Ilustrasi (Ladyjek) |
BINTANG TURUN KE LANGIT
Oleh: Rudi Hendrik
2016
Bab Sebelumnya:
Dari Resleting Hingga Wawasan Konflik Dunia (2)
Kesumat Cinta di Atas Jembatan (3)
Pahlawan Sepeda Cantik (4)
Rina Terdampar di Malam Religius (5)
Oleh: Rudi Hendrik
2016
Bab Sebelumnya:
Dari Resleting Hingga Wawasan Konflik Dunia (2)
Kesumat Cinta di Atas Jembatan (3)
Pahlawan Sepeda Cantik (4)
Rina Terdampar di Malam Religius (5)
Ternyata untuk keluar dari rumah Barada ke jalan besar, harus melalui jalan gang yang cukup berliku. Gang itu hanya bisa dimasuki oleh motor, tidak bagi mobil, karena lebar gang hanya selebar badan mobil.
Dan tenyata lagi, Barada adalah gadis yang populer di lingkungannya tersebut. Hal itu terbukti dari banyaknya sapaan kepada dirinya ketika motornya berpapasan dengan berbagai kalangan. Dan Barada pun tidak sungkan menyapa orang-orang yang dikenalnya ketika berlalu, terutama bagi kalangan orang tua.
“Mau ke mane malem-malem, Badar?” tanya seorang ibu yang duduk di teras rumahnya, logat Betawi kental dalam kalimatnya.
“Ngantar saudara, Nyak,” jawab Barada seraya tersenyum manis dan memelankan motornya.
“Ati-ati, anak Enyak si Bojek belum kawin, Badar!” kata si Enyak agak kencang.
“Siap, Nyak!” sahut Barada sambil tertawa dan berlalu.
“Apa hubungannya hati-hati dengan anaknya Enyak itu?” tanya Rina Viona yang dibonceng, setelah motor itu meniggalkan rumah si Enyak.
Rina duduk rapat di boncengan sambil tangannya menempel di kedua pinggang Barada.
“Hahaha!” Barada tertawa terlebih dahulu. “Nyak Wati berpesan saya hati-hati. Jika saya tidak selamat, maka Nyak Wati bisa patah hati. Sebab dia selalu bercita-cita anaknya si Bojek nikah sama saya, hahaha!”
Ketika lewat di depan kumpulan pemuda yang sedang minum-minum kopi susu dan bergitar ria, Barada pun mendapat sapaan berupa pertanyaan.
“Siapa tuh, Badar?” tanya seorang pemuda yang memang akrab dengan Barada.
“Saudara,” jawab Barada singkat tanpa menghentikan motornya.
“Nama gua Rangga!” teriak pemuda yang lain perkenalkan diri.
Barada hanya tertawa. Rina memandang keenam pemuda itu sekilas. Keenamnya memandanginya seraya tersenyum dan tertawa menggoda.
“Nama gua Cinta!” celetuk Barada sambil tertawa.
Ketika melalui beberapa bapak yang sedang ngobrol di depan pagar sebuah rumah, Barada pun menyapa para orang tua tersebut sebagai sopan dan santun.
“Assalamu ‘alaikum, Pak RW!” sapa Barada dengan salam dan senyum ramah.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab ketiga orang tua itu.
“Ke mana, Badar?” tanya lelaki kurus berkumis tebal berkoko biru. Dialah Ketua RW lingkungan tersebut.
“Mengantar saudara, Pak RW,” jawab Barada.
“Hati-hati!”
“Ya, mari Pak RW,” kata Barada.
Ya, itulah beberapa tegur sapa Barada dengan masyarakat di sepanjang gang yang memang mengenalnya dengan baik. Ada lebih dari sepuluh tegur sapa dengan berbagai level orang.
Ketika motor sudah hendak keluar ke jalan besar, tiba-tiba seorang kakek muncul ke depan. Sambil melambaikan tangan, kakek berambut putih kusut itu menghadang motor Barada. Pencegatan itu membuat Rina agak terkejut, tapi Barada hanya terkekeh kecil kepada kakek yang muncul dengan wajah panik.
“Assalamu ‘alaikum, Kong Amid!” sapa Barada.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab kakek itu tetap dengan wajah serius sambil gulung sarung di pinggangnya agar lebih kencang, tapi membuat ujung sarungnya kian tinggi, sehingga dua lutut tuanya tampak.
“Kenapa, Kong?” tanya Barada.
“Badar, jamu Engkong habis!” kata si kakek, tak terlihat ada gigi di gusinya ketika ia berkata. “Kalau malam ini Engkong gak minum jamu, badan Engkong bisa pada sakit. Anwar sama bininya lagi di rumah encingnya.”
“Insya Allah, Kong. Mudah-mudahan Glek Tokcer buka, sebab dua hari lalu saya lihat tutup,” kata Barada.
“Wadduh! Tolong Engkong, Badar. Engkong bakal menderita kalau gak minum jamu!” desak kakek itu.
“Kong, lebih baik Engkong Amid pulang dulu, salat Isya dulu, dan berdoa semoga toko jamunya gak tutup,” kata Barada dengan nada lembut.
“Iye iye iye, Engkong mau pulang salat dulu,” kata Engkong Amid manggut-manggut.
“Tunggu saya datang ketuk pintu rumah Engkong. Ya, Kong?” kata Barada meyakinkan.
Engkong Amid lalu menepi dari depan motor Barada.
“Engkong tunggu, Badar,” kata Engkong Amid lagi.
“Ya, Kong. Assalamu ‘alaikum, Kong!”
“Wa ‘alaikum salam!” jawab Engkong Amid yang wajahnya masih tegang.
Barada kembali menjalankan motornya sambil tersenyum.
“Memangnya, tidak ada anak atau cucunya yang bisa pergi membelikannya jamu?” tanya Rina.
“Engkong Amid tinggal bersama anak ketiganya dan menantunya, tapi anaknya sedang silaturahmi ke Tangerang. Engkong ditinggal sendiri. Engkong Amid sudah ketergantungan jamu, jadi sehari saja tidak minum, badannya akan terasa sakit semua saat tidur,” jelas Barada.
“Elu tahu merek jamunya?” tanya Rina, karena Engkong Amid tadi tidak menyebutkan merek jamu yang ingin dibelinya.
“Iya, karena gua yang sering belikan Engkong jamu. Kalau menurut hitungan, jamu Engkong harusnya masih ada untuk sehari, mungkin jamunya ada yang rusak.”
“Engkong itu kerabat dekat elu?” tanya Rina.
“Bukan, tapi saya akrab dengan beliau sejak SMP. Namun sayang, meski sudah umur, beliau jarang salat. Makanya tadi saya suruh salat Isya dulu,” kata Barada lalu tertawa kecil. “Rumah kamu di mana, Rin?”
“Kompleks Citra 2,” jawab Rina.
Motor Barada pun masuk ke jalan raya besar dan mulai bersaing dengan kendaraan lain.
“Kita mampir ke toko jamu Glek Tokcer dulu, ya?”
“Ya. Badar, gua tanya-tanya elu terus, gak masalah?” tanya Rina, karena memang dia tidak akrab dengan Barada dan baru malam ini mengenalnya, meskipun sudah setahun lebih mereka bersekolah di satu gedung.
“Gak perlu sungkan, Rin. Tanya aja,” jawab Barada.
“Lu kan tadi sudah salat Isya, kenapa salat lagi sama nyokap lu?” tanya Rina.
“Itu namanya saya bersedekah kepada Ummi dan kamu. Karena semakin banyak jumlah jamaah, maka pahala salat berjamaah semakin besar. Salat Isya tadi, bagi kamu dan Ummi, itu wajib, sedangkan bagi saya adalah sunnah, bukan kewajiban lagi.”
“Lu pernah ngalamin yang gua alami tadi? Padahal gua gak mungkin seperti itu, sampai nangis gila kaya gitu. Ini nangis gua yang paling hebat dalam hidup gua.”
“Saya pernah nangis lama ketika Nenek meninggal. Seharian saya nangis. Juga waktu sahabat saya dibawa pergi bapaknya untuk dinikahkan di kampung. Dan pas waktu salat malam,” jawab Barada.
“Salat malam maksud lu salat Isya?” tanya Rina tuk menegaskan.
“Bukan. Salat malam itu maksudnya salat Tahajud. Tapi itu dulu. Sekarang saya lagi jarang salat malam. Giliran jarang, sepertinya susah banget untuk mulai lagi,” kata Barada. “Saya sih tidak bisa menduga apa penyebabnya kamu menangis. Saya rasa jawabannya kamu tahu. Saya tidak mau coba cari tahu. Biasanya, menangis dalam salat itu hal yang sangat baik.”
“Terus, kenapa bokap sama abang lu gak mau salaman sama gua waktu pulang?”
“Bukan muhrim,” jawab Barada sambil tertawa rendah, tapi pandangannya tetap fokus ke depan, memperhatikan jalan raya.
Motor yang mereka kendarai melaju dengan kecepatan sedang, sehingga seringkali mereka disalip oleh kendaraan lain.
“Meski bukan muhrim, apakah begitu serius jika harus bersentuhan dalam salaman?” tanya Rina.
“Dari hadis yang pernah saya baca sih, ancamannya serius di akhirat. Cuma hadisnya kurang populer, karena bertentangan dengan kebiasaan perilaku manusia pada era ini. Bagi manusia sekarang, bersentuhan dengan lawan jenis dirasakan sebagai hal yang menyenangkan hati. Maka lebih banyak dari manusia itu tidak memperdulikan larangan tersebut dan menganggap bersalaman dengan bukan muhrim sebagai hal yang biasa,” jelas Barada.
“Lu sendiri gimana?” tanya Rina lagi.
“Sama. Harus berani terima risiko. Pernah saya disebut ‘sok suci’ sama yang lain. Bahkan Pak Suryo dan Bu Rini mencoba meyakinkan saya bahwa itu pemahaman yang keliru.”
“Berarti lu anak kesayagannya Pak Mukhtar?” tanya Rina menebak.
“Enggak juga. Cuma kalau di sekolah, saya konsultasinya ke Ustad Mukhtar soal agama.”
“Gua pernah lihat elu pakai sepeda ke sekolah. Lu kan bisa naik motor?”
“Saya lebih suka pakai sepeda. Walaupun lebih lama, tapi mamfaatnya kamu tahulah.”
“Lu cuma dua bersaudara?”
“Empat, Rin. Dua adik saya, laki-laki dan perempuan di pesantren, di Bogor. Kelas sembilan dan tujuh tsanawiyah. Abang Gazza juga jebolan pesantren, lho.”
“Lu gak mondok?” tanya Rina lagi.
“Saya yang gak mau. Saya maunya tinggal sama Ummi. Puang sempat marah ke saya, karena menurut Puang, sekolah umum itu sangat mengkhawatirkan, tapi saya tetap gak mau. Jadi terpaksa, saya akhirnya diizinkan sekolah di umum.”
“Abang lu kuliah?”
“Ya, sambil jadi wartawan.”
“Wartawan apa?” Rina memburu, rasa ingin tahunya lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya.
“Wartawan jihad di kantor berita Islam internasional Miraj.”
“Internasional?” tanya Rina lagi.
“Kantornya sih di Jakarta Pusat, tapi jadi internasional karena tiga bahasa, Indonesia, Inggris dan Arab. Abang Gazza bisa Indonesia dan Inggris.”
“Kalau wartawan jihad maksudnya wartawan perang?” tanya Rina, benar-benar ingin tahu tentang pemuda yang tanpa sengaja terjadi dua insiden kecil dengannya saat di rumah Barada.
“Setahu saya, kantor berita Islam itu didirikan karena untuk perjuangan umat Islam. Orang-orang yang bekerja di dalamnya, bekerja atas dorongan amal saleh, bukan bekerja karena dorongan untuk mendapatkan uang seperti wartawan-wartawan pada umumnya. Abang Gazza menyebutnya ‘wartawan mujahid’ atau ‘wartawan jihad’. Yang kalau naik motor, lalu kecelakaan, terus meninggal, itu syahid masuk surga. Jadi Abang Gazza bekerja bukan buat hidupnya atau keluarganya, tapi untuk umat Islam dan agamanya, khususnya lagi bekerja untuk Allah dan Rasul-Nya. Keren gak? Bagi saya, biarpun Abang Gazza gak pernah ngasih selembar ke saya, tapi bagi saya Abang Gazza itu keren dan membanggakan, hahaha!”
Akhir dari penjelasannya Barada tertawa sendiri. Rina hanya diam berpikir, tidak ikut terbawa tawa.
“Kalau ada acara liputan di hotel yang tidak ketat kemanannya, saya beberapa kali diajak pas hari libur. Memang asik jadi wartawan, bisa keluyuran ke mana-mana dan sering makan enak. Hahaha!” Barada kembali tertawa.
“Tapi Abang lu sudah punya pacar belum?” tanya Rina lagi, tapi sayang pertanyaan itu hanya dipendam di dalam hati. Ada senyum mekar di bibir Rina saat memikirkan pertanyaan itu.
Akhirnya Barada menghentikan motornya di depan sebuah toko jamu bernama “Glek Tokcer”. Namun, toko yang jelas-jelas toko jamu itu tutup.
“Wah, kasihan Engkong Amid, toko jamunya tutup,” kata Barada kecewa.
“Ke toko jamu lainnya saja,” saran Rina.
“Ada sih satu toko jamu lainnya yang jual, tapi agak mutar jalannya. Kamu bisa tambah telat pulangnya. Lebih baik antar kamu pulang dulu, Rin,” kata Barada.
“Gak apa-apa, ke toko jamu itu saja dulu, baru ke rumah gua,” kata Rina.
“Siap! Hahaha!”
Rina hanya tersenyum di belakang. Terkadang dia merasa lucu melihat karakter Barada.
Barada pun kembali melesat. Perbincangan mereka di atas motor kembali berlanjut. Mereka harus menempuh jalan yang lebih jauh untuk pergi ke toko jamu yang dimaksud Barada.
Hanya sepuluh menit dari toko jamu awal. Mereka berhenti di depan sebuah warung jamu bernama “Ayu Semriwing”. Toko jamu yang penuh sesak oleh berbagai macam produk jamu botolan hingga bungkusan. Berbagai macam merek madu pun tertata rapih di rak jamu. Ada satu konsumen sedang duduk menunggu racikan jamunya oleh pemilik toko yang seorang wanita gemuk menggemaskan. Maksud menggemaskan karena dua pipinya terlihat empuk untuk digigit seperti bakpao.
Sementara si pelanggan adalah lelaki 40-an bercelana jeans biru. Mengenakan kaos oblong berwarna loreng yang bawahnya dimasukkan ke dalam celana. Tampak ganteng dengan sabuk berkepala gambar buaya mengkilat. Potongan rambutnya seperti tentara, meski perut gendutnya lebih menonjol daripada otot lelakinya.
Setelah parkir, Barada turun dari motor dan menghampiri si mbak gemuk, karena potongan perawakan pemilik toko kental berperawakan perempuan Jawa. Rina mengikuti Barada.
“Jamu Liong Gong ada, Mbak?” tanya Barada.
“Berapa?” tanya si mbak sambil tangannya tetap mengaduk jamu yang sudah digelaskan.
“Untuk seminggu minum,” jawab Barada.
“Sebentar ya, Mbak,” kata si mbak lalu membawakan jamu pesanan pelanggan gantengnya.
“Wih wih, udah cantik kok masih minum jamu?” tanya si bapak bertujuan menggoda.
Barada dan Rina jadi beralih memandang kepada si bapak. Barada tersenyum ramah, Rina diam saja.
“Biar cantiknya tidak luntur, Pak,” jawab Barada sambil tertawa kecil.
“Hahaha!” tawa lelaki bergaya ABRI itu. “Lu kira bedak kencur luntur, hahaha!”
Si mbak jamu juga ikut tertawa lalu beralih mengambilkan pesanan Barada.
“Jamu apa tuh, Pak?” tanya Barada tanpa sungkan.
“Om kan sudah kelihatan ganteng nih, tapi belum terlalu kuat. Jadi, harus minum jamu obat kuat. Hahaha!” jawab si bapak lalu tertawa lebih kencang.
Yang lainnya juga ikut tertawa, tapi tidak sekencang dia. Mereka mengerti maksud omongan si bapak.
“Biar kuat angkat tangan ya, Pak?” tanya Barada mengimbangi kelakar si bapak.
“Hahaha!” tawa si bapak lebih kencang.
Si mbak menyodorkan bingkisan plastik yang berisi sejumlah bungkusan jamu serbuk.
“Berapa, Mbak?” tanya Barada yang sudah hapal harganya jika beli di toko jamu langganannya.
“42 ribu.”
“Biar gua yang bayar, Badar,” kata Rina cepat sambil mengeluarkan selembar merah uang Rp100.000.
“Oh, jazakillah. Thank’s,” ucap Barada tersenyum senang.
Rina pun mengurus pembayarannya.
“Pak, kita duluan. Semoga tambah kuat!” kata Barada kepada si bapak.
“Ya ya ya,” si bapak manggut-manggut sambil terkekeh kecil.
Barada dan Rina kembali meluncur di jalan beraspal. Kali ini langsung menuju perumahan elit Citra 2, kompleks tempat rumah Rina berada. Di kawasan kompleks, Rina menuntun Barada belok kanan dan kirinya, sehingga mereka berhenti di depan rumah Rina.
“Subhanallah!” ucap Barada saat melihat rumah besar di depannya.
Sebuah rumah besar yang depannya dua lantai dan belakangnya tiga lantai. Empat tiang besar di terasnya berwarna merah mengkilap dan kokoh. Temboknya yang berwarna cat kuning emas banyak dihiasi cetakan ukiran khas klasik. Lampu-lampu mewah di atas tembok pagar hingga halaman, teras dan dalam rumah, menyala indah dan menjadi kekuatan utama dari kemegahan rumah itu. Di sisi kiri halaman depan terparkir dua mobil mewah. Masih ada yang terparkir di dalam garasi. Sementara di sisi kanan halaman depan adalah kolam sederhana dengan sebuah patung ikan berdiri tegak menganga ke langit, mulutnya memancarkan air mancur pendek.
Tit tiiit!
Barada memencet klakson dua kali setelah dipinta oleh Rina. Rina turun dari motor.
“Masuk dulu, yuk!” ajak Rina.
“Ingin sih, tapi maaf, sudah agak malam. Terlebih Engkong Amid menunggu saya. Saya hanya harus memastikan kamu masuk melewati pintu rumah,” kata Barada.
Dari teras rumah muncul seorang wanita berusia 30-an berlari datang ke pintu gerbang teralis besi yang dicat kuning emas itu. Setibanya di gerbang, wanita yang adalah salah satu pembantu di rumah itu segera membuka gerbang yang memang dikunci.
“Sesuai amanat Puang, saya baru pergi setelah kamu masuk ke rumah,” kata Barada.
“Terima kasih, Badar,” ucap Rina tersenyum kecil lalu bergerak melewati pintu gerbang dan terus menuju pintu rumah.
Barada hanya tersenyum dan tetap duduk di jok motornya, menunggu Rina masuk ke dalam rumah.
“Cewek itu benar-benar menunggu gua sampai masuk ke pintu rumah. Kalau gua enggak masuk, apa dia gak mau pergi?” pikir Rina.
Setibanya di teras, Rina berhenti. Dia tidak langsung masuk ke pintu rumah, tetapi justeru beralih duduk ke kursi sofa yang ada di teras.
Melihat hal itu, Barada jadi kerutkan kening tanda bertanya-tanya. Barada tidak beranjak juga dari posisinya di depan gerbang.
Sementara itu, Rina dalam hati tertawa melihat Barada tidak beranjak pergi.
“Coba, gua tes sampai sepuluh menit,” pikir Rina, tapi pura-pura tidak memandang ke arah Barada di depan sana. Ia mengeluarkan hp-nya dari tas mungilnya.
Melihat Rina tidak mengindahkannya, Barada memilih menunggu. Sementara pembantu yang tadi membukakan pintu sudah masuk terlebih dulu.
“Sampai kapan Rina tidak mau masuk ke rumahnya?” membatin Barada.
Lima menit berlalu. Rina masih duduk di kursi sibuk dengan androidnya. Ternyata Barada juga sabar menunggu. Hingga memang akhirnya sepuluh menit berlalu.
Rina akhirnya bangun berdiri dan memandang kepada Barada. Seraya tertawa, Rina melambaikan tangan kepada Barada. Lalu, Rina pun berbalik masuk ke dalam rumah melewati pintu utama.
“Rupanya Rina mengujiku,” membatin Barada seraya tersenyum kecil, tapi hatinya tidak kecewa dengan candaan Rina itu.
Barada lalu berbelok pergi meninggalkan depan rumah mewah itu.
Sekitar satu jam lamanya Rina dalam perjalanan bersama Barada. Dalam masa itu, bagi Rina banyak pelajaran yang ia petik dari seorang Barada. Bahkan di sepanjang malam itu, masa-masa bersama Barada begitu terpatri di dalam hati dan ingatannya. Hingga ketika akan tidur pun, Rina kesulitan memejamkan mata karena memikirkan Barada, sifat ibu Barada dan ayah Barada. Jika mengingat Gazza, Rina pasti senyum sendiri.
Setelah malam ini, keesokan harinya, Rina selalu memperhatikan tindak tanduk Barada. Terlebih ketika Barada menjadi Pemimpin Upacara Bendera di Senin pagi.
Malam itu adalah awal hubungan antara seorang Rina Viona dengan Barada yang akan berlanjut di hari-hari berikutnya. (RH)
Dan tenyata lagi, Barada adalah gadis yang populer di lingkungannya tersebut. Hal itu terbukti dari banyaknya sapaan kepada dirinya ketika motornya berpapasan dengan berbagai kalangan. Dan Barada pun tidak sungkan menyapa orang-orang yang dikenalnya ketika berlalu, terutama bagi kalangan orang tua.
“Mau ke mane malem-malem, Badar?” tanya seorang ibu yang duduk di teras rumahnya, logat Betawi kental dalam kalimatnya.
“Ngantar saudara, Nyak,” jawab Barada seraya tersenyum manis dan memelankan motornya.
“Ati-ati, anak Enyak si Bojek belum kawin, Badar!” kata si Enyak agak kencang.
“Siap, Nyak!” sahut Barada sambil tertawa dan berlalu.
“Apa hubungannya hati-hati dengan anaknya Enyak itu?” tanya Rina Viona yang dibonceng, setelah motor itu meniggalkan rumah si Enyak.
Rina duduk rapat di boncengan sambil tangannya menempel di kedua pinggang Barada.
“Hahaha!” Barada tertawa terlebih dahulu. “Nyak Wati berpesan saya hati-hati. Jika saya tidak selamat, maka Nyak Wati bisa patah hati. Sebab dia selalu bercita-cita anaknya si Bojek nikah sama saya, hahaha!”
Ketika lewat di depan kumpulan pemuda yang sedang minum-minum kopi susu dan bergitar ria, Barada pun mendapat sapaan berupa pertanyaan.
“Siapa tuh, Badar?” tanya seorang pemuda yang memang akrab dengan Barada.
“Saudara,” jawab Barada singkat tanpa menghentikan motornya.
“Nama gua Rangga!” teriak pemuda yang lain perkenalkan diri.
Barada hanya tertawa. Rina memandang keenam pemuda itu sekilas. Keenamnya memandanginya seraya tersenyum dan tertawa menggoda.
“Nama gua Cinta!” celetuk Barada sambil tertawa.
Ketika melalui beberapa bapak yang sedang ngobrol di depan pagar sebuah rumah, Barada pun menyapa para orang tua tersebut sebagai sopan dan santun.
“Assalamu ‘alaikum, Pak RW!” sapa Barada dengan salam dan senyum ramah.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab ketiga orang tua itu.
“Ke mana, Badar?” tanya lelaki kurus berkumis tebal berkoko biru. Dialah Ketua RW lingkungan tersebut.
“Mengantar saudara, Pak RW,” jawab Barada.
“Hati-hati!”
“Ya, mari Pak RW,” kata Barada.
Ya, itulah beberapa tegur sapa Barada dengan masyarakat di sepanjang gang yang memang mengenalnya dengan baik. Ada lebih dari sepuluh tegur sapa dengan berbagai level orang.
Ketika motor sudah hendak keluar ke jalan besar, tiba-tiba seorang kakek muncul ke depan. Sambil melambaikan tangan, kakek berambut putih kusut itu menghadang motor Barada. Pencegatan itu membuat Rina agak terkejut, tapi Barada hanya terkekeh kecil kepada kakek yang muncul dengan wajah panik.
“Assalamu ‘alaikum, Kong Amid!” sapa Barada.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab kakek itu tetap dengan wajah serius sambil gulung sarung di pinggangnya agar lebih kencang, tapi membuat ujung sarungnya kian tinggi, sehingga dua lutut tuanya tampak.
“Kenapa, Kong?” tanya Barada.
“Badar, jamu Engkong habis!” kata si kakek, tak terlihat ada gigi di gusinya ketika ia berkata. “Kalau malam ini Engkong gak minum jamu, badan Engkong bisa pada sakit. Anwar sama bininya lagi di rumah encingnya.”
“Insya Allah, Kong. Mudah-mudahan Glek Tokcer buka, sebab dua hari lalu saya lihat tutup,” kata Barada.
“Wadduh! Tolong Engkong, Badar. Engkong bakal menderita kalau gak minum jamu!” desak kakek itu.
“Kong, lebih baik Engkong Amid pulang dulu, salat Isya dulu, dan berdoa semoga toko jamunya gak tutup,” kata Barada dengan nada lembut.
“Iye iye iye, Engkong mau pulang salat dulu,” kata Engkong Amid manggut-manggut.
“Tunggu saya datang ketuk pintu rumah Engkong. Ya, Kong?” kata Barada meyakinkan.
Engkong Amid lalu menepi dari depan motor Barada.
“Engkong tunggu, Badar,” kata Engkong Amid lagi.
“Ya, Kong. Assalamu ‘alaikum, Kong!”
“Wa ‘alaikum salam!” jawab Engkong Amid yang wajahnya masih tegang.
Barada kembali menjalankan motornya sambil tersenyum.
“Memangnya, tidak ada anak atau cucunya yang bisa pergi membelikannya jamu?” tanya Rina.
“Engkong Amid tinggal bersama anak ketiganya dan menantunya, tapi anaknya sedang silaturahmi ke Tangerang. Engkong ditinggal sendiri. Engkong Amid sudah ketergantungan jamu, jadi sehari saja tidak minum, badannya akan terasa sakit semua saat tidur,” jelas Barada.
“Elu tahu merek jamunya?” tanya Rina, karena Engkong Amid tadi tidak menyebutkan merek jamu yang ingin dibelinya.
“Iya, karena gua yang sering belikan Engkong jamu. Kalau menurut hitungan, jamu Engkong harusnya masih ada untuk sehari, mungkin jamunya ada yang rusak.”
“Engkong itu kerabat dekat elu?” tanya Rina.
“Bukan, tapi saya akrab dengan beliau sejak SMP. Namun sayang, meski sudah umur, beliau jarang salat. Makanya tadi saya suruh salat Isya dulu,” kata Barada lalu tertawa kecil. “Rumah kamu di mana, Rin?”
“Kompleks Citra 2,” jawab Rina.
Motor Barada pun masuk ke jalan raya besar dan mulai bersaing dengan kendaraan lain.
“Kita mampir ke toko jamu Glek Tokcer dulu, ya?”
“Ya. Badar, gua tanya-tanya elu terus, gak masalah?” tanya Rina, karena memang dia tidak akrab dengan Barada dan baru malam ini mengenalnya, meskipun sudah setahun lebih mereka bersekolah di satu gedung.
“Gak perlu sungkan, Rin. Tanya aja,” jawab Barada.
“Lu kan tadi sudah salat Isya, kenapa salat lagi sama nyokap lu?” tanya Rina.
“Itu namanya saya bersedekah kepada Ummi dan kamu. Karena semakin banyak jumlah jamaah, maka pahala salat berjamaah semakin besar. Salat Isya tadi, bagi kamu dan Ummi, itu wajib, sedangkan bagi saya adalah sunnah, bukan kewajiban lagi.”
“Lu pernah ngalamin yang gua alami tadi? Padahal gua gak mungkin seperti itu, sampai nangis gila kaya gitu. Ini nangis gua yang paling hebat dalam hidup gua.”
“Saya pernah nangis lama ketika Nenek meninggal. Seharian saya nangis. Juga waktu sahabat saya dibawa pergi bapaknya untuk dinikahkan di kampung. Dan pas waktu salat malam,” jawab Barada.
“Salat malam maksud lu salat Isya?” tanya Rina tuk menegaskan.
“Bukan. Salat malam itu maksudnya salat Tahajud. Tapi itu dulu. Sekarang saya lagi jarang salat malam. Giliran jarang, sepertinya susah banget untuk mulai lagi,” kata Barada. “Saya sih tidak bisa menduga apa penyebabnya kamu menangis. Saya rasa jawabannya kamu tahu. Saya tidak mau coba cari tahu. Biasanya, menangis dalam salat itu hal yang sangat baik.”
“Terus, kenapa bokap sama abang lu gak mau salaman sama gua waktu pulang?”
“Bukan muhrim,” jawab Barada sambil tertawa rendah, tapi pandangannya tetap fokus ke depan, memperhatikan jalan raya.
Motor yang mereka kendarai melaju dengan kecepatan sedang, sehingga seringkali mereka disalip oleh kendaraan lain.
“Meski bukan muhrim, apakah begitu serius jika harus bersentuhan dalam salaman?” tanya Rina.
“Dari hadis yang pernah saya baca sih, ancamannya serius di akhirat. Cuma hadisnya kurang populer, karena bertentangan dengan kebiasaan perilaku manusia pada era ini. Bagi manusia sekarang, bersentuhan dengan lawan jenis dirasakan sebagai hal yang menyenangkan hati. Maka lebih banyak dari manusia itu tidak memperdulikan larangan tersebut dan menganggap bersalaman dengan bukan muhrim sebagai hal yang biasa,” jelas Barada.
“Lu sendiri gimana?” tanya Rina lagi.
“Sama. Harus berani terima risiko. Pernah saya disebut ‘sok suci’ sama yang lain. Bahkan Pak Suryo dan Bu Rini mencoba meyakinkan saya bahwa itu pemahaman yang keliru.”
“Berarti lu anak kesayagannya Pak Mukhtar?” tanya Rina menebak.
“Enggak juga. Cuma kalau di sekolah, saya konsultasinya ke Ustad Mukhtar soal agama.”
“Gua pernah lihat elu pakai sepeda ke sekolah. Lu kan bisa naik motor?”
“Saya lebih suka pakai sepeda. Walaupun lebih lama, tapi mamfaatnya kamu tahulah.”
“Lu cuma dua bersaudara?”
“Empat, Rin. Dua adik saya, laki-laki dan perempuan di pesantren, di Bogor. Kelas sembilan dan tujuh tsanawiyah. Abang Gazza juga jebolan pesantren, lho.”
“Lu gak mondok?” tanya Rina lagi.
“Saya yang gak mau. Saya maunya tinggal sama Ummi. Puang sempat marah ke saya, karena menurut Puang, sekolah umum itu sangat mengkhawatirkan, tapi saya tetap gak mau. Jadi terpaksa, saya akhirnya diizinkan sekolah di umum.”
“Abang lu kuliah?”
“Ya, sambil jadi wartawan.”
“Wartawan apa?” Rina memburu, rasa ingin tahunya lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya.
“Wartawan jihad di kantor berita Islam internasional Miraj.”
“Internasional?” tanya Rina lagi.
“Kantornya sih di Jakarta Pusat, tapi jadi internasional karena tiga bahasa, Indonesia, Inggris dan Arab. Abang Gazza bisa Indonesia dan Inggris.”
“Kalau wartawan jihad maksudnya wartawan perang?” tanya Rina, benar-benar ingin tahu tentang pemuda yang tanpa sengaja terjadi dua insiden kecil dengannya saat di rumah Barada.
“Setahu saya, kantor berita Islam itu didirikan karena untuk perjuangan umat Islam. Orang-orang yang bekerja di dalamnya, bekerja atas dorongan amal saleh, bukan bekerja karena dorongan untuk mendapatkan uang seperti wartawan-wartawan pada umumnya. Abang Gazza menyebutnya ‘wartawan mujahid’ atau ‘wartawan jihad’. Yang kalau naik motor, lalu kecelakaan, terus meninggal, itu syahid masuk surga. Jadi Abang Gazza bekerja bukan buat hidupnya atau keluarganya, tapi untuk umat Islam dan agamanya, khususnya lagi bekerja untuk Allah dan Rasul-Nya. Keren gak? Bagi saya, biarpun Abang Gazza gak pernah ngasih selembar ke saya, tapi bagi saya Abang Gazza itu keren dan membanggakan, hahaha!”
Akhir dari penjelasannya Barada tertawa sendiri. Rina hanya diam berpikir, tidak ikut terbawa tawa.
“Kalau ada acara liputan di hotel yang tidak ketat kemanannya, saya beberapa kali diajak pas hari libur. Memang asik jadi wartawan, bisa keluyuran ke mana-mana dan sering makan enak. Hahaha!” Barada kembali tertawa.
“Tapi Abang lu sudah punya pacar belum?” tanya Rina lagi, tapi sayang pertanyaan itu hanya dipendam di dalam hati. Ada senyum mekar di bibir Rina saat memikirkan pertanyaan itu.
Akhirnya Barada menghentikan motornya di depan sebuah toko jamu bernama “Glek Tokcer”. Namun, toko yang jelas-jelas toko jamu itu tutup.
“Wah, kasihan Engkong Amid, toko jamunya tutup,” kata Barada kecewa.
“Ke toko jamu lainnya saja,” saran Rina.
“Ada sih satu toko jamu lainnya yang jual, tapi agak mutar jalannya. Kamu bisa tambah telat pulangnya. Lebih baik antar kamu pulang dulu, Rin,” kata Barada.
“Gak apa-apa, ke toko jamu itu saja dulu, baru ke rumah gua,” kata Rina.
“Siap! Hahaha!”
Rina hanya tersenyum di belakang. Terkadang dia merasa lucu melihat karakter Barada.
Barada pun kembali melesat. Perbincangan mereka di atas motor kembali berlanjut. Mereka harus menempuh jalan yang lebih jauh untuk pergi ke toko jamu yang dimaksud Barada.
Hanya sepuluh menit dari toko jamu awal. Mereka berhenti di depan sebuah warung jamu bernama “Ayu Semriwing”. Toko jamu yang penuh sesak oleh berbagai macam produk jamu botolan hingga bungkusan. Berbagai macam merek madu pun tertata rapih di rak jamu. Ada satu konsumen sedang duduk menunggu racikan jamunya oleh pemilik toko yang seorang wanita gemuk menggemaskan. Maksud menggemaskan karena dua pipinya terlihat empuk untuk digigit seperti bakpao.
Sementara si pelanggan adalah lelaki 40-an bercelana jeans biru. Mengenakan kaos oblong berwarna loreng yang bawahnya dimasukkan ke dalam celana. Tampak ganteng dengan sabuk berkepala gambar buaya mengkilat. Potongan rambutnya seperti tentara, meski perut gendutnya lebih menonjol daripada otot lelakinya.
Setelah parkir, Barada turun dari motor dan menghampiri si mbak gemuk, karena potongan perawakan pemilik toko kental berperawakan perempuan Jawa. Rina mengikuti Barada.
“Jamu Liong Gong ada, Mbak?” tanya Barada.
“Berapa?” tanya si mbak sambil tangannya tetap mengaduk jamu yang sudah digelaskan.
“Untuk seminggu minum,” jawab Barada.
“Sebentar ya, Mbak,” kata si mbak lalu membawakan jamu pesanan pelanggan gantengnya.
“Wih wih, udah cantik kok masih minum jamu?” tanya si bapak bertujuan menggoda.
Barada dan Rina jadi beralih memandang kepada si bapak. Barada tersenyum ramah, Rina diam saja.
“Biar cantiknya tidak luntur, Pak,” jawab Barada sambil tertawa kecil.
“Hahaha!” tawa lelaki bergaya ABRI itu. “Lu kira bedak kencur luntur, hahaha!”
Si mbak jamu juga ikut tertawa lalu beralih mengambilkan pesanan Barada.
“Jamu apa tuh, Pak?” tanya Barada tanpa sungkan.
“Om kan sudah kelihatan ganteng nih, tapi belum terlalu kuat. Jadi, harus minum jamu obat kuat. Hahaha!” jawab si bapak lalu tertawa lebih kencang.
Yang lainnya juga ikut tertawa, tapi tidak sekencang dia. Mereka mengerti maksud omongan si bapak.
“Biar kuat angkat tangan ya, Pak?” tanya Barada mengimbangi kelakar si bapak.
“Hahaha!” tawa si bapak lebih kencang.
Si mbak menyodorkan bingkisan plastik yang berisi sejumlah bungkusan jamu serbuk.
“Berapa, Mbak?” tanya Barada yang sudah hapal harganya jika beli di toko jamu langganannya.
“42 ribu.”
“Biar gua yang bayar, Badar,” kata Rina cepat sambil mengeluarkan selembar merah uang Rp100.000.
“Oh, jazakillah. Thank’s,” ucap Barada tersenyum senang.
Rina pun mengurus pembayarannya.
“Pak, kita duluan. Semoga tambah kuat!” kata Barada kepada si bapak.
“Ya ya ya,” si bapak manggut-manggut sambil terkekeh kecil.
Barada dan Rina kembali meluncur di jalan beraspal. Kali ini langsung menuju perumahan elit Citra 2, kompleks tempat rumah Rina berada. Di kawasan kompleks, Rina menuntun Barada belok kanan dan kirinya, sehingga mereka berhenti di depan rumah Rina.
“Subhanallah!” ucap Barada saat melihat rumah besar di depannya.
Sebuah rumah besar yang depannya dua lantai dan belakangnya tiga lantai. Empat tiang besar di terasnya berwarna merah mengkilap dan kokoh. Temboknya yang berwarna cat kuning emas banyak dihiasi cetakan ukiran khas klasik. Lampu-lampu mewah di atas tembok pagar hingga halaman, teras dan dalam rumah, menyala indah dan menjadi kekuatan utama dari kemegahan rumah itu. Di sisi kiri halaman depan terparkir dua mobil mewah. Masih ada yang terparkir di dalam garasi. Sementara di sisi kanan halaman depan adalah kolam sederhana dengan sebuah patung ikan berdiri tegak menganga ke langit, mulutnya memancarkan air mancur pendek.
Tit tiiit!
Barada memencet klakson dua kali setelah dipinta oleh Rina. Rina turun dari motor.
“Masuk dulu, yuk!” ajak Rina.
“Ingin sih, tapi maaf, sudah agak malam. Terlebih Engkong Amid menunggu saya. Saya hanya harus memastikan kamu masuk melewati pintu rumah,” kata Barada.
Dari teras rumah muncul seorang wanita berusia 30-an berlari datang ke pintu gerbang teralis besi yang dicat kuning emas itu. Setibanya di gerbang, wanita yang adalah salah satu pembantu di rumah itu segera membuka gerbang yang memang dikunci.
“Sesuai amanat Puang, saya baru pergi setelah kamu masuk ke rumah,” kata Barada.
“Terima kasih, Badar,” ucap Rina tersenyum kecil lalu bergerak melewati pintu gerbang dan terus menuju pintu rumah.
Barada hanya tersenyum dan tetap duduk di jok motornya, menunggu Rina masuk ke dalam rumah.
“Cewek itu benar-benar menunggu gua sampai masuk ke pintu rumah. Kalau gua enggak masuk, apa dia gak mau pergi?” pikir Rina.
Setibanya di teras, Rina berhenti. Dia tidak langsung masuk ke pintu rumah, tetapi justeru beralih duduk ke kursi sofa yang ada di teras.
Melihat hal itu, Barada jadi kerutkan kening tanda bertanya-tanya. Barada tidak beranjak juga dari posisinya di depan gerbang.
Sementara itu, Rina dalam hati tertawa melihat Barada tidak beranjak pergi.
“Coba, gua tes sampai sepuluh menit,” pikir Rina, tapi pura-pura tidak memandang ke arah Barada di depan sana. Ia mengeluarkan hp-nya dari tas mungilnya.
Melihat Rina tidak mengindahkannya, Barada memilih menunggu. Sementara pembantu yang tadi membukakan pintu sudah masuk terlebih dulu.
“Sampai kapan Rina tidak mau masuk ke rumahnya?” membatin Barada.
Lima menit berlalu. Rina masih duduk di kursi sibuk dengan androidnya. Ternyata Barada juga sabar menunggu. Hingga memang akhirnya sepuluh menit berlalu.
Rina akhirnya bangun berdiri dan memandang kepada Barada. Seraya tertawa, Rina melambaikan tangan kepada Barada. Lalu, Rina pun berbalik masuk ke dalam rumah melewati pintu utama.
“Rupanya Rina mengujiku,” membatin Barada seraya tersenyum kecil, tapi hatinya tidak kecewa dengan candaan Rina itu.
Barada lalu berbelok pergi meninggalkan depan rumah mewah itu.
Sekitar satu jam lamanya Rina dalam perjalanan bersama Barada. Dalam masa itu, bagi Rina banyak pelajaran yang ia petik dari seorang Barada. Bahkan di sepanjang malam itu, masa-masa bersama Barada begitu terpatri di dalam hati dan ingatannya. Hingga ketika akan tidur pun, Rina kesulitan memejamkan mata karena memikirkan Barada, sifat ibu Barada dan ayah Barada. Jika mengingat Gazza, Rina pasti senyum sendiri.
Setelah malam ini, keesokan harinya, Rina selalu memperhatikan tindak tanduk Barada. Terlebih ketika Barada menjadi Pemimpin Upacara Bendera di Senin pagi.
Malam itu adalah awal hubungan antara seorang Rina Viona dengan Barada yang akan berlanjut di hari-hari berikutnya. (RH)
Berlanjut: Kenapa Ketua Geng Harus Berhijab? (8)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar