Ilustrasi |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Setelah sulit tidur
tadi malam, karena pikiran yang sarat muatan kegalauan, hari ini Fito kembali
beraktifitas sebagaimana biasa. Namun, kali ini ia menyimpan agenda khusus usai
pulang kerja.
Persyaratan yang
diberikan Rani kepadanya, membuat malamnya merayap dalam kebimbangan.
Permintaan Rani melalui adiknya, Rina, tidak tanggung-tanggung. Fito diminta
tidak boleh minum dan mabuk lagi. Bagi Fito itu adalah “pembunuhan jati diri”.
Bekerja sebagai pegawai
di sebuah perusahaan transportasi travel wisata yang sedang meroket secara
perlahan, Fito adalah sosok biasa-biasa saja. Kedudukannya sebagai staf yang
bertugas melancarkan rute dari tempat berangkat hingga ke lokasi wisata bahkan
hingga pulang kembali, tidak membuatnya menjadi orang penting di perusahaannya.
Namun, ketahanannya dalam mengonsumsi minuman beralkohol, membuat ia menjadi sosok
yang tenar, sehingga bersama Gunawan ia dijuluki “Sepasang Naga Pemabuk”.
Mungkin julukan itu
memang pantas disematkan kepada Fito, sebab beberapa kali Fito bisa menang adu
minum dengan orang Amerika Serikat dan Jerman, yang bagi mereka mengonsumsi
alkohol adalah suatu hal yang biasa.
Syarat yang diajukan Rani
kepadanya, membuat Fito harus ber-tafakur (merenung) tadi malam. Ia
harus melamun di ayunan anak-anak samping rumahnya, sampai-sampai ayahnya
merasa khawatir.
“Fito! Elu mau mati?”
tanya Horsa tadi malam, saat melihat anak bujangnya duduk di ayunan tengah
malam seperti kuntilanak salah raga.
“Hah?” tanya Fito
terkejut tapi bengong, seraya menengok kepada ayahnya yang berambut gondrong
berbadan besar berotot, muncul dari teras yang remang-remang. Justru penampilan
ayahnya lebih menyeramkan dari pada keterdiamannya di ayunan.
“Gua khawatir tingkah
elu yang aneh itu adalah tanda-tanda malaikat Izrail mau datang,” kata Horsa
dengan tatapan curiga.
“Gua lagi bingung, Pa,”
jawab Fito.
“Ya udah, elu pikirin
aja sendiri, gua enggak mau diajak bingung kagak jelas begitu,” kata Horsa lalu
berbalik pergi masuk ke rumah.
Memang akhirnya Fito
bingung seorang diri saja, meskipun pada akhirnya ia harus memutuskan sikap
setelah menetapkan pilihan.
“Gua tobat dan harus
belajar agama. Tapi gua akan balik minum lagi kalau gua pada akhirnya ditolak.
Gak ada masalah.”
Itulah keputusan yang
Fito ambil tadi malam.
Fito tidak mau rugi.
Fito tidak mau meninggalkan kepopulerannya sebagai Naga Pemabuk dan mempelajari
agama jika pada akhirnya nanti ia ditolak. Kemarin sore, Rina telah mengatakan
bahwa dengan mempelajari agama dan bertobat, bukan jaminan ia pasti diterima
untuk menikahi Rani. Sebab, ada kandidat lain. Kandidat lain yang sudah pasti
adalah Gunawan. Untuk mengalahkan Gunawan, Fito optimis bisa. Ia berharap,
kandidat lain itu hanya Gunawan semata, tidak ada yang lain lagi.
Fito dan Gunawan tahu
bahwa Rani harus diperjuangkan meski kondisinya sudah “bekas” orang dan sudah
hamil. Selain cantik, Rani adalah anak orang kaya, anak seorang pengusaha
hotel.
Namun, Fito dan Gunawan
sungguh tidak menyangka akan diterima oleh bukan Rani atau kedua orang tuanya
kemarin sore. Terlebih bagi Gunawan yang bernasib “apes”, dikerjai oleh
gadis-gadis tidak jelas di kamar toilet.
Karena memutuskan untuk
terus maju berkompetisi, Fito telah mengantongi nama tiga orang ustaz yang akan
ia minta untuk jadi guru spiritualnya, meski untuk itu, ia harus membayar
mahal.
Fito dan Gunawan yang
bekerja di satu perusahaan tapi beda bagian, siang itu bertemu di kantin saat
istirahat makan siang. Meski bersaing, tapi tetap mereka adalah sepasang
sahabat sejati dalam urusan minum alkohol. Keduanya pun tidak segan saling
cerita dengan apa yang mereka alami kemarin sore di rumah Rani.
“Hahaha...!” Fito
tertawa terbahak saat mendengar cerita Gunawan yang memang bernasib lebih
malang daripada dirinya kemarin. “Elu benar-benar dikerjain sama adiknya Rani
dan teman-temannya.”
“Ah, biarlah. Yang
jelas gua sudah siapkan guru sakti mandraguna buat mendidik gua jadi orang
saleh nomor satu!” sesumbar Gunawan.
“Jangan sombong dulu,
Bro. Bukan lu doang, gua juga pilih guru yang pilih tanding!” kata Fito tak mau
kalah. “Sore ini gua daftar jadi murid berkebutuhan khusus, hahaha!”
“Samma!” sahut Gunawan
pula.
Maka, sepulang dari jam
kerja, Fito dan Gunawan masing-masing pergi ke tempat yang berbeda.
Pertama, Fito pergi ke
masjid yang dekat dengan kantornya. Di sana ia bertemu dengan ustaz yang
bernama Sa’id Khusuk. Kepada imam masjid
itu, Fito dengan lugunya bercerita apa adanya.
“Oh, jadi kamu seorang
jagoan minum yang mau tobat
karena mau menikahi perempuan yang sudah hamil? Lalu bagaimana kalau kamu
ditolak?” tanya ustaz bertubuh kurus berjenggot setengah jengkal itu.
“Ya terpaksa, Ustaz,
balik minum lagi, habisnya sudah doyan sih,” jawab Fito seadanya.
“Lebih baik kamu cari
ustaz yang lain!” tandas Ustaz Sa’id dengan tatapan tajam kepada Fito.
“Tapi saya akan bayar
Ustaz, mahal pun enggak apa-apa,” kata Fito dengan wajah memelas.
“Cari ustaz lain, kalau
dapat, tanyakan, kenapa saya tolak kamu!” tegas Ustaz Sa’id lalu bangkit
berdiri dan pergi meninggalkan Fito.
Fito hanya menghempaskan
napas kecewa. Tapi ia merasa tidak perlu merasa khawatir, karena masih ada dua
ustaz lagi.
Dengan motornya ia
pergi menemui ustaz nomor dua, seorang ustaz yang usianya cukup sepuh. Ustaz
Damar Syuaib namanya. Usianya sudah 63 tahun. Semua rambutnya sudah putih
warnanya, tapi fisiknya masih segar bugar.
Sama ketika menghadap
Ustaz Sa’id, Fito menyampaikan niatannya apa adanya kepada Ustaz Damar.
“Jika wanita hamil itu
menolak antum (kamu) sebagai
suaminya, apakah antum tetap akan
menekuni agama?” tanya Ustaz Damar akhirnya.
“Ya berat, Ustaz. Kalau
saya memang terpilih, ya saya pasti tetap tekun belajar dan ibadah. Namun,
kalau saya ditolak, ya saya berhenti. Untuk apa belajar lagi kalau ditolak?”
jawab Fito apa adanya.
“Kalau begitu maaf, antum sudah salah niat. Cari guru yang
lain!” kata Ustaz Damar.
Penolakan Ustaz Damar
tidak seketika membuat Fito putus asa. Masih ada ustaz terakhir yang bernama
Ustaz Darsono.
Meski seorang ustaz,
tapi Darsono berprofesi sebagai pedagang bubur ayam. Saat ditemui di malam
hari, Ustaz Darsono berada di kontrakannya.
Ustaz Darsono sosok
lelaki agak gemuk berusia 46 tahun dengan tampilan hanya mengenakan kaos oblong
biru lusuh dan celana hitam cingkrang di atas mata kaki. Ada tanda hitam di
jidatnya sebagai bekas sujud. Jenggot tipisnya masih hitam warnanya. Tanpa ada
peci di kepalanya, rasa-rasanya Darsono bukan seorang ustaz.
Darsono mengenal Fito
hanya sekedar kenal nama dan wajah, tidak kenal sisi kepribadiannya. Bahkan ia
pun tidak tahu bahwa Fito adalah seorang pemabuk.
Meski telah ditolak
oleh dua ustaz sebelumnya karena Fito bicara apa adanya, kepada Ustaz Darsono
pun Fito tetap bicara terbuka seperti apa adanya. Hal itu dilakukannya dengan
alasan, ia tidak mau ada yang disembunyikan kepada calon guru spiritualnya.
Fito tahu, dengan mengungkapkan bahwa ia berencana akan kembali mabuk jika
ditolak oleh Rani, berisiko ia bisa kembali ditolak oleh Ustaz Darsono.
“Jadi, kamu mau kembali
minum kalau kamu ditolak oleh perempuan yang bernama Rani itu?” tanya Ustaz
Darsono setelah mendengar penuturan Fito.
“Iya, Ustaz,” jawab
Fito seraya nyengir kuda.
“Jadi kapan mau mulai
bergurunya?” tanya pria yang logat Jawanya sedikit kental dalam bicaranya.
“Jadi saya diterima,
Ustaz?!” tanya Fito setengah berteriak, seolah tidak percaya.
“Kapan mulai
bergurunya?” tanya ulang Ustaz Darsono, tanpa pedulikan keterkejutan Fito.
“Jika bisa malam ini,”
jawab Fito antusias.
“Bisa baca Al-Quran?”
“Bisa, tapi tidak
lancar, Ustaz.”
“Mulai besok pagi,
berpakaianlah yang baik layaknya seorang Muslim yang salih. Memakai parfum dan
tebarkan salam. Lakukan kewajiban seorang Muslim yang sejauh ini kamu tahu. Itu
pelajaran pertama. Setiap hari, datanglah tepat pukul dua malam ke Masjid
Ash-Shiroth di depan itu,” kata Ustaz Darsono memberi arahan. “Sekarang kamu
boleh pulang.”
“Hah! Hanya itu,
Ustaz?” tanya Fito heran.
“Cobalah dulu, saya
harap kamu bisa melaksanakan amalan pertamamu,” kata Ustaz Darsono.
“Tapi, kenapa harus jam
dua malam, Ustaz?” tanya Fito lagi, terkesan berat.
“Kalau tidak bisa,
berarti cari ustaz yang lain,” kata Ustaz Darsono.
“Saya bisa, Ustaz!”
kata Fito cepat.
“Sekarang pulanglah,
saya mau istirahat!” perintah Ustaz Darsono.
“Baik, tapi ini ada
sedikit uang rokok,” kata Fito tersenyum seraya menyodorkan sehelai amplop
putih ke telapak tangan kanan sang ustaz.
“Apa ini? Uang?” tanya
Ustaz Darsono sambil membuka dan mengeluarkan isi amplop.
Isi amplop itu ternyata
beberapa lembar uang ratusan ribu. Ustaz Darsono lalu meraih tangan kanan Fito
dan memberikan kembali uang itu kepada si pemuda.
“Tidak baik membeli
rokok. Belikan makanan dan berikan kepada rumah di tetanggamu yang kamu nilai
miskin!” perintah Ustaz Darsono.
“Baik, Ustaz. Satu
lagi, Ustaz. Saya disuruh menanyakan, kenapa saya ditolak oleh dua ustaz
sebelumya,” kata Fito.
“Mungkin karena niat
kamu bukan karena Allah, tetapi karena wanita. Dan juga karena niatan akan
kembali minum alkohol jika kamu ditolak,” jawab Ustaz Darsono.
Fito hanya
manggut-manggut mendengar jawaban itu. Lalu katanya, “Kalau begitu, saya
permisi, Ustaz.”
Fito lalu menyalami
tangan Ustaz Darsono dan menciumnya.
“Assalamu ‘alaikum!” ucap Fito lalu bergerak keluar dari ruang kecil
kontrakan itu.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab Ustaz Darsono tanpa
beranjak dari tempatnya.
“Kenapa Mas Dar terima?
Bukankah niatannya tidak baik?” tanya seorang wanita bercadar dari ruang dalam
kepada Ustaz Darsono, setelah Fito pergi bersama motornya.
“Hehehe!” Ustaz Darsono
malah terkekeh. Lalu jawabnya, “Allah berkuasa untuk membolak-balikkan hati
hamba-Nya. Bisa jadi hari ini niatnya seperti itu, tapi sopo ngiro (siapa sangka), di hari akhir pelajarannya, semuanya ia
lakukan karena Allah.”
Sementara itu, Gunawan
datang menemui seorang lelaki bersorban putih dan bergamis putih yang berusia
50 tahun. Sosoknya berkulit putih bersih. Sepasang lingkar matanya hitam oleh
maskara, sehingga sorot matanya terkesan tajam dan sedikit menyeramkan. Di
kedua pergelangan tangannya melingkar gelang dari kayu unik berwarna merah mengkilap,
bentuknya seperti lingkaran ular kecil yang diawetkan. Orang berperut cukup
gendut itu sudah tersohor di daerahnya, bukan hanya sebagai seorang ustaz, tapi
juga sebagai “orang pandai”. Pria yang memiliki rumah cukup besar ini dikenal
dengan nama Ki Rogo.
Tidak seperti Fito,
Gunawan hanya bercerita kepada Ki Rogo bahwa ia ingin berguru agar menjadi
lelaki salih dalam waktu dua minggu.
“Saya ingin menikah,
Ki,” kata Gunawan.
“Kamu mau menikah
dengan seorang wanita cantik. Benarkan?” terka Ki Rogo seraya menatap tajam
mata Gunawan.
“Benar, Ki. Ki Rogo
bisa tahu ya.”
“Hehehe!” Ki Rogo hanya
tertawa kecil bernada jumawa. Lalu ia menerka lagi, “Tapi, gadis itu memberi
kamu syarat khusus. Benarkan?”
“Benar, Ki!” kata
Gunawan kian bersemangat, karena ia menilai Ki Rogo memiliki kelebihan khusus dibandingkan
ustaz-ustaz lain pada umumnya.
“Dua minggu adalah
waktu yang lebih dari cukup untuk menaklukkan wanita cantik idaman kamu.
Kemarikan air putihmu!”
Gunawan lalu
menyodorkan segelas air putih di atas meja di depannya ke depan Ki Rogo yang
duduk berseberangan meja dengannya.
Ki Rogo lalu memejamkan
matanya dan menarik napas panjang.
“Bismillah!” baca Ki Rogo dengan agak keras. Sementara matanya
tepejam khusyuk, bibir Ki
Rogo komat-kamit yang hanya terdengar samar “sas sis sus”. Akhir dari
rapalannya, Ki Rogo meniup air putih di dalam gelas milik Gunawan. Lalu
katanya, “Minumlah, agar aura hitam yang selalu menyelubungi tubuhmu,
berkurang.”
“Iya, Ki,” ucap Gunawan
patuh, lalu ia meraih gelasnya dan meminum air yang telah ditiupkan angin
jampi-jampi.
“Hari ini saya hanya
berikan air putih dan nasihat. Nasihat pertama, setiap bangun tidur, sebelum
meninggalkan tempat tidur, jernihkan pikiran dengan menyerahkan segala sesuatu,
dirimu dan seluruh milikmu untuk Penguasa Yang Gaib. Kedua, kamu harus
berpenampilan sebagai sebaik-baik lelaki, setampan-tampan lelaki. Ketiga,
jangan tinggalkan salat lima waktu, sebab itulah pemberi energi utama demi
keberhasilan keinginanmu. Sementara tiga nasehat dulu. Tapi, semuanya akan
sangat sulit jika tidak dipancing dengan mahar. Jadi, datanglah setiap Kamis
malam dan Minggu malam. Jangan lupa, bawa mahar, itu yang utama di setiap
pertemuan kita.”
“Maaf, Ki, maksudnya
mahar itu apa ya?” tanya Gunawan tidak mengerti.
“Mahar itu istilah
agamanya adalah sedekah atau infak,” kata Ki Rogo.
“Oooh, iya iya iya,
saya paham,” kata Gunawan sambil tertawa kecil. Ia merogoh dompetnya dan
mengeluarkan sebuah amplop kecil tapi padat isinya dari dalam dompetnya. Lalu
katanya sambil menyodorkan amplop itu di atas meja, “Sementara baru segini
dulu, Ki.”
“Oh ya tidak apa-apa.
Yang penting adalah ikhlas dan semampunya. Mahar itu, semakin besar dan ikhlas,
energi dorong menuju keberhasilannya semakin besar,” kata Ki Rogo seraya
senyum, tapi tangannya bergerak mengambil amplop dan menyimpannya ke dalam saku
gamisnya. “Jadi, urusan kali ini sampai di sini. Jangan lupa laksanakan tiga
nasihat tadi. Dan jangan lupa, datang lagi Kamis malam.”
“Iya, Ki.” Kata Gunawan
lalu bangkit berdiri dan merangsek maju mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Gunawan mencium tangan
Ki Rogo. Namun, ia kemudian menahan diri.
“Tapi, saya kan punya
saingan, Ki. Bagaimana jika dia lebih baik dari saya?” tanya Gunawan.
“Gampang. Pastikan kamu
lebih baik dari dia. Jika kamu melihat dia lebih baik, maka segera lakukan hal
yang sama untuk menandinginya,” kata Ki Rogo. (RH)
Berlanjut: Fastabiqul Khairat Sepasang Naga Pemabuk (12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar