Kenapa Ketua Geng Harus Berhijab? (8)

Ilustrasi Muslimah bercadar. (Foto: dok. Fau2i.blogspot.com)
Oleh: Rudi Hendrik
2016

Bab Sebelumnya:



Kemarin, Rina Viona menolak ajakan anak-anak Geng Bintang Tujuh sepulang sekolah pergi main ke mall yang hanya selompatan kaki jaraknya dari gerbang sekolah.

“Sorry, gua lagi enggak mood.”

Hanya itu alasan yang Rina berikan kepada teman-temannya, membuat keenam gadis Geng Bintang Tujuh lainnya merengut kecewa, terutama bagi Duo K (Windi Anggita dan Ade Irma). Kedua gadis pemuja K-Pop itu berencana beli album terbaru Red Velvet, girlband Korea Selatan yang saat itu lagunya merajai tangga lagu. Bagi mereka, tidak akan seru tanpa keikutsertaan Rina.

Sementara Indah Pertiwi hanya memandang curiga kepada Rina saat itu. Hingga ketika Rina duduk nyaman di sedan jemputannya menuju pulang, Indah menelepon Rina.

“Lu ribut lagi sama Roy, Rin?” tanya Indah di telepon.

“Gak usah sebut dia lagi, Wi. Salah gua, gua enggak dengerin kecurigaan elu. Tapi gua enggak apa-apa kok,” jawab Rina.

“Bagi lu mungkin enggak apa-apa, tapi enggak buat kita berenam. Setelah lu ketemuan lagi sama dia, kita ngerasain, lu bukan Rina yang sebelumnya. Bintang Tujuh seperti kehilangan kepala, tahu gak? Bukan cuma gua aja yang ngerasa seperti itu, tapi anak-anak juga,” ujar Indah yang biasa dipanggil Iwi.

“Ini bukan tentang dia kok, benar bukan tentang dia,” tegas Rina.

“Kalau bukan karena Roy, lalu apa? Baru kali ini lu gak terbuka sama kita, biasanya sampai ke masalah yang sangat pribadi pun, lu ungkapin ke kita. Ribut sama bonyok (bokap dan nyokap), lu sudah biasa dan enggak sampai begini sikap lu. Ayo dong, Rin, ngomong ke kita. Kita bertujuh adalah sahabat dalam baik dan jahat. Gak ada rahasia di antara kita, itu janji kita di dalam geng.”
Indah berusaha mendesak Rina.

Rina terdiam sejenak. Sementara Burhan, sopir pribadi keluarga Rina hanya fokus ke jalan.

Rina memang mengakui, dengan tidak bercerita kepada sahabat-sahabatnya tentang masalahnya, ia telah melanggar janji yang telah mereka ikrarkan di saat Geng Bintang Tujuh dibentuk. Setiap anggota geng memiliki kewajiban menceritakan segala permasalahan pribadinya kepada sesama anggota geng, sehingga mereka memiliki keterikatan persahabatan yang kental, meski terkadang mereka harus bahu membahu dalam kenakalan remaja dan pelajar.

Sambil tetap menempelkan hp-nya di telinga, pandangan Rina menerawang menembus hitamnya kaca jendela mobil, melihat pemandangan pinggir jalan raya kota Jakarta.

Ketika Indah terus berbicara di telepon, perhatian Rina justeru terfokus kepada lima orang wanita muda yang semuanya berhijab. Warna pakaian mereka yang tertutup dan longgar terlihat indah berwarna-warni. Gaya berjilbabnya pun mengikuti mode terkini, tapi tetap menutupi hingga perut. Dua di antaranya memakai kacamata hitam mahal, kian mempercantik gaya penampilannya. Sepatu yang mereka kenakan pun dari jenis yang mahal, termasuk tas dan asesoris yang mereka kenakan. Kelimanya sedang menuruni tangga mall yang menuju pinggir jalan.

Walaupun penampilan kelima Muslimah muda itu terkesan glamour yang menunjukkan kelasnya, tapi bagi Rina mereka terlihat anggun dan cantik.

“Mereka terlihat begitu cantik, anggun, salihah,” membatin Rina. Tapi pikirannya segera membantah sendiri, “Ah, belum tentu mereka cewek-cewek yang rajin ibadah. Mereka berjilbab kan hanya untuk menutupi kekurangan fisiknya. Tapi, masa iya cewek berkulit putih seperti itu gak punya badan yang aduhai sampai-sampai harus ditutupi?”

“Rin? Rin?” panggil Indah di telepon, karena omongannya tidak ditanggapi oleh Rina.

“Ya?” sahut Rina yang tersadar dari keterpukauannya terhadap kelompok Muslimah itu. Lalu katanya kepada Indah, “Udah dulu, Wi. Besok kan kita ngumpul lagi.”

Rina lalu mematikan sambungan teleponnya. Batin dan pikirannya berkecamuk. Ia membandingkan lima Muslimah tadi dengan kelompoknya. Namun, ada rasa bersalah juga yang ia pendam terhadap para sahabatnya, terlebih ia adalah Ketua Geng Bintang Tujuh.

Tiba-tiba Rina tersenyum sendiri. Hal itu karena ia teringat kepada Barada, gadis ceria berjilbab yang tingkahnya seperti tanpa beban hutang. Hari ini ia hanya melihat Barada sebentar, saat gadis berlesung pipit itu membungkuk seperti orang Jepang kepada guru pelajaran Bahasa Inggris, Ibu Nurhayati yang juga berjilbab.

Ketika mobil berhenti di lampu merah, Rina kembali disuguhkan pemandangan yang membuatnya terusik. Di sisi mobilnya turut berhenti beberapa motor, tapi satu motor dikendarai oleh seorang lelaki yang masih cukup muda berhelm hitam. Di pinggangnya melingkar dua tangan wanita bersarung tangan hitam, sehingga kulit tangannya tidak tampak. Lebih ekstrim lagi bagi Rina, wanita yang memeluk perut lelaki itu dari boncengan, berpakaian longgar serba hitam dan bercadar. Ia mengenakan helm pula. Jadi hanya matanya yang tampak. Ketika Rina melirik ke kaki wanita bercadar itu, juga tertutup rapat oleh sarung kaki hitam tebal. Keduanya tampak begitu mesra, terlihat dari tawa kecil si pemuda sambil berbicara kepada isterinya.

“Wow!” Rina terpukau.

Kaca hitam pintu mobil membuat pasangan itu tidak bisa melihat dan menyadari bahwa Rina sedang memperhatikan mereka dari dalam mobil yang hanya sejangkauan tangan jauhnya.

“Pak Burhan!” panggil Rina kepada sopirnya yang masih menunggu lampu lalu-lintas giliran menyala hijau.

“Ya, Neng?” sahut sopir berusia 43 tahun itu, bernada bertanya.

“Kenapa sih cewek di sebelah itu nutupin semua badannya sampai muka dan tangan? Kan aneh kelihatannya,” tanya Rina.

“Wadduh, itu mah Bapak enggak tahu jelas, Neng. Tapi Bapak pernah dengar sih, melaksanakan perintah Tuhan,” jawab Burhan lalu injak gas perlahan seiring lampu hijau menyala.

“Ah, jawaban Bapak gak memuaskan!” rutuk Rina yang hanya membuat Burhan terkekeh pelan. “Kalau melaksanakan perintah Tuhan, berarti yang sudah berjilbab belum melaksanakan perintah Tuhan dong. Ah, kayaknya bukan itu deh. Lagi pula, kalau ketutup semua begitu, perempuan itu kan rugi. Dia gak bisa dikenali, ribet gak bisa bergerak bebas, pasti gerahnya minta ampun, kayak alien di tengah masyarakat modern, dan yang pasti lelah nyuci bajunya.”

“Tapi, Neng, kebanyakan teroris yang ditangkap, isterinya pada pakai cadar seperti itu,” kata Burhan.

“Ah, itu mah konspirasi, Pak. Biarpun gua gak ngerti agama, tapi gua tahu, kasus-kasus teroris di seluruh dunia dan di Indonesia, semuanya konspirasi politik. Kalau orang ngerti agama, mana mungkin berbuat jahat begitu sama orang lain. Kalau gua kan gak ngerti agama, jadi enggak apa berbuat jahat,” kata Rina.

“Wah, tidak begitu juga kali, Neng. Masa, gara-gara gak ngerti agama boleh jadi jahat,” sanggah Burhan.

“Badar pasti bisa jawab penasaran gua,” ucap Rina menyebut nama panggilan Barada. “Atau Bang Gazza.”

Rina kembali tersenyum sendiri ketika mengingat pemuda bernama Fath Gazza, kakak laki-laki Barada. Dua kali insiden kecil di dapur dan di pintu kamar mandi rumah Barada, memberi kesan mendalam bagi Rina. Ada kesan indah dalam situasi yang menggelikan. Jelas peristiwa beberapa malam yang lalu itu membuat hati Rina memberi perasaan lebih terhadap pemuda yang katanya seorang “wartawan jihad”.

“Sayang, gua gak punya nomor Badar,” batin Rina, lalu berpikir keras, bagaimana caranya bisa menelepon Barada. “Harusnya pikiran gua ini muncul pas tadi di sekolah.”

Rina lalu mencari nama kontak siswa kelas dua SMK Akuntansi di hp-nya.

“Pak, ke DM ya!” perintah Rina kepada Burhan, merujuk pada mall Daan Mogot.

“Tapi, Neng, Ibu nanti jam empat mau diantar ke salon,” kata Burhan.

“Kan ada Iwan yang bisa antar Nyokap!” kata Rina dengan nada sedikit tinggi, keningnya berkerut tidak senang dengan alasan Burhan.

“Iya sih, Neng. Tapi....” ucap Burhan berat.

“Kalau Bapak gak mau ngantar, gak mau nungguin, gua bisa turun di sini dan naik taksi!” kata Rina marah, setengah berteriak. Tabiat jeleknya mulai muncul.

“Jangan, Neng!” kata Burhan cepat. “Iya, Bapak antar dan tungguin sampai pulang.”

“Bapak kan bisa bilang ke Nyokap kalau antar gua. Bilang aja untuk urusan darurat. Kenapa sih takut banget sama Nyokap?” dumel Rina merengut, tapi tetap mempesona kecantikannya.

Akhirnya Burhan mengubah arah tujuan mobilnya.

Rina menempelkan hp-nya di telinga setelah menyentuh sebuah nomor kontak.

“Dang, elu megang nomor hp Badar, gak?” tanya Rina kepada siswa teman sekelas Barada yang diteleponnya.

“Enggak. Coba minta sama Dwi, teman sebangkunya,” kata Dadang di dalam telepon.

“Gua gak punya nomor Dwi. Coba deh elu kirimin ke nomor gua!” kata Rina.

“Oke!”

Rina lalu menutup teleponnya dan menunggu.

Ciut ciut ciut!

Suara tanda pesan WhatsApp masuk berbunyi seperti kicauan burung. Rina segera membuka dan ada kiriman sebuah nomor atas nama Dwi Rahayu.

Rina langsung menghubungi nomor Dwi Rahayu. Setelah beberapa kali tut-tutan, Dwi yang entah ada di mana menjawab.

“Hallo! Assalamu ‘alaikum?” ucap Dwi nun jauh di sana.

“Dwi, gua Rina, anak sekretaris. Gua mau minta nomor hp Badar,” kata Rina langsung perkenalkan diri dan jelaskan maksud, tanpa jawab salam Dwi lagi.

Dwi yang ada di ujung sana terdiam sejenak, seolah dia sedang berpikir mengingat siswi jurusan sekretaris yang bernama Rina.

“Oh,” ucap Dwi tanda paham. “Sorry, Rin. Badar gak punya hp.”

“Gak punya?!” ulang Rina terkejut, sepertinya tidak percaya. “Jaman mobile dan digital gini dia gak punya hp?”

“Badar bukannya gak bisa beli, tapi gak mau punya hp,” jelas Dwi yang merupakan teman sebangku Barada.

“Gila tuh anak,” celetuk Rina tidak habis pikir dengan karakter Barada. “Terus, kalau lu mau nelepon dia, ke nomor siapa?”

“Gak pernah sih selama ini. Kalau memang gua ada perlu penting sama Badar, gua tunggu besok di sekolah atau gua ke rumahnya.”


style="font-size: large;">
“Jadi lu gak punya nomor yang bisa ditelepon biar nyambung ke dia?” tanya Rina lagi.

“Enggak,” jawab Dwi.

“Ya udah, thank’s, Dwi.”

Rina dengan hempasan napas kecewa menutup komunikasinya. Sementara ini ia merasa buntu untuk mencoba mencari cara menelepon Barada.

“Kalau ke rumahnya, selain ribet masuk gang, juga malu kalau gua masih kayak gini,” pikir Rina.

Di mall Daan Mogot, Rina ternyata pergi ke butik pakaian Muslim.

“Gila! Kalau anak-anak Bintang Tujuh ngelihat gua masuk ke butik ini, bisa histeris mereka,” membatin Rina.

Kehadiran Rina sempat menarik perhatian beberapa pelanggan yang sudah ada terlebih dahulu di butik itu. Bagaimana tidak? Ketika pelanggan Muslimah semuanya berjilbab dan berpakaian menutup aurat hingga minimal mata kaki, Rina justeru tampil dengan seragam sekolah berok pendek, bahkan setengah paha.

Ada rasa risih juga ketika Rina merasa jadi sorotan sesaat, tapi ia coba tepis rasa itu dan berlaku cuek. Seorang pelayan berhijab yang cantik dengan dandanannya segera menyambutnya dan mendampinginya. 

Kelebihan butik itu, selain menyediakan banyak pilihan busana Muslim pria dan wanita, juga karena besarnya membuat konsumen merasa lega dan nyaman, tidak harus berdesakan dengan konsumen lain.

Rina akhirnya membayar dengan kartu kredit untuk pembeliannya beberapa set pakaian Muslimah, termasuk untuk seragamnya.

“Gila lu, Rin. Lu benar-benar gila!” teriak Rina dalam hatinya ketika kakinya keluar dari butik dengan membawa beberapa paper bag berlogo nama butik tersebut. “Bagaimana bisa seorang Ketua Geng Bintang Tujuh beli pakaian Muslim? Kalau beli doang masih bisa diampuni. Tapi kalau sampai pakai, bisa hancur gua.”

Di dalam hati dan pikiran Rina berdebat sengit antara pasukan malaikat dan setan. Terbayang pula di atas kepala Rina, keenam sahabatnya dalam Geng Bintang Tujuh sedang mencaci maki dan menceramahi dirinya habis-habisan. Bahkan menertawakannya atas keputusannya membeli pakaian Muslimah.

Semenjak keluar dari butik, saat di mobil, hingga tiba di kamar mewahnya di rumah, kebimbangan terus menggelayuti perasaan dan pikiran Rina. Berulang kali otaknya diputar untuk mencari cara, bagaimana agar bisa menghubungi Barada.

“Andaikan gua punya nomor Bang Gazza,” khayal Rina sambil menghenyakkan pantatnya ke pinggiran kasur yang jika sedikit saja diduduki, sudah bergenjot kencang dengan sendirinya. “Jangan-jangan tuh cowok juga enggak punya hp sama dengan adiknya.”

Rina memandangi tiga tas belanjaan yang ia hempaskan begitu saja di atas kasur.

Rina lalu bertanya sendiri dengan suara dikeraskan, “Kenapa, Ketua Geng Bintang Tujuh harus berhijab?”

Namun, pertanyaan itu tidak ada yang menjawab, hanya keheningan kamar mewah yang tercipta.

Rina memandang tajam ke wajah Ariel Noah Band yang terpampang dalam sebuah poster besar di salah satu dinding kamarnya. Meski matanya memandang wajah musisi ternama itu, tapi mata batinnya justeru memandang wajah Gazza, yang seolah hampir hilang bekasnya karena terkikis oleh waktu. Harusnya ada restart kembali agar bayangan wajah itu bisa tergambar dengan jelas di file memori.

“Bang Gazza kan wartawan, pasti punya hp. Dan pasti punya nomor kantor,” kata Rina tersentak, menemukan secercah cahaya harapan. “Hahaha!”

Rina tertawa senang bukan alang kepalang, seumpama dapat lotere boneka bebek.

Sambil tertawa-tawa kegirangan, gadis berambut ikal itu segera mengambil laptopnya yang tersimpan di atas meja belajar. Sambil membuka dan menyalakan laptopnya, tawa Rina berubah jadi senyum-senyum.

Otaknya segera bekerja untuk merangkai kalimat sapaan awal dan selanjutnya kalimat kedua, jika nanti ia bicara dengan Gazza di telepon.

Setelah terkoneksi dengan WiFi rumah, Rina terdiam sejenak, mencoba mengingat nama media tempat kakak Barada bekerja sebagai wartawan.

“Apa ya?” pikir Rina seketika senyumnya terhenti, berubah dengan wajah serius dan kening mengerut samar. Ia bingung harus mengetik apa.

Namun tidak lama, sebuah ilustrasi bohlam lampu menyala di atas kepalanya, tanda menemukan jalan.

“Kantor berita Islam internasional,” ucap Rina sambil mengetik kata kunci di Google.

Dalam waktu singkat muncullah serangkaian judul yang punya link web masing-masing.

“Ini dia, kantor berita Islam internasional Mirajnews.com,” ucap Rina pelan sambil mengklik link yang ada.

Muncullah di monitor sebuah situs bernuansa Islam dengan menyajikan berita-berita dunia Islam skala dunia, lengkap dengan tulisan-tulisan tentang agama Islam. Rina pun segera membongkar-bongkar situs tersebut yang disajikan dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris dan Arab. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah berita Timur Tengah yang pewartanya bernama Fath Gazza.

“Tapi gak ada nomor teleponnya,” membatin Rina. “Minta di nomor kantornya saja.”

Setelah menemukan nomor telepon kantor, Rina segera menelepon.

“Assalamu ‘alaikum. Dengan kantor berita Islam Mi’raj,” jawab operator yang mengangkat telepon Rina.

“Wa ‘alaikum salam. Di sini ada wartawan yang bernama Gazza?” tanya Rina.

“Benar, Bu. Maaf, dengan ibu siapa ini?” tanya operator yang di sana.

“Rina, teman adik Bang Gazza. Bisa minta nomor Bang Gazza?”

“Sebentar ya, Mbak,” jawab operator merubah menyebut Rina dari “ibu” menjadi “Mbak”, karena Rina mengaku teman adiknya Gazza.

Sebentar kemudian, operator yang adalah wanita itu menyebutkan sejumlah nomor hp yang segera diketik oleh Rina di laptopnya.

“Yes! Yes!” pekik Rina usai menutup teleponnya, karena berhasil mendapatkan nomor telepon Gazza, pemuda yang dalam beberapa hari ini terbayang di memori otaknya.

Deg deg deg!

Mendadak jantung Rina berdetak kencang, membuat gugup sendiri. Ada separuh ketidakberanian muncul di niatnya untuk menelepon Gazza. Jantung yang berdetak tidak wajar itu membuatnya terdiam beberapa waktu.

“Lu pantas gak sih, Rin, telepon dia? Dia seorang mujahid, jebolan pesantren, rajin salat. Sedangkan lu, apa?” tanya batin Rina menghakimi dirinya sendiri, membuat wajah riangnya seketika layu terkulai. Tapi masih ada sugesti yang muncul dari saraf otak yang lain, “Ah, gua kan cuma mau nelepon Badar. Suruh siapa Badar enggak punya hp?”

Akhirnya Rina memutuskan untuk menelepon nomor yang diberikan kepadanya. Beberapa kali deringan, tapi tiba-tiba mati dari hp yang nun jauh di sana.

“Kok dimatiin?” ucap Rina mengerenyit. “Jelas aktif, tapi dimatiin.”

Rina kembali menelepon untuk kedua kalinya. Telinganya menunggu dengan jantung yang masih berdebar tidak wajar, bukan karena gangguan kesehatan, tapi karena gangguan perasaan.

Untuk kedua kalinya, telepon tersambung, tapi segera mati kembali, seolah sengaja dimatikan dari pihak Gazza. Namun, Rina kembali menelepon. Lagi, langsung dimatikan.

Ciut ciut ciut!

Sebuah pesan WhatsApp terdengar masuk. Setelah dilihat, pesan berasal dari nomor Gazza.

Assalamu ‘alaikum. Maaf, sedang konferensi pers penting, kirim lewat pesan saja.

Demikian bunyi pesan yang masuk.

“Oh, pantas,” ucap Rina sambil monyongkan bibir. Ia pun segera balas pesan itu.

Wa ‘alaikum salam. Gua Rina, teman Badar yang hari Minggu malam di rumah Abang.
Gua mau telepon Badar. Bisa kasih nomor yang bisa ditelepon?

Tak berapa lama, pesan balasan dari Gazza kembali masuk. Pesan itu berupa nomor atas nama Ummi.

Meski mendapat nomor yang Rina duga adalah nomor ibunya Badar, tapi Rina merasa kecewa. Komunikasinya dengan Gazza hanya via tulisan dan begitu singkat tanpa kesan indah.

“Ya, Rin, lu pikir elu siapa? Minta diistimewakan. Lu kegeeran banget sih jadi perempuan,” batin Rina menghakimi dirinya sendiri.

Rasa kecewa itu memunculkan kembali rasa bimbang di hatinya.

“Cemen banget kalau sampai di sini doang,” ucap Rina, lalu memutuskan untuk menelepon Latifah, ibu dari Barada dan Gazza.

Telepon tersambung dan terjawab. Setelah tanya kabar masing-masing antara Rina dan Latifah, nomor Pak RW diberikan kepada Rina. Menurut Latifah, Rina sedang membantu Pak RW mendata jumlah anak yatim piatu di beberapa RT.

Rina telepon ke Pak RW. Pak RW pun merekomendasikan satu nomor telepon, karena Barada sedang keliling di lapangan bersama tim. Rina kembali menelepon atas nama Ridho. Dari Ridho pun disuruh menunggu dulu. Hingga akhirnya, setelah beberapa menit, ada telepon balik dari nomor Ridho.

“Lu gila ya, Badar!” teriak Rina di telepon setelah menjawab salam Barada yang ada nun jauh di sana. “Gila gila gila! Cuma buat nelepon elu, gua harus keliling dunia dari nomor ke nomor hp orang!”

“Kamu sehat, Rin?” tanya Barada yang sempat terkejut dicaci dan dimarahi oleh Rina.

“Gua hampir frustasi tahu! Cuma mau telepon elu, gua sampai hampir putus asa!” Rina mengomel, tapi gadis yang diomeli di telepon itu justeru terkekeh. “Malah ketawa, memang gila lu!”

Makian terakhir Rina terdengar pelan seolah pasrah.

“Ada apa, Rin?” tanya Barada datar, menunjukkan ia tidak bermasalah atas luapan emosi Rina.

“Lu ke rumah gua dong, penting banget nih!” kata Rina.

“Kalau sekarang belum bisa, sebab lagi kerja di lapangan,” tolak Barada.

“Jangan enggak, Badar. Gua bisa gila kalau lu gak ke sini!”

“Gini aja, deh. Nanti habis Maghrib saya minta Puang antar ke rumah kamu, tapi pulangnya saya diantar pulang dengan aman, setidaknya sampai depan gang.”

Deal!” pekik Rina cepat lalu langsung tutup teleponnya. (RH)


Berlanjut: Kuliah Hijab Satu Malam (9)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar