Ilustrasi: Muslimah hitam manis. (Foto: Womencentersemi.org) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Pemuda berpakaian serba hitam ini dengan semangat mengayuh sepeda model cewek yang di bagian depannya ada keranjang berisi beberapa botol jamu. Usianya 18 tahun. Di dada kanan baju hitamnya ada logo bordiran kuning bergambar dua batang tangan yang saling menyilang di atas tulisan bordiran putih berbunyi “Tapak Emas”. Pemuda berwajah cokelat sawo matang ini dapat dikatakan cukup tampan. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian silat dari Perguruan Tapak Emas. Ia sendiri bernama Firman Barayuda. Nama depan Firman menunjukkan bahwa orang tuanya adalah Muslim. Namun, karena bapaknya penggemar berat cerita kolosal dari negeri Hindi, yaitu Mahabarata, nama belakangnya diikuti “Baratayuda”, nama peperangan besar antara Pandawa dan Kurawa. Agar tidak mencolok, maka dirubah jadi “Barayuda”.
Meski senyumnya tidak lebar, tapi masih dapat dilihat bahwa ada senyum
di bibirnya. Itu karena di dalam otaknya ada hologram wajah seorang muslimah
manis, meski kulitnya agak hitam. Menurutnya, cocoklah dengan warna kulitnya,
jadi kopi susu cokelat.
Setibanya di depan sebuah gang bergapura, gapura sisa buatan 17 Agustus
2015, Firman berhenti. Ia keluarkan ponsel yang dipinjamnya lalu membuka pesan
yang tadi dikirim oleh si muslimah hitam manis.
“Gang H. Mukhlis II, air pam H. Abdul Qodir,” baca Firman, lalu
memandang ke gapura.
Di sisi atas gapura tertera tulisan besar “Gg. H. Mukhlis II”. Firman
segera menggoes lagi sepedanya, sementara keringat sore mengucur di dahi dan
lehernya.
“Semangat, Firman!” teriak Firman dalam hati. “Buah manggismu sudah
menunggu!”
Hitam, kulitnya hitam, tetapiii putih isinya
Itulah, manggis namanya
Hitam, orangnya hitam, tetapiii manis
senyumnya
Itulah, pilihan saya
Hati dan pikiran Firman mendadak dangdut. Lagu Rita Sugiarto yang
berjudul “Hitam” ciptaan Raja Dangdut H. Rhoma Irama tiba-tiba bernyanyi di
dalam hatinya. Irama dangdut yang ceria membuat semangat Firman kian berhias
warna-warni pelangi dan bunga-bunga kuburan.
Agak jauh masuk ke jalan gang yang cukup lebar, Firman belum juga
menemukan tempat air PAM. Firman akhirnya memutuskan berhenti untuk bertanya.
“Maaf, Kong!” sapa Firman kepada seorang kakek yang asik duduk bersender
di gardu siskamling, sambil menikmati sepuntung rokok yang tinggal beberapa
hisapan lagi pasti habis riwayatnya. Maksudnya, riwayat si rokok. Meski sudah
tua, tapi rambut putihnya tersisir rapi lurus ke belakang, seperti model
sisiran Dewa Judi Chow Yun Fat yang tampak mengkilap. Aroma minyak rambut
Tanco tajam merebak.
“Haiiit!” kelit si kakek tiba-tiba sambil kedua tangannya memperagakan
gerakan silat, sementara kedua kakinya tetap melipat di lantai gardu. Respon
spontan itu tercipta karena si kakek melihat Firman memakai seragam silat.
Firman agak tercekat pula mendapat respon satu gerakan jurus dari si
kakek.
“Tenang, Kong!” seru Firman cepat sambil angkat kedua tangannya tanda
tidak akan menyerang. “Situasi aman dan terkendali!”
“Mau ngapain, lu? Mau nantangin jawara Betawi 60-an?” tanya si kakek.
“Saya hanya mau bertanya, Kong, bukan mau duel,” kata Firman, dalam hati
sedikit sewot.
“Ngomong dari tadi! Cuma maling yang datang kagak pakai salam!” rutuk si
kakek lalu turunkan kuda-kuda silatnya. Ia lalu menghisap kembali rokoknya, dan
terbukti, sekali hisap habislah riwayat rokok tersebut.
“Kena gua! Dikira gua maling,” rutuk Firman dalam hati, tapi wajahnya
memberikan senyum cengengesan.
“Terus, lu ngapain pakai baju silat begitu, hah?!” tanya si kakek dengan
lirikan tidak enak bagi Firman.
“Kebetulan pulang dari kondangan, Kong. Terus diundang ke air pam Haji
Abdul Qodir,” kata Firman sekaligus menjelaskan tujuannya.
“Abdul Qodir itu gua!” kata si kakek setengah berteriak.
Terkejutlah Firman.
“Waduh! Alamat apes nih!” rutuk Firman dalam hati lagi.
“Bukan Haji Abdul Qodir, tapi Hasan Abdul Qodir. H-nya itu Hasan, bukan
Haji!” kata si kakek dengan suara tinggi, seperti orang sedang ribut adu mulut,
maksudnya adu kata-kata.
“Iya, maaf, Kong. Saya kira Engkong Hasan sudah naik haji. Hehehe!” kata
Firman lalu cengengesan.
“Ya sudah dong! Sudah tiga kali!” teriak Engkong Hasan dengan sepasang
mata merah yang mendelik. Namun, tiba-tiba ia bergerak cepat berdiri, lalu
memasang kuda-kuda silat di atas siskamling. Ia marah kepada Firman, “Lu
benar-benar ngajak gua ribut? Itu, itu sepeda cucu gua si Marni. Lah lah lah,
itu jamu pesanan gua!”
Engkong Hasan menunjuk-nunjuk sepeda dan botol-botol jamu di keranjang
sepeda. Terkejutlah Firman.
“Gawat! Bisa-bisa gua ribut benaran ini sama orang tua!” kata Firman
dalam hati.
“Lu ngerampok cucu gua, hah?!” tanya Engkong Hasan.
“Tenang, Kong, tenang!” kata Firman yang jadi bingung sendiri menghadapi
orang tua itu.
Dalam situasi genting bagi Firman itu, muncullah seorang gadis berjilbab
merah muda yang datang berlari kecil mendekat ke pos siskamling. Gadis berkulit
hitam, hanya agak hitam, tapi manis di mata.
Deg!
Sebuah cubitan mengejutkan jantung Firman saat matanya melihat gadis
hitam manis itu, gadis yang lebih dari sejam lalu, ia hadang dan rampas sepeda
cantiknya.
“Kong!” gadis berbaju putih itu memanggil Engkong Hasan setibanya di
depan pos.
“Marni! Ini nih Si Pengki yang nyolong sepeda elu!” kata Engkong Hasan
masih bernada tinggi sambil tunjuk hidung seksi Firman.
“Bukan, Kong,” sangkal gadis yang disebut Marni oleh Engkong Hasan itu.
“Dia yang nyelamatin jamunya Engkong dari begal di pertigaan pangkalan Palapa.”
Perkataan Marni yang terakhir membuat Engkong dan Firman sama-sama
mendelik.
“Busyet! Gua dibilang begal,” membatin Firman sambil tetap senyum
memandangi Marni dari samping, kontras dengan wajah hatinya.
Sementara Engkong Hasan kembali duduk sambil terkekeh.
“Oh gitu, hehehe!” ucap Engkong Hasan sambil terkekeh. Lalu katanya
kepada Firman, “Jadi elu yang nyelamatin botol-botol jamu gua? Ngomong dari
tadi, hahaha!”
Firman jadi ikut tertawa cengengesan, padahal dalam hatinya menggerutu,
“Kalau bukan aki-aki, benar-benar gua ajak ribut dah.”
“Siapa nama lu?” tanya Engkong Hasan.
“Firman, Kong,” jawab Firman, tetap pasang senyum, pilih damai.
“Sebagai terima kasih gua, tolong deh elu beliin gua rokok Pria Sejati
di warung itu tuh!” kata Engkong lalu menunjuk warung yang ada di seberang
jalan. “Jangan lupa bayarin, warung itu enggak terima utangan.”
Kali ini hilang senyuman Firman. Marni yang justru tersenyum, sebab ia
tahu kenapa senyuman pemuda itu lenyap.
“Iya, Kong!” kata Firman menurut.
Firman lalu menyerahkan sepeda cantik yang dipegangnya sejak tadi kepada
Marni yang hanya tersenyum manis. Bahkan begitu manis di mata Firman yang memang sedang jatuh cinta.
Namun sayang, rasa bahagia Firman harus terganggu oleh urusan dengan
Engkong Hasan. Bagi Firman itu adalah musibah.
“Dia terima kasih, tapi gua yang disuruh beli rokok. Mana uang gua cuma
20.000, pulangnya gua bisa jalan kaki,” pikir Firman sambil berjalan ke warung.
Firman lalu membeli rokok merek Pria Sejati dan memberikannya kepada
Engkong Hasan.
“Kong, saya buatin jamunya, ya?” kata Marni kepada Engkong Hasan sebagai
alasan untuk lepas urusan dari kakeknya itu.
“Iya. Madunya tambahin, jangan kayak kemarin, pahitnya masih berasa,”
kata Engkong Hasan.
“Iya, Kong,” jawab Marni. Ia lalu mengajak Firman pergi, “Ayo, Bang!”
“Permisi, Kong!” kata Firman pamit, sedikit keras suaranya, seolah
Engkong Hasan kurang normal pendengarannya.
Namun, baru saja Firman beranjak, Engkong Hasan memanggilnya.
“Kirman! Jangan malas main ke
sini, jangan lupa ngasih salam, dan lu harus tahu kalau gua mainnya kagak pakai
tangan kosong!” seru Engkong Hasan pakai salah sebut nama.
“Iya, Kong!” sahut Firman tersenyum kecut. “Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam, hehehe!”
jawab Engkong Hasan lalu terkekeh sambil buka bungkus rokoknya.
Sementara Marni hanya tertawa, karena ia tahu benar karakter kakeknya
tersebut.
“Engkong memang begitu, Bang,” kata Marni kepada Firman yang berjalan
mengiringinya menuntun sepeda.
“Nama lu Marni, ya?” tanya Firman untuk menegaskan dan basa-basi
belaka.
“Iya, Bang. Oh ya, bagaimana dengan pengejarannya tadi?”
“Oh, itu, hahaha!” Firman tertawa jumawa, seolah sudah memberikan
jawaban jelas dari nada tertawanya saja. “Penyelamatan yang gemilang, Mar.
Berkat sepeda ini, para penculik itu bisa gua kejar dan akhirnya para penculik
dihakimi warga.”
Lebih satu jam yang lalu, Firman dan teman-teman seperguruannya mengejar
para penculik seorang gadis. Karena pengejaran mereka terhambat oleh kemacetan,
Firman memutuskan untuk menghadang Marni yang pada saat itu melintas dengan
sepedanya. Dengan sedikit memaksa, Firman meminjam sepeda Marni. Sebagai jaminannya,
Firman memberikan ponselnya kepada Marni.
Selain untuk memulangkan sepeda, kedatangan Firman saat ini yang utama
adalah untuk bertemu lagi dengan Marni, yang pertemuan pertamanya memberi
kesan-kesan percikan asmara dan cinta.
Setelah berjalan beberapa meter, Marni dan Firman berbelok masuk ke sebuah
gang. Setelah berbelok itulah, Firman baru melihat keberadaan sebuah depot air
PAM. Ada sebuah gerobak panjang sedang menunggu dan sebuah lagi sedang mengisi
air PAM di tangki air yang besar. Setiap gerobak berisi belasan jirigen
berwarna biru gelap.
“Oh, ini air PAM Hasan Abdul Qodir itu,” ucap Firman.
“Iya, Bang. Ini punya Engkong, tapi dikelola oleh orang tua saya,” kata
Marni.
Depot air PAM itu terdapat di depan sebuah rumah yang biasa saja, tapi
cukup luas. Di separuh teras sebelah kanan depan rumah, tampak tiga anak kecil sedang
asik bermain. Usia mereka 3-5 tahun.
“Ummi datang!” teriak seorang anak laki-laki yang usia 5 tahun, saat
melihat kedatangan Marni dan Firman.
Seketika dua anak perempuan lainnya menengok. Setelah melihat sosok
Marni, semuanya segera bangkit dan berlari kepada Marni.
“Ummi!” seru mereka bersamaan seraya berlari mendapati keberadaan Marni.
Marni dengan senyum senang membiarkan kakinya yang berbalut rok merah
gelap dipeluk oleh anak-anak. Anak laki-laki memilih naik ke boncengan sepeda
yang dituntun gadis yang mereka panggil “Ummi”, panggilan Arab atau dalam
budaya Islam yang berarti “ibuku”.
Kondisi itu membuat wajah Firman agak terkejut, bahkan sangat terkejut
dalam hati. Ia seketika teringat seorang teman seperguruannya yang bernama
Barada. Barada suka memanggil ibunya dengan sebutan “Ummi”.
“Hah! Ummi? Marni sudah punya anak tiga?” pekik hati Firman. “Oh, begitu
cepatnya dia punya anak.”
Seketika harapan cinta Firman terpenggal oleh pedang sebelum terutarakan
kepada gadis hitam manis itu.
“Ummi, Ina tadi beli kotak-kotak, dapat kuda ada sayapnya,” kata anak
perempuan yang berusia empat tahun, kelancaran bicaranya seolah menunjukkan
tingkat kecerdasannya.
“Wah, senang dong, Ummi bisa ikut naik kudanya dong,” kata Marni
menanggapi dengan ceria.
“Tidak bisa, Ummi. Kata kudanya, sayapnya berat, jadi Ummi tidak muat.
Ummi naik ayamnya Aca aja,” kata anak bernama Ina dengan wajah yang penuh
keseriusan.
Marni pun tertawa mendengarnya. Demikian pula Firman, meski dalam
hatinya putus harapan. Kini tujuannya tinggal mengambil ponselnya dari Marni.
Usai itu ia akan langsung pulang.
“Ummi sedang ada tamu, namanya Om Firman!” kata Marni memperkenalkan.
“Assalamu ‘alaikum, Om! Semoga
Allah menyelamatkan Om Firman!” salam ketiga anak itu serentak dan mengucapkan
satu doa yang sama. Lalu mereka bergantian mencium tangan kanan Firman yang
disalaminya. Anak di sepeda pun segera turun dan mencium tangan Firman.
“Hahaha!” Mendengar salam itu, secara ikhlas Firman tertawa. Lalu
jawabnya, “Wa ‘alaikum salam, semoga
Allah memberi kalian cokelat yang banyak!”
“Aan enggak mau cokelat, nanti gigi Aan rusak. Aan maunya permen yang
banyak!” kata anak yang lelaki.
Tertawalah Marni dan Firman.
Sebuah sepeda motor terdengar memasuki gang dan mendekati posisi mereka.
“Ayah datang!” teriak anak lelaki bernama Aan saat melihat lelaki yang
mengendarai motor besar hijau bermerek Ninja.
Firman kian terkejut mendengar anak-anak itu menyebut kata “Ayah”, meski
keterkejutan itu ia sembunyikan rapat-rapat dari mata khalayak ramai. Sebutan
“Ummi dan Ayah” adalah kejelasan yang sangat kuat bagi Firman. Meski Marni
terlihat masih sedemikian mudanya, tapi jelas tidak terbantahkan bahwa Marni
sudah milik lelaki lain.
“Hancur hancur hancur hatiku....” seketika hati Firman menyanyikan lagu
almarhum Olga Syaputra.
Motor itu berhenti di dekat mereka. Pengendaranya adalah lelaki yang
masih berhelm hijau gelap berhias warna putih. Berjaket kulit hitam dan
menyandang tas ransel yang cukup banyak isinya.
“Assalamu ‘alaikum, Peri-peri
Surga! Semoga Allah berikan kalian kecerdasan!” salam lelaki di motor kepada
anak-anak.
“Wa ‘alaikum salam, Ayah!
Semoga Ayah selalu bahagia!” balas anak-anak itu, lalu mereka bergerak
menyalami tangan lelaki tersebut.
Marni pun lalu menyalami tangan lelaki tersebut dan menciumnya.
“Siapa, Mar?” tanya lelaki itu kepada Marni.
“Teman Marni, Bang,” jawab Marni.
Firman berinisiatif segera menyalami tangan lelaki itu seraya
perkenalkan namanya, “Firman.”
“Abduh,” kata lelaki itu pula memperkenalkan namanya.
Pria bernama Abduh lalu melepas helmnya, sehingga tampak jelaslah
wajahnya yang masih muda dan tampan berkulit agak putih. Rambutnya sedikit
gondrong. Ada serangkum jenggot tipis di dagunya, memberi kesan kejantanan yang
lebih mempergagah. Harus Firman akui bahwa usianya yang baru 18 tahun kalah
matang oleh Abduh yang berusia 26 tahun.
“Alhamdulillah, izin Allah
nih. Bawa ke rumah, Mar, saya mau menawarkan produk bagus buat Firman,” kata
Abduh lalu menjalankan motornya dan parkir di teras.
Singkat cerita, Firman yang awalnya bertujuan utama bertemu kembali
dengan Marni sekaligus memulangkan sepeda dan mengambil kembali hp-nya, justru
kemudian menjadi calon konsumen bagi Abduh yang
memiliki usaha sampingan memasarkan sepatu murah merek baru di pasaran.
Akhirnya, beberapa menit sebelum waktu Magrib, Firman pulang dengan
membawa dua kabar buruk dan dua kabar menyenangkan.
Dua kabar buruk itu adalah ia pulang dengan berjalan kaki karena ia
tidak punya kendaraan dan uangnya tidak cukup untuk naik kendaraan umum. Kabar
buruk lainnya adalah ia pulang dengan membawa beberapa lembar brosur dan
sekotak sepatu baru yang berstatus kredit atau utang.
Adapun dua kabar menyenangkan bagi Firman adalah Marni masih gadis dan
belum menikah. Marni dipanggil “Ummi” oleh anak-anak karena dia adalah orang
tua asuh bagi ketiga anak kecil tadi. Mereka adalah yatim piatu. Sedangkan
Abduh adalah kakak laki-laki Marni yang juga orang tua asuh anak-anak tadi.
Kabar menyenangkan lainnya adalah, dengan utang kredit sepatu, Firman
jadi punya alasan untuk datang lagi ke rumah itu dan bisa bertemu Marni dengan
alasan bayar cicilan sepatu.
“Bodoh!” maki Firman sendiri di tengah jalan setelah berjalan sejauh 2
km. “Kenapa gua enggak naik ojek terus bayarnya pas di rumah?”
Firman benar-benar baru tersadar, seperti orang yang tersadar dari
hipnotis asmara dan cintanya. Alangkah memalukannya, dia harus berjalan kaki
dengan pakaian silat dan menenteng sekotak sepatu baru. Jelas, pakaian silatnya
membuatnya jadi perhatian orang-orang di jalan. (RH)
Berlanjut: "San, Gua Hamil"
Berlanjut: "San, Gua Hamil"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar