Tobatnya Sepasang Naga Pemabuk (11)

Ilustrasi 
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:

Setelah sulit tidur tadi malam, karena pikiran yang sarat muatan kegalauan, hari ini Fito kembali beraktifitas sebagaimana biasa. Namun, kali ini ia menyimpan agenda khusus usai pulang kerja.

Persyaratan yang diberikan Rani kepadanya, membuat malamnya merayap dalam kebimbangan. Permintaan Rani melalui adiknya, Rina, tidak tanggung-tanggung. Fito diminta tidak boleh minum dan mabuk lagi. Bagi Fito itu adalah “pembunuhan jati diri”.


Bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan transportasi travel wisata yang sedang meroket secara perlahan, Fito adalah sosok biasa-biasa saja. Kedudukannya sebagai staf yang bertugas melancarkan rute dari tempat berangkat hingga ke lokasi wisata bahkan hingga pulang kembali, tidak membuatnya menjadi orang penting di perusahaannya. Namun, ketahanannya dalam mengonsumsi minuman beralkohol, membuat ia menjadi sosok yang tenar, sehingga bersama Gunawan ia dijuluki “Sepasang Naga Pemabuk”.

Mungkin julukan itu memang pantas disematkan kepada Fito, sebab beberapa kali Fito bisa menang adu minum dengan orang Amerika Serikat dan Jerman, yang bagi mereka mengonsumsi alkohol adalah suatu hal yang biasa.

Syarat yang diajukan Rani kepadanya, membuat Fito harus ber-tafakur (merenung) tadi malam. Ia harus melamun di ayunan anak-anak samping rumahnya, sampai-sampai ayahnya merasa khawatir.

“Fito! Elu mau mati?” tanya Horsa tadi malam, saat melihat anak bujangnya duduk di ayunan tengah malam seperti kuntilanak salah raga.

“Hah?” tanya Fito terkejut tapi bengong, seraya menengok kepada ayahnya yang berambut gondrong berbadan besar berotot, muncul dari teras yang remang-remang. Justru penampilan ayahnya lebih menyeramkan dari pada keterdiamannya di ayunan.

“Gua khawatir tingkah elu yang aneh itu adalah tanda-tanda malaikat Izrail mau datang,” kata Horsa dengan tatapan curiga.

“Gua lagi bingung, Pa,” jawab Fito.

“Ya udah, elu pikirin aja sendiri, gua enggak mau diajak bingung kagak jelas begitu,” kata Horsa lalu berbalik pergi masuk ke rumah.

Memang akhirnya Fito bingung seorang diri saja, meskipun pada akhirnya ia harus memutuskan sikap setelah menetapkan pilihan.

“Gua tobat dan harus belajar agama. Tapi gua akan balik minum lagi kalau gua pada akhirnya ditolak. Gak ada masalah.”

Itulah keputusan yang Fito ambil tadi malam.

Fito tidak mau rugi. Fito tidak mau meninggalkan kepopulerannya sebagai Naga Pemabuk dan mempelajari agama jika pada akhirnya nanti ia ditolak. Kemarin sore, Rina telah mengatakan bahwa dengan mempelajari agama dan bertobat, bukan jaminan ia pasti diterima untuk menikahi Rani. Sebab, ada kandidat lain. Kandidat lain yang sudah pasti adalah Gunawan. Untuk mengalahkan Gunawan, Fito optimis bisa. Ia berharap, kandidat lain itu hanya Gunawan semata, tidak ada yang lain lagi.

Fito dan Gunawan tahu bahwa Rani harus diperjuangkan meski kondisinya sudah “bekas” orang dan sudah hamil. Selain cantik, Rani adalah anak orang kaya, anak seorang pengusaha hotel.

Namun, Fito dan Gunawan sungguh tidak menyangka akan diterima oleh bukan Rani atau kedua orang tuanya kemarin sore. Terlebih bagi Gunawan yang bernasib “apes”, dikerjai oleh gadis-gadis tidak jelas di kamar toilet.

Karena memutuskan untuk terus maju berkompetisi, Fito telah mengantongi nama tiga orang ustaz yang akan ia minta untuk jadi guru spiritualnya, meski untuk itu, ia harus membayar mahal.

Fito dan Gunawan yang bekerja di satu perusahaan tapi beda bagian, siang itu bertemu di kantin saat istirahat makan siang. Meski bersaing, tapi tetap mereka adalah sepasang sahabat sejati dalam urusan minum alkohol. Keduanya pun tidak segan saling cerita dengan apa yang mereka alami kemarin sore di rumah Rani.

“Hahaha...!” Fito tertawa terbahak saat mendengar cerita Gunawan yang memang bernasib lebih malang daripada dirinya kemarin. “Elu benar-benar dikerjain sama adiknya Rani dan teman-temannya.”

“Ah, biarlah. Yang jelas gua sudah siapkan guru sakti mandraguna buat mendidik gua jadi orang saleh nomor satu!” sesumbar Gunawan.

“Jangan sombong dulu, Bro. Bukan lu doang, gua juga pilih guru yang pilih tanding!” kata Fito tak mau kalah. “Sore ini gua daftar jadi murid berkebutuhan khusus, hahaha!”

“Samma!” sahut Gunawan pula.

Maka, sepulang dari jam kerja, Fito dan Gunawan masing-masing pergi ke tempat yang berbeda.

Pertama, Fito pergi ke masjid yang dekat dengan kantornya. Di sana ia bertemu dengan ustaz yang bernama  Sa’id Khusuk. Kepada imam masjid itu, Fito dengan lugunya bercerita apa adanya.

“Oh, jadi kamu seorang jagoan minum yang mau tobat karena mau menikahi perempuan yang sudah hamil? Lalu bagaimana kalau kamu ditolak?” tanya ustaz bertubuh kurus berjenggot setengah jengkal itu.

“Ya terpaksa, Ustaz, balik minum lagi, habisnya sudah doyan sih,” jawab Fito seadanya.

“Lebih baik kamu cari ustaz yang lain!” tandas Ustaz Sa’id dengan tatapan tajam kepada Fito.

“Tapi saya akan bayar Ustaz, mahal pun enggak apa-apa,” kata Fito dengan wajah memelas.

“Cari ustaz lain, kalau dapat, tanyakan, kenapa saya tolak kamu!” tegas Ustaz Sa’id lalu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Fito.

Fito hanya menghempaskan napas kecewa. Tapi ia merasa tidak perlu merasa khawatir, karena masih ada dua ustaz lagi.

Dengan motornya ia pergi menemui ustaz nomor dua, seorang ustaz yang usianya cukup sepuh. Ustaz Damar Syuaib namanya. Usianya sudah 63 tahun. Semua rambutnya sudah putih warnanya, tapi fisiknya masih segar bugar.

Sama ketika menghadap Ustaz Sa’id, Fito menyampaikan niatannya apa adanya kepada Ustaz Damar.
“Jika wanita hamil itu menolak antum (kamu) sebagai suaminya, apakah antum tetap akan menekuni agama?” tanya Ustaz Damar akhirnya.

“Ya berat, Ustaz. Kalau saya memang terpilih, ya saya pasti tetap tekun belajar dan ibadah. Namun, kalau saya ditolak, ya saya berhenti. Untuk apa belajar lagi kalau ditolak?” jawab Fito apa adanya.

“Kalau begitu maaf, antum sudah salah niat. Cari guru yang lain!” kata Ustaz Damar.

Penolakan Ustaz Damar tidak seketika membuat Fito putus asa. Masih ada ustaz terakhir yang bernama Ustaz Darsono.

Meski seorang ustaz, tapi Darsono berprofesi sebagai pedagang bubur ayam. Saat ditemui di malam hari, Ustaz Darsono berada di kontrakannya.

Ustaz Darsono sosok lelaki agak gemuk berusia 46 tahun dengan tampilan hanya mengenakan kaos oblong biru lusuh dan celana hitam cingkrang di atas mata kaki. Ada tanda hitam di jidatnya sebagai bekas sujud. Jenggot tipisnya masih hitam warnanya. Tanpa ada peci di kepalanya, rasa-rasanya Darsono bukan seorang ustaz.

Darsono mengenal Fito hanya sekedar kenal nama dan wajah, tidak kenal sisi kepribadiannya. Bahkan ia pun tidak tahu bahwa Fito adalah seorang pemabuk.

Meski telah ditolak oleh dua ustaz sebelumnya karena Fito bicara apa adanya, kepada Ustaz Darsono pun Fito tetap bicara terbuka seperti apa adanya. Hal itu dilakukannya dengan alasan, ia tidak mau ada yang disembunyikan kepada calon guru spiritualnya. Fito tahu, dengan mengungkapkan bahwa ia berencana akan kembali mabuk jika ditolak oleh Rani, berisiko ia bisa kembali ditolak oleh Ustaz Darsono.

“Jadi, kamu mau kembali minum kalau kamu ditolak oleh perempuan yang bernama Rani itu?” tanya Ustaz Darsono setelah mendengar penuturan Fito.

“Iya, Ustaz,” jawab Fito seraya nyengir kuda.

“Jadi kapan mau mulai bergurunya?” tanya pria yang logat Jawanya sedikit kental dalam bicaranya.

“Jadi saya diterima, Ustaz?!” tanya Fito setengah berteriak, seolah tidak percaya.

“Kapan mulai bergurunya?” tanya ulang Ustaz Darsono, tanpa pedulikan keterkejutan Fito.

“Jika bisa malam ini,” jawab Fito antusias.

“Bisa baca Al-Quran?”

“Bisa, tapi tidak lancar, Ustaz.”

“Mulai besok pagi, berpakaianlah yang baik layaknya seorang Muslim yang salih. Memakai parfum dan tebarkan salam. Lakukan kewajiban seorang Muslim yang sejauh ini kamu tahu. Itu pelajaran pertama. Setiap hari, datanglah tepat pukul dua malam ke Masjid Ash-Shiroth di depan itu,” kata Ustaz Darsono memberi arahan. “Sekarang kamu boleh pulang.”

“Hah! Hanya itu, Ustaz?” tanya Fito heran.

“Cobalah dulu, saya harap kamu bisa melaksanakan amalan pertamamu,” kata Ustaz Darsono.

“Tapi, kenapa harus jam dua malam, Ustaz?” tanya Fito lagi, terkesan berat.

“Kalau tidak bisa, berarti cari ustaz yang lain,” kata Ustaz Darsono.

“Saya bisa, Ustaz!” kata Fito cepat.

“Sekarang pulanglah, saya mau istirahat!” perintah Ustaz Darsono.

“Baik, tapi ini ada sedikit uang rokok,” kata Fito tersenyum seraya menyodorkan sehelai amplop putih ke telapak tangan kanan sang ustaz.

“Apa ini? Uang?” tanya Ustaz Darsono sambil membuka dan mengeluarkan isi amplop.

Isi amplop itu ternyata beberapa lembar uang ratusan ribu. Ustaz Darsono lalu meraih tangan kanan Fito dan memberikan kembali uang itu kepada si pemuda.

“Tidak baik membeli rokok. Belikan makanan dan berikan kepada rumah di tetanggamu yang kamu nilai miskin!” perintah Ustaz Darsono.

“Baik, Ustaz. Satu lagi, Ustaz. Saya disuruh menanyakan, kenapa saya ditolak oleh dua ustaz sebelumya,” kata Fito.

“Mungkin karena niat kamu bukan karena Allah, tetapi karena wanita. Dan juga karena niatan akan kembali minum alkohol jika kamu ditolak,” jawab Ustaz Darsono.

Fito hanya manggut-manggut mendengar jawaban itu. Lalu katanya, “Kalau begitu, saya permisi, Ustaz.”

Fito lalu menyalami tangan Ustaz Darsono dan menciumnya.

Assalamu ‘alaikum!” ucap Fito lalu bergerak keluar dari ruang kecil kontrakan itu.

Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab Ustaz Darsono tanpa beranjak dari tempatnya.

“Kenapa Mas Dar terima? Bukankah niatannya tidak baik?” tanya seorang wanita bercadar dari ruang dalam kepada Ustaz Darsono, setelah Fito pergi bersama motornya.

“Hehehe!” Ustaz Darsono malah terkekeh. Lalu jawabnya, “Allah berkuasa untuk membolak-balikkan hati hamba-Nya. Bisa jadi hari ini niatnya seperti itu, tapi sopo ngiro (siapa sangka), di hari akhir pelajarannya, semuanya ia lakukan karena Allah.”

Sementara itu, Gunawan datang menemui seorang lelaki bersorban putih dan bergamis putih yang berusia 50 tahun. Sosoknya berkulit putih bersih. Sepasang lingkar matanya hitam oleh maskara, sehingga sorot matanya terkesan tajam dan sedikit menyeramkan. Di kedua pergelangan tangannya melingkar gelang dari kayu unik berwarna merah mengkilap, bentuknya seperti lingkaran ular kecil yang diawetkan. Orang berperut cukup gendut itu sudah tersohor di daerahnya, bukan hanya sebagai seorang ustaz, tapi juga sebagai “orang pandai”. Pria yang memiliki rumah cukup besar ini dikenal dengan nama Ki Rogo.

Tidak seperti Fito, Gunawan hanya bercerita kepada Ki Rogo bahwa ia ingin berguru agar menjadi lelaki salih dalam waktu dua minggu.

“Saya ingin menikah, Ki,” kata Gunawan.

“Kamu mau menikah dengan seorang wanita cantik. Benarkan?” terka Ki Rogo seraya menatap tajam mata Gunawan.

“Benar, Ki. Ki Rogo bisa tahu ya.”

“Hehehe!” Ki Rogo hanya tertawa kecil bernada jumawa. Lalu ia menerka lagi, “Tapi, gadis itu memberi kamu syarat khusus. Benarkan?”

“Benar, Ki!” kata Gunawan kian bersemangat, karena ia menilai Ki Rogo memiliki kelebihan khusus dibandingkan ustaz-ustaz lain pada umumnya.

“Dua minggu adalah waktu yang lebih dari cukup untuk menaklukkan wanita cantik idaman kamu. Kemarikan air putihmu!”

Gunawan lalu menyodorkan segelas air putih di atas meja di depannya ke depan Ki Rogo yang duduk berseberangan meja dengannya.

Ki Rogo lalu memejamkan matanya dan menarik napas panjang.

Bismillah!” baca Ki Rogo dengan agak keras. Sementara matanya tepejam khusyuk, bibir Ki Rogo komat-kamit yang hanya terdengar samar “sas sis sus”. Akhir dari rapalannya, Ki Rogo meniup air putih di dalam gelas milik Gunawan. Lalu katanya, “Minumlah, agar aura hitam yang selalu menyelubungi tubuhmu, berkurang.”

“Iya, Ki,” ucap Gunawan patuh, lalu ia meraih gelasnya dan meminum air yang telah ditiupkan angin jampi-jampi.

“Hari ini saya hanya berikan air putih dan nasihat. Nasihat pertama, setiap bangun tidur, sebelum meninggalkan tempat tidur, jernihkan pikiran dengan menyerahkan segala sesuatu, dirimu dan seluruh milikmu untuk Penguasa Yang Gaib. Kedua, kamu harus berpenampilan sebagai sebaik-baik lelaki, setampan-tampan lelaki. Ketiga, jangan tinggalkan salat lima waktu, sebab itulah pemberi energi utama demi keberhasilan keinginanmu. Sementara tiga nasehat dulu. Tapi, semuanya akan sangat sulit jika tidak dipancing dengan mahar. Jadi, datanglah setiap Kamis malam dan Minggu malam. Jangan lupa, bawa mahar, itu yang utama di setiap pertemuan kita.”

“Maaf, Ki, maksudnya mahar itu apa ya?” tanya Gunawan tidak mengerti.

“Mahar itu istilah agamanya adalah sedekah atau infak,” kata Ki Rogo.

“Oooh, iya iya iya, saya paham,” kata Gunawan sambil tertawa kecil. Ia merogoh dompetnya dan mengeluarkan sebuah amplop kecil tapi padat isinya dari dalam dompetnya. Lalu katanya sambil menyodorkan amplop itu di atas meja, “Sementara baru segini dulu, Ki.”

“Oh ya tidak apa-apa. Yang penting adalah ikhlas dan semampunya. Mahar itu, semakin besar dan ikhlas, energi dorong menuju keberhasilannya semakin besar,” kata Ki Rogo seraya senyum, tapi tangannya bergerak mengambil amplop dan menyimpannya ke dalam saku gamisnya. “Jadi, urusan kali ini sampai di sini. Jangan lupa laksanakan tiga nasihat tadi. Dan jangan lupa, datang lagi Kamis malam.”

“Iya, Ki.” Kata Gunawan lalu bangkit berdiri dan merangsek maju mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Gunawan mencium tangan Ki Rogo. Namun, ia kemudian menahan diri.

“Tapi, saya kan punya saingan, Ki. Bagaimana jika dia lebih baik dari saya?” tanya Gunawan.

“Gampang. Pastikan kamu lebih baik dari dia. Jika kamu melihat dia lebih baik, maka segera lakukan hal yang sama untuk menandinginya,” kata Ki Rogo. (RH)


Berlanjut: Fastabiqul Khairat Sepasang Naga Pemabuk (12)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar