"San, Gua Hamil" (2)

Ilustrasi: Muslimah menangis. (Foto: Pinterest)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:


Kamar kosong besar ini bisa disebut ramai, karena banyak wajah-wajah lucu dari boneka-boneka yang berbulu halus menatap kosong dari berbagai sudut. Di lemari, mereka bersender rapi dengan berbagai warna. Dari yang ukuran mini seperti seukuran kaos kaki hingga seukuran badan manusia.

Boneka Winnie the Poo berwarna kuning berbaju merah yang seukuran orang dewasa duduk bersender di sudut kamar. Di sudut kamar yang lain, boneka panda raksasa juga duduk bersender.


Di lemari rias yang ada di sisi kanan kepala ranjang, juga bercokol boneka-boneka mini tokoh dongeng kalangan kurcaci.

Di ranjang pun tidak luput dari boneka. Bantal dan guling termasuk jenis boneka. Seprai merah muda bergambar tokoh-tokoh kartun Walt Disney.

Di dekat pintu kamar yang tertutup rapat, ada rak kayu bagus yang berisi berbagai macam jenis sepatu. Rata-rata berwarna merah muda.

Keluasan kamar itu menjadi berkurang karena banyaknya lemari untuk barang-barang koleksi.

Pintu kamar mandi bergerak terbuka. Keluarlah seorang wanita muda cantik berambut pendek sebatang leher. Ia mengenakan pakaian tidur lengan panjang warna merah muda bermotif gambar Mickey Mouse. Ia bernama Rani Liota.

Tangan kanannya memegang stik kecil dan pendek berwarna putih, yang tidak lain adalah tespek atau alat tes kehamilan. Tampak raut wajah berkulit putih bersih itu terkulai sedih.

Dengan perasaan lemah, wanita berusia dua puluh tahun itu duduk di kursi depan lemari riasnya. Sejenak ia memandang bayangan dirinya di dalam cermin besar di rak rias.

Rani lalu mengambil ponsel android yang tergeletak di depannya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya meletakkan tespek di depannya. Garis yang ditunjukkan oleh alat pengetes air seni itu menunjukkan positif hamil.

Setelah menyentuh satu nama kontak bernama “Sayang”, Rani menempelkan ponsel itu di telinganya.
“Ya, Honey?” satu suara pria menjawab penuh kelembutan dan kasih sayang.

“San, gua hamil,” jawab Rani lemah.

“Hah?! Lu hamil?!” teriak pria dalam telepon terkejut. “Kok bisa? Lu enggak bercanda kan, Ran?”

“Enggak, San,” jawab Rani lemah, kontras dengan gejolak dahsyat di dalam dadanya setelah mendengar reaksi kekasihnya yang seolah tidak siap mendengar kabar itu.

Pria yang disebut “San” oleh Rani itu kembali berkata setengah marah, “Bagaimana bisa? Setiap kita berhubungan gua selalu pakai, elu tahu sendiri itu. Lu juga selalu pakai, kan? Kecuali lu....”

San tidak menyelesaikan kalimat akhirnya.

“Kecuali kalau gua main sama lelaki lain?” tanya Rani agak keras, melanjutkan kata-kata yang ingin diucapkan kekasihnya. Lalu teriaknya lebih keras di telepon, “Lu jahat nuduh gua begitu, San!”

Rani mematikan sambungan teleponnya. Tubuhnya tersentak sekali, lalu tangisnya pun meledak.

“Sando jahat!” jerit Rani sambil melempar ponselnya ke kasur.

Tangis yang dahsyat itu menunjukkan demikian sakit perasaan yang Rani rasakan. Tubuhnya sampai bergerak membungkuk hingga wajahnya setinggi dengan duduknya. Tetesan air mata jatuh ke lantai membentuk genangan.

“Bagaimana mungkin elu nuduh gua sama laki-laki lain, San?” tanya Rani kepada dirinya sendiri.

Tring ninong ninong...!

Terdengar irama dering dari ponsel Rani, tanda telepon masuk. Dari nama penelepon yang muncul di layar ponsel adalah “Sayang”. Namun, Rani mengabaikannya, hingga ponsel itu berhenti sendiri berbunyi.

Baru sepuluh detik berhenti, ponsel Rani kembali berdering dengan nama penghubung yang sama. Tetap saja Rani mengabaikannya. Hal itu terjadi hingga lima kali. Barulah ponsel itu benar-benar berhenti berbunyi.

Sementara Rani hanya terus menangis. Gambaran buruk tercipta di pikirannya.

“Bagaimana kalau Sando enggak mau bertanggung jawab?” tanya hati Rani.

Tiba-tiba....

“Hahaha....!”

Di saat kesedihan mendalam dirasakan oleh Rani, tiba-tiba ada suara ledakan tawa yang terdengar tidak begitu keras, karena berasal dari luar kamar. Namun, suara tawa lepas itu mengusik suasana kesedihan Rani.

Rani tahu, itu adalah suara tawa adiknya yang bernama Rina Viona, tapi suaranya ditemani oleh suara tawa perempuan lain yang Rani tidak kenal.

Akhirnya, Rani lebih memilih melanjutkan tangisnya.

Ciut ciut ciut!

Terdengar suara seperti kicauan burung dari ponsel Rani, sebagai tanda ada pesan yang masuk. Rani tetap tidak peduli. Ia memilih membuang tubuhnya tengkurap di kasur dan membenamkan wajahnya di bantal bermodel wajah tokoh kartun Tazmania Devil yang mulutnya menganga lebar.

“Hahaha!”

Kembali tawa keras meledak dari ruang di luar kamar. Tawa ini lebih heboh dari sebelumnya. Seolah tidak menunjukkan solidaritas kepada Rani yang sedang dilanda prahara duka.

Rani yang tangisnya sudah reda, menjadi penasaran. Jarang-jarang ia bisa mendengar adiknya itu tertawa lepas seperti itu.

Rani akhirnya memutuskan bangkit dan melangkah ke pintu kamar. Di sana ia berdiri bersender pada daun pintu yang dikunci. Dari sana ia bisa mendengar obrolan dua perempuan yang sedang makan di meja makan.

Kamar Rani memang terhubung langsung ke ruang makan di rumah megah itu.

Di meja makan, ada dua perempuan sedang santap malam sambil berbincang serius. Keduanya duduk saling berhadapan berseberangan meja. Di tengah-tengah mereka ada berbagai lauk pauk dan sekeranjang buah.

Gadis pertama cantik berwajah mirip dengan Rani, tapi lebih muda. Rambut ikal indahnya tergerai sebahu. Ia mengenakan T-Shirt warna putih. Ia adalah Rina Viona, adik Rani.

Di seberang meja adalah seorang gadis seumuran Rina. Ia mengenakan jilbab besar berwarna kuning. Meski parasnya tidak secantik Rina atau kulitnya tidak seputih sahabatnya itu, tapi lesung pipi yang dimilikinya membuatnya begitu manis. Lesung pipi itu muncul hanya ketika ia tersenyum. Ia bernama Barada, teman sekolah Rina, tapi beda kelas. Malam itu ia diundang khusus oleh Rina. Barada telah menyelesaikan makannya.

Setelah tawa keduanya reda, Barada melanjutkan ceritanya.

“Abang sih ngomongnya ke saya begini, bukannya menghina atau merendahkan cewek gemuk itu, tapi pas lihat wajahnya, mau tidak mau Abang harus istigfar yang kesekian ribu. Jadi, kecantikan yang sudah sempurna Allah berikan sesuai takarannya. Kamu paham kan maksud dari sesuai takarannya, Rin?” kata Barada kepada Rina.

“Ya,” angguk Rina sambil menurunkan kadar tawanya.

“Maksudnya pas-pasan tapi itu yang terbaik baginya. Si mbak itu mempercantik wajahnya lagi dengan tebalnya bedak, panjangnya bulu mata palsu dan ngejrengnya merah bibir yang rada belepotan, yang menurut Abang justru mirip badut. Abang benar-benar merasa kena musibah tiga kali.”

“Musibah apa?” tanya Rina jadi berhenti tertawa dan serius memandang wajah sahabatnya.

“Musibah pertama adalah cewek cantik seksi yang pertama duduk di sebelah Abang, yang buat Abang klepek-klepek. Yang kedua, cewek seksi yang astaghfirullah bikin geli itu. Dan musibah ketiga, bis sudah keluar dari Semarang, yang artinya tempat Abang harus turun sudah kelewat jauh.”

“Hahaha!”

Lagi-lagi tawa kedua gadis cantik itu meledak kencang. Sampai-sampai dua pembantu perempuan yang sedang sibuk di sisi lain di ruangan itu, jadi senyum-senyum berdua juga.

“Aduh, pipi gua pegel!” keluh Rina sambil terus tertawa hingga air matanya keluar.

Setelah tawa mereka berdua reda, barulah Barada kembali ke topik utama perbincangan mereka yang sudah berlangsung sejak di kamar Rina di lantai dua, sebelum mereka turun makan.

“Saya ingin contohkan bahwa cowok seperti Abang tidak suka dengan perempuan cantik yang terbuka. Abang itu hanya satu contoh lho. Masih banyak cowok-cowok seperti Abang,” kata Barada yang menceritakan tentang kakak lelakinya, yang diam-diam ditaksir oleh Rina. Barada melanjutkan perkataannya, “Kenapa kamu melihat, kesannya semua cowok sukanya yang cantik terbuka dan yang obral murah? Karena ikan air laut akan berenang bersama ikan air laut lainnya dan ikan air tawar bersama ikan air tawar. Di Al-Quran ada ayat yang menjelaskan bahwa perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk, perempuan baik untuk laki-laki baik. Saya enggak hafal surat dan ayatnya. Komunitas laki-laki salih tidak akan mau mengambil wanita-wanita yang tidak salihah. Kalau kamu mau dapat cowok yang bagus dunia akhirat, tidak ada jalan lain, kamu harus jadi wanita yang baik menurut versi cowok salih itu, kecuali takdir bicara lain,” tutur Barada. “Sepertinya busa di lambung saya sudah penuh kebanyakan bicara.”

“Elu malam ini benar-benar jadi guru spiritual gua, Badar!” puji Rina dengan menyebut nama panggilan Barada. Tercipta senyum bahagia di wajah cantiknya, karena memang hatinya berubah bahagia setelah pikirannya terbuka dan tercerahkan oleh “kuliah” dari Barada. Lalu katanya lagi kepada Barada, “Tekad gua sekarang benar-benar jadi bulat sempurna.”

Rina lalu berdiri, demikian juga Barada, karena memang mereka sudah selesai makan.

“Badar, keranjang buahnya bawa aja ke kamar. Gua mau nyobain baju yang gua beli,” kata Rina.

Mendengar pemaparan Barada di meja makan, Rani yang menguping di balik pintu kamarnya, mendadak menangis lagi. Ia tidak bisa menahan dan mengendalikan kesedihannya, tapi ia berusaha menahan suara tangisnya.

Di Al-Quran ada ayat yang menjelaskan bahwa perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk, perempuan baik untuk laki-laki baik.

Kalimat itu begitu mengenai pikiran dan hati Rani. Sebab ia sangat tahu, berhubungan badan dengan kekasihnya di luar ikatan pernikahan, jelas perbuatan tercela. Jelas perbuatan itu hanya dilakukan oleh perempuan yang sudah tidak mungkin dicap sebagai wanita yang baik lagi. Rani merasa, kondisinya sekarang ini jelas tidak akan membuatnya bisa mendapatkan lelaki yang baik, terbukti kekasihnya yang selama ini ia suplai dengan kenikmatan seks justru menuduhnya tidur dengan lelaki lain.

Namun, suara isakan Rani lolos juga ke telinga Rina dan Barada yang sudah berdiri hendak meninggalkan meja makan.

Rina segera mendekati pintu kamar Rani, sementara Barada berdiri diam di tempatnya sambil menenteng keranjang buah dan memandang apa yang dilakukan Rina.

Setibanya di pintu yang tertutup, Rina diam menyimak dengan pendengarannya. Ia mendengar suara tangis yang samar, tangis yang sepertinya ditahan agar tidak terdengar kencang.

“Ran?!” panggil Rina agak kencang lalu mengetuk pintu kamar yang memang dikunci.

Namun, tidak ada jawaban dari Rani, kecuali suara isak tangis yang masih terdengar oleh Rina.

“Rani, elu kenapa?!” tanya Rina agak berteriak. “Rani!”

Tetap tidak dijawab oleh Rani.

Rina akhirnya memutuskan meninggalkan pintu itu lalu mengajak Barada pergi dari ruangan tersebut.
Rani yang awalnya berdiri bersender di daun pintu, tersurut turun dan duduk berjongkok. Air matanya terus mengalir deras. Ia memeluk kedua lututnya lalu perlahan tubuhnya bergerak jatuh ke samping hingga ia terbaring meringkuk di lantai bersama kesedihannya yang begitu dalam.

“Rani nangis tuh di kamarnya!” kata Rina kepada ayah dan ibunya saat melewati keberadaan mereka di sofa depan TV.

“Hah!” kejut wanita bertubuh langsing berambut pendek yang duduk di sofa. Wanita berkulit putih bersih itu mengenakan pakaian tidur longdress lengan pendek warna merah muda. Riasannya membuat wajah usia 40-annya tampak lebih muda. Ia bernama Irma Lulubana, ibu dari Rani dan Rina, sekaligus nyonya besar di rumah itu.

Di sebelahnya duduk lelaki berusia 50-an berkepala agak botak bagian depannya, seiring rambutnya yang memang menipis kelebatannya. Ia mengenakan kaos oblong kuning, membuat perut gendutnya menonjol jelas. Ia memakai celana pendek gombrong hitam yang punya dua kantong belakang dan dua kantong kanan-kiri. Kulitnya putih bersih. Sebuah jam tangan emas melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia adalah Dedy Sirana, ayah Rani dan Rina sekaligus penguasa di rumah besar itu. Wajahnya terlihat dingin.

Irma kerutkan kening mendengar laporan putrinya. Ia lalu bangkit dan segera pergi masuk ke ruang makan lalu langsung menuju ke pintu kamar anak tertuanya. Sementara sang ayah tetap teguh dalam duduknya menonton acara dialog di televisi.

Tok tok tok!

“Rani!” panggil Irma setelah mengetok pintu. Ia memang mendengar suara tangis Rani yang ada di balik pintu.

Irma mencoba membuka handle pintunya, tapi dikunci.

“Ran, kenapa, Ran?” tanya Irma lagi. “Kasih Mama masuk, Ran!”

Tidak ada jawaban dari dalam kamar.

“Pasti ribut sama Sando lagi,” membatin Irma.


Akhirnya Irma memilih meninggalkan pintu kamar itu dan membiarkan Rani tenggelam dalam kesedihannya. (RH)


Berlanjut: Perjanjian di Depan Botol Bir (3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar