Ilustrasi (Foto: Bali Berkarya) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Seorang lelaki berusia
lima puluhan tahun membawa ember merah dan mengisinya dengan air keran yang ada di samping
rumah. Rambut gondrong sebahunya sudah memiliki dua warna, hitam dan putih.
Kumis lebatnya masih hitam. Ia hanya memakai kaos singlet warna merah, membuat otot tuanya yang
masih kekar terbuka lebar. Otot tuanya masih dijaga dengan olahraga angkat barbel, meski
sudah sangat terlihat kulit yang memang masanya mengendur. Di lengan kiri
terdapat gambar tato
kepala singa dan lengan kanan tato
pisau belati menusuk di buah apel. Celana yang dikenakannya jenis jeans seatas
lutut, karena memang sengaja dipotong pendek, sehingga benang-benang yang terburai
menggantung ditepiannya. Sepasang kakinya memakai sendal jepit belaka. Ia
bernama Horsa Bonapata, penguasa di rumah itu.
Setelah embernya penuh
oleh air, ember itu pun dibawa menuju
teras.
Di lantai teras,
tergeletak tubuh Fito terserak begitu saja tepat di depan pintu rumah. Mulutnya
sedikit menganga mengeluarkan bau alkohol yang tajam.
Sementara di sudut
teras duduk bersender seorang lelaki berkaos oblong kuning dan bercelana jeans
biru yang pada kedua bagian pahanya sengaja dirobek, sehingga kulit paha
putihnya terlihat. Namun, kepala lelaki itu ditutup oleh ember hitam yang
ditaruh terbalik untuk menutupi kepala. Lelaki itu tidak lain adalah Gunawan,
teman mabuk Fito.
Beberapa botol bir
berserak di lantai, beberapa lagi berdiri di meja dalam kondisi kosong.
Byuurr!
Horsa menuangkan air di
ember langsung ke wajah Fito. Fito yang bermimpi sedang menyelam di samudera
cinta tiba-tiba kehilangan kemampuan berenang. Ia pun meronta-ronta dalam air dan tidak bisa bernafas,
bahkan air masuk ke hidung dan tenggorokannya.
Fito seketika meronta gelagapan lalu spontan
bangun berdiri dengan napas tidak karuan. Setelah berdiri, tubuhnya justru
sempoyongan tidak sadar akan arah dan keseimbangan.
Dak!
“Aw!” pekik Fito
setelah tubuhnya terhuyung dan kepalanya menabrak tembok rumah. Ia pun
terjengkang dan kembali tergeletak lemas dengan wajah mengerenyit kesakitan.
Di masa menikmati sakit
dan pusingnya kepala, Fito berusaha memperjelas gambar yang ditangkap oleh
matanya.
“Oh, calon mertua,
hehehe!” ucap Fito cengengesan dengan suara yang masih dipengaruhi mabuk,
sehingga kata-katanya tidak terucap dengan jelas dan mantap.
“Calon mertua
dengkulmu!” maki Horsa lalu kembali menyiram wajah Fito dengan air yang masih
tersisa di ember.
Kembali Fito gelagapan
seperti orang tenggelam di air. Setelah menggelepar-gelepar seperti kecoa
terbalik, barulah Fito mendapat kembali kesadarannya 75 persen.
“Sando sebentar lagi
dikubur, elu malah masih teler begini!” kata Horsa memarahi anak lelakinya itu.
“Sando?!” kejut Fito.
Ia buru-buru bangun berdiri, tapi buru-buru pegangan di tiang penyanggah
langit-langit teras rumah. “Gempa di mana nih, Pa?”
“Gempa di sini nih!”
kata Horsa sambil mengetuk kepala anaknya dengan bokong ember.
“Adaw!” pekik Fito lagi
lalu pegangi kepalanya dengan dua tangan.
“Pergi mandi di dalam,
lalu pergi ke pemakaman Sando!” perintah Horsa.
“Siap, Jenderal!”
teriak Fito sambil beradegan hormat layaknya prajurit.
Setelah itu Fito
berjalan gontai masuk ke rumah. Sesekali ia harus berpegangan pada dinding
rumah, karena bumi yang dipijaknya bergoyang.
“Aduh, tanahnya goyang
itik melulu!” ceracau Fito.
Di teras, Horsa kini
menghadapi Gunawan yang tidak terusik dengan keributan antara Fito dan ayahnya.
“Tinggal kecebong yang
satu ini nih,” ucap Horsa.
Dang!
Horsa memukul bokong
ember di kepala Gunawan sekali. Namun, Gunawam bergeming.
Dang dang dang...!
Horsa lalu memukul
bokong ember itu kembali sebanyak lima kali. Alhasil, tubuh Gunawan ikut tersentak-sentak, tapi tidak bangun
juga.
Dang dang dang...!
Horsa kembali
menggendang bokong ember seperti memainkan gendang musik, lebih lama dari
gendangan sebelumnya. Kali ini Gunawan bergerak panik dan gelagapan.
“Tolong! Tolong...!”
teriak Gunawan keras. “Mata gua jadi buta! Haaa aaa...!”
Gunawan menangis panik
sambil tangannya menggapai-gapai ingin mencari pegangan. Ember yang mengurung
kepalanya membuat penglihatannya yang sudah terbuka hanya memandang kegelapan.
Ditambah suara dentuman yang seperti suara meriam, menyiksa pendengaran dan
otaknya. Reaksi Gunawan justru mendorong Horsa untuk lebih menyiksa pemuda itu.
Ketika Horsa berhenti
sementara, Gunawan berusaha berdiri dari duduknya.
“Enyaaak! Awan jadi
buta, Nyaaak!” teriak Gunawan.
Satu jam kemudian.
Fito keluar dari dalam
rumah dengan pakaian yang sudah rapi, serba hitam. Menurutnya sebagai simbol
berkabung. Di teras, ia mendapati Gunawan duduk bersender dalam keadaan masih
setengah mabuk. Wajahnya begitu berantakan setelah diguncang prahara di dalam
ember. Kini teras itu telah rapi, tidak ada lagi ember, botol dan tumpahan air.
“Ayo, Wan! Kita ke pemakaman
Sando!” ajak Fito sambil berlalu ke garasi.
Di garasi, Fito
mengeluarkan motor Byson. Gunawan yang sudah sadar, berjalan sempoyongan
menghampiri Fito dan motornya.
“Siapa yang mati, To?”
tanya Gunawan lupa.
“Sando,” jawan Fito
singkat.
“Alhamdulillah,” ucap Gunawan.
“Dasar tukang mabuk!”
rutuk Fito, padahal dirinya juga tukang mabuk. “Teman mati lu malah senang!”
“Hahaha! Gua tahu,
dalam hati elu juga senang buaaanget!” kata Gunawan dengan nada masih
terpengaruh kondisi mabuk.
“Berisik!” hardik Fito.
“Ayo naik!”
Dengan sedikit susah
payah, Gunawan lalu naik ke belakang Fito sambil tertawa-tawa.
Bremr!
Sekali lepas gas,
Gunawan justru tertinggal tubuhnya, membuatnya jatuh ke belakang dan menghantam
lantai halaman.
“Aaak!” rintih Gunawan
kesakitan.
Fito pun terpaksa
berhenti dan meneriaki Gunawan agar segera bangun.
Setibanya di rumah
duka, Fito dan Gunawan segera masuk dan bersalaman-salaman dengan para pelayat
yang lain. Berbeda dengan Fito, Gunawan bersalaman sambil cengengesan. Hingga
akhirnya Gunawan hanya berhenti sampai di pintu depan, ia memilih duduk di
antara pelayat yang lain. Sementara Fito terus masuk dan menemui keluarga
Sando. Suara tangis terdengar lirih dari ibu Sando, dua adik perempuannya, dan
beberapa bibinya.
Saat itu, jenazah Sando yang sudah berada
di dalam keranda siap dibawa ke masjid untuk disalatkan. Ayah dan beberapa
lelaki dari kerabat terdekat bergerak mengangkat keranda setelah mendapat
komando dari seorang pemuka agama yang memimpin prosesi pemakaman sejak
dimandikan.
“Sando...!” ratap lirih
seorang wanita muda berkerudung hitam melihat keranda dibawa pergi. Setelah
itu, wanita yang tidak lain adalah Rani, jatuh pingsan.
“Rani, Rani!” sebut
Irma yang bersamanya menjadi panik. Ia mengenakan pakaian serba hitam dengan
kerudung baru yang kemarin dihadiahkan oleh putrinya, Rina.
Perempuan dari anggota
keluarga almarhum segera membantu Irma menangani putrinya. Mereka tahu bahwa
Rani adalah kekasih Sando. Secara senyap mereka baru tahu bahwa Rani sedang
mengandung calon anak almarhum. Rani segera dibawa ke dalam kamar. Sementara jenazah terus meninggalkan
rumah duka.
Tampak Fito berdiri
tertegun memandang kondisi Rani yang masih begitu cantik di matanya meskipun
berlinang air mata. Ia merasa sangat iba. Semangatnya untuk menyelamatkan
status Rani dan status anak Sando semakin tinggi. Selanjutnya ia mengajak
Gunawan untuk siap-siap mengiringi jenazah ke pemakaman.
Di kelompok ibu-ibu
pelayat, dua ibu yang duduk bersebelahan terdengar saling berbisik dengan suara
pelan, tapi masih terdengar oleh beberapa ibu-ibu yang duduk bersebelahan
dengan mereka.
“Itu pacarnya Sando.
Katanya sedang hamil anaknya Sando,” kata wanita gemuk sambil kipas-kipas untuk
mengusir 50 persen kegerahan yang melandanya.
“Yang benar, Sin?”
tanya ibu yang lebih tua di sampingnya, tapi jauh lebih kurus tubuhnya.
“He e!” jawab ibu gemuk
itu membenarkan pertanyaan di sisi kirinya.
Sementara wanita
berjilbab agak gemuk yang duduk di sebelah kanan Ibu Sinta, diam menyimak.
Wanita berjilbab biru gelap itu adalah wanita yang motornya dibegal kemarin
siang di depan minimarket, wanita yang berusaha ditolong oleh Sando yang
berakibat fatal bagi kekasih Rani itu.
Saat para perempuan anggota
keluarga almarhum beranjak pergi untuk turut mengantar jenazah ke pemakaman, kelompok ibu-ibu pelayat pun
turut bubar dan selanjutnya menyelesaikan urusan masing-masing. Sebagian besar
memilih pulang, tapi ada juga yang terus turut menyertai iring-iringan jenazah
yang akan dibawa dengan ambulans dan banyak motor.
Hanya satu perempuan
dari anggota keluarga mayit yang menemani Irma dan Rani di kamar.
Sebagaimana masyarakat
pada umumnya, para pengantar lebih banyak dibandingkan orang yang menyalati jenazah di masjid, termasuk
Fito dan Gunawan yang memilih tidak ikut menyalati. Kedua pemuda itu lebih baik
menunggu hingga mayit kembali keluar dari masjid. Dari lebih lima puluh orang
yang sudah siap di kendaraan untuk mengiringi jenazah, yang ikut menyalati jenasah bahkan tidak
sampai sepuluh orang.
Salah satu orang yang
turut menyalati jenazah
adalah Abduh (26), kakak dari Marni yang memiliki tiga anak asuh anak yatim. Ia
paham akan kewajiban sebagai seorang muslim terhadap jenazah muslim lainnya.
Selesai salat jenazah, seorang lelaki dari
kerabat mayit tiba-tiba menyelipkan amplop ke saku baju Abduh, karena telah
turut menyalati jenazah.
Abduh tidak terkejut lagi dengan kebiasaan yang sebenarnya tidak boleh tapi
sudah membudaya di masyarakat itu.
“Maaf, Pak!” ucap Abduh
sambil mengembalikan amplop yang diterimanya kepada lelaki yang memberinya.
Lelaki kerabat si mayit
hanya tersenyum.
Sementara itu, keranda
kembali diusung ke luar masjid. Seketika suara mesin motor yang akan mengiringi
mayit saling meraung, bersiap diri. Keranda segera dibawa ke ambulans.
Abduh segera pula menuju
ke posisi di mana ia memarkirkan motor Kawasaki Ninja miliknya. Ia berniat menyelesaikan
kewajibannya sebagai muslim untuk mengantar mayit hingga dikubur di dalam
tanah.
Selain motornya yang telah
menunggu, ibu agak gemuk berjilbab biru gelap juga menunggu di dekat motor.
“Ayo, Bu!” ajak Abduh
kepada wanita yang adalah ibunya dan bernama Nurrahmah.
Nurrahmah ataupun Abduh
sebenarnya tidak mengenal Sando ataupun keluarganya. Mereka melayat karena
Nurrahmah merasa memiliki hutang budi kepada Sando, meski upaya aksi menolong
dari Sando tidak sedikit pun mendapatkan hasil kemarin. Motor milik Nurrahmah tetap
dibawa oleh begal dan justru Sando harus tewas ditembak oleh si begal. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar