Ilustrasi. (Google.plus) |
BINTANG TURUN KE LANGIT
Oleh: Rudi Hendrik
2016
Bab Sebelumnya:
Kejutan untuk Geng Bintang Tujuh (1)
Dari Resleting Hingga Wawasan Konflik Dunia (2)
Kesumat Cinta di Atas Jembatan (3)
Pahlawan Sepeda Cantik (4)
Oleh: Rudi Hendrik
2016
Bab Sebelumnya:
Kejutan untuk Geng Bintang Tujuh (1)
Dari Resleting Hingga Wawasan Konflik Dunia (2)
Kesumat Cinta di Atas Jembatan (3)
Pahlawan Sepeda Cantik (4)
Rina Viona, Ketua Geng Bintang Tujuh,
tidak sedikit pun berniat untuk menangis. Namun, entah kenapa perasaan sensitif
kekelaman hidupnya di dalam kekayaan dan kepopuleran di antara teman-teman
sekolahnya, memaksanya untuk menangis.
Tangisnya memuncak ketika
bersujud di rakaat kedua salat Isya yang diimami oleh Latifa, ibu dari Barada.
Belum pernah ia menangis sedemikian hebatnya. Meskipun ia menangis setelah
ditampar oleh Rio di jembatan tadi sore, tapi tangisannya di kala itu penuh
dengan dendam.
Di rakaat ketiga, tangis Rina
mereda. Berulang kali ia harus menyeka air mata dan air liur hidungnya. Namun,
di rakaat keempat, tangis Rina kembali memuncak.
Hingga Latifah selaku imam salat
mengucapkan salam kedua, Rina masih menangis. Latifah langsung bergerak dan
memeluk Rina. Tangis yang sudah panjang selama tiga rakaat salat ia tumpahkan
dalam pelukan seorang ibu yang baru ia kenal kurang dari setengah jam.
Lama sudah Rina tidak mendapat
pelukan dari seorang ibu, mungkin sudah tiga tahun. Ia hanya pernah dipeluk
oleh Rio yang kemudian menghancurkan cinta, hati dan perasaannya.
Barada hanya duduk melihat ibunya
berusaha menenangkan Rina.
“Kalau kamu masih ingin menangis,
tumpahkan saja, agar lega,” kata Latifah, meskipun ia tidak tahu apa yang
membuat Rina bisa menangis sedemikian hebatnya. Lalu katanya kepada Barada,
“Badar, ambilkan air putih hangat.”
Barada lalu bangkit dan masuk ke
dapur. Fath Gazza yang berdiri di ambang pintu dapur karena merasa terusik oleh
suara tangis Rina, segera mengikuti adiknya ke dapur untuk mengambilkan air putih
hangat.
“Kenapa sampai menangis hebat
seperti itu?” tanya Gazza kepada adiknya, agak berbisik.
“Tidak tahu,” jawab Barada.
“Abang kan wartawan, wawancara aja.”
“Wartawan tidak boleh
mewawancarai nara sumber yang sedang tertekan batinnya, jawabannya bisa
emosional. Karenanya, saya tanya kepada orang kepercayaannya,” kilah Gazza,
tetap berbisik-bisik.
“Saya tidak tahu, itu
jawabannya,” kata Barada. Lalu ia berhenti bergerak dan menatap curiga kepada
Gazza, sementara tangannya sudah memegang gelas besar berisi air putih hangat.
“Jangan katakan jika Abang Gazza naksir teman sekolah saya itu dan menduakan
cinta Rika.”
“Jangan keras-keras!” desis Gazza
berusaha sepelan mungkin. “Siapa yang mengatakan Rika cinta saya?”
“Abang kan wartawan, harus cek
langsung ke nara sumbernya agar tidak menulis apa kata orang,” kata Barada lalu
berlalu ke ruang tengah.
Rina sudah berhenti menangis,
meski masih ada sisa-sisa sesegukannya.
“Yakinilah bahwa segala
permasalahan datangnya dari Allah dan sepatutnyalah kita kembalikan semuanya
kepada Allah. Allah tidak pernah sedikit pun bermaksud mencelakai hamba-Nya,
meskipun masalah yang diberikan terasa sangat berat,” kata Latifah memberi
sedikit bekal keimanan.
“Minum dulu, Rin,” kata Barada
seraya menyodorkan gelas di tangannya kepada Rina yang duduk tertunduk.
Sementara Gazza hanya memandang
dari pintu dapur. Mau tidak mau, ada gejolak sesaat di dalam hatinya. Melihat
seorang gadis cantik yang dirundung kesedihan yang berat, menurutnya sangat
menyentuh hati.
Gazza akhirnya memilih berlalu ke
ruang depan. Ruang depan rumah itu tidak memiliki kursi, hanya hamparan karpet
berbulu. Separuh sisi dari ruangan itu ditempati oleh lemari besar dan satu
lemari sederhana.
Dengan duduk di atas bantal dan
bersandar pada dinding ruangan, seorang lelaki berbaju gamis abu-abu dan
berkopiah putih seperti Pak Haji, sedang menekuni sebuah kitab tebal, tapi
bukan Al-Quran. Meski wajahnya tampak keras dan berkulit hitam, tapi wajah 50
tahun itu tampak memancarkan cahaya iman. Ada bekas hitam dijidatnya sebagai
bekas sujudnya. Jenggotnya cukup lebat tanpa kumis yang sudah dipangkas bersih.
Ia adalah Muttaqin, kepala keluarga di rumah itu, sekaligus ayah dari Gazza dan
Barada. Warga sekitar menyebutnya “ustad” meskipun ia bukan guru mengaji, tapi
ia adalah imam tetap di Masjid Al-Jihad yang berada tepat di depan rumah.
Muttaqin sebenarnya juga
mendengar suara tangisan hebat Rina dari ruang sebelah, tapi ia tidak begitu
mengindahkannya. Ia yakin, isterinya yang tersayang bisa mengatasinya.
“Dunia ada berita apa, Gazza?”
tanya Muttaqin beralih kepada anak sulungnya itu.
“Di Suriah, kampanye pemilu
legislatif sudah dimulai secara sepihak oleh rezim Bashar Al-Assad, tapi
oposisi menentang. Pemungutan suara nantinya hanya akan dilaksanakan di daerah
yang dikuasai oleh pemerintah. Pemilu tidak akan dilaksanakan di provinsi Raqqa
dan Idlib yang dikuasai oleh ISIS dan Al-Qaeda. Di sisi lain, pasukan
pemerintah menemukan kuburan massal di Palmyra, korbannya tentara hingga warga
sipil, diduga kuat korban pembantaian ISIS,” jawab Gazza sambil duduk di kursi
kayu di depan lemari yang memiliki meja belajar.
Gazza membuka laptop miliknya.
“Bagaimana dengan Palestina?”
tanya Muttaqin lagi.
“Belum ada kemajuan signifikan,
Puang,” jawab Gazza dengan menyebut ayahnya “Puang”, sebuah sebutan gelar dalam
masyarakat suku Bugis yang memiliki garis nasab tembus ke keluarga kerajaan
atau berdarah bangsawan di Sulawesi Selatan. “Israel menghentikan pengiriman
semen ke Jalur Gaza, kecuali untuk proyek pembangunan milik PBB. Tentara Yahudi
Israel masih sewenang-wenang merubuhkan rumah warga Palestina. Perundingan
rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah masih belum ada hasil.”
“Bagaimana dengan perang di
Yaman?” tanya Muttaqin lagi.
“Wakil Putra Mahkota Arab Saudi,
Mohammed bin Salman mengatakan, ada kemajuan signifikan dalam upaya menuju
perundingan damai dengan kelompok Houthi, setelah delegasi kelompok itu datang
ke Riyadh. Gambaran ke depannya, akan ada gencatan senjata yang kemudian akan
dilanjutkan perundingan damai. Mantan Presiden Ali Abdullah Saleh yang jadi
sekutu utama Houthi, merasa ditinggalkan oleh Houthi, karena Houthi memutuskan
ke Riyadh tanpa berunding dengannya.”
“Bagaimana perkembangan 10 WNI
yang disandera oleh Abu Sayyaf?” tanya Muttaqin merujuk pada kelompok militan
di Filipina yang membajak kapal milik Indonesia dan menangkap 10 anak buah
kapalnya.
“Intinya Pemerintah Indonesia
bekerja keras dengan mengutamakan jalur dialog. Adapun pasukan penyelamat TNI
tinggal menunggu izin dari Filipina agar bisa masuk,” jawab Gazza.
“Ada berita panas yang lain?”
tanya Muttaqin yang mendengarkan dengan khidmat segala penjelasan anaknya.
“Perang antara militer Armenia
dan Azerbaijan pecah sejak Sabtu lalu di daerah sengketa Nagorno-Karabakh.
Sudah lebih 30 tentara dari kedua negara yang tewas. Karabakh adalah wilayah
Azerbaijan yang dikuasai oleh milisi pro-Armenia.”
Seperti itulah percakapan rutin
antara bapak dan anak bila bertemu. Sebagai seorang wartawan, Gazza menjadi
sumber untuk bertanya Muttaqin dan Barada untuk mengetahui perkembangan dunia.
Karena memang, di rumah itu tidak ada televisi dan radio. Bukan karena tidak
mampu membelinya, tapi karena kebijakan kepala keluarga.
Sementara itu, Rina sudah berada
di kamar Barada. Rina sudah berhenti menangis, sepasang kelopak matanya menjadi
sedikit bengkak. Adapun Latifah pergi membuat teh hangat untuk suaminya.
“Menginap di sini, ya Rin?” kata
Barada yang membutuhkan jawaban.
Rina tersenyum, lalu jawabnya,
“Besok kan harus sekolah.”
“Nginap saja, nanti Subuh saya
antar pulang, sekalian berangkat. Besok di upacara jatah dua akuntansi yang
jadi petugas,” ujar Barada.
“Tapi lu bisa antar gua pulang
malam ini? Kalau enggak, gua telepon sopir gua,” kata Rina.
“Sangat bisa!” sahut Barada
dengan senyum cerianya.
“Bagaimana ceritanya gua bisa ada
di rumah elu, Badar?” tanya Rina akhirnya.
“Tadi sore, saya dan rombongan
pulang dari acara Silaturahmi Pesilat Nusantara di Jakarta Selatan. Pas lewat
di jembatan, saya lihat ada cowok tampar cewek. Waktu itu saya enggak tahu
kalau cewek itu adalah kamu. Lalu, tiba-tiba kita lihat beberapa lelaki
menculik kamu. Kami pun mengejar mobil penculik itu. Dan berhasil membebaskan
kamu. Barulah saya tahu kalau korbannya adalah kamu. Lalu saya minta supaya
kamu dibawa ke rumah saya saja agar nanti bisa saya antar pulang,” tutur
Barada.
Rina terdiam sejenak, ia tidak
bisa membayangkan apa yang terjadi ketika Barada bersama guru dan teman-teman
seperguruannya berjuang menyelamatkannya.
“Gua minta tolong ke elu, jangan
cerita kepada siapa-siapa kejadian itu,” kata Rina.
“Insya Allah. Kalaupun suatu saat nanti
cerita itu bocor, saya pastikan itu bukan dari bibir saya,” kata Barada
optimis.
“Lu bisa antar
gua pulang sekarang?” tanya Rina.
“Bisa,” jawab
Barada cepat. “Tapi, saya ada permintaan ke kamu. Boleh?”
“Apa?”
“Kita kan naik
motor ke rumah kamu, sedangkan kamu pakai rok belahannya panjang, bisakah
sementara kamu pakai celana panjang dan rok saya?”
Rina diam
sejenak berpikir. Memang, jika ia tidak mengganti roknya, paha putihnya akan
terpampang ke mana-mana. Jika Barada dan orang tuanya bukan keluarga yang
religius, mungkin ia akan menolak permintaan itu.
“Gak masalah,”
jawab Rina.
Barada lalu
bergerak ke lemarinya lalu mencari rok panjang dan celana panjang untuk
dalaman. Rina pun membuka mukena yang dikenakannya. Maka tampaklah Rina kembali
kepada wujud asalnya.
“Saya mau minta
kunci dulu ke Abang,” kata Barada setelah memberikan rok hitam dan celana
panjang bermotif batik bunga.
Barada pergi
keluar meninggalkan Rina yang mau bersalin pakaian bawah.
Di ruang depan, Barada meminta
kunci motor kepada Gazza.
“Rina tidak menginap, Badar?”
tanya Latifah.
“Tidak, Ummi. Sebab besok
sekolah,” jawab Barada.
“Kenapa bukan saya aja yang
ngantar?” tanya Gazza kepada Barada dengan nada bercanda.
“Belum halal,” kata Barada sambil
tertawa kecil. “Awas, nanti saya ceritakan ke Rika bahwa Rhoma Iramanya
mengidap penyakit cinta segitiga.”
Muttaqin dan isterinya hanya
tertawa mendengar candaan kakak adik itu.
“Puang, katanya orang tuanya Rika
mau datang bicarakan tanggal ya?” tanya Barada kepada ayahnya, bermaksud
menggoda Gazza yang sudah memberikan kunci motornya.
“Tanggal apaan?” tanya Gazza
cepat menunjukkan keterkejutan.
“Hahaha!” tertawa kencanglah
Barada dengan keterkejutan Gazza.
“Badar,” tegur Muttaqin kepada
puterinya itu.
Barada pun segera menahan tawa
kerasnya, berubah menjadi cekikikan. Ia lalu membuka mukena yang masih ia
kenakan.
Dari dalam muncul Rina tanpa
bermukena lagi. Rambut ikalnya terurai indah dengan baju berwarna kuning dan
rok hitam. Ia membawa tas kulit mungilnya.
Melihat kemunculan Rina, Gazza
jadi terdiam bengong.
“Kira saya dia berhijab,”
membatin Gazza.
“Kenapa tidak menginap saja, Nak
Rina?” tanya Latifah sambil bangkit berdiri mendatangi Rina yang berdiri diam,
kikuk.
“Maaf, Bu, khawatir orang rumah
mencari,” kilah Rina seraya tersenyum.
Latifah lalu menyalami tangan
Rina dan cipika-cipiki. Lalu nasehatnya kepada Rina, “Hati-hati dalam hidup,
bersabarlan dan ingat Allah.”
“Iya, Bu,” Rina mengangguk.
Nasehat Latifah terasa penuh kasih sayang, berbeda ketika ia mendengar nasehat
sebelum-sebelumnya dari orang lain atau bahkan dari orang tuanya sendiri.
“Sebelum pulang, Rin, saya
kenalkan ini Puang atau ayah saya. Dan yang itu, Daeng Gazza, abang tua saya,”
kata Barada memperkenalkan.
“Rina ucapkan terima kasih banyak
atas bantuan Bapak dan Ibu. Maaf jika saya merepotkan,” kata Rina yang membuat
mereka tertawa kecil.
“Badar, pastikan Rina masuk
dengan aman ke pintu rumahnya!” pesan Muttaqin.
“Siap, Puang!” pekik Barada
seperti prajurit, membuat suasana tawa tercipta.
“Rina pamit, Pak, Bu,” ucap Rina
lalu bergerak hendak bersalaman kepada Muttaqin.
Tapi Muttaqin hanya merapatkan
kedua tapak tangannya di depan dada dan menghindari tangan lembut Rina.
Sementara wajahnya tetap tersenyum.
Tindakan kecil itu membuat Rina
jadi agak kecewa, karena ayah Barada tidak mau menyentuh tangannya. Kejadian
yang serupa terjadi ketika Rina mencoba menyalami Gazza. Pemuda itu juga
memilih menghindari sentuhan dengan tangan Rina. Gazza hanya memberi senyum
manis.
“Hati-hati,” pesannya kepada
Rina.
Meski kecele, tapi Rina tetap mengedepankan senyumnya.
“Hati-hati, Badar, apalagi sudah
malam,” pesan Latifah.
“Siap, Ummi!” sahut Barada. Ia
lalu membungkuk seperti orang Jepang kepada Latifah dan mengulangnya kepada
ayahnya. Lalu ucapnya, “Assalamu ‘alaikum!”
Gadis berjilbab itu lalu beranjak
keluar. Di luar terparkir sebuah motor bebek merah.
“Assalamu ‘alaikum!” Rina juga memberi salam.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab yang lainnya.
Latifah ikut mengantar ke depan
rumah. Muttaqin memilih konsen ke kitab bacaannya sambil meneguk teh hangatnya.
Sementara Gazza tetap di kursinya, tapi pandangannya mengikuti melalui jendela.
“Ehhem!” dehem Muttaqin tiba-tiba
sambil tetap fokus ke kitabnya.
Deheman itu membuat Gazza
memandang ayahnya, karena merasa deheman itu untuknya. Gazza pun melengos
berbalik seraya tarik sudut bibirnya, ia kembali fokus kepada pekerjaan
daringnya. (RH)
Berlanjut: Satu Jam Lebih Dekat Bersama Barada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar