakang jaket cowok tadi,” kata Marli.
“Alamat Alvin pasti ada di tukang martabak!” (RH)

Berlanjut: Terjebak Lingkaran Hitam (9)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar