Layatan Pemabuk (6)

Ilustrasi (Foto: Bali Berkarya)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:

Seorang lelaki berusia lima puluhan tahun membawa ember merah dan mengisinya dengan air keran yang ada di samping rumah. Rambut gondrong sebahunya sudah memiliki dua warna, hitam dan putih. Kumis lebatnya masih hitam. Ia hanya memakai kaos singlet warna merah, membuat otot tuanya yang masih kekar terbuka lebar. Otot tuanya masih dijaga dengan olahraga angkat barbel, meski sudah sangat terlihat kulit yang memang masanya mengendur. Di lengan kiri terdapat gambar tato kepala singa dan lengan kanan tato pisau belati menusuk di buah apel. Celana yang dikenakannya jenis jeans seatas lutut, karena memang sengaja dipotong pendek, sehingga benang-benang yang terburai menggantung ditepiannya. Sepasang kakinya memakai sendal jepit belaka. Ia bernama Horsa Bonapata, penguasa di rumah itu.


Setelah embernya penuh oleh air, ember itu pun dibawa  menuju teras.

Di lantai teras, tergeletak tubuh Fito terserak begitu saja tepat di depan pintu rumah. Mulutnya sedikit menganga mengeluarkan bau alkohol yang tajam.

Sementara di sudut teras duduk bersender seorang lelaki berkaos oblong kuning dan bercelana jeans biru yang pada kedua bagian pahanya sengaja dirobek, sehingga kulit paha putihnya terlihat. Namun, kepala lelaki itu ditutup oleh ember hitam yang ditaruh terbalik untuk menutupi kepala. Lelaki itu tidak lain adalah Gunawan, teman mabuk Fito.

Beberapa botol bir berserak di lantai, beberapa lagi berdiri di meja dalam kondisi kosong.

Byuurr!

Horsa menuangkan air di ember langsung ke wajah Fito. Fito yang bermimpi sedang menyelam di samudera cinta tiba-tiba kehilangan kemampuan berenang. Ia pun meronta-ronta dalam air dan tidak bisa bernafas, bahkan air masuk ke hidung dan tenggorokannya.

Fito seketika meronta gelagapan lalu spontan bangun berdiri dengan napas tidak karuan. Setelah berdiri, tubuhnya justru sempoyongan tidak sadar akan arah dan keseimbangan.

Dak!

“Aw!” pekik Fito setelah tubuhnya terhuyung dan kepalanya menabrak tembok rumah. Ia pun terjengkang dan kembali tergeletak lemas dengan wajah mengerenyit kesakitan.

Di masa menikmati sakit dan pusingnya kepala, Fito berusaha memperjelas gambar yang ditangkap oleh matanya.

“Oh, calon mertua, hehehe!” ucap Fito cengengesan dengan suara yang masih dipengaruhi mabuk, sehingga kata-katanya tidak terucap dengan jelas dan mantap.

“Calon mertua dengkulmu!” maki Horsa lalu kembali menyiram wajah Fito dengan air yang masih tersisa di ember.

Kembali Fito gelagapan seperti orang tenggelam di air. Setelah menggelepar-gelepar seperti kecoa terbalik, barulah Fito mendapat kembali kesadarannya 75 persen.

“Sando sebentar lagi dikubur, elu malah masih teler begini!” kata Horsa memarahi anak lelakinya itu.

“Sando?!” kejut Fito. Ia buru-buru bangun berdiri, tapi buru-buru pegangan di tiang penyanggah langit-langit teras rumah. “Gempa di mana nih, Pa?”

“Gempa di sini nih!” kata Horsa sambil mengetuk kepala anaknya dengan bokong ember.

“Adaw!” pekik Fito lagi lalu pegangi kepalanya dengan dua tangan.

“Pergi mandi di dalam, lalu pergi ke pemakaman Sando!” perintah Horsa.

“Siap, Jenderal!” teriak Fito sambil beradegan hormat layaknya prajurit.

Setelah itu Fito berjalan gontai masuk ke rumah. Sesekali ia harus berpegangan pada dinding rumah, karena bumi yang dipijaknya bergoyang.

“Aduh, tanahnya goyang itik melulu!” ceracau Fito.

Di teras, Horsa kini menghadapi Gunawan yang tidak terusik dengan keributan antara Fito dan ayahnya.

“Tinggal kecebong yang satu ini nih,” ucap Horsa.

Dang!

Horsa memukul bokong ember di kepala Gunawan sekali. Namun, Gunawam  bergeming.

Dang dang dang...!

Horsa lalu memukul bokong ember itu kembali sebanyak lima kali. Alhasil, tubuh Gunawan ikut tersentak-sentak, tapi tidak bangun juga.

Dang dang dang...!

Horsa kembali menggendang bokong ember seperti memainkan gendang musik, lebih lama dari gendangan sebelumnya. Kali ini Gunawan bergerak panik dan gelagapan.

“Tolong! Tolong...!” teriak Gunawan keras. “Mata gua jadi buta! Haaa aaa...!”

Gunawan menangis panik sambil tangannya menggapai-gapai ingin mencari pegangan. Ember yang mengurung kepalanya membuat penglihatannya yang sudah terbuka hanya memandang kegelapan. Ditambah suara dentuman yang seperti suara meriam, menyiksa pendengaran dan otaknya. Reaksi Gunawan justru mendorong Horsa untuk lebih menyiksa pemuda itu.

Ketika Horsa berhenti sementara, Gunawan berusaha berdiri dari duduknya.

“Enyaaak! Awan jadi buta, Nyaaak!” teriak Gunawan.

Satu jam kemudian.

Fito keluar dari dalam rumah dengan pakaian yang sudah rapi, serba hitam. Menurutnya sebagai simbol berkabung. Di teras, ia mendapati Gunawan duduk bersender dalam keadaan masih setengah mabuk. Wajahnya begitu berantakan setelah diguncang prahara di dalam ember. Kini teras itu telah rapi, tidak ada lagi ember, botol dan tumpahan air.

“Ayo, Wan! Kita ke pemakaman Sando!” ajak Fito sambil berlalu ke garasi.

Di garasi, Fito mengeluarkan motor Byson. Gunawan yang sudah sadar, berjalan sempoyongan menghampiri Fito dan motornya.

“Siapa yang mati, To?” tanya Gunawan lupa.

“Sando,” jawan Fito singkat.

Alhamdulillah,” ucap Gunawan.

“Dasar tukang mabuk!” rutuk Fito, padahal dirinya juga tukang mabuk. “Teman mati lu malah senang!”

“Hahaha! Gua tahu, dalam hati elu juga senang buaaanget!” kata Gunawan dengan nada masih terpengaruh kondisi mabuk.

“Berisik!” hardik Fito. “Ayo naik!”

Dengan sedikit susah payah, Gunawan lalu naik ke belakang Fito sambil tertawa-tawa.

Bremr!

Sekali lepas gas, Gunawan justru tertinggal tubuhnya, membuatnya jatuh ke belakang dan menghantam lantai halaman.

“Aaak!” rintih Gunawan kesakitan.

Fito pun terpaksa berhenti dan meneriaki Gunawan agar segera bangun.

Setibanya di rumah duka, Fito dan Gunawan segera masuk dan bersalaman-salaman dengan para pelayat yang lain. Berbeda dengan Fito, Gunawan bersalaman sambil cengengesan. Hingga akhirnya Gunawan hanya berhenti sampai di pintu depan, ia memilih duduk di antara pelayat yang lain. Sementara Fito terus masuk dan menemui keluarga Sando. Suara tangis terdengar lirih dari ibu Sando, dua adik perempuannya, dan beberapa bibinya.

Saat itu, jenazah Sando yang sudah berada di dalam keranda siap dibawa ke masjid untuk disalatkan. Ayah dan beberapa lelaki dari kerabat terdekat bergerak mengangkat keranda setelah mendapat komando dari seorang pemuka agama yang memimpin prosesi pemakaman sejak dimandikan.

“Sando...!” ratap lirih seorang wanita muda berkerudung hitam melihat keranda dibawa pergi. Setelah itu, wanita yang tidak lain adalah Rani, jatuh pingsan.

“Rani, Rani!” sebut Irma yang bersamanya menjadi panik. Ia mengenakan pakaian serba hitam dengan kerudung baru yang kemarin dihadiahkan oleh putrinya, Rina.

Perempuan dari anggota keluarga almarhum segera membantu Irma menangani putrinya. Mereka tahu bahwa Rani adalah kekasih Sando. Secara senyap mereka baru tahu bahwa Rani sedang mengandung calon anak almarhum. Rani segera dibawa ke dalam kamar. Sementara jenazah terus meninggalkan rumah duka.

Tampak Fito berdiri tertegun memandang kondisi Rani yang masih begitu cantik di matanya meskipun berlinang air mata. Ia merasa sangat iba. Semangatnya untuk menyelamatkan status Rani dan status anak Sando semakin tinggi. Selanjutnya ia mengajak Gunawan untuk siap-siap mengiringi jenazah ke pemakaman.

Di kelompok ibu-ibu pelayat, dua ibu yang duduk bersebelahan terdengar saling berbisik dengan suara pelan, tapi masih terdengar oleh beberapa ibu-ibu yang duduk bersebelahan dengan mereka.

“Itu pacarnya Sando. Katanya sedang hamil anaknya Sando,” kata wanita gemuk sambil kipas-kipas untuk mengusir 50 persen kegerahan yang melandanya.

“Yang benar, Sin?” tanya ibu yang lebih tua di sampingnya, tapi jauh lebih kurus tubuhnya.

“He e!” jawab ibu gemuk itu membenarkan pertanyaan di sisi kirinya.

Sementara wanita berjilbab agak gemuk yang duduk di sebelah kanan Ibu Sinta, diam menyimak. Wanita berjilbab biru gelap itu adalah wanita yang motornya dibegal kemarin siang di depan minimarket, wanita yang berusaha ditolong oleh Sando yang berakibat fatal bagi kekasih Rani itu.

Saat para perempuan anggota keluarga almarhum beranjak pergi untuk turut mengantar jenazah ke pemakaman, kelompok ibu-ibu pelayat pun turut bubar dan selanjutnya menyelesaikan urusan masing-masing. Sebagian besar memilih pulang, tapi ada juga yang terus turut menyertai iring-iringan jenazah yang akan dibawa dengan ambulans dan banyak motor.

Hanya satu perempuan dari anggota keluarga mayit yang menemani Irma dan Rani di kamar.

Sebagaimana masyarakat pada umumnya, para pengantar lebih banyak dibandingkan orang yang menyalati jenazah di masjid, termasuk Fito dan Gunawan yang memilih tidak ikut menyalati. Kedua pemuda itu lebih baik menunggu hingga mayit kembali keluar dari masjid. Dari lebih lima puluh orang yang sudah siap di kendaraan untuk mengiringi jenazah, yang ikut menyalati jenasah bahkan tidak sampai sepuluh orang.

Salah satu orang yang turut menyalati jenazah adalah Abduh (26), kakak dari Marni yang memiliki tiga anak asuh anak yatim. Ia paham akan kewajiban sebagai seorang muslim terhadap jenazah muslim lainnya.

Selesai salat jenazah, seorang lelaki dari kerabat mayit tiba-tiba menyelipkan amplop ke saku baju Abduh, karena telah turut menyalati jenazah. Abduh tidak terkejut lagi dengan kebiasaan yang sebenarnya tidak boleh tapi sudah membudaya di masyarakat itu.

“Maaf, Pak!” ucap Abduh sambil mengembalikan amplop yang diterimanya kepada lelaki yang memberinya.

Lelaki kerabat si mayit hanya tersenyum.

Sementara itu, keranda kembali diusung ke luar masjid. Seketika suara mesin motor yang akan mengiringi mayit saling meraung, bersiap diri. Keranda segera dibawa ke ambulans.

Abduh segera pula menuju ke posisi di mana ia memarkirkan motor Kawasaki Ninja miliknya. Ia berniat menyelesaikan kewajibannya sebagai muslim untuk mengantar mayit hingga dikubur di dalam tanah.

Selain motornya yang telah menunggu, ibu agak gemuk berjilbab biru gelap juga menunggu di dekat motor.

“Ayo, Bu!” ajak Abduh kepada wanita yang adalah ibunya dan bernama Nurrahmah.

Nurrahmah ataupun Abduh sebenarnya tidak mengenal Sando ataupun keluarganya. Mereka melayat karena Nurrahmah merasa memiliki hutang budi kepada Sando, meski upaya aksi menolong dari Sando tidak sedikit pun mendapatkan hasil kemarin. Motor milik Nurrahmah tetap dibawa oleh begal dan justru Sando harus tewas ditembak oleh si begal. (RH)



Berlanjut: "Kata Calon Suami Gua"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar