Irwan keluar dari gang sendirian dan berjalan di pinggiran jalan raya kecil. Langkahnya masih terlihat agak pincang buah dari insiden kecelakaannya bersama Darmawan. Meski sudah mendapat penanganan khsusus dari pakar urut dan syaraf di kediaman Ustaz Abu Rosyid, tapi tidak bisa menghilangkan cedera kaki secara mutlak.
Hari ini
Irwan tampak tampan dengan sisiran samping yang masih basah. Mengenakan T-shirt
hitam dan berjeans hitam yang sudah tampak lusuh. Sehelai handuk merah kecil
dilipat rapi dan diselipkan di tali sabuk yang berwarna hitam. Irwan membawa
tas biru kecil yang berisi bekal untuk makan siang.
Tidak hanya
Irwan yang terlihat berjalan, sejumlah orang yang tampak sudah segar-segar
dangan dandanan yang cantik-cantik turut berjalan kaki. Adapun yang lain
melintas dengan mengendarai sepeda motor.
Orang-orang
yang tidak memiliki kendaraan, harus berjalan kaki sekitar 200 meter ke pasar, nantinya
dilanjutkan dengan naik angkutan umum menuju ke kawasan kerja masing-masing.
“Irwan!”
satu suara wanita tiba-tiba terdengar memanggil dari sisi belakang Irwan.
Pemuda itu
segera berhenti dan berpaling ke belakang. Dilihatnya, seorang wanita
berkerudung merah mencekik leher becelana jeans biru ketat membungkus pinggul
yang aduhai, berlari seraya tertawa kecil mencoba mendapati keberadaan Irwan.
“Astaghfirullah!”
ucap Irwan, tapi hanya di dalam hati.
Meski cukup
prihatin melihat pakaian “jilbab seksi” wanita itu, wajah Irwan tetap memberi
senyum.
Penampilan
wanita yang tidak lain adalah Syamsiah, janda muda anak satu teman sekerja
Irwan, memang terbilang seksi, meski ia berjilbab.
Meski akrab
sebagai teman kerja, tetapi akan selalu membuat jantung Irwan ber-dag dig dug
jika bersama dengan Syamsiah. Penampilan wanita yang lebih tua itu mau tidak
mau akan memancing pikiran tidak elok Irwan, ketika tanpa sengaja memandang
pinggul atau tonjolan di bawah leher.
“Mpok
enggak ada teman. Enggak nyaman dong kalau Mpok jalan sendirian,” kata Syamsiah
seraya tersenyum kepada Irwan.
“Bagaimana
mau nyaman kalau penampilannya begini. Kakek-kakek juga akan melotot kalau
melihat,” kata Irwan, tapi hanya di dalam hati, sedangkan wajahnya hanya
lepaskan senyum kuda.
“Kok jalan
kamu agak pincang gitu?” tanya Syamsiah.
“Kemarin
jatuh bareng motor di jalanan,” jawab Irwan.
“Tapi kamu
gak kenapa-kenapa, kan?” tanya Syamsiah bernada cemas.
“Enggak,
Mpok. Alhamdulillah hanya luka sedikit,” jawab pemuda itu.
“Bawa
bekal?” tanya Syamsiah karena melihat Irwan membawa tas.
“Iya, Mpok.
Penghematan di tanggal tua,” jawab Irwan sambil berjalan yang diiringi Syamsiah
di sisinya.
Syamsiah
hanya tertawa. Lalu katanya, “Eh, ada salam buat kamu.”
“Dari
siapa?” tanya Irwan cepat sambil memandang wanita di sebelahnya.
“Lestari,”
jawab Syamsiah sambil tertawa, seolah menertawai Irwan yang hanya tersenyum.
“Mpok
jangan menggoda saya, sedangkan saya sedang jalan sama Mpok,” kata Irwan dengan
maksud sengaja ingin menggoda perasaan wanita di sebelahnya.
“Ih, memang
kenapa kalau kamu jalan sama Mpok?” tanya Syamsiah seraya serius memandang
Irwan. “Kamu malu jalan dengan Mpok yang seorang janda?”
“Enggak,
hanya khawatir orang yang enggak kenal akan menyangka saya suaminya Mpok,” kata
Irwan.
“Ah, biarin
saja, mereka kan tidak tahu bagaimana saya harus berjuang untuk tetap
menghidupi diri dan seorang anak,” kata Syamsiah. “Jadi kamu tidak suka jalan
sama Mpok?”
“Enggak.
Namun, menurut Mpok bagaimana, jika Mpok jalan dengan lelaki yang tidak masalah
dengan Mpok dan mata masyarakat?”
“Kamu
pagi-pagi sudah bikin perasaan Mpok emosian aja, Wan,” gerutuh Syamsiah, tapi
tidak menunjukkan kemarahan dengan sikap Irwan. “Maksud kamu suami? Mpok gak
punya. Bapak Mpok? Sudah almarhum. Jangan bahas yang macam-macam deh, Wan. Ya
sudah, kalau kamu malu jalan sama Mpok!”
Mulailah
Syamsiah merajuk dengan wajah cemberut. Ia berjalan cepat sehingga meninggalkan
Irwan. Hal itu membuat Irwan terkejut. Ia segera sadar bahwa ia telah membuat
wanita itu tersinggung.
“Mpok!”
panggil Irwan sambil berlari kecil menyusul Syamsiah dan berjalan agak
terpincang di sebelahnya. “Mpok, jangan cepat-cepat begitu, kaki saya sakit
nih!”
“Gak usah
jalan sama Mpok,” ucap Syamsiah dengan suara pelan sambil tangannya bergerak
menyeka sudut matanya dengan punggung jarinya.
Gerakan itu
membuat Irwan segera menyimpulkan bahwa Syamsiah mungkin menangis. Irwan
buru-buru maju ke depan Syamsiah guna memastikan bahwa Syamsiah tidak menangis
karenanya. Syamsiah jadi berhenti dihadang seperti itu. Irwan pun dapat melihat
sepasang mata Syamsiah yang agak memerah dan berkaca-kaca. Syamsiah sejenak
menatap Irwan lalu bergeser ke samping dan terus berjalan melewati Irwan.
Melihat
fakta bahwa dirinya telah menyinggung dan membuat marah perasaan Syamsiah,
Irwan merasakan sendiri rasa sakit di hatinya. Ia merasa begitu bodoh dan tidak
bisa memahami perasaan seorang wanita yang berstatus janda.
Irwan
kembali berlari kecil dan menghadang Syamsiah. Ia cepat bicara.
“Mpok,
maafkan saya. Saya benar-benar minta maaf sudah menyinggung perasaan Mpok. Saya
sebenarnya hanya mau bertanya, ‘Bagaimana menurut Mpok kalau saya jadi suami,
Mpok?’,” katanya.
“Ak!” pekik
Syamsiah terkejut, tetapi ia buru-buru membekap mulutnya sendiri agar
jeritannya yang lepas kontrol tidak menarik perhatian orang sekitar. Seraya
menahan rasa malu, ia menengok ke sekitar, khawatir ada orang lain yang dekat
memperhatikannya gara-gara menjerit.
Posisi
mereka berdua cukup jauh dari orang terdekat yang sama-sama berjalan kaki.
Sepeda motor pun hanya berlalu tanpa melirik sedikit pun.
Rasa
terkejut, bahagia dan malu melanda perasaan Syamsiah mendengar kata-kata
terakhir Irwan. Sedangkan Irwan hanya menatap melihat reaksi wanita yang lebih
dewasa di depannya itu. Namun kemudian, Syamsiah seolah tersadar yang kemudian
justru membangkitkan amarahnya. Ia sadar betul, tidak mungkin Irwan serius
berkata demikian. Ia menilai pemuda itu benar-benar melampaui batas dalam
mencandainya.
“Ya Allah,
Irwan! Kamu benar-benar kurang ajar sama Mpok, ya!” pekik Syamsiah dengan wajah
merah memendam kemarahan. Tangan kanannya yang membawa tas diangkat hendak
memukul kepala pemuda itu. Namun, dengan kegusaran yang dipendam, Syamsiah
menahan pukulannya. “Mulai sekarang, jangan bicara kepada Mpok!”
Di kalimat
akhirnya, Syamsiah tidak bisa menahan lagi emosinya. Tangisnya pecah. Ia
berlari kecil dengan menunduk meninggalkan Irwan.
“Mpok!”
panggil Irwan jadi kebingungan.
Pemuda itu
bingung harus berbuat apa. Apakah ia harus terus mengejar Syamsiah yang sedang
dipuncak emosi dan sakit hatinya? Atau, membiarkannya pergi sendiri dan ia
berjalan menjaga jarak. Ia pun telah memastikan dirinya gagal dalam komunikasi
dengan seorang wanita.
Akhirnya
Irwan memutuskan berjalan sepuluh meter di belakang Syamsiah.
Di
pangkalan angkutan umum, Syamsiah langsung naik ke mobil yang sedang menunggu
penumpang lain. Pada akhirnya, Irwan pun menaiki mobil mikrolet yang sama. Ia
duduk berhadapan dengan Syamsiah di paling belakang. Syamsiah memilih bersikap
cuek tanpa mau memandang Irwan, ia memilih bermain dengan ponselnya atau
memandang ke jalanan di luar sana. Irwan memandang sejenak wajah cantik matang
di hadapannya. Jika diperhatikan, masih ada sisa-sisa jejak tangis di kedua
mata Syamsiah.
“Maafkan
saya, Mpok,” ucap Irwan lirih, tapi didengar oleh Syamsiah.
Syamsiah
bergeming. Ia memilih menatap ke luar melalui kaca belakang mobil yang
transparan. Justru ia sedang menahan gejolak di dalam dadanya. Ia mengabaikan
Irwan yang semakin merasa serba salah. Irwan pun tidak bisa berbuat lebih
banyak ketika beberapa penumpang mulai bernaikan dan sopir mulai menjalankan
mobilnya.
Syamsiah
memilih tetap memandang ke luar tanpa mau menatap wajah Irwan di depannya
sejenak pun. Irwan yang hanya sesekali memandang wanita di depannya itu.
“Astaghfirullah,
astaghfirullah ....”
Dalam hati
Irwan hanya beristighfar. Saat itu ia berada dalam dilema hati. Namun, ia
bertekad untuk menyelesaikannya hari itu juga. Ia tidak mau meninggalkan
kesalahpahaman pada diri Syamsiah, sehingga justru nanti menjadi bola liar yang
tidak baik.
Satu dua
penumpang turun lebih dulu di tempat tujuannya. Mobil kembali berjalan. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar