Jangan Cerita Kepada Siapa-siapa (6)



Ilustrasi. (Google.plus)


Rina Viona, Ketua Geng Bintang Tujuh, tidak sedikit pun berniat untuk menangis. Namun, entah kenapa perasaan sensitif kekelaman hidupnya di dalam kekayaan dan kepopuleran di antara teman-teman sekolahnya, memaksanya untuk menangis.

Tangisnya memuncak ketika bersujud di rakaat kedua salat Isya yang diimami oleh Latifa, ibu dari Barada. Belum pernah ia menangis sedemikian hebatnya. Meskipun ia menangis setelah ditampar oleh Rio di jembatan tadi sore, tapi tangisannya di kala itu penuh dengan dendam.

Di rakaat ketiga, tangis Rina mereda. Berulang kali ia harus menyeka air mata dan air liur hidungnya. Namun, di rakaat keempat, tangis Rina kembali memuncak.

Hingga Latifah selaku imam salat mengucapkan salam kedua, Rina masih menangis. Latifah langsung bergerak dan memeluk Rina. Tangis yang sudah panjang selama tiga rakaat salat ia tumpahkan dalam pelukan seorang ibu yang baru ia kenal kurang dari setengah jam.

Lama sudah Rina tidak mendapat pelukan dari seorang ibu, mungkin sudah tiga tahun. Ia hanya pernah dipeluk oleh Rio yang kemudian menghancurkan cinta, hati dan perasaannya.

Barada hanya duduk melihat ibunya berusaha menenangkan Rina. 

“Kalau kamu masih ingin menangis, tumpahkan saja, agar lega,” kata Latifah, meskipun ia tidak tahu apa yang membuat Rina bisa menangis sedemikian hebatnya. Lalu katanya kepada Barada, “Badar, ambilkan air putih hangat.”

Barada lalu bangkit dan masuk ke dapur. Fath Gazza yang berdiri di ambang pintu dapur karena merasa terusik oleh suara tangis Rina, segera mengikuti adiknya ke dapur untuk mengambilkan air putih hangat.

“Kenapa sampai menangis hebat seperti itu?” tanya Gazza kepada adiknya, agak berbisik.

“Tidak tahu,” jawab Barada. “Abang kan wartawan, wawancara aja.”

“Wartawan tidak boleh mewawancarai nara sumber yang sedang tertekan batinnya, jawabannya bisa emosional. Karenanya, saya tanya kepada orang kepercayaannya,” kilah Gazza, tetap berbisik-bisik.

“Saya tidak tahu, itu jawabannya,” kata Barada. Lalu ia berhenti bergerak dan menatap curiga kepada Gazza, sementara tangannya sudah memegang gelas besar berisi air putih hangat. “Jangan katakan jika Abang Gazza naksir teman sekolah saya itu dan menduakan cinta Rika.”

“Jangan keras-keras!” desis Gazza berusaha sepelan mungkin. “Siapa yang mengatakan Rika cinta saya?”

“Abang kan wartawan, harus cek langsung ke nara sumbernya agar tidak menulis apa kata orang,” kata Barada lalu berlalu ke ruang tengah.

Rina sudah berhenti menangis, meski masih ada sisa-sisa sesegukannya.

“Yakinilah bahwa segala permasalahan datangnya dari Allah dan sepatutnyalah kita kembalikan semuanya kepada Allah. Allah tidak pernah sedikit pun bermaksud mencelakai hamba-Nya, meskipun masalah yang diberikan terasa sangat berat,” kata Latifah memberi sedikit bekal keimanan.

“Minum dulu, Rin,” kata Barada seraya menyodorkan gelas di tangannya kepada Rina yang duduk tertunduk.

Sementara Gazza hanya memandang dari pintu dapur. Mau tidak mau, ada gejolak sesaat di dalam hatinya. Melihat seorang gadis cantik yang dirundung kesedihan yang berat, menurutnya sangat menyentuh hati.

Gazza akhirnya memilih berlalu ke ruang depan. Ruang depan rumah itu tidak memiliki kursi, hanya hamparan karpet berbulu. Separuh sisi dari ruangan itu ditempati oleh lemari besar dan satu lemari sederhana.

Dengan duduk di atas bantal dan bersandar pada dinding ruangan, seorang lelaki berbaju gamis abu-abu dan berkopiah putih seperti Pak Haji, sedang menekuni sebuah kitab tebal, tapi bukan Al-Quran. Meski wajahnya tampak keras dan berkulit hitam, tapi wajah 50 tahun itu tampak memancarkan cahaya iman. Ada bekas hitam dijidatnya sebagai bekas sujudnya. Jenggotnya cukup lebat tanpa kumis yang sudah dipangkas bersih. Ia adalah Muttaqin, kepala keluarga di rumah itu, sekaligus ayah dari Gazza dan Barada. Warga sekitar menyebutnya “ustad” meskipun ia bukan guru mengaji, tapi ia adalah imam tetap di Masjid Al-Jihad yang berada tepat di depan rumah.

Muttaqin sebenarnya juga mendengar suara tangisan hebat Rina dari ruang sebelah, tapi ia tidak begitu mengindahkannya. Ia yakin, isterinya yang tersayang bisa mengatasinya.

“Dunia ada berita apa, Gazza?” tanya Muttaqin beralih kepada anak sulungnya itu.

“Di Suriah, kampanye pemilu legislatif sudah dimulai secara sepihak oleh rezim Bashar Al-Assad, tapi oposisi menentang. Pemungutan suara nantinya hanya akan dilaksanakan di daerah yang dikuasai oleh pemerintah. Pemilu tidak akan dilaksanakan di provinsi Raqqa dan Idlib yang dikuasai oleh ISIS dan Al-Qaeda. Di sisi lain, pasukan pemerintah menemukan kuburan massal di Palmyra, korbannya tentara hingga warga sipil, diduga kuat korban pembantaian ISIS,” jawab Gazza sambil duduk di kursi kayu di depan lemari yang memiliki meja belajar.

Gazza membuka laptop miliknya.

“Bagaimana dengan Palestina?” tanya Muttaqin lagi.

“Belum ada kemajuan signifikan, Puang,” jawab Gazza dengan menyebut ayahnya “Puang”, sebuah sebutan gelar dalam masyarakat suku Bugis yang memiliki garis nasab tembus ke keluarga kerajaan atau berdarah bangsawan di Sulawesi Selatan. “Israel menghentikan pengiriman semen ke Jalur Gaza, kecuali untuk proyek pembangunan milik PBB. Tentara Yahudi Israel masih sewenang-wenang merubuhkan rumah warga Palestina. Perundingan rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah masih belum ada hasil.”

“Bagaimana dengan perang di Yaman?” tanya Muttaqin lagi.

“Wakil Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman mengatakan, ada kemajuan signifikan dalam upaya menuju perundingan damai dengan kelompok Houthi, setelah delegasi kelompok itu datang ke Riyadh. Gambaran ke depannya, akan ada gencatan senjata yang kemudian akan dilanjutkan perundingan damai. Mantan Presiden Ali Abdullah Saleh yang jadi sekutu utama Houthi, merasa ditinggalkan oleh Houthi, karena Houthi memutuskan ke Riyadh tanpa berunding dengannya.”

“Bagaimana perkembangan 10 WNI yang disandera oleh Abu Sayyaf?” tanya Muttaqin merujuk pada kelompok militan di Filipina yang membajak kapal milik Indonesia dan menangkap 10 anak buah kapalnya.

“Intinya Pemerintah Indonesia bekerja keras dengan mengutamakan jalur dialog. Adapun pasukan penyelamat TNI tinggal menunggu izin dari Filipina agar bisa masuk,” jawab Gazza.

“Ada berita panas yang lain?” tanya Muttaqin yang mendengarkan dengan khidmat segala penjelasan anaknya.

“Perang antara militer Armenia dan Azerbaijan pecah sejak Sabtu lalu di daerah sengketa Nagorno-Karabakh. Sudah lebih 30 tentara dari kedua negara yang tewas. Karabakh adalah wilayah Azerbaijan yang dikuasai oleh milisi pro-Armenia.”

Seperti itulah percakapan rutin antara bapak dan anak bila bertemu. Sebagai seorang wartawan, Gazza menjadi sumber untuk bertanya Muttaqin dan Barada untuk mengetahui perkembangan dunia. Karena memang, di rumah itu tidak ada televisi dan radio. Bukan karena tidak mampu membelinya, tapi karena kebijakan kepala keluarga.

Sementara itu, Rina sudah berada di kamar Barada. Rina sudah berhenti menangis, sepasang kelopak matanya menjadi sedikit bengkak. Adapun Latifah pergi membuat teh hangat untuk suaminya.

“Menginap di sini, ya Rin?” kata Barada yang membutuhkan jawaban.

Rina tersenyum, lalu jawabnya, “Besok kan harus sekolah.”

“Nginap saja, nanti Subuh saya antar pulang, sekalian berangkat. Besok di upacara jatah dua akuntansi yang jadi petugas,” ujar Barada.

“Tapi lu bisa antar gua pulang malam ini? Kalau enggak, gua telepon sopir gua,” kata Rina.

“Sangat bisa!” sahut Barada dengan senyum cerianya.

“Bagaimana ceritanya gua bisa ada di rumah elu, Badar?” tanya Rina akhirnya.

“Tadi sore, saya dan rombongan pulang dari acara Silaturahmi Pesilat Nusantara di Jakarta Selatan. Pas lewat di jembatan, saya lihat ada cowok tampar cewek. Waktu itu saya enggak tahu kalau cewek itu adalah kamu. Lalu, tiba-tiba kita lihat beberapa lelaki menculik kamu. Kami pun mengejar mobil penculik itu. Dan berhasil membebaskan kamu. Barulah saya tahu kalau korbannya adalah kamu. Lalu saya minta supaya kamu dibawa ke rumah saya saja agar nanti bisa saya antar pulang,” tutur Barada.

Rina terdiam sejenak, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi ketika Barada bersama guru dan teman-teman seperguruannya berjuang menyelamatkannya.

“Gua minta tolong ke elu, jangan cerita kepada siapa-siapa kejadian itu,” kata Rina.

Insya Allah. Kalaupun suatu saat nanti cerita itu bocor, saya pastikan itu bukan dari bibir saya,” kata Barada optimis.

“Lu bisa antar gua pulang sekarang?” tanya Rina.

“Bisa,” jawab Barada cepat. “Tapi, saya ada permintaan ke kamu. Boleh?”

“Apa?”

“Kita kan naik motor ke rumah kamu, sedangkan kamu pakai rok belahannya panjang, bisakah sementara kamu pakai celana panjang dan rok saya?”

Rina diam sejenak berpikir. Memang, jika ia tidak mengganti roknya, paha putihnya akan terpampang ke mana-mana. Jika Barada dan orang tuanya bukan keluarga yang religius, mungkin ia akan menolak permintaan itu.

“Gak masalah,” jawab Rina.

Barada lalu bergerak ke lemarinya lalu mencari rok panjang dan celana panjang untuk dalaman. Rina pun membuka mukena yang dikenakannya. Maka tampaklah Rina kembali kepada wujud asalnya.

“Saya mau minta kunci dulu ke Abang,” kata Barada setelah memberikan rok hitam dan celana panjang bermotif batik bunga.

Barada pergi keluar meninggalkan Rina yang mau bersalin pakaian bawah.

Di ruang depan, Barada meminta kunci motor kepada Gazza.

“Rina tidak menginap, Badar?” tanya Latifah.

“Tidak, Ummi. Sebab besok sekolah,” jawab Barada.

“Kenapa bukan saya aja yang ngantar?” tanya Gazza kepada Barada dengan nada bercanda.

“Belum halal,” kata Barada sambil tertawa kecil. “Awas, nanti saya ceritakan ke Rika bahwa Rhoma Iramanya mengidap penyakit cinta segitiga.”

Muttaqin dan isterinya hanya tertawa mendengar candaan kakak adik itu.

“Puang, katanya orang tuanya Rika mau datang bicarakan tanggal ya?” tanya Barada kepada ayahnya, bermaksud menggoda Gazza yang sudah memberikan kunci motornya.

“Tanggal apaan?” tanya Gazza cepat menunjukkan keterkejutan.

“Hahaha!” tertawa kencanglah Barada dengan keterkejutan Gazza.

“Badar,” tegur Muttaqin kepada puterinya itu.

Barada pun segera menahan tawa kerasnya, berubah menjadi cekikikan. Ia lalu membuka mukena yang masih ia kenakan.

Dari dalam muncul Rina tanpa bermukena lagi. Rambut ikalnya terurai indah dengan baju berwarna kuning dan rok hitam. Ia membawa tas kulit mungilnya. 

Melihat kemunculan Rina, Gazza jadi terdiam bengong.

“Kira saya dia berhijab,” membatin Gazza.

“Kenapa tidak menginap saja, Nak Rina?” tanya Latifah sambil bangkit berdiri mendatangi Rina yang berdiri diam, kikuk.

“Maaf, Bu, khawatir orang rumah mencari,” kilah Rina seraya tersenyum.

Latifah lalu menyalami tangan Rina dan cipika-cipiki. Lalu nasehatnya kepada Rina, “Hati-hati dalam hidup, bersabarlan dan ingat Allah.”

“Iya, Bu,” Rina mengangguk. Nasehat Latifah terasa penuh kasih sayang, berbeda ketika ia mendengar nasehat sebelum-sebelumnya dari orang lain atau bahkan dari orang tuanya sendiri.

“Sebelum pulang, Rin, saya kenalkan ini Puang atau ayah saya. Dan yang itu, Daeng Gazza, abang tua saya,” kata Barada memperkenalkan.

“Rina ucapkan terima kasih banyak atas bantuan Bapak dan Ibu. Maaf jika saya merepotkan,” kata Rina yang membuat mereka tertawa kecil.

“Badar, pastikan Rina masuk dengan aman ke pintu rumahnya!” pesan Muttaqin.

“Siap, Puang!” pekik Barada seperti prajurit, membuat suasana tawa tercipta.

“Rina pamit, Pak, Bu,” ucap Rina lalu bergerak hendak bersalaman kepada Muttaqin.

Tapi Muttaqin hanya merapatkan kedua tapak tangannya di depan dada dan menghindari tangan lembut Rina. Sementara wajahnya tetap tersenyum.

Tindakan kecil itu membuat Rina jadi agak kecewa, karena ayah Barada tidak mau menyentuh tangannya. Kejadian yang serupa terjadi ketika Rina mencoba menyalami Gazza. Pemuda itu juga memilih menghindari sentuhan dengan tangan Rina. Gazza hanya memberi senyum manis.

“Hati-hati,” pesannya kepada Rina.

Meski kecele, tapi Rina tetap mengedepankan senyumnya.

“Hati-hati, Badar, apalagi sudah malam,” pesan Latifah.

“Siap, Ummi!” sahut Barada. Ia lalu membungkuk seperti orang Jepang kepada Latifah dan mengulangnya kepada ayahnya. Lalu ucapnya, “Assalamu ‘alaikum!”

Gadis berjilbab itu lalu beranjak keluar. Di luar terparkir sebuah motor bebek merah. 

Assalamu ‘alaikum!” Rina juga memberi salam.

Wa ‘alaikum salam,” jawab yang lainnya.

Latifah ikut mengantar ke depan rumah. Muttaqin memilih konsen ke kitab bacaannya sambil meneguk teh hangatnya. Sementara Gazza tetap di kursinya, tapi pandangannya mengikuti melalui jendela.

“Ehhem!” dehem Muttaqin tiba-tiba sambil tetap fokus ke kitabnya.

Deheman itu membuat Gazza memandang ayahnya, karena merasa deheman itu untuknya. Gazza pun melengos berbalik seraya tarik sudut bibirnya, ia kembali fokus kepada pekerjaan daringnya. (RH)

Berlanjut: Satu Jam Lebih Dekat Bersama Barada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar